Friday, July 26, 2013

Anggur Nasi Sultan Aceh

ADAT istiadat Aceh dalam memuliakan tamu sudah dilakoni sejak masa kerajaan dulu. Seperti halnya tata cara Sultan Iskandar Muda menyambut tamu dari luar negeri yang kerap mengunjungi Aceh pada masa itu.
Berdasarkan catatan orang-orang Eropa, Kerajaan Aceh seringkali mengadakan acara yang panjang lebar untuk penyambutan tamu.

Meski tamu tersebut hanya berkunjung ke Aceh tanpa tujuan lain. Acara penyambutan tamu ini merupakan pengalaman besar bagi para pelaut Eropa yang tak bisa dilupakan. Upacara itu setiap kali berlangsung menurut urutan yang sama seperti diungkap Lancaster, Beaulieu dan buku Adat Atjeh.


Dalam buku Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda 1607-1636 M menuliskan, begitu kapal membuang sauh di dekat gosong sungai maka akan datang sebuah perahu kecil dengan Syahbandar dan beberapa pegawai. Termasuk di dalamnya juru tulis bea cukai yang membawa keris raja.

Mereka mencatat segala sesuatu yang akan dipersembahkan kepada sultan, lalu pulang. Esok harinya atau dua hari kemudian, iring-iringan orang kaya datang menghadap ke kapten asing tersebut bersama iring-iringannya.

Setiap hadiah yang akan diberikan kepada Sultan Aceh akan ditutup dengan kain warna kuning. Jika ada surat resmi dari raja Eropa, maka akan ditaruh di atas talam perak yang ditutup dengan kain bersulam emas. Lalu berangkatlah iring-iringan itu menuju kota dan istana.

Di bagian depan, duduk di atas gajah orang kaya. Dia membawa talam dan 6 terompet, 6 genderang dan 6 hobo. Di barisan gajah kedua, duduk seorang kapten di susul dua orang kaya yang menaiki kuda Arab, tiga syahbandar dan semua pegawai bea cukai yang menyusul dengan jalan kaki.

"Maka kami melintasi jalan-jalan, diarak seperti pengantin," kata Beaulieu dengan jenaka.

Setiba di depan pintu istana mereka turun ke tanah, orang kaya menjunjung keris ke atas kepala dan kapten masuk, hanya diikuti beberapa dari orangnya.

Ia melintasi ketiga pelataran sampai ruang pertama tempat ia harus membuka sepatunya. Lalu masuk ke dalam ruang singgasana; di sana sultan duduk di tempat yang tingginya sekitar dua kaki.

Tata cara berikutnya yaitu, kapten asing lalu bersujud di atas sebuah permadani Turki sementara orang kaya menyampaikan surat kepada sang raja. Dia menterjemahkannya. Menurut De Beaulieu, seirng kali terjemahan tersebut tersendat-sendat.

Setelah itu, antara orang Eropa dan Kerajaan Aceh mengadakan pertukaran hadiah. Kebiasaan pada zaman itu, orang Eropa menghadiahkan senjata yang bagus-bagus. Sering yang berpamor, batu mulia atau cermin.
Sebagai balasan, sultan menghadiahkan sehelai jubah putih panjang yang diletakkan dalam talam perak.

Selain itu juga ada surban penuh sulaman emas, kadang-kadang ikat pinggang yang lebar dan dua bilah keris.
Menurut keterangan Augustin de Beaulieu, dia juga menerima sebuah bejana besar dari emas penuh sirih.

Jika ada surat dari sultan untuk "saudara"nya di Eropa akan ditaruh di pasu perak dalam bungkusan beludru merah bertali emas. Surat itu ditulis dengan huruf emas atas kertas yang sangat licin dengan hiasan emas dalam gambar-gambar di pinggiran surat.

Setelah acara tersebut, biasanya raja menjamu kapten dan perwira-perwiranya. "Kami pergi ke sebuah ruang persegi empat yang dinding dan lantainya dilapis kain dari Turki."

Kepadanya ditawarkan sirih dalam tempat emas yang besar dengan tutup dari zamrud. Lalu datanglah sekitar 30 perempuan, masing-masing dengan membawa sebuah bejana perak besar yang tertutup, yang kemudian mereka letakkan di atas permadani.

Setiap bejana ditutup dengan kain emas atau kain songket dari bahan sutra campur benang emas dan beberapa permata yang menyentuh di tanah. Setelah diberi tanda, para perempuan tadi membuka bejana yang sebesar pasu besar dan jeluk sekali sehingga tingginya bersama tutupnya lebih dari 2.5 kaki.

"Dari masing-masing bejana itu dikeluarkan 6 pinggan emas penuh dengan manisan, daging dan kue yang dimasak seperti lazimnya di negeri itu," kata Beaulieu.

Beualieu menambahkan, ada bejana-bejana dari porselin Cina dan dua tempat tembaga besi nasi yang diperuntukkan bagi penolong raja. Hal ini sesuai dengan keterangan Best, "The King presented me with a banker of at least foure hundred dishes with such plentie of hot drinks as might have sufficed a drunken army."

Makanannya banyak, ada minuman "racke" (arak), anggur nasi yang tinggi kadar alkoholnya (mungkin yang dimaksud adalah tape, yaitu nasi yang sudah diperam dengan ragi kemudian dimakan dengan santan yang rasanya asam). Anggur nasi ini menurut beberapa penjelajah Eropa terlalu keras untuk mereka.

"This wine is made of rice and is a strong as any of aquaevitae; a little will serve to bring one asleepe. The generall after the first draught, dranke either water mingled there with all, or pure water. The King gave him leave so to doe; for the generall beg his pardon as not able to drinke so strong drinke," ujar Lancaster dalam laporannya terkait minuman keras ini.

Sesudah jamuan makan, sultan memanggil para penari. Lalu dibawa masuk sebuah permadani berlatar emas yang digelar antara tempat ia berada dan tempat saya, lalu datang 15 atau 20 perempuan yang mengambil tempat sepanjang tembok. Suara mereka ditiru seperti genderang kecil yang mereka pegang dan menyanyikan lagu-lagu kemenangan yang dicapai raja selama pemerintahannya.

Masih menurut kesaksian de Beaulieu, dari sebuah pintu kecil masuklah dua perempuan atau gadis yang pakaiannya aneh namun cantik sekali.

"Tidak kukira ada yang seputih itu di negeri sepanas ini, sedangkan dandanannya belum pernah saya lihat sedemikian. Sukar bagi saya menerangkannya sebab seluruhnya dari emas belaka."

Dia mengatakan, para penari ini memakai topi yang berdiri dari unting-untingan emas di atas rambutnya. Emas tersebut begitu gemerlapnya seperti jambul-jambul sepanjang 1.5 kaki. Mereka juga memakai antin-anting besar yang juga dari unting-untingan emas dan menggantung sampai ke bahu. Bahunya ditutupi sejenis hiasan ketat yang melingkari leher dan melebar membentuk lidah-lidah lancip lengkung seperti sinar matahari.
"Seluruhnya diukti dari lempeng emas yang aneh sekali..."

Beualieu juga mengatakan, di atas sebuah kemeja atau baju dari kain emas dengan sutera merah yang menutupi dada, dengan ikat pinggang besar yang lebar benar, terbuat dari unting-untingan emas: pinggul mereka diikat ketat dengan selajur kain emas sebagaimana kebiasaannya di negeri itu, dan di bawahnya celana, juga dari kain emas yang tidak melampaui lutut dan yang digantungi beberapa kerincing emas kecil.

Lengan dan kaki telanjang tapi dari pergelangan sampai siku tertutup renda emas berpemata, seperti juga di atas siku dan dari pergelangan kaki sampai betis.

Di pinggang, masing-masing ada keris atau pedang yang hulu dan sarungnya penuh permata, dan tangan mereka memegang kipas besar dari emas dengan beberapa kerincing kecil di pinggirannya.

Selain jamuan tadi, terkadang utusan luar negeri juga diajak oleh Sultan berendam dalam air mancur yang letaknya lima atau enam mil dari kota.

"Sang raja menjamu saya dengan makanan lezat dan "racke" yang berlimpah-limpah, dan kami harus makan dan minum segalanya itu sambil duduk di dalam air. Semua bangsawan dan kapten besarnya hadir. Santapan kami berlangsung dar pukul satu sampa kira-kira pukul lima, lalu raja memperbolehkan saya pergi," kisah Best seperti yang ditulis Lombard dalam bukunya.

Begitulah cara Sultan Aceh menjamu tamunya pada masa itu. Hingga saat ini, masyarakat Aceh masih mempertahankan beberapa adat tersebut seperti halnya menyambut tamu dengan tari ranup lampuan dan jamuan makanan yang berlimpah.

Selengkapnya baca tabloid mingguan The Atjeh Times edisi 31 Desember 2012 - 6 Januari 2013 dengan cover "Iskandar Muda: Dua Wajah Sang Penakluk."[]

Sumber : Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda karya Denys Lombard

No comments:

Post a Comment