Sunday, October 12, 2014

Genderang Perang Daud Beureueh

Teungku Daud Beureueh menabuh genderang perang saat Pemerintah Indonesia tidak menghargai Aceh sebagai daerah modal. Ribuan warga Aceh pun berbaiat setia kepadanya.

“Kamoe keumeung peubuet buet.”

Inilah kalimat pertama yang disampaikan Ayah Gani saat bertandang ke Jakarta ketika menemui M. Nur El Ibrahimy sebelum meletusnya “Peristiwa Berdarah” di Aceh pada 21 September 1953. Selain Ayah Gani dan M. Nur El Ibrahimy, hadir dalam pertemuan tersebut Ali Muhammad dan Mohammad Amin Basyah. Ayah Gani turut mengajak M. Nur El Ibrahimy untuk ikut mendukung gerakan tersebut.

“Tidak perlu Teungku pulang ke Aceh,” katanya. “Cukup tinggal di Jakarta saja,” kata Ayah Gani.

“Kapan gerakan itu akan dimulai?” tanya M. Nur El Ibrahimy.

“Pokoknya tak lama lagi, sebab rakyat Aceh dewasa ini ibarat buah di pohon yang sudah cukup matang, jika tidak segera dipetik akan kematangan dan akan jatuh sendiri nanti,” ujar Ayah Gani.

“Bagaimana tentang persenjataan, pembiayaan, dan sumber bantuan selanjutnya apalagi jika gerakan itu memakan waktu yang lama?”

“Biaya sampai saat ini belum ada, akan tetapi kami perkirakan kalau pekerjaan kita sudah berjalan, biaya itu akan datang dengan sendirinya,” katanya. “Orang harus melihat dulu pekerjaan kita. Mengenai senjata hanya ada sekedarnya, yaitu bekas senjata rampasan Jepang yang masih ketinggalan pada sebagian rakyat dan diharapkan akan ada tambahannya, yaitu yang akan ‘dirampas’ dari polisi dan tentara,” kata Ayah Gani.

“Apakah ada negara luar yang akan membantu dengan senjata dan biaya?”

“Tidak ada.”

Mendengar jawaban tersebut, M. Nur El Ibrahimy kecewa. Ia mengatakan tidak bisa ikut serta dalam perjuangan karena tidak yakin pemberontakan tersebut akan berhasil. Ia yakin gerakan yang hanya bermodal semangat tidak akan pernah berhasil sampai ke tempat tujuan. “Dari pihak saya doa, mudah-mudahan saja berhasil,” kata M. Nur El Ibrahimy.

Demikianlah dialog panjang lebar antara Abdul Gani Usman alias Ayah Gani dengan M. Nur El Ibrahimy sebelum pemberontakan meletus di Aceh. Ayah Gani dikenal sebagai tokoh pemberontak yang kemudian menjadi Ketua Dewan Revolusi menggantikan posisi Teungku Daud Beureueh dalam struktur Negara Bahagian Aceh (NBA) Negara Islam Indonesia.

Dialog ini ditulis secara lengkap oleh M. Nur El Ibrahim dalam bukunya berjudul Peranan Teungku M. Daud Beureueh dalam Pergolakan Aceh. Namun sayangnya, El Ibrahimy tak menuliskan lokasi dan tanggal berlangsungnya dialog tersebut. Ayah Gani saat itu menggambarkan kepada M. Nur El Ibrahimy yang bermukim di Jakarta tentang kondisi di Aceh dan kegelisahan warga.

Dari beberapa rujukan sejarah diketahui ada tiga alasan utama yang memicu kegelisahan masyarakat Aceh tersebut. Pertama disebabkan oleh manuver atau latihan besar-besaran Mobrig (Brimob) di Aceh.

Latihan Mobrig ini dianggap sebagai pameran kekuatan pemimpin-pemimpin di Aceh setingkat bupati, sebagai suatu tantangan terhadap tuntutan rakyat yang menginginkan agar dilaksanakannya hukum Islam. Mobrig secara demonstratif telah melakukan latihan perang yang mengejutkan dan provokatif.

“Suasana semakin panas karena adanya latihan yang dilakukan oleh Pandu Islam, yang berjumlah hampir 4.000 orang di seluruh Aceh,” tulis M. Nur El Ibrahimy. Latihan ribuan Pandu Islam dianggap sebagai tindakan propaganda balasan yang dilakukan Mobrig.

Kedua, tertangkapnya Mustafa, utusan istimewa Kartosuwiryo untuk Daud Beureueh juga menimbulkan keresahan rakyat Aceh, terutama pendukung ulama. Mustafa telah membuka rahasia keterlibatan Daud Beureueh dengan Darul Islam pimpinan Kartosuwiryo. Apalagi kedatangan utusan istimewa Kartosuwiryo ini bertepatan dengan gejolak publik Aceh yang kecewa terhadap kepemimpinan Soekarno.

Saat itu masyarakat Aceh juga sedang diliputi keresahan akibat adanya kampanye sisa-sisa feodal (ulèe balang) yang mendesak Pemerintah Pusat mengambil tindakan tegas terhadap Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) usai Peristiwa Cumbok.

Penyebab terakhir adalah bocornya rahasia ‘les hitam’ di Medan yang di dalamnya berisi daftar 300 pemimpin Aceh yang akan ‘disekolahkan’. Daud Beureueh adalah salah satu nama yang tertera dalam daftar yang diduga dirampas dari Mustafa, utusan istimewa Kartosuwiryo tersebut. Namun hingga kini, ‘les hitam’ tersebut sama sekali tidak diketahui di mana rimbanya.

+++

TEUNGKU Daud Beureueh adalah anak Aceh tulen. Nama lengkapnya adalah Muhammad Daud. Dia kemudian menabalkan Beureueh sebagai pelengkap namanya sekaligus menjadi identitas asal kelahiran Muhammad Daud. Seperti diketahui, Beureueh adalah salah satu gampông di Beureuenun, Pidie.

Daud Beureueh sama sekali tidak mengenyam bangku sekolah. Ia hanya santri yang pernah belajar di Pesantren Titeue pimpinan Teungku Muhammad Hamid selama setengah tahun. Dia juga pernah mengenyam pendidikan agama di Pesantren Ie Leumbeu pimpinan Teungku Ahmad Harun alias Teungku Tanoh Mirah.

Usai mengenyam pendidikan di pesantren selama empat tahun, ia kemudian menikah dengan Teungku Halimah di Gampông Usi Meunasah Dayah. Ia kemudian mendirikan pesantren yang dikunjungi oleh santri-santri dari seluruh Aceh.

Tahun 1930, Daud Beureueh kemudian membentuk Jamiah Diniah dan setelahnya mendirikan Madrasah Sa’adah Abadiah di Blang Paseh, Sigli pada 1931.

Sosok Teungku Muhammad Daud Beureueh dikenal tegas karena pendiriannya dalam agama Islam. Ia kerap terlibat debat dengan pemerintah, terutama bidang pemerintahan dan agama. Daud Beureueh juga dikenal sebagai orator ulung yang mampu berbicara lama di depan publik. Suaranya keras dan menggelegak. Ia juga gampang sekali menyebutkan haram dan kafir jika dianggap sudah tidak sejalan dengan perintah agama.

Teungku Muhammad Daud Beureueh terpilih menjadi Ketua Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) sejak lembaga tersebut didirikan pada 1939. Organisasi inilah yang melawan Belanda di Aceh masa itu.

Saat Jepang menduduki Aceh, Teungku Daud Beureueh pernah ditahan karena dianggap sebagai ulama yang reaksioner. Namun ia kemudian dilepaskan kembali.

+++

BERITA tentang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia sampai ke Aceh pada bulan September 1945 lewat surat kawat yang dikirim A.K. Gani, Komisaris Pemerintah Pusat untuk Sumatera di Palembang. Kabar ini disambut gembira warga Aceh, termasuk para ulama kecuali sebagian ulèe balang.

“Ulèe balang- ulèe balang dalam daerahnya, baik dalam lapangan legislatif maupun dalam lapangan eksekutif tidak memberikan kemungkinan bagi penduduk melahirkan cita-citanya bilamana cita-cita itu tidak sesuai dengan peraturan-peraturan atau kebiasaannya yang berlaku,” tulis Insider, nama lain S.M. Amin dalam bukunya Atjeh Sepintas Lalu.

Pertentangan ulama dengan umara pun menjadi semakin panas karena hal ini. Akibatnya, PUSA mengambil sikap memerangi ulèe balang yang tidak ingin bergabung dengan Indonesia. Perang ini dikenal dengan Peristiwa Cumbok.

Ulèe balang saat itu berada di bawah komando Daud Cumbok sementara PUSA berada di bawah pimpinan Daud Beureueh. Pusat konflik sedarah ini terjadi di Lamlo yang kini disebut Kota Bakti, Pidie.

Setelah berhasil meredam perlawanan ulèe balang, para ulama sebagai pemenang menduduki jabatan pemerintahan yang kosong dari kedudukan bupati hingga camat. “Tetapi tidak semua jabatan itu dimonopoli oleh kaum ulama,” tulis M. Nur El Ibrahimy.

Menurut El Ibrahimy, dari lima bupati yang diangkat waktu itu, dua orang dapat dikategorikan dalam golongan ulama, satu bangsawan, satu PNI, dan satu orang independen. Sementara dari 12 wedana yang baru diangkat, empat di antaranya adalah ulama, tiga bangsawan, satu PNI, dan empat dari berbagai organisasi, termasuk dari PUSA.

Pergolakan politik di Aceh terus menerus antara ulama dan umara akhirnya membuat nama Daud Beureueh muncul sebagai tokoh politik terkuat di Aceh. Bahkan Daud Beureueh lebih terlihat dominan dibandingkan tokoh-tokoh ulama lainnya. Ia lantas diangkat sebagai Gubernur Aceh, Langkat, dan Tanah Karo pada 1948 hingga 1952.

Sebelum masa jabatannya berakhir, Pemerintah Pusat kemudian membubarkan Provinsi Aceh dan meleburkannya di bawah Sumatera Utara pada 1950. Hal ini dianggap oleh lawan politik Daud Beureueh yang menjadi pemicu pemberontakan di Aceh. Sejak itu Daud Beureueh dikabarkan terlibat kontak dengan Mustafa, utusan khusus Darul Islam pimpinan S.M. Kartosuwirjo.

Menurut Ibrahimy yang juga menantu Abu Beureueh, Mustafalah yang membuka rahasia perhubungan Teungku Muhammad Daud Beureueh dengan Kartosuwiryo dan menyerahkan kepada Kejaksaan di Jakarta "surat pengangkatan" Teungku Daud Beureueh oleh Kartosuwiryo sebagai Gubernur Militer DI di Aceh.

"Keterangan yang diberikan oleh Mustafa itu merupakan pangkal rantai bagi segala kejadian yang bersangkut paut satu dengan lain sampai kepada pecahnya peristiwa berdarah pada tanggal 21 September 1953," tulis Ibrahimy.

Sejarawan berkebangsaan Belanda, Cornelis Van Dijk, menyebutkan kekecewaan Daud Beureueh terhadap Jakarta semakin berat dengan beredarnya rumor tentang sebuah dokumen rahasia dari Jakarta. Dokumen itu disebut-sebut dikirim oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo yang isinya berupa perintah pembunuhan terhadap 300 tokoh masyarakat Aceh.

Rumor ini disebut sebagai “les hitam”. Perintah ini dikabarkan diambil oleh Jakarta berdasarkan kecurigaan dan laporan bahwa Aceh sedang bersiap untuk sebuah pemberontakan guna memisahkan diri dari Indonesia. Namun tidak ada yang dapat membuktikan keberadaan dokumen tersebut.

Meskipun secara tersirat, Van Dijk menduga dokumen itu ada. “Daftar nama itu barangkali sengaja dibocorkan dengan tujuan tertentu. Orang Aceh terkemuka merasa mereka mungkin akan ditangkap dan, karena itu, memutuskan lari ke gunung,” kata Van Dijk.

Sementara sejarawan Belanda lainnya, B.J. Boland, dalam bukunya The Struggle of Islam in Modern Indonesia, menyebutkan sebetulnya surat itu tak pernah ada. “Desas-desus itu diembuskan oleh politikus sayap kiri di Jakarta untuk menghantam gerakan Islam di Aceh,” katanya.

Menyikapi meletusnya pemberontakan tersebut, Pemerintah Republik Indonesia melalui Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo memberikan penjelasan secara runut di depan DPR terkait pemberontakan di Aceh, pada 28 Oktober 1953. Selanjutnya, Ali Sastroamidjojo juga menyangkal telah menyusun daftar hitam tersebut dalam rapat paripurna DPR pada 2 November 1953.

“Les hitam adalah bukti yang menimbulkan kecurigaan kita bahwa pencetus peristiwa berdarah itu adalah permainan lawan-lawan politik Teungku Daud Beureueh untuk menghancurkan beliau dan kawan-kawan,” kata Nur El-Ibrahimy, menantu Beureueh sekaligus saksi sejarah Aceh dalam bukunya Teungku Muhammad Daud Beureueh: Peranannya dalam Pergolakan di Aceh.

Faktor lain yang menyebabkan meletusnya pemberontakan DI TII adalah tidak adanya perhatian penuh yang diberikan Indonesia. Pendidikan Aceh yang semakin tertinggal usai kemerdekaan dan status otonomi khusus memberlakukan syariat Islam yang tak kunjung dipenuhi Bung Karno, menjadi alasan lainnya Daud Beureueh mendengungkan perang terhadap Jakarta.

Pemerintahan Ali Sastroamidjojo menyikapi genderang perang Daud Beureueh dengan mengirimkan tentara ke Aceh. Hal ini menyebabkan Daud Beureueh dan PUSA hijrah ke gunung dan pedalaman Aceh.

Berbeda dengan Pemerintah Pusat, Gubernur Sumatera Utara, S.M. Amin ingin memadamkan pemberontakan di Aceh dengan jalan damai. Meskipun tidak sepakat dengan perjuangan yang dilakukan Daud Beureueh, ia tidak ingin darah masyarakat Aceh tumpah di bumi persada.

S.M. Amin kemudian mengirimkan surat kepada Daud Beureueh, Husin Al Mujahid, Hasan Ali, Husin Jusuf, T.M. Amin, Tgk. M. Ali Piyeung, A. Djalil, dan Ishak Amin. Mereka adalah pimpinan Darul Islam di Aceh yang dianggap memiliki kekuatan untuk meredam pergolakan di bumi Serambi Mekah.

Upaya pendekatan dilakukan S.M. Amin melalui surat dan kurir dalam beberapa kali, tetapi surat tersebut tak kunjung berbalas. Upaya yang dilakukan S.M. Amin tidak berjalan sesuai rencana.

Daud Beureueh bersama pimpinan gerakan lainnya terus menerus terlibat kontak senjata dengan tentara Indonesia. Bahkan, kontak politik antara Gubernur Sumatera Utara S.M. Amin dengan Teungku M. Daud Beureueuh sejak Desember 1955 membuat situasi Aceh memanas. Apalagi saat itu dua utusan Pemerintah Pusat yang dikirim Mohd. Hatta, Hasballah Daud dan Abdullah Arif turut datang ke Aceh untuk berbicara dengan pimpinan Darul Islam.

“Pemberontak Islam yang puluhan ribu banyaknya itu memperbicangkan persoalan tersebut sehingga menambah hangat politik di Aceh,” tulis A.H. Gelanggang dalam bukunya Rahasia Pemberontakan Aceh dan Kegagalan Politik Mr. S.M. Amin.

Di tengah memanasnya suasana politik di Aceh, Darul Islam memperingati ulang tahun kedua proklamasi Negara Islam Indonesia pada 21 September 1955. Saat itu, pemimpin tinggi DI/TII Aceh turut mengadakan konferensi di Batee Kureng.

Konferensi ini lantas berujung menjadi Kongres Rakyat karena banyaknya pimpinan daerah dan warga yang hadir pada 23 September 1955. Kongres ini kemudian dikenal dengan Kongres Batee Kureng.

Setelah digelarnya Kongres Batee Kureng, banyak perubahan yang dilakukan Aceh saat itu, di antaranya daerah Aceh yang semula bergabung dalam bagian Negara Islam Indonesia berubah menjadi Negara Bahagian Atjeh (NBA) Negara Islam Indonesia (NII). Selain itu, sistem pemerintahan terpusat yang dualis turut berubah menjadi pemerintahan biasa.

“Di mana sipil dijalankan oleh sipil dan kekuasaan militer dipegang langsung oleh militer sendiri,” tulis A.H. Gelanggang.

Kongres Batee Kureng juga mengangkat dan melantik Teungku M. Daud Beureueh menjadi Kepala Negara NBA NII serta Wali Negara, Negara Bahagian Aceh. Sementara Teungku Husin Mudjahid dilantik sebagai Ketua Parlemen sementara.

Kongres Batee Kureng juga turut membentuk kabinet pertama Negara Bahagian Atjeh. (Lihat infografis)

+++

DELAPAN tahun mengangkat senjata melawan Indonesia, banyak pengikut DI TII kelelahan. Jiwa perjuangan mereka runtuh bersama usia pucuk pimpinan yang kian renta. Bahkan di antara pimpinan DI/TII mengkhianati perjuangan Daud Beureueh dan menjalin kontak dengan Jakarta. Mereka kemudian turun gunung secara diam-diam tanpa sepengetahuan Daud Beureueh.

Di sisi lain, gerakan Darul Islam Aceh juga terpecah menjadi dua kubu. Di satu sisi Daud Beureueh, Hasan Ali, Ilyas Leubee dan kawan-kawan yang masih setia kepadanya sementara di sisi lain adalah Hasan Saleh, Ayah Gani, dan Husin Al Mujahid.

Kemelut politik yang terjadi dalam kalangan pemberontak ini mencapai puncaknya pada 15 Maret 1959. Saat itu Hasan Saleh dan kawan-kawan mengeluarkan Seruan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Negara Bahagian Aceh (Majelis Syura) yang menyatakan pengambilalihan kekuasaan dari Wali Nanggroe Teungku Daud Beureueh. Jabatan tersebut kemudian diisi oleh Hasan Saleh yang sebelumnya menjabat sebagai Menteri Utusan Perang.

Selain itu banyak pasukan Daud Beureueh yang menyerah secara diam-diam dan mengadakan kontak dengan Pangdam I Iskandar Muda, Kolonel M. Jassin. Saat itu, desakan agar Daud Beureueh turun gunung terus menggelora. Bahkan M. Jassin turut merayu Teungku Daud Beureueh agar menyerah dan kembali ke pangkuan Republik Indonesia. Dia juga menjanjikan akan memberikan perlindungan penuh tanpa ada kekerasan bagi anggota Darul Islam yang menyerah.

M. Jassin juga melakukan pendekatan dengan Daud Beureueh melalui hubungan emosional. Hati Daud Beureueh yang keras mempertahankan perjuangan hingga titik darah penghabisan akhirnya luluh. Namun dirinya meminta tanggapan kepada seluruh rakyat Aceh sebelum mengakhiri pemberontakan melalui Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh atau MKRA. Pemberontakan Aceh padam meskipun pengaruh Daud Beureueh masih diperhitungkan.

Orde Baru yang berkuasa saat itu kemudian mengasingkan Daud Beureueh ke Jakarta pada Mei 1978. Hal ini dilakukan untuk mencegah karismanya menggelorakan perlawanan rakyat Aceh melawan Indonesia.

Meskipun mendapat santunan dan segala kebutuhannya ditanggung pemerintah di Jakarta, Daud Beureueh sebenarnya terisolasi di pengasingannya. “Tak ada penyakit yang serius yang diidap Teungku Daud kecuali penyakit rindu kampung halaman,” kata El-Ibrahimy.

Daud Beureueh kemudian dipulangkan ke Aceh. Di sana pemberontakan Aceh babak baru sedang bergelora di bawah komando Hasan Tiro. Akibat karismanya yang masih dihormati masyarakat Aceh, Daud Beureueh terus berada di bawah pengawasan militer hingga akhirnya kesehatan mantan Gubernur Militer Aceh ini merosot tajam.

Sosok yang pernah memimpin Aceh ini kemudian meninggal di Aceh pada 1987. Nafasnya berhenti hanya dua tahun sebelum pemerintah menetapkan Aceh sebagai daerah operasi militer (DOM)-masa yang membuat luka di Tanah Rencong kembali terbuka.[]

===========================

Susunan Kabinet Pertama NBA NII 1955:

Perdana Menteri Hasan Aly.
Menteri Dalam Negeri: Hasan Aly.
Menteri Keuangan: TA Hasan
Menteri Kesehatan: TA Hasan
Menteri Pertahanan/keamanan Kolonel Husin Jusuf
Menteri Kehakiman: Tgk. Zainul Abidin.
Menteri Penerangan: A. G. Mutiara.
Menteri Ekonomi/Kemakmuran : T. M. Amin.
Menteri Pendidikan: Tgk. M. Ali Kasim.[]

No comments:

Post a Comment