Monday, June 14, 2021

15 Juni; Pang Nanggroe Menyerang Bivak Keude Bawang Idi

Ilustrasi marsose Belanda
SATU orang Belanda tewas sementara delapan lainnya luka-luka akibat serangan mendadak ke bivak yang dilakukan Pang Nanggroe bersama 20 prajuritnya, di kawasan Keude Bawang, Idi, pada 15 Juni 1907. Selain korban tewas dan luka-luka, Belanda juga kehilangan satu pucuk senapan. 

Serangan itu sungguh tidak disangka-sangka oleh Belanda. Pasukan Pang Nanggroe yang hanya bersenjatakan pedang dan senjata tajam lainnya mampu menerabas bivak, menghancurkan pertahanan, dan mengoyak-ngoyak moral prajurit Belanda.

"Bayangkan kembali betapa ramainya buah mulut mengejek-ngejek kita di keude-keude," kata Zentgraaff.

Serangan yang dilakukan oleh Pang Nanggroe itu tidak berselang lama setelah kematian Teuku Ben Pira, saudara laki-laki Cut Meutia. Teuku Ben Pira merupakan pemimpin gerilyawan sepeninggal Teuku Chi' di Tunong yang tewas dihukum tembak oleh Belanda. Sisa pasukan Teuku Ben Pira dan Teuku Chi' di Tunong belakangan bergabung di bawah kepemimpinan Pang Nanggore. 

Gabungan pasukan tersebut melahirkan perlawanan sengit di lapangan. Pang Nanggroe mendapat bantuan dari Pang Lateh dalam memimpin pasukan Aceh yang tersisa di wilayah keuleebalangan Keureuto. 

Penaklukkan Konstantinopel

MEHMED II lahir pada 30 Maret 1432. Secara luas dia dikenal sebagai Muhammad al Fatih dan merupakan penguasa ketujuh pada Kekhalifahan Turki Utsmaniyah.

Popularitasnya dibangun dengan berhasil menaklukkan Konstantinopel, ibu kota kekaisaran Romawi Timur alias Bizantium. Al Fatih yang berarti 'Sang Penakluk' adalah gelar yang disandang Mehmed II seorang putra Sultan Murad II Han, dari ibu Hüma Hatun, seorang budak-selir.

Sunday, May 9, 2021

Jejak Gubernur Belanda di Aceh (2)

Sumber: KITLV

KEGANASAN van der Heijden selaku pemimpin sipil dan militer di Aceh menjadi sorotan oleh kalangan internal Belanda. Sikapnya yang tidak beradab dalam menghadapi Aceh bahkan disebut sebagai prilaku bar-bar. Hal inilah yang membuat Belanda mempertimbangkan kembali posisi van der Heijden sebagai penguasa tertinggi di Aceh.

Dr Julius Jacobs dalam buku “Het Familie en kampongleven in Groot Atjeh” bahkan memaparkan fakta-fakta memalukan yang dilakukan oleh Belanda di bawah kepemimpinan Heijden. Dia meminta parlemen Belanda tidak melupakan keganasan yang dilakukan oleh tentara mereka di Aceh tersebut.

Tentang kebrutalan Belanda ini, Dr Jacobs mengaku melihatnya sendiri di lapangan ketika berada di Aceh.

“… Men spreke niet van oorlogsrecht, zools mij zoo dikwijls is voorgeworpen. Oorlogrecht is het iemand neer te schieten, die met een klewang of donderbus in de hand op ons toetreedt of in onze handen valt; doch het is geen oorlogsrecht wanneer een grijsaad en een jongen van 12 jaar, die op de sawah werkzaam en beiden ongewapen zijn, worden neergeschoten (seseorang tidak dapat berbicara tentang hukum perang, seperti yang sering disampaikan kepada saya. Merupakan hak perang untuk menembak seseorang yang mendekati atau menyerang kita dengan klewang atau blunderbuss di tangan, tetapi bukan hukum perang ketika seorang tua bangka dan seorang anak laki-laki berusia 12 tahun yang sedang bekerja di sawah, tanpa senjata, ditembak begitu saja,” tulis Dr Jacobs menyorot keganasan van der Heijden.

Tentu saja van der Heijden yang menghadapi sidang militer membantah semua tuduhan atas dirinya, termasuk aksi pembongkaran makam para Sultan Aceh. Dia mengatakan kebijakan serupa juga dilakukan oleh para Gubernur Belanda di Aceh sebelum dia berkuasa. (Baca: Jejak Gubernur Belanda di Aceh).

Tuesday, May 4, 2021

Jejak Gubernur Belanda di Aceh

“…kita hanya seorang miskin dan muda, dan kita sebagai juga Gubernemen Hindia Belanda, berada di bawah perlindungan Tuhan yang maha kuasa…”

Pernyataan ini merupakan jawaban Sultan Alaiddin Mahmud Syah terhadap ultimatum Belanda yang bersikukuh menyerang kedaulatan Aceh. Surat pernyataan perang oleh Belanda itu ditulis pada 26 Maret 1873, dan disampaikan kepada Sultan Aceh pada 1 April 1873.

Pernyataan perang itu antara lain berbunyi. “Dengan ini, atas dasar wewenang dan kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh Pemerintah Hindia Belanda, ia atas nama Pemerintah, menyatakan perang kepada Sulthan Aceh..”

Beberapa kali imperialis tersebut menyurati Sultan Aceh dan sekian kalinya pula mendapatkan jawaban yang mengecewakan. Hingga akhirnya, Komisaris Pemerintah Belanda, Niewehhuijzen memerintahkan kapal perang Citadel van Antwerpen untuk memborbardir dan mendaratkan pasukannya di Ulee Lheue sejak 26 Maret 1873.

Perang berlangsung sengit hingga 31 tahun lamanya. Sejak deklarasi perang ditabuh dari kapal Citadel, Belanda baru berhasil menangkap Sultan Aceh Tuanku Muhammad Daud Syah pada 15 Januari 1903. Penangkapan itu pun dilakukan secara culas, yaitu dengan menawan permaisuri dan putra mahkota terlebih dahulu.

Alhasil, Sultan Aceh bersedia datang menemui Belanda dengan bertelanjang kaki–isyarat bahwasanya Tuanku Muhammad Daud Syah hanyalah seorang rakyat biasa. Belanda tidak paham akan hal itu dan dengan tergesa-gesa mengumumkan bahwa Sultan Aceh telah kalah perang. Padahal, di lapangan, situasi pertempuran masih terjadi hingga 39 tahun selanjutnya. Komando perang telah diambil alih oleh para ulama secara estafet. (Baca: Januari dalam Sepenggal Catatan Sejarah Aceh)

Selama perang puluhan tahun itu, Belanda turut membentuk sistem pemerintahan resmi di Aceh. Sistem pemerintahan ini pernah dijabat oleh sipil dan militer, yang belakangan disebut Gubernur.

Saturday, April 24, 2021

Januari dalam Sepenggal Catatan Sejarah Aceh

CATATAN tentang sejarah Aceh sangat panjang untuk dapat diceritakan secara mendetil atau ditulis secara lengkap dalam satu buku. Butuh penelitian yang serius untuk mengungkap fakta dari catatan sejarah Aceh selama ini. Meskipun demikian, sepenggal catatan sejarah Aceh itu telah berhasil didokumentasikan oleh H Mohammad Said dalam Aceh Sepanjang Abad Jilid I dan Jilid II.

Dalam catatan tersebut, tidak sepenuhnya sejarah Aceh ditulis lengkap karena diduga keterbatasan waktu dan belum canggihnya peralatan penelitian pada masa itu. Catatan sejarah tersebut perlu dilanjutkan, terutama dalam hal dokumentasi tanggal sebuah peristiwa yang kelak menjadi sejarah sebuah bangsa.

Dari hasil penelusuran singkat yang dilakukan SumateraPost.com, terdapat banyak peristiwa besar di bulan Januari dalam sejarah perjalan daerah ini. Mulai dari serangan Belanda ke Aceh hingga penyanderaan kapal Inggris oleh Raja Teunom.

Di bulan Januari juga tercantum peristiwa pembuangan alias pengasingan Cut Nyak Dhien dan juga penyerahan diri Sultan Aceh Darussalam Tuanku Muhammad Daud kepada Belanda.

Berikut sebagian peristiwa penting yang pernah terjadi di Aceh sepanjang Januari, versi H Mohammad Said dalam Aceh Sepanjang Abad yang kemudian dirangkum oleh SumateraPost.com:

3 Januari Dalam Catatan Sejarah Dunia

PERISTIWA hari ini menjadi sejarah di masa mendatang yang akan diingat selalu oleh generasi penerus, baik itu sejarah kelam maupun sejarah kejayaan. Pada 3 Januari menurut almanak Masehi, terdapat sejumlah peristiwa yang masuk dalam catatan sejarah di dunia.

Lalu sejarah apa saja yang terjadi pada 3 Januari ini?

Berikut sejumlah rangkuman yang dilansir sumaterapost.com dari berbagai sumber:

3 Januari 1496

Leonardo da Vinci mengalami kegagalan dalam percobaan alat terbang. Sebenarnya Da Vinci tidak pernah membuat rancangannya menjadi sebuah alat sama sekali. Sepanjang hidupnya, Da Vinci pun tidak pernah membuktikan bahwa manusia bisa terbang karena dirinya belum pernah mencobanya.

3 Januari 1777

Perang Revolusi Amerika Serikat: Pasukan Amerika Serikat dipimpin Jenderal George Washington mengalahkan pasukan Inggris dipimpin Jenderal Lord Cornwallis dalam Pertempuran Princeton.

3 Januari 1815

Austria, Britania, dan Perancis membentuk traktat pertahanan terhadap Prusia dan Rusia. Langkah itu bertujuan untuk mempersiapkan diri menghadapi ancaman keamanan dari Rusia dan Prusia.

3 Januari 1823

Stephen F. Austin menerima hibah tanah di Texas dari pemerintah Meksiko, yang menjadi cikal bakal Republik Texas dan negara bagian Texas di kemudian hari. Austin kemudian diberi julukan Father of Texas. Kini, wilayah tersebut merupakan negara bagian di Amerika Serikat (AS).

3 Januari 1833

Britania menguasai Kepulauan Falkland di Atlantik Selatan, dekat Argentina. Kepulauan tersebut kemudian diperebutkan Inggris dan Argentina sehingga memicu meletusnya Perang Falkland atau Perang Malvinas pada 1982. Namun demikian, Kepulauan Falkland masih menjadi wilayah kekuasaan Inggris hingga kini.

Wednesday, April 21, 2021

Diwana Singkat ke Gedung Sentral Telepon Belanda

ANGKA 1903 berwarna biru terlihat kontras dengan dinding papan berkelir putih, di bangunan segi delapan yang ada di pusat Kota Banda Aceh itu. Ada dua ventilasi berlogo salib khas bangunan Eropa abad 19 mengapit di dua sisi angka tersebut. Sementara di atasnya masih kokoh tertancap atap berbentuk limas dengan seng yang sudah berkarat. Di bawah angka itu terdapat dua daun jendela kaca tiga kolom yang diapit oleh ventilasi kayu berjejer persegi panjang.

Di salah satu dinding lainnya, yang luasnya sedikit lebih kecil itu, ditempel dua balok kira-kira berukuran 5×5. Jika ditelisik secara kasat mata, balok itu seperti berbentuk menyerupai huruf X. Namun jika diperhatikan secara seksama, balok itu juga seperti membentuk huruf A yang saling menindih.

Jauh di bawah angka 1903 tersebut terdapat sebuah pintu berkubah yang menjadi satu-satunya akses ke lantai dasar bangunan. Pintu ini ditempel ke dinding berkonstruksi batu persegi panjang berukuran besar.

Bangunan itu berada di kawasan Simpang Jam, Kota Banda Aceh. Di sayap timur kompleks bangunan itu merupakan Taman Ghairah atau kelak dikenal Taman Putroe Phang. Sementara di arah barat kompleks bangunan tersebut berdiri sebuah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU). Tak jauh dari bangunan segi delapan ini juga terdapat Kompleks Gunongan, dan kompleks pemakaman Belanda yang dikenal Peucut alias Kherkhoff.

Tuesday, April 20, 2021

Wabah dalam Catatan Sejarah Sumatra

HIRUK pikuk Perang Dunia I telah meredam informasi tentang Pandemi Influenza 1918. Tegangnya upaya damai pasca perang pun menutup fokus media massa untuk memberitakan wabah yang berdampak pada 3 miliar penduduk dunia.

Warga Amerika Serikat yang kehilangan banyak tentara karena terjangkit influenza di tahun 1918, juga tidak mengingat dengan baik pandemi tersebut. Padahal banyak kematian akibat influenza melanda warga Orleans, Chicago, dan San Fransisco waktu itu.

Sejarawan Kesehatan Amerika Serikat, Alfred W Crosby dalam buku “Pandemi Influenza di Hindia Belanda” mengatakan hanya Thomas A Bailey yang pernah menyebutkan tentang pandemi influenza di Amerika. Karya Bailey kelak menjadi sumber utama untuk mahasiswa sejarah Amerika jika merujuk pada sejarah kesehatan di negara itu.

Crosby mengatakan sejarah pandemi turut dilupakan lantaran tidak ada tokoh penting yang tewas dalam wabah itu. Meskipun pada saat itu, influenza 1918 membunuh putri Komandan Divisi 26 American Expeditionary Force, Jenderal Edwards. Wabah itu juga merenggut nyawa anak-anak Senator Albert B Fall. Hanya Max Weber sang ekonom dan sosiolog Jerman yang meninggal dunia karena pneumonia di tahun 1920. Dia sebelumnya tertular flu Spanyol.

Lantas bagaimana dengan kondisi pandemi 1918 di Hindia Belanda, nama Indonesia sebelum merdeka?

Monday, April 19, 2021

Perlawanan Teuku Ben Peukan Berakhir di Daftar Pengasingan

PEPERANGAN Belanda merebut wilayah-wilayah Kesultanan Aceh tidak berlangsung mudah. Blokade-blokade yang diterapkan pun tak menyurutkan semangat perjuangan para pasukan sultan. Perwira-perwira Belanda pun tak sedikit yang dicopot dari jabatannya, hilang nyawanya, dan juga cidera akibat perang di wilayah paling barat pulau Sumatra itu.

Alotnya pertempuran Belanda di Aceh itu disebabkan oleh banyaknya pemimpin pasukan yang terkenal cerdik dan setia kepada Sultan Aceh. Pun di antara mereka kemudian ada yang menyerah, itu perkara lain.

Dari sekian banyak nama pemimpin-pemimpin perlawanan penjajahan Belanda itu, tersebutlah nama Teuku Ben Peukan dari Meureudu. Sosok ini merupakan satu dari sekian banyak pemimpin pasukan di Aceh yang telah menyatakan ikrar setia kepada sultan. Teuku Ben Peukan pun salah seorang pemimpin di Aceh yang masuk dalam daftar Belanda untuk diasingkan meski sudah menyerah.

Setelah Dalam dan sebagian besar wilayah Aceh Besar terus menerus terjadi perang, Sultan Aceh memindahkan markas besar ke Pidie. Pada bulan Januari 1897, setelah pemimpin pasukan Teuku Umar terdesak, Sultan Muhammad Daud Syah mengadakan musyawarah besar di Garot. Kehadiran Sultan Aceh turut didampingi oleh Panglima Polem.

Para Perawat Ingatan Aceh


GENERASI
Aceh dalam beberapa dekade terakhir nyaris kehilangan identitas lantaran lupa dengan sejarah bangsanya sendiri yang pernah berjaya di masa lalu. Pengetahuan tersebut hampir saja tercerabut hingga ke akar-akarnya akibat perang yang berkepanjangan dan musnahnya ribuan kitab di beberapa dayah tradisional, pada abad 18 hingga abad 19 Masehi. Beruntung pasca Indonesia merdeka, beberapa tokoh kembali membuka identitas Aceh yang sempat tenggelam meskipun dibutuhkan banyak sekali penelitian mendalam untuk dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Di antara para tokoh itu adalah Ali Hasjmy mantan Gubernur Aceh, Tgk Abdullah Ujong Rimba, Hasan Tiro sang deklarator Gerakan Aceh Merdeka (GAM), HM Zainuddin, dan H M Said.

Selain tokoh-tokoh tersebut ada pula Isa Sulaiman, Gade Ismail, T Ibrahim Alfian, dan Rusdi Sufi yang semasa hidup pernah tercatat sebagai akademisi Universitas Syiah Kuala. Begitu pula dengan TA Talsya dan H Harun Keuchik Leumik yang karya-karyanya identik dengan wawasan masa lalu.

Namun sederet tokoh tersebut kini telah kembali menghadap Sang Khalik. Ada yang meninggal karena faktor usia, sakit serta ada juga yang menjadi korban gempa dan tsunami Aceh pada 26 Desember 2004 lalu.

Meskipun para sejarawan tersebut telah meninggal, akan tetapi karya-karyanya yang sedikit banyak telah mengungkap siapa Aceh di mata dunia di abad pertengahan, masih dapat ditemukan dan dikonsumsi generasi muda saat ini. Walaupun banyak karya-karya sejarah itu perlu diluruskan, dikaji secara mendalam atau dibuktikan secara ilmiah agar dapat diadopsi di bangku pendidikan serta tidak lari dari fakta atau peristiwa masa lalu yang cenderung berubah karena kondisi politik dalam negeri atau global.

Mereka-mereka yang telah pergi itu turut meninggalkan “pondasi sejarah” untuk dapat digali lagi oleh generasi muda Aceh masa depan. Kepergian mereka merupakan pukulan besar bagi Aceh, meskipun kemudian ada yang memberanikan diri meneruskan tongkat estafet untuk menjaga, meneruskan, dan meneliti sejarah Aceh secara lebih mendalam.

Diantara para perawat ingatan itu ada yang berasal dari akademisi dan memiliki latarbelakang ilmu sejarah, antropologi, sosiologi atau arkeologi dari bangku kuliah, tetapi ada juga yang berasal dari masyarakat biasa, kolektor dan bahkan wartawan.

Jejak Sultan Aceh di Tepi Kota Medan

"TANGAN saya mencoba membersihkan semak-semak sekitar makam, mematahkan ranting daun petai liar, mencari sambungan inskripsi yang patah di sela reruntuhan. Segera nampak balok batu besar dan sebaran batu bata yang unik yang menandakan ini bukan makam orang biasa, ini kompleks makam orang besar.”

Inilah kalimat panjang yang digoreskan Dr Ichwan Azhari, salah satu akademisi yang bekerja di Universitas Negeri Medan.

Kesaksian Dr Ichwan ini berkaitan erat dengan kunjungannya ke kawasan Klambir Lima, yang lokasinya berjarak enam kilometer di perbatasan barat laut Kota Medan, Sumatera Utara. Ada nisan terbengkalai di daerah yang berada di bibir kebun PTPN 2 itu. Nisan itu diduga berkaitan erat dengan sejarah Pasai atau Aceh Darussalam.

Nisan yang terabaikan itu dulunya berada dalam kawasan Kesultanan Aru.

Pulau Tuan dalam Sebuah Catatan

DARATAN itu mungkin tak seluas lapangan sepak bola Harapan Bangsa yang ada di Lhong Raya, Aceh Besar. Bentang alamnya berupa bukit dan bukan dataran rendah sehingga tak ada pemukiman di sana. Namanya Pulau Tuan.

Pulau ini berjarak sekitar 1,37 Kilometer dari Ujong Pancu, daratan paling ujung Pulau Sumatra yang berada di wilayah administratif Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar. Sementara jika ditarik garis lurus melalui aplikasi Google Maps, maka jarak Pulau Tuan dengan Ulèe Lheue hanya terpaut 3,84 Kilometer saja. Artinya jika bergerak dari arah Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, jarak tempuh garis lurus ke pulau itu sekitar 7,59 Kilometer.

Sepintas tidak ada hal istimewa di Pulau Tuan yang tak bertuan itu. Namun jika ditilik dari beberapa catatan lawas, maka Pulau Tuan menjadi satu objek penting bagi peneliti sejarah.

Lubang Buaya Cilaka

MALAM kian larut ketika para pria penggali sumur tua itu menemukan jempol kaki manusia menyembul dari kedalaman, dari tumpukan sampah, tanah, dan daun pisang. Seketika pria tersebut pingsan. Entah tak kuasa melihat jasad di dalam sumur tua, keracunan, atau mungkin faktor kelelahan bekerja di bawah todongan senjata.

Sumur tua itu belakangan dikenal Lubang Buaya, salah satu lokasi paling seram karena dikaitkan dengan kekejaman Partai Komunis Indonesia (PKI) bersama Gerwani. Lubang Buaya berada di kawasan komplek Halim Perdana Kusuma, wilayah kuasa Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Udara. Pada masa itu, kisaran Oktober 1965, kawasan Lubang Buaya merupakan areal perkebunan karet. Ada satu rumah tua di sana, rumah salah seorang petani Desa Lubang Buaya, yang diduga menjadi “sarang” para gerombolan melatih milisi.

Pria yang pingsan di dalam sumur tua itu bernama Suparman, salah seorang warga di sekitar kawasan Lubang Buaya. Suparman bersama-sama dengan tujuh warga lainnya diminta bantuan oleh lurah setempat. Awalnya mereka diajak untuk membenahi jembatan. Namun faktanya, mereka justru diminta untuk menggali lubang di perkebunan karet Lubang Buaya.

Hari Pang Nanggroe Syahid di Tengah Rawa

PANG Nanggroe yang mengawini janda Chik Tunong, Cut Meutia, telah menasbihkan dirinya untuk syahid melawan Belanda. Sejak keduanya menikah, Belanda kerap dibikin pusing hingga harus mengejarnya ke hutan belantara.

Sejak menggantikan peranan Chik Tunong sebagai suami Cut Meutia, Pang Nanggroe terus menerus melancarkan serangan kepada Belanda. Ia berhasil menyerang kereta api milik Belanda sebanyak dua kali, menembaki kereta api sebanyak lima kali, menyerang bivak Lhoksukon dua kali, dan penyerangan dengan klewang terhadap perwira Belanda sebanyak lima kali. Semua aksinya tersebut berhasil dilakukan dalam rentang waktu tiga bulan.

Ia juga berhasil merusak rel kereta api sebanyak 22 kali dan menyabotase tiang telepon sebagai jalur komunikasi Belanda sebanyak 54 kali, dalam waktu yang sama.

Pang Nanggroe juga berhasil mendarat dengan perahu lewat laut saat masuk ke institusi sipil Belanda di Idi untuk merampas senjata. Belanda kemudian menjulukinya sebagai Watergeus Aceh. Watergeus adalah julukan untuk perampas Den Briel dalam perang Belanda-Spanyol tahun 1572.

Seteru Dua Negeri Serumpun

DENGAN suara lantang, Presiden Soekarno menyerukan “Ganyang Malaysia” di hadapan puluhan ribu rakyat Yogyakarta, 23 September 1963. Massa menjadi histeris. Inilah percikan awal pertikaian antara Indonesia dengan Malaysia yang mencuat setelah sekian lama terpendam.

Pertikaian antar saudara serumpun itu dipicu oleh penolakan Indonesia terhadap pendirian Federasi Malaysia. Soekarno menilai, pembentukan Federasi Malaysia tak lebih dari salah satu bentuk persekongkolan kolonialis dan membahayakan Indonesia. Apalagi kala itu Indonesia baru saja mendeklarasikan kemerdekaannya.

Sementara Pramoedya Ananta Toer dalam pengantarnya untuk buku karya Greg Poulgrain The Genesis of Konfrontasi: Malaysia, Brunei, Indonesia 1945-1965 menyebut, konfrontasi sebagai upaya untuk membantu gerakan perjuangan antikolonialisme.

Pram menyebutkan Inggris kala itu tidak siap kehilangan sumber mata uang dari Malaya, sebutan lama untuk Malaysia. Inggris juga belum rela kehilangan sumber daya dari Singapura serta Kalimantan Utara atau Brunei Darussalam.

Kisah Pengkhianatan di Peperangan Samalanga

“MARI sobat, mari saudara/ Pergi perang di Samalanga/ Mari kumpul dan bersuara/ Lalu menyanyi bersama-sama// Satu nyanyian yang amat merdu/ Menghibur hati yang amat duka/ Hari ini kita di Meureudu/ Esok lusa jalan ke muka// Dari Meureudu jalan di sawah/ Itu jalan yang amat susah/ Tempo-tempolah liwat rawa/ Asal bisa dapat ke muka// Kalau jalan harus berdiam/Karna musuh berjaga-jaga/ Kalau dengar bunyi meriam/ Itu tandalah musuh ada// Sungguh musuh banyak sekali/ Ada berdiri di dalam benteng/ Harus kami berlari-lari/Waktu komandolah: Ataqeeren//…”

Inilah beberapa penggal syair yang diciptakan Iz Thenu, salah seorang pendeta Belanda yang bertugas membina rohani para prajurit pribumi berjudul “Samalanga”. Thenu yang lahir pada 14 September 1868 di Hutumuri, Ambon, itu terinspirasi pada peperangan Belanda yang susah payah dalam merebut Samalanga. Perang yang pelik lantaran turut menghadiahkan cinderamata bagi komandan militer Belanda, sekelas van der Heijden.

Perang di Samalanga itu kelak juga ditulis oleh C Nieuwenhuis dalam buku berjudul “De expeditie naar Samalanga“. Kemudian tulisannya diterjemahkan oleh Aboe Bakar ke dalam bahasa Indonesia, dan sumaterapost.com mendapat catatan tentang Perang Samalanga itu dari buku “Agresi Belanda ke Samalanga” yang dicetak ulang oleh Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA) Banda Aceh, tahun 2017 lalu.

Sejarah September: Kala Belanda Berniat Ajukan Resolusi Damai

BELANDA begitu gembira ketika Habib Abdurrahman memutuskan menyerah dengan sejumlah syarat. Mereka beranggapan, menyerahnya Habib menjadi pencapaian besar dalam melemahkan perjuangan perlawanan rakyat Aceh. Padahal kondisi di lapangan berbanding terbalik dengan harapan itu.

Hal tersebut dibuktikan dengan semakin gencarnya perlawanan yang dilakukan oleh pasukan Teungku Chik Di Tiro dan Teuku Umar di lapangan. Perlawanan yang benar-benar merepotkan Belanda hingga akhirnya terjadi konflik internal di pemerintahan mereka.

Konflik tersebut sebenarnya sudah dimulai sejak pemerintahan sipil diampu oleh Gubernur A Pruys van der Hoeven. Namun, kebijakan sosok tersebut kerap berbenturan dengan Gubernur Jenderal F Jacob yang sudah ditempatkan di Jakarta sejak April 1881.

September dalam Sepenggal Catatan Sejarah Aceh

PERANG Belanda di Aceh yang berlangsung pada tahun 1873 hingga 1904 menjadi catatan sejarah buruk bagi kolonial selama menancapkan kukunya di Tanah Melayu. Lebih 37 ribu serdadu Belanda dilaporkan tewas dalam perang bersamaan mewabahnya kolera di Tanah Rencong.

Belanda mengepung Aceh yang menjadi kerajaan terakhir di jazirah Melayu dari setiap lini. Blokade laut turut dilakukan guna mencegah Aceh mendapat bantuan dari luar. Militer negara Kincir Angin itu juga mengepung daratan Sumatra untuk mempersempit gerak perjuangan Sultan Aceh. Alhasil, Belanda baru berhasil menawan Sultan Aceh dan membuangnya ke Ambon setelah 31 tahun mendeklarasikan perang. Itu pun dilakukan dengan cara culas yang kemudian mendapat sorotan dari kalangan internasional.

Pertempuran Belanda di Aceh tersebut membuat kolonial merugi. Perang itu juga mengakibatkan Belanda frustasi sehingga menggelar kampanye bumi hangus dan genosida. Kejahatan perang yang hingga saat ini tidak pernah dibicarakan di Mahkamah Internasional.

Dalam perang melawan Kesultanan Aceh dan rakyatnya, Belanda sempat dibuat bingung dengan taktik hit and run, pasca penangkapan Sultan Aceh. Perang gerilya yang diterapkan oleh pasukan Aceh tersebut turut membuka mata kolonial tentang strategi militer baru, yang sebelumnya tidak pernah mereka saksikan. Alhasil, Belanda kemudian mau tidak mau terpaksa membentuk satu unit khusus pasukan anti-gerilya: Marsose. Unit tempur ini terdiri dari pasukan pribumi dari kerajaan-kerajaan yang telah takluk di bawah bendera Hindia Belanda.

6 Peristiwa Penting Sejarah Aceh pada 7 September

ENAM peristiwa besar yang menentukan nasib Kesultanan Aceh dalam perang melawan Belanda terjadi pada 7 September. Ke enam peristiwa itu dicatat dengan baik oleh H Mohammad Said dalam buku Aceh Sepanjang Abad Jilid 2 yang diterbitkan pada tahun 1991.

Ke enam peristiwa itu dapat dirunut mulai pada 7 September 1881.

Seperti diketahui, Belanda sebelum menyerang Kesultanan Aceh Darussalam telah memberlakukan blokade jalur laut. Alhasil Kesultanan Aceh Darussalam tidak dapat memperbarui senjata dalam menghadapi agresi itu. Namun, pada 7 September 1881, blokade pantai Aceh dibuka oleh Belanda khusus untuk kapal dagang Inggris.

Sejak blokade tersebut dibuka, kekejaman Belanda yang dipimpin oleh van der Heijden dalam perang di Aceh mulai tersiar ke luar negeri. Pers menyindir prilaku tak manusiawi Belanda serta menyebut bahwa di Aceh ada “kayser” yang menggunakan "macht boven recht” dan sebagainya.

Setelah publikasi meluas, Kejaksaan Agung Belanda di Betawi mengutus Direktur Penjara Belanda, Stibbe. Dia ditugaskan untuk menyelidiki tahanan perang yang kemudian laporannya disampaikan kepada parket.

Sunday, April 18, 2021

Ketika Panglima Aceh Berdamai dengan Musuh

PERANG telah menciptakan banyak pertumpahan darah. Perang juga turut melahirkan yatim dan para janda korban konflik di antara kubu yang bertikai. Tidak ada yang menyenangkan dari sebuah perperangan, meskipun terkadang jalan itu harus ditempuh untuk menegakkan kedaulatan di tanah sendiri. Langkah itu pula yang pernah ditempuh Sultan Aceh untuk mengantisipasi gangguan-gangguan Belanda di wilayah kedaulatannya.

Damai adalah jalan lain bagi kedua belah pihak yang bertikai untuk saling merangkul. Terkadang damai merupakan jalan terbaik bagi sebagian pihak untuk kembali saling menghormati dan bersatu membangun negeri.

Akan tetapi, pengertian damai tidak sama dengan menyerah kalah. Pihak yang berdamai akan saling menghargai antara satu sama lain. Pihak yang berdamai juga akan mengeksekusi setiap janji yang telah dideklarasikan.

Damai juga tidak dapat diartikan dengan membuat salah satu kubu yang pernah bertikai, bak anak kecil linglung karena kehilangan ibunya di keramaian. Jika pun itu terjadi, artinya salah satu kubu telah mengacuhkan makna damai sebenarnya.