Sunday, October 26, 2014

Menyibak Ranah Legenda di Ujung Sumatera

"The golden age of Acheh in which the mohammedan law prevailed or in wich the Adat Meukuta Alam may be regarded as the fundamental law of the kingdom, belongs to the realm of legend." (Masa keemasan Aceh, hukum Islam berlaku atau disebut dengan Adat Meukuta Alam. Hukum ini mungkin dianggap sebagai hukum dasar kerajaan, milik ranah legenda).

Begitulah peneliti Belanda Snouck Hougronje menyebut tentang era Kerajaan Aceh dalam bukunya The Achehnese yang versi terjemahannya terbit pada 1906. Namun, pernyataan Snouck terbantah oleh sebuah penelitian yang dilakukan peneliti Perancis Denys Lombard berjudul Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636).

Lahir di Perancis pada 1938, Lombard sudah lama memendam rasa penasaran akan nama besar Sultan Iskandar Muda. Pada 1967, setelah menelusuri sejumlah catatan sejarah tentang Aceh dan Iskandar Muda, ia menyelesaikan penelitiannya. Lombard menyelisik sejumlah dokumen, buku-buku lawas, hingga manuskrip yang tersimpan di sejumlah museum di luar negeri.

Sunday, October 12, 2014

2 Oktober 1925; Ajaran Ahmadiyah Masuk ke Aceh Selatan

Masjid Ahmadiyah di Lahore. @tropenmuseum.com
ALIRAN Ahmadiyah pernah berkembang di Aceh masa kolonialisme Belanda. Saat itu, aliran yang dikembangkan Mirza Ghulam Ahmad tersebut dibawa oleh juru dakwah Ahmadiyah, Maulana Rahmat Ali atau kerap disapa Tuan Rahmat Ali.

Pria ini merupakan sahabat dekat petinggi Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad. Ia lahir di Rabwah, Pakistan, pada tahun 1893. Tuan Rahmat Ali merupakan "mubalig" pertama Ahmadiyah yang diutus ke Indonesia dari Qadian.

Ia dikenal sebagai 'Sang Penabur Benih Ahmadiyah' di Indonesia. Pria ini merupakan lulusan pertama dari Madrasah Ahmadiyah di Qadian pada 1917. Ia kemudian menjadi guru Bahasa Arab dan Agama pada Ta'limul Islam High School (setingkat SMA) di Qadian.

Tuan Rahmat Ali kemudian dipindahkan ke Departemen Pertabligan (Nazarat Da'wat-o-Tabligh) pada 1924. Setahun kemudian pria ini dikirim ke Indonesia menjadi "mubalig" hingga April 1950.

Bendera Merah Putih Pertama Kali Berkibar di Langsa

Pengibaran Bendera Merah Putih era Proklamasi Indonesia
REPUBLIK Indonesia memperingati Hari Kesaktian Pancasila pada 1 Oktober. Penetapan tersebut menyusul adanya insiden yang menamakan Gerakan 30 September 1965 (G30S) yang menculik dan membunuh enam Jendral serta satu kapten sebagai upaya kudeta.

Gerakan ini berhasil diatasi otoritas militer Indonesia pada 1 Oktober 1965. Sejak itu, pemerintah Orde Baru menetapkan 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila.

Sementara di Aceh, khususnya warga Langsa memiliki makna penting pada tanggal 1 Oktober. Pasalnya, pada 1 Oktober 1945, warga Langsa pertama kali mengibarkan bendera Merah Putih dan mengakui kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamirkan oleh Soekarno pada 17 Agustus 1945.

27 September 1954; Hasan Tiro Ditahan Imigrasi New York

Hasan Tiro
SIKAP keras yang ditunjukkan Hasan Tiro menyikapi tindakan kabinet Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo terhadap Darul Islam di Aceh harus dibayar mahal. Ultimatum yang dikirimkan Hasan Tiro melalui sepucuk surat di berbagai surat kabar, dari New York hingga Indonesia telah mengguncang perpolitikan Indonesia. Ia pun kehilangan kewarganegaraannya.

Hasan Tiro, yang oleh Wakil Perdana Menteri Sjafruddin Prawiranegara disebut sebagai "pemuda yang pendiam tetapi memberi kesan cerdas dan cukup lincah" tiba-tiba mengguncang dunia politik Indonesia pada 1 September 1954. Penyebabnya, tak lain sepucuk surat yang disebarnya di berbagai surat kabar, dari New York hingga Indonesia. Saat itu, Hasan Tiro yang kelahiran 25 September 1925, berusia 29 tahun.

Menantu Teungku Daud Beureueh, M.Nur El Ibrahimy, dalam bukunya Tgk.M.Daud Beureueh, Peranannya dalam Pergolakan di Aceh, menulis satu bab khusus tentang peran diplomasi yang dimainkan Hasan Tiro di Amerika untuk mendukung "Republik Islam Indonesia" yang di Aceh dipelopori Daud Beureueh.

Pang Nanggroe; Watergeus from Aceh

Pejuang Aceh. @Repro Atjeh Galery
PANG Nanggroe yang mengawini janda Chik Tunong, Cut Meutia, telah menasbihkan dirinya untuk syahid melawan Belanda. Sejak keduanya menikah, Belanda kerap dibikin pusing hingga harus mengejarnya ke hutan belantara.

Sejak menggantikan peranan Chik Tunong sebagai suami Cut Meutia, Pang Nanggroe terus menerus melancarkan serangan kepada Belanda. Ia berhasil menyerang kereta api milik Belanda sebanyak dua kali, menembaki kereta api sebanyak lima kali, menyerang bivak Lhoksukon dua kali, dan penyerangan dengan klewang terhadap perwira Belanda sebanyak lima kali. Semua aksinya tersebut berhasil dilakukan dalam rentang waktu tiga bulan.

Ia juga berhasil merusak rel kereta api sebanyak 22 kali dan menyabotase tiang telepon sebagai jalur komunikasi Belanda sebanyak 54 kali, dalam waktu yang sama.

Sejarah Aceh 26 September; Dari Medali Kehormatan Hingga Gugurnya Pahlawan

@atjehgalery/facebook
ACEH memiliki sejarah panjang yang hampir setiap harinya terjadi peristiwa-peristiwa penting terutama di masa-masa peperangan. Setiap kejadian tersebut akhirnya menjadi tolak ukur bagi kemakmuran dan kemajuan Aceh di masa depan.

Berdasarkan penelusuran ATJEHPOST.co, ada beberapa peristiwa yang terjadi bertepatan pada 26 September sejak era kerajaan hingga saat ini. Dari sekian banyak rentetan peristiwa tersebut, ada tiga peristiwa sejarah yang berhasil dirangkum redaksi seperti di bawah ini: 1. Van der Heijden menjadi Mayor Jenderal pada 26 September 1878

Van der Heijden menjadi Mayor Jenderal pada 26 September 1878

Van der Heijden merupakan Gubernur Militer Belanda di Aceh yang bertugas menumpas perlawanan Kerajaan Aceh Darussalam. Salah satu catatan sejarah tulisan H Mohammad Said berjudul Aceh Sepanjang Abad menuliskan Belanda memberikan kehormatan kepada van der Heijden dengan menaikkan pangkat menjadi Mayor Jenderal, pada 26 September 1878.

Genderang Perang Daud Beureueh

Teungku Daud Beureueh menabuh genderang perang saat Pemerintah Indonesia tidak menghargai Aceh sebagai daerah modal. Ribuan warga Aceh pun berbaiat setia kepadanya.

“Kamoe keumeung peubuet buet.”

Inilah kalimat pertama yang disampaikan Ayah Gani saat bertandang ke Jakarta ketika menemui M. Nur El Ibrahimy sebelum meletusnya “Peristiwa Berdarah” di Aceh pada 21 September 1953. Selain Ayah Gani dan M. Nur El Ibrahimy, hadir dalam pertemuan tersebut Ali Muhammad dan Mohammad Amin Basyah. Ayah Gani turut mengajak M. Nur El Ibrahimy untuk ikut mendukung gerakan tersebut.

“Tidak perlu Teungku pulang ke Aceh,” katanya. “Cukup tinggal di Jakarta saja,” kata Ayah Gani.

“Kapan gerakan itu akan dimulai?” tanya M. Nur El Ibrahimy.

“Pokoknya tak lama lagi, sebab rakyat Aceh dewasa ini ibarat buah di pohon yang sudah cukup matang, jika tidak segera dipetik akan kematangan dan akan jatuh sendiri nanti,” ujar Ayah Gani.

“Bagaimana tentang persenjataan, pembiayaan, dan sumber bantuan selanjutnya apalagi jika gerakan itu memakan waktu yang lama?”

Maklumat Daud Beureueh Mendirikan Darul Islam di Aceh

Pasukan Darul Islam. @Repro
TENGKU Muhammad Daud Beureueh geram dengan pemerintahan Soekarno yang tak kunjung memberikan Otonomi Khusus kepada rakyat Aceh untuk menjalankan syariat Islam. Ia juga kesal dengan Jakarta yang sama sekali tidak memperdulikan nasib generasi muda di Aceh yang belum mendapatkan pendidikan layak. Padahal, Aceh adalah daerah modal bagi Indonesia mencapai kemerdekaan setelah agresi Belanda kedua dilancarkan.

Kekesalan Daud Beureueh juga memuncak saat berkembangnya isu PM Ali Sastroamidjojo ingin menghabisi 300 nyawa tokoh-tokoh di Aceh dalam daftar hitam. Akhirnya Gubernur Militer Aceh ini mendeklarasikan daerah tersebut tunduk di bawah pemerintahan Negara Islam Indonesia pimpinan SM Kartosoewirdjo.

Surat Kedua Diplomasi Politik Gubernur Sumatera Utara

SM Amin (tengah). @Repro
Teungku Daud Beureueh mengibarkan bendera perang setelah menganggap Indonesia menghianati Aceh. Ia pun mendeklarasikan gerakan Darul Islam di Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) pimpinan SM Kartosuwirjo.

Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo menyikapi deklarasi Daud Beureueh dengan senjata. Ia mengirimkan serdadu militer ke Tanoh Rencong untuk menumpas pemberontakan yang dianggap membahayakan Indonesia.

Berbagai upaya dan pendekatan dilakukan untuk mengamankan situasi Aceh saat itu secara pribadi oleh Mr. SM. Amin, yang menjabat sebagai Gubernur Sumatera Utara.

Pendekatan Politik Gubernur Sumatera Utara Meredam Konflik Aceh

Warga menyaksikan rumah yang dibakar TNI. @Repro
TENGKU Daud Beureueh memproklamasikan Aceh menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia di bawah pimpinan Imam Besar Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, 20 September 1953. Berbekal sebagai pemimpin sipil, agama dan militer di Aceh, Daud Beureueh dengan mudah mendapat pengikut. Apalagi Aceh yang sedianya menjadi daerah modal kemerdekaan bagi Indonesia malah dileburkan ke dalam Provinsi Sumatera Utara, tahun 1950.

Meredam pergolakan tersebut, Gubernur Sumatera Utara, Mr SM Amin merayu Tengku Daud Beureueh untuk turun gunung. Berbagai upaya dilakukan petinggi Sumatera Utara tersebut termasuk mengirimkan surat atas nama pribadi kepada komandan tertinggi Darul Islam di Aceh.

Berikut petikan surat pertama Mr. SM. Amin kepada Daud Beureueh seperti dikutip dari buku Rahasia Pemberontakan Atjeh dan Kegagalan Politik Mr. SM. Amin karangan AH Gelanggang:

Tengku Daud Beureueh Dinobatkan Sebagai Wali Negara

Warga Aceh menunggu kedatangan Tengku Daud Beureueh.  @Repro
KONTAK politik antara Gubernur Sumatera Utara SM Amin dengan Teungku M. Daud Beureueuh sejak Desember 1955 membuat situasi Aceh memanas. Apalagi saat itu dua utusan Pemerintah Pusat yang dikirim Mohd. Hatta, Hasballah Daud dan Abdullah Arif turut datang ke Aceh untuk berbicara dengan pimpinan Darul Islam.

“Pemberontak Islam yang puluhan ribu banyaknya itu memperbicangkan persoalan tersebut sehingga menambah hangat politik di Aceh,” tulis AH Gelanggang dalam bukunya Rahasia Pemberontakan Aceh dan Kegagalan Politik Mr. SM Amin.

Di tengah memanasnya suasana politik di Aceh, Darul Islam memperingati ulang tahun kedua proklamasi Negara Islam Indonesia pada 21 September 1955. Saat itu, pemimpin tinggi DI/TII Aceh turut mengadakan konferensi di Batee Kureng.

Sembilan Poin Penting Rumusan Majelis Syura Amanah Konggres Batee Kureng

Anggota Negara Bagian Atjeh (NBA) NII. @Repro
Majelis Syura Negara Bahagian Atjeh, Negara Islam Indonesia, menggelar rapat pada 27 September 1955. Rapat ini sengaja digelar untuk meneruskan hasil Kongres Batee Kureng pada 23 September 1955.

Rapat ini kemudian memutuskan untuk menyetujui program politik Pemerintah Negara Bahagian Atjeh Kabinet Hasan Aly. Berdasarkan catatan AH Gelanggang dalam bukunya Rahasia Pemberontakan Atjeh dan Kegagalan Politik Mr. SM Amin, menyebutkan ada sembilan poin keputusan yang dihasilkan rapat tersebut.

Sembilan poin ini adalah:

Saat Daud Beureueh Menabuh Genderang Perang Melawan Jakarta

Tengku Daud Beureueh bersama pasukan. @Repro
TENGKU Daud Beureueh memproklamasikan Aceh menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia di bawah pimpinan Imam Besar Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, 20 September 1953. Berbekal sebagai pemimpin sipil, agama dan militer di Aceh, Daud Beureueh dengan mudah mendapat pengikut.

Apalagi Aceh yang sedianya menjadi daerah modal kemerdekaan bagi Indonesia malah dileburkan ke dalam Provinsi Sumatera Utara, tahun 1950.

Sejarawan berkebangsaan Belanda, Cornelis Van Dijk, menyebutkan kekecewaan Daud Beureueh terhadap Jakarta semakin berat dengan beredarnya rumor tentang sebuah dokumen rahasia dari Jakarta. Dokumen itu disebut-sebut dikirim oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo yang isinya berupa perintah pembunuhan terhadap 300 tokoh masyarakat Aceh.

Wednesday, October 1, 2014

Ratu Nahrisyah; Pemilik Makam Indah di Samudera Pasee

Ratu Nahrisyah memimpin Kerajaan Samudera Pasai pada tahun1416-1428 M. Ia dikenal sebagai seorang yang arif dan bijaksana. Nahrisyah mangkat pada tanggal 17 Zulhijjah 831 H atau 1428 M.

Beberapa referensi menyebutkan Kerajaan Nakur pernah menyerang Pase pada 1470 M. Dalam pertempuran tersebut, suami Nahrisyah tewas. Ia pun kemudian bersumpah di hadapan rakyatnya.

“Siapapun yang dapat membunuh Raja Nakur, saya bersedia untuk menikah dengannya dan memerintah kerajaan ini bersama suami saya tersebut.”