Monday, April 19, 2021

Para Perawat Ingatan Aceh


GENERASI
Aceh dalam beberapa dekade terakhir nyaris kehilangan identitas lantaran lupa dengan sejarah bangsanya sendiri yang pernah berjaya di masa lalu. Pengetahuan tersebut hampir saja tercerabut hingga ke akar-akarnya akibat perang yang berkepanjangan dan musnahnya ribuan kitab di beberapa dayah tradisional, pada abad 18 hingga abad 19 Masehi. Beruntung pasca Indonesia merdeka, beberapa tokoh kembali membuka identitas Aceh yang sempat tenggelam meskipun dibutuhkan banyak sekali penelitian mendalam untuk dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Di antara para tokoh itu adalah Ali Hasjmy mantan Gubernur Aceh, Tgk Abdullah Ujong Rimba, Hasan Tiro sang deklarator Gerakan Aceh Merdeka (GAM), HM Zainuddin, dan H M Said.

Selain tokoh-tokoh tersebut ada pula Isa Sulaiman, Gade Ismail, T Ibrahim Alfian, dan Rusdi Sufi yang semasa hidup pernah tercatat sebagai akademisi Universitas Syiah Kuala. Begitu pula dengan TA Talsya dan H Harun Keuchik Leumik yang karya-karyanya identik dengan wawasan masa lalu.

Namun sederet tokoh tersebut kini telah kembali menghadap Sang Khalik. Ada yang meninggal karena faktor usia, sakit serta ada juga yang menjadi korban gempa dan tsunami Aceh pada 26 Desember 2004 lalu.

Meskipun para sejarawan tersebut telah meninggal, akan tetapi karya-karyanya yang sedikit banyak telah mengungkap siapa Aceh di mata dunia di abad pertengahan, masih dapat ditemukan dan dikonsumsi generasi muda saat ini. Walaupun banyak karya-karya sejarah itu perlu diluruskan, dikaji secara mendalam atau dibuktikan secara ilmiah agar dapat diadopsi di bangku pendidikan serta tidak lari dari fakta atau peristiwa masa lalu yang cenderung berubah karena kondisi politik dalam negeri atau global.

Mereka-mereka yang telah pergi itu turut meninggalkan “pondasi sejarah” untuk dapat digali lagi oleh generasi muda Aceh masa depan. Kepergian mereka merupakan pukulan besar bagi Aceh, meskipun kemudian ada yang memberanikan diri meneruskan tongkat estafet untuk menjaga, meneruskan, dan meneliti sejarah Aceh secara lebih mendalam.

Diantara para perawat ingatan itu ada yang berasal dari akademisi dan memiliki latarbelakang ilmu sejarah, antropologi, sosiologi atau arkeologi dari bangku kuliah, tetapi ada juga yang berasal dari masyarakat biasa, kolektor dan bahkan wartawan.

Sumaterapost.com mencoba mengidentifikasi para tokoh Aceh yang masih bergelut dalam keilmuan dan sejarah daerah, yang belum goyah dalam mengabdikan diri sebagai penerus, perawat, dan pengawal identitas keacehan di masa kini. Berikut diantaranya:

Dr Mawardi Umar, MA

Pria ini dilahirkan di Teupin Bayu, Aceh Utara. Namanya Mawardi Umar. Pendidikan pria yang dilahirkan pada 28 Maret 1968 lalu itu dimulai dari salah satu sekolah dasar di Panton Labu. Dia mengenyam pendidikan di kampong halaman hingga tamat SMA.

Setamat sekolah menengah atas, Mawardi Umar melanjutkan studi Strata-1 ke Jurusan Pendidikan Sejarah di Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah). Belakangan Mawardi mengambil gelar Magister di Universitas Gajah Mada pada tahun 2005.

Salah satu penulis buku “Aceh Tanah Rencong” terbitan Pemerintah Aceh ini juga pernah menempuh pendidikan sejarah hingga ke Belanda. Saat ini, Mawardi menjabat sebagai Kepala Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA). Dia juga dipercaya memimpin Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Aceh.

Beberapa karya jurnal ilmiah tentang sejarah milik Mawardi Umar banyak tersebar di situs-situs resmi akademik. Beberapa judul artikel itu seperti “Pendidikan Barat dan Pengaruhnya Terhadap Pendidikan Keagamaan di Aceh 1900-1942” yang diterbitkan tahun 1995, kemudian “Kelompok Shamadiyah Panton Labu Aceh Utara” yang terbit tahun 1996, selanjutnya “Menyadap Getah untuk Onderneming: Dinamika Sosial Ekonomi Buruh Perkebunan Karet di Aceh Timur, 1907-1939” yang terbit tahun 2005.

Mantan Ketua Jurusan FKIP Sejarah Unsyiah ini juga aktif mengisi seminar kesejarahan dan juga kerap menjadi narasumber bagi media massa, terutama menyangkut sejarah di Aceh.

Tgk H Taqiyuddin Muhamad, Lc

Dia merupakan seorang lulusan Kairo bergelar Lc. Namanya Taqiyuddin Muhammad, seorang pria yang memiliki karakter khas Aceh yang keras dan gigih. Sepak terjangnya di bidang sejarah kian popular bersama elemen sipil Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (Mapesa). Sebelumnya, pasca tsunami dia bergerak secara independen di bidang epigrafi guna membaca “catatan yang terkunci” di sejumlah batu nisan kuno Aceh, dari periode Sumatra-Pasai, Lamuri, Aceh Darussalam hingga sebaran nisan yang ada di Barus dan Malaysia.

Taqiyuddin Muhammad yang akrab disapa Tuan Guru oleh Tim Mapesa itu mengawali penelitian di bidang epitaph dari nisan-nisan peninggalan Kesultanan Sumatra-Pasai di Aceh Utara. Dalam menjalankan aktivitasnya saat itu, Taqiyuddin yang juga kerap dipanggil Teungku Taqi itu dibantu oleh CISAH—sentral informasi sejarah Samudra Pasai Aceh.

Sebagai seorang epigraf, Teungku Taqiyuddin juga acap kali mengisi seminar-seminar tentang sejarah Islam Asia Tenggara terkhusus sejarah Aceh dari abad awal kali Islam masuk hingga abad 19 Masehi. Selain mengisi berbagai kajian kesejarahan, salah satu pembina Mapesa ini juga telah menelurkan beberapa karya tulis yang dapat dibaca oleh generasi muda saat ini. Diantara karya tulis itu adalah “Daulah Shahiliyah di Sumatera: Ke Arah Penyusunan Kerangka Baru Historiografi Samudra Pasai”. Buku setebal 284 halaman itu diterbitkan oleh CISAH pada bulan Mei 2005 lalu.

Selain Daulah Shahiliyah, karya Taqiyuddin Muhammad juga dapat dibaca di buku “Melintasi Jejak Perjalanan Sejarah Aceh” dan “Jejak Sejarah Hubungan Aceh-Turki” yang diterbitkan oleh Mapesa.

Kesehariannya Taqiyuddin Muhammad juga aktif menulis artikel-artikel tentang sejarah Islam Asia Tenggara khususnya di Aceh melalui media sosial pribadinya dan di akun resmi Mapesa Aceh.

Prof Dr Farid Wajdi Ibrahim, MA

Pria kelahiran Rukoh, Aceh Besar pada 5 Maret 1961 itu lebih dikenal sebagai Rektor UIN Ar Raniry Banda Aceh. Namun, dia merupakan salah seorang sejarawan yang sudah cukup makan asam garam di Aceh. Pendidikan formal pria ini dimulai dari salah satu madrasah ibtidayah negeri yang ada di Aceh. Kemudian mengenyam pendidikan di PGAN selama enam tahun, dan melanjutkan study di Strata-1 Jurusan Bahasa Arab Fakultas Tarbiyah IAIN Ar Raniry Banda Aceh.

Mantan Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Ar Raniry ini juga pernah mengenyam pendidikan S-2 pada Pascasarjana IAIN Ar Raniry. Selanjutnya menempuh pendidikan S-3 di University Sains Malaysia dan tamat tahun 2000.

Pada tahun 2004, Farid Wajdi juga sempat mengikuti program Post Doktoral di Al Azhar University, Cairo Mesir.

Editor buku “Aceh Bumi Srikandi” terbitan Pemerintah Aceh itu dikenal aktif menulis. Beberapa karyanya yang dipublikasi adalah “Negara-negara Syiah dalam Lintasan Sejarah (Suatu Kajian dari Perspektif Sosio-Historis), serta “Orientalisme dan Sikap Umat Islam”.

Sebagai akademisi, Farid Wajdi Ibrahim juga aktif menulis di beberapa jurnal dan koran, baik terbitan lokal maupun nasional.

Mizuar Mahdi

Usia Mizuar Mahdi relatif masih muda dibanding sejarawan di Aceh lainnya. Namun kiprahnya dalam merawat ingatan tentang identitas Aceh tak dapat dikesampingkan begitu saja. Aktivitasnya mencari tentang riwayat masa silam dimulai bersama-sama dengan lembaga non pemerintah sekaliber Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (Mapesa). Berawal dari keingintahuannya tentang silsilah keluarga, pertanyaan tentang nama-nama jalan di kampung halaman, hingga keberadaan kompleks makam Turki Utsmany yang ada di Bitai, membuatnya kini menjadi salah satu pakar sejarah Islam Asia Tenggara, khususnya di Aceh.

Sebagai generasi milenial, Mizuar Mahdi lebih aktif menulis hasil penelitian lapangan tentang sejarah Aceh di akun media sosial yang dikelolanya. Dia juga sering menulis artikel tentang sejarah Aceh di situs resmi Mapesa, dan bersama-sama Tgk Taqiyuddin Muhammad menulis buku “Jejak Sejarah Hubungan Aceh-Turki” serta “Melintasi Jejak Perjalanan Sejarah Aceh” dalam beberapa tahun terakhir.

Sebagai sejarawan muda, Mizuar juga seringkali mendapat undangan sebagai pemateri atau pembicara dalam seminar-seminar dan diskusi terkait sejarah Islam di Asia Tenggara. Sebagai Ketua Mapesa, Mizuar juga diketahui mengantungi berbagai salinan dokumen penting tentang sejarah Kesultanan Aceh Darussalam, surat-surat Sultan Aceh Darussalam dengan negara-negara asing, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan sejarah Islam Asia Tenggara.

Dr Husaini Ibrahim, MA

Pria kelahiran Pidie itu belakangan lebih dikenal sebagai Arkeolog di Aceh. Namanya Husaini Ibrahim. Lahir di Pidie pada tahun 1960 silam. Saat ini, Husaini fokus pada penelitian tentang Gampong Pande. Hal ini setakat dengan gelar Doktor yang diperolehnya di Pusat Penelitian Arkeologi Global Universiti Malaysia konsentrasi tentang Arkeologi Islam Asia Tenggara.

Kesehariannya Husaini Ibrahim berprofesi sebagai pengajar di Jurusan Sejarah FKIP Unsyiah. Namun di luar karirnya sebagai dosen, Husaini Ibrahim juga giat melakukan penelitian bersama lembaga nonpemerintah.

Tulisan kepakarannya dapat dibaca di beberapa jurnal ilmiah dan media massa. Diantaranya seperti “Revitalisasi Nilai Etos Kerja dalam Hadih Maja sebagai Bahan Ajar Pendidikan Karakter”, “Melacak Jejak Islam di Situs Lamuri Berdasarkan Tinggalan Arkeologi”, dan “Pemanfaatan Warisan Arkeologi dalam Pembelajaran Sejarah di Perguruan Tinggi”.

Sebagai salah satu narasumber terkait sejarah dan arkeologi di Aceh, Husaini Ibrahim juga telah menuangkan karya tulis dalam bentuk buku berjudul “Awal Masuknya Islam ke Aceh: Analisis Arkeologi dan Sumbangannya pada Nusantara” yang diterbitkan pada tahun 2016. Dia juga pernah menulis tentang Laksmana Malahayati bersama Nab Bahany dalam buku berjudul “Keumalahayati: Singa Betina Selat Malaka” terbitan Pemerintah Aceh.

Buku lain yang mendapat sentuhan tangan Husaini Ibrahim adalah “Nepotisme dalam Sejarah Politik Islam: Mengupas Asal Usul Kerajaan dalam Islam” terbitan Bandar Publishing tahun 2015.

Masykur Syafruddin

Usianya baru beranjak 23 tahun. Kegemarannya mengoleksi benda-benda antik. Hal yang unik bagi pemuda milenial kebanyakan. Masykur Syafruddin begitu namanya dipanggil. Lahir di Blang Glong, Pidie, pada 5 Juli 1997. Muda sekali. Namun di usianya yang muda itu, Masykur memiliki museum pribadi. Namanya Pedir Museum yang di dalamnya terdapat ribuan manuskrip Aceh, koin kuno, perhiasan, dan senjata-senjata era kesultanan bahkan produk kolonial.

Mahasiswa UIN Ar Raniry itu sudah tertarik mengumpulkan koin kuno sejak usia 14 tahun. Aktivitasnya dari sekadar sebagai kolektor menjadi seorang sejarawan dilakoni sejak ketertarikannya berburu naskah kuno asal Aceh yang dijual ke luar negeri. Kian hari, Masykur semakin mencintai sejarah Aceh setelah ribuan naskah kuno berhasil dibeli menggunakan uang pribadi. Misinya yang paling utama adalah mengembalikan semua benda-benda bernilai sejarah ke Aceh.

Sebagai salah satu “agen” perawat ingatan sejarah Aceh, Masykur turut mendigitalisasi semua naskah kuno yang berhasil dibeli. Hal tersebut dilakukan Masykur agar naskah-naskah itu tidak hilang lagi, baik dikarenakan bencana alam, kebakaran atau dicuri. Dedikasi Masykur terhadap sumber sejarah serta benda kebudayaan tersebut terkadang turut membuat warga turut menghibahkan barang-barang miliknya untuk menjadi aset Pedir Museum. Berkat ketekunan dan kegigihannya, kini Museum Pedir telah memiliki 2.870 koleksi yang 462 diantaranya terdiri dari naskah manuskrip.

Sebagai kolektor sekaligus Direktur Pedir Museum, Masykur kerap kali mendapat undangan sebagai pemateri dalam diskusi-diskusi atau seminar kesejarahan baik tingkat lokal bahkan internasional. Saat ini ribuan koleksi milik Masykur tersebut terpaksa dititip di rumah orang tuanya di Pidie, dan sebagian kecil dipajang di Sekretariat Mapesa guna memudahkan akses para peneliti dan tamu dari luar negeri.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI pernah memberikan Sartono Kartodirjo Award atas kepeduliannya menyelematkan benda-benda bersejarah dari Aceh itu. Sayangnya award tersebut tidak dibarengi dengan dana yang cukup dari pemerintah, agar ribuan koleksi Masykur dapat dipajang pada sebuah bangunan yang layak dan mudah dilihat oleh peneliti dari segala penjuru negeri.

***

PASCA tsunami banyak penulis sejarah dan “agen-agen perawat ingatan” generasi baru yang lahir di Aceh. Peranan mereka untuk menyalin ulang, merawat ingatan, dan menyampaikan berbagai peristiwa masa lalu melalui lisan telah menyelamatkan identitas Aceh yang nyaris hilang akibat perang.

Latar belakang keilmuan dan asal-usul mereka sebagai masyarakat biasa tidak menjadi faktor penghalang untuk berbicara tentang sejarah. Terkadang kepakaran itu justru datang dari sekadar hobi membaca atau mengumpulkan manuskrip kuno, meskipun tidak sedikit yang ahli lantaran menempuh study hingga ke luar negeri.

Beberapa agen perawat ingatan itu diantaranya:

Drs Teuku Abdullah (TA Sakti)

Keterbatasan fisik tidak menghalangi pria kelahiran 1954 ini untuk merawat ingatan generasi muda. Aktivitasnya sebagai dosen di jurusan pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Syiah Kuala tak menghalanginya sebagai seorang “penjaga hikayat”. Namanya Teuku Abdullah, tetapi akrab disapa TA Sakti.

TA Sakti adalah seorang pakar budaya dan sastra Aceh yang lahir di Gampong Bucue, Kecamatan Sakti, Kabupaten Pidie. Dia pernah mengenyam pendidikan di SD Lameu, SMI Kota Bakti, SMP Negeri Beureuenun hingga SMA di Sigli.

Sebelum menjadi akademisi, TA Sakti pernah kuliah di Fakultas Pertanian di Universitas Syiah Kuala pada tahun 1976. Namun pendidikan di pertanian hanya dijalaninya selama satu tahun. TA Sakti belakangan meneruskan pendidikan di Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat (FHPM) Unsyiah pada 1977. Selanjutnya dia melanjutkan studi di jurusan Sejarah Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta.

TA Sakti dikenal sebagai penulis yang produktif sejak masa muda. Berbagai media massa yang terbit di Banda Aceh dan Medan, Sumatra Utara pernah menampung tulisannya. Media nasional terbitan Jakarta seperti Merdeka, Pelita dan Suara Karya pun pernah mempublikasikan tulisannya selama mengenyam pendidikan di UGM Yogyakarta.

Sebagai penulis dan perawat ingatan, karya tulis TA Sakti lebih menjurus pada hikayat-hikayat kontemporer. Belasan buku baik hasil transliterasi maupun karya sendiri telah diterbitkan TA Sakti, mulai buku berjudul “Lingkongan Udep Wajeb Tajaga” hingga “Hikayat Tambeh Tujoh Blah“.

Ragam penghargaan pun pernah diberikan kepada sosok pria yang ramah ini, diantaranya Kehati Award pada tahun 2001, kemudian Bintang Budaya Parama Dharma dari Pemerintah RI pada 14 Agustus 2003, hingga Anugerah Budaya Tajul Alam dari Pemerintah Daerah Aceh pada 10 Agustus 2009.

Sumaterapost.com memilih TA Sakti sebagai salah satu agen perawat ingatan yang patut diperhitungkan karena mampu mengupas sejarah Aceh bersumber dari hikayat-hikayat tua.

Hermansyah

Pria kelahiran Blang Pulo, Lhokseumawe, pada 5 Mei 1980 lalu ini masuk sebagai “agen perawat ingatan” versi sumaterapost.com. Aktivitasnya sebagai filolog di Aceh sangat membantu para peneliti untuk menerjemahkan sejarah-sejarah yang terkunci dalam manuskrip kuno. Namanya Hermansyah, seorang dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Ar Raniry Banda Aceh.

Hermansyah merupakan almuni pesantren modern Misbahul Ulum Paloh. Dia juga pernah tercatat sebagai mahasiswa di Institut Nadwatul Uloom Lucknow (BA) di India pada tahun 2003.

Pemuda asal Lhokseumawe itu pernah mengecap ilmu di S2 Aligarh Muslim University (M.Th) rentang tahun 2003-2005. Tak puas disitu, Hermansyah juga melanjutkan study S2 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan konsentrasi Filologi pada 2009 hingga 2011.

Pria yang konsen di bidang manuskrip ini juga disebut pernah mengenyam pendidikan di Jerman. Ragam tulisannya acap kali menghiasi media massa, baik cetak hingga online.

Ketua Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manasa) cabang Aceh ini juga sudah beberapa kali terlibat dalam penulisan buku sejarah, salah satunya adalah buku berjudul “Benteng Kesultanan Aceh; Kajian Filologi, Arkeologi dan Topografi” terbitan PDIA tahun 2013.

Tulisan-tulisannya yang berkaitan dengan filolog atau manuskrip kuno juga dapat ditemui di blog pribadi Hermansyah, yang masih aktif hingga sekarang.

Tarmizi A Hamid (Cek Midi)

Tarmizi A Hamid alias Cek Midi hanyalah seorang pegawai negeri di Badan Pengembangan Teknologi Pertanian (BPTP). Dasar keilmuannya tentang hama tanaman tak menjadi halangan bagi Cek Midi untuk menguasai wawasan sejarah Aceh di masa silam. Caranya adalah dengan menerjemahkan lembar demi lembar manuskrip kuno tulisan Arab dan Arab Melayu dari abad 17 hingga 19 yang dikoleksinya sejak tahun 2000. Pria berkacamata ini bahkan telah memulai konservasi manuskrip sejak awal 1996 lalu.

Perjuangannya menyelamatkan lembaran manuskrip kuno turut menjadikan pria kelahiran Pidie pada 31 Desember 1966 silam tersebut terpilih sebagai agen perawat ingatan versi sumaterapost.com. Apalagi perjuangannya mengumpulkan catatan lawas tentang berbagai ilmu pengetahuan Aceh itu dilakukan dengan modal sendiri.

Hingga tahun 2019 sudah lebih 500 manuskrip kuno Aceh menjadi koleksi Cek Midi yang mengelola Rumoh Manuskrip Aceh tersebut. Sebanyak 56 naskah kuno koleksi Cek Midi sudah direstorasi dan 23 lainnya didigitalisasi meski kesulitan mengakses biaya.

Upayanya memelihara kitab kuno juga dilakukan dengan mengajak rekan-rekan untuk melakukan alih aksara dari Arab-Jawi ke huruf latin. Alhasil ada dua kitab yang telah berhasil dialih-aksarakan hingga tahun 2019; kitab Nazam Aceh karangan Pocut di Beutong dan Hujjah Baliqha Ala Jama Mukhashamah karya Jalaluddin bin Syekh Jamaluddin Ibnu Al Qadhi.

Sebagai kolektor manuskrip kuno, ayah tiga orang anak tersebut kerap diminta menjadi narasumber di media massa. Dia pun telah beberapa kali diminta sebagai pembicara di berbagai seminar dan sering mendapat undangan di ajang pameran skala lokal, nasional, hingga internasional.

Iskandar Norman

Namanya terlihat akrab di mesin pencari google dengan kata kunci sejarah Aceh. Beragam judul tulisan tentang sejarah Aceh sedikit banyak akan merujuk pada tulisan pria asal Meureudu Pidie Jaya itu. Dia adalah seorang jurnalis lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala. Namanya Iskandar Norman si penulis buku Nuga Lantui.

Iskandar Norman adalah penulis produktif untuk kategori sejarah Aceh. Hampir saban hari, dimana saja dia bekerja, giat menulis ulang tentang peristiwa-peristiwa masa lalu. Tulisannya tentang sejarah Aceh juga tidak hanya dibadikan di situs web berbasis jurnalistik tempat dia dipekerjakan saja, akan tetapi juga turut merambah hingga ke akun media sosial dan blog pribadinya.

Sebagai penulis yang mendedikasikan diri di bidang merawat ingatan tersebut, Iskandar Norman pun seringkali menjadi pilihan bagi pemerintah untuk menulis beragam buku yang berkaitan tentang sejarah, seperti Pidie Jaya dalam Lintasan Sejarah, buku “Legenda Aceh” dan buku “Hadih Maja”.

Tulisan sejarah yang mendapat sentuhan Iskandar Norman pun menjadi kian renyah dibaca. Perbendaharaan diksi dan cara memulai tulisan salah satu penyebab tulisan sejarah Iskandar Norman kian diminati oleh generasi muda.

A Rani Usman

Pria kelahiran 31 Desember 1963 itu adalah seorang akademisi yang tertarik dengan suasana dunia Tionghoa. Ketertarikannya itu diperkuat setelah kerap menulis di beberapa media cetak terbitan Sumatra Utara sehingga memutuskan untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan Cina dan Aceh sebagai disertasi di Universitas Padjadjaran Bandung pada 26 Agustus 2004 lalu. Namanya A Rani Usman, seorang lelaki kelahiran Ulee Ateueng, Madat, Aceh Timur.

A Rani Usman merupakan seorang anak bungsu dari lima bersaudara yang menulis buku “Etnis Cina Perantauan di Aceh”. Sebagai seorang anak desa terpencil, kini A Rani Usman menjadi salah satu akademisi yang dapat menjadi rujukan tentang hal berbau sejarah, terutama berkaitan dengan sejarah Tionghoa.

A Rani Usman sudah tertarik dengan sejarah dan budaya sejak usia muda. Ketekunannya mempelajari sejarah dan budaya Cina bahkan dijalani dengan turut belajar ke Nanjing Normal University di negeri Tirai Bambu pada 2004 lalu. Dia bahkan ikut mempelajari bahasa mandarin sehingga dinilai sebagai narasumber terkuat jika berbicara tentang sejarah Asia Timur dan hubungannya dengan Aceh saat ini.

Nia Deliana

Nama Nia Deliana masuk dalam kategori sejarawan muda di Aceh. Tulisan sejarah karya alumnus Sejarah dan Peradaban Universitas Islam Antarbangsa, Malaysia itu pun tak sedikit, terutama di media massa.

Berbagai jurnal tentang sejarah, terutama tentang sejarah Turki dan Aceh, merujuk pada nama perempuan ini. Hal tersebut tidak terlepas dari kiprahnya di Pusat Kebudayaan Aceh-Turki (PuKAT) yang menjadikan Nia Deliana sebagai salah satu narasumber sejarah khusus terkait negara dua benua itu.

Pun demikian, Nia Deliana juga tidak kadung kikuk berbicara tentang sejarah Tamil Muslim di Sumatra. Hal tersebut terbukti dari keikutsertaannya dalam “Konferensi Internasional: Migrasi Paksa dan Kajian-kajian Kepengungsian” yang pernah diadakan oleh UIAM pada 5 Desember 2017 lalu.

Dia pun tak canggung berbicara tentang sejarah Aceh kurun waktu abad 17 hingga abad 18 Masehi. Terlebih Nia pernah menulis beberapa jurnal ilmiah tentang sejarah Aceh abad tersebut, seperti artikel berjudul “Aceh and Council of Eight in Penang 1873-1876” yang dipublikasi di Semantic Scholar pada 2018 lalu.

Berbagai judul tulisan yang berkaitan dengan sejarah juga dapat ditemui di blog pribadi Nia yang menganggap, “Sejarah bukan kitab suci. Ia selalu berkurang dan bertambah. Dihapus dan diingat. Tidak sepenuhnya benar, tidak sepenuhnya salah. Ia alat keharmonisan dan juga perpecahan bagi gerak umat di dunia” tersebut.[]

*Note: Tulisan ini sudah dimuat di sumaterapost.com

No comments:

Post a Comment