Wednesday, April 21, 2021

Diwana Singkat ke Gedung Sentral Telepon Belanda

ANGKA 1903 berwarna biru terlihat kontras dengan dinding papan berkelir putih, di bangunan segi delapan yang ada di pusat Kota Banda Aceh itu. Ada dua ventilasi berlogo salib khas bangunan Eropa abad 19 mengapit di dua sisi angka tersebut. Sementara di atasnya masih kokoh tertancap atap berbentuk limas dengan seng yang sudah berkarat. Di bawah angka itu terdapat dua daun jendela kaca tiga kolom yang diapit oleh ventilasi kayu berjejer persegi panjang.

Di salah satu dinding lainnya, yang luasnya sedikit lebih kecil itu, ditempel dua balok kira-kira berukuran 5×5. Jika ditelisik secara kasat mata, balok itu seperti berbentuk menyerupai huruf X. Namun jika diperhatikan secara seksama, balok itu juga seperti membentuk huruf A yang saling menindih.

Jauh di bawah angka 1903 tersebut terdapat sebuah pintu berkubah yang menjadi satu-satunya akses ke lantai dasar bangunan. Pintu ini ditempel ke dinding berkonstruksi batu persegi panjang berukuran besar.

Bangunan itu berada di kawasan Simpang Jam, Kota Banda Aceh. Di sayap timur kompleks bangunan itu merupakan Taman Ghairah atau kelak dikenal Taman Putroe Phang. Sementara di arah barat kompleks bangunan tersebut berdiri sebuah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU). Tak jauh dari bangunan segi delapan ini juga terdapat Kompleks Gunongan, dan kompleks pemakaman Belanda yang dikenal Peucut alias Kherkhoff.

Bangunan cagar budaya di Banda Aceh
Kantor Telepon Kutaradja | Foto: Boy Nashruddin Agus
Bangunan itu dulunya dipergunakan oleh Belanda sebagai Kantor Telepon untuk memudahkan komunikasi selama perang di Kutaraja (sebutan Banda Aceh oleh Belanda). Diduga, angka 1903 yang ada pada dinding luar lantai dua bangunan itu merupakan pengingat tahun pembangunan Kantor Telepon Kutaraja tersebut.

Namun sejauh ini, penulis belum menemukan satu lembar dokumen atau foto publikasi pun dari sumber Belanda yang menjelaskan tentang awal mula pembangunan kantor telepon tersebut. Padahal, bangunan beratap limas itu disebut-sebut oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) merupakan Sentral Telepon pertama yang dibangun kolonial di wilayah Hindia Belanda (Indonesia sekarang). 

Lagipula bangunan berkelir putih itu dipacak di area Darud Donya (istana Sultan Aceh), yang seharusnya menjadi bagian penting untuk dokumentasi atau publikasi sebagai aset vital dalam peperangan. Apalagi keberadaan bangunan ini juga menandai pergantian penggunaan alat komunikasi jarak jauh Belanda di Aceh, dari awalnya menggunakan telegraf.

Sementara dari catatan Teuku Kamal Arif, penulis buku “Banda Aceh Heritage”, disebutkan keberadaan alat komunikasi telepon ini sangat membantu Gubernur Militer Belanda selama perang di Aceh. Telepon juga seringkali dipergunakan untuk mendapat informasi tentang rencana penyerangan yang dilakukan oleh pasukan Sultan Aceh masa itu. Keberadaan bangunan bak menara tersebut pun menjadi penting setelah kawat tersambung ke Ulee Lheue, Sabang, Lamno, Meulaboh, Seulimum, Sigli, Bireuen, Takengon, Lhokseumawe, Lhoksukon, Idi, Peureulak, Kuala Simpang, hingga ke Medan, Tanjung Pura, Rantau Prapat, Brastagi dan Asahan. Meskipun, menurut Kamal Arif, Gubernur Belanda sering mencabut kawat telepon lantaran pusing dengan laporan serangan yang dilakukan pasukan Aceh masa itu.

Jika merujuk pada angka yang tertera pada dinding bangunan tersebut, ditaksir gedung mini Sentral Telepon Kutaraja itu hadir berbarengan dengan Atjeh Tram (kereta api Aceh), yang salah satu stasiunnya berada di depan Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh.

Jepang yang berhasil masuk ke Aceh belakangan turut menggunakan bangunan Sentral Telepon milik Belanda tersebut. Tentara Indonesia pasca kemerdekaan pun turut memanfaatkan bangunan lama ini untuk kepentingan serupa.

Setelah sempat beralih fungsi menjadi kantor Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI), bangunan itu kemudian ditetapkan sebagai salah satu situs sejarah dan wisata oleh BPCB. Hal ini dipertegas dengan dua plang yang menghadap ke arah timur di kompleks Sentral Telepon tersebut.

Sayangnya bangunan tua itu justru sepi dari pengunjung, laiknya bangunan cagar budaya secara umum di Aceh. Padahal gedung dua lantai yang tak luas dan dipayungi oleh pepohonan trembesi itu berada di tengah-tengah jalan protokol Kota Banda Aceh. Di dalam bangunan juga tak lagi terlihat alat-alat komunikasi yang pernah dipergunakan oleh penjajah Belanda, tetapi berganti dengan satu unit kompor dan tilam kumal.[]

*Note: Artikel ini telah dimuat di sumaterapost.com

No comments:

Post a Comment