Monday, April 19, 2021

September dalam Sepenggal Catatan Sejarah Aceh

PERANG Belanda di Aceh yang berlangsung pada tahun 1873 hingga 1904 menjadi catatan sejarah buruk bagi kolonial selama menancapkan kukunya di Tanah Melayu. Lebih 37 ribu serdadu Belanda dilaporkan tewas dalam perang bersamaan mewabahnya kolera di Tanah Rencong.

Belanda mengepung Aceh yang menjadi kerajaan terakhir di jazirah Melayu dari setiap lini. Blokade laut turut dilakukan guna mencegah Aceh mendapat bantuan dari luar. Militer negara Kincir Angin itu juga mengepung daratan Sumatra untuk mempersempit gerak perjuangan Sultan Aceh. Alhasil, Belanda baru berhasil menawan Sultan Aceh dan membuangnya ke Ambon setelah 31 tahun mendeklarasikan perang. Itu pun dilakukan dengan cara culas yang kemudian mendapat sorotan dari kalangan internasional.

Pertempuran Belanda di Aceh tersebut membuat kolonial merugi. Perang itu juga mengakibatkan Belanda frustasi sehingga menggelar kampanye bumi hangus dan genosida. Kejahatan perang yang hingga saat ini tidak pernah dibicarakan di Mahkamah Internasional.

Dalam perang melawan Kesultanan Aceh dan rakyatnya, Belanda sempat dibuat bingung dengan taktik hit and run, pasca penangkapan Sultan Aceh. Perang gerilya yang diterapkan oleh pasukan Aceh tersebut turut membuka mata kolonial tentang strategi militer baru, yang sebelumnya tidak pernah mereka saksikan. Alhasil, Belanda kemudian mau tidak mau terpaksa membentuk satu unit khusus pasukan anti-gerilya: Marsose. Unit tempur ini terdiri dari pasukan pribumi dari kerajaan-kerajaan yang telah takluk di bawah bendera Hindia Belanda.

Berdasarkan penelusuran singkat yang dilakukan SumateraPost.com ditemukan peristiwa-peristiwa menarik selama perang Belanda di Aceh pada bulan September. Catatan itu direkam dengan baik oleh H Mohammad Said dalam bukunya Aceh Sepanjang Abad Jilid II.

Berikut sejumlah peristiwa menarik yang terjadi pada September selama 31 tahun tersebut:

Pihak Sultan Aceh berhasil merebut kembali wilayah Lam Krut antara Tibang dan Peunayong pasca Belanda mundur setelah Jenderal Kohler tewas dibedil di Masjid Raya Baiturrahman. Pengaruh Teuku Ne’ Meuraksa yang sebelumnya kuat di daerah itu luntur karena membantu Belanda. Rakyat Aceh kembali bersatu di bawah bendera Sultan.

Belanda yang ingin sekali menjamin keutuhan pertahanannya di benteng-benteng yang sudah dikuasainya, seperti Dalam, Peukan Aceh, Peunayong dan kawasan lain, secara aktif melancarkan serangan ke kubu pertahanan Sultan di Lam Krut. Serangan itu tidak berhasil dilakukan dan mereka akhirnya terdesak ke Peunayong pada 28 September 1874. Di pertahanan itu, Belanda tidak dapat bernafas lega lantaran pasukan Sultan Aceh terus menerus melancarkan serangan.

Namun, seperti ditulis H Mohammad Said, Belanda mendapat bantuan pasukan tambahan pada hari itu. Akhirnya mereka dapat kembali menguasai Meuraksa dan mengangkat Teuku Lampasai sebagai Kepala Mukim IV dan Kluang.

Teuku Lampasai alias Teuku Mohammad Hanafiah Lampasai merupakan Raja Kluang, yang sebelumnya menyatakan takluk di bawah bendera Prinsenvlag pada 3 September 1874. Hal tersebut diketahui dari catatan resmi Belanda dalam Mededeelingen van de afdeeling Bestuurszaken der Buitengawesten het departement van BB Serie A3 (Overeenmkomsten met de zelfbesturen in de Buitengewesten).

Dalam catatan itu, terdapat 24 Uleebalang di Aceh yang disebut-sebut sudah mengikat perjanjian dengan Belanda sejak Oktober 1874. Meskipun catatan ini diragukan kebenarannya, akan tetapi Belanda mencatat para pembesar Aceh yang sudah takluk itu seperti Teuku Chik Tua Kaway XII Meulaboh, Datuk Baginda Susoh, Teuku Nyak Sawang Blang Pidie, Datuk Ujung Batu Labuhan Haji dan Datuk Cut Amat Meukek.

Nama lain yang terdapat dalam catatan Belanda itu termasuk Cut Ma Patimah Raja Terbangun Kluet, Tuanku Raja Muda Trumon, Datuk Raja Muda Amat Tempat (Tapak) Tuan, Datuk Pono Simalur, Moh Hamzah Salang, Datuk Moh Ali Sigulai, Datuk Sitongga Tapak, Datuk Jawab Lakeun, dan Teuku Said Sungai Raya.

Selanjutnya Teuku Chik Idi Rayeuk, Teuku Chik Peureulak, Teuku Muda Angkasa Pasai, Teuku Chik Poling Keureuto, Teuku Maharaja Mangkubumi Lhokseumawe, Teuku Chik Peusangan, Teuku Bintara Keumangan Pocut Usman Gigieng, Teuku Laksmana Njong, Teuku Ismail Ie Leubeu, dan Teuku Mohammaf Hanafiah Lampasai Raja Kluang juga disebutkan telah mengikat perjanjian dengan Belanda.

Meskipun daftar nama tokoh Aceh yang menyerah itu belum dapat dipastikan kebenarannya, akan tetapi perjuangan Sultan Aceh melawan Belanda kian terdesak. Pusat-pusat pertahanan Sultan Aceh satu persatu dapat direbut oleh Belanda, mulai dari Montasik hingga Cot Glumpang Cot Leupung.

Belanda terus melancarkan serangannya ke pedalaman Aceh, termasuk di kawasan Pasar Sibreh. Di kawasan ini, pasukan Sultan Aceh yang dipimpin oleh Habib kalah perang. Banyak pasukan Aceh yang gugur dan membuat mental Habib jatuh. Hingga akhirnya dalam surat tertanggal 3 September 1878, Habib menyatakan akan menyerah jika Belanda memenuhi beberapa syarat yang diajukannya. Syarat-syarat itu adalah Habib Abdurrahman bukan sebagai tawanan perang, dia meminta tinggal di Arab bersama 400 pengikutnya, mendapat pensiun 10 ribu dollar per tahun hingga akhir hayat, dan diantarkan ke negeri Arab sebagai tamu Belanda yang dihormati.

Syarat-syarat yang diajukan oleh Habib Abdurrahman ini mendapat sambutan positif dari van der Heijden. Dia bahkan sangat gembira Habib menyerah dan memenuhi semua syarat yang ditentukan tersebut.

Atas jasanya menaklukkan Habib, van der Heijden kemudian mendapat kenaikan pangkat menjadi jenderal mayor pada 26 September 1878.

Meskipun Habib Abdurrahman menyerah, pasukan Aceh masih terus menggelorakan perlawanan terhadap Belanda. Teuku Umar dari Meulaboh dan Chik Di Tiro dari Pidie muncul sebagai pemimpin pasukan kala itu. Serangan dari dua tokoh tersebut sungguh merepotkan Belanda. Teuku Umar yang bergerak dari Meulaboh melancarkan serangan besar-besaran terhadap Belanda di ibukota Aceh dan Ulee Lheue.

Sementara Chik Di Tiro terus mengganggu benteng-benteng Belanda di pedalaman. Akibatnya pertahanan Belanda di Jreue berhasil dihancurkan pasukan Aceh. Belanda kemudian mundur ke garis belakang karena satu persatu pos terdepan mereka takluk pada September 1882.[] Bersambung…

*Note: Tulisan ini pernah ditayangkan di website sumaterapost.com

No comments:

Post a Comment