Monday, April 19, 2021

Seteru Dua Negeri Serumpun

DENGAN suara lantang, Presiden Soekarno menyerukan “Ganyang Malaysia” di hadapan puluhan ribu rakyat Yogyakarta, 23 September 1963. Massa menjadi histeris. Inilah percikan awal pertikaian antara Indonesia dengan Malaysia yang mencuat setelah sekian lama terpendam.

Pertikaian antar saudara serumpun itu dipicu oleh penolakan Indonesia terhadap pendirian Federasi Malaysia. Soekarno menilai, pembentukan Federasi Malaysia tak lebih dari salah satu bentuk persekongkolan kolonialis dan membahayakan Indonesia. Apalagi kala itu Indonesia baru saja mendeklarasikan kemerdekaannya.

Sementara Pramoedya Ananta Toer dalam pengantarnya untuk buku karya Greg Poulgrain The Genesis of Konfrontasi: Malaysia, Brunei, Indonesia 1945-1965 menyebut, konfrontasi sebagai upaya untuk membantu gerakan perjuangan antikolonialisme.

Pram menyebutkan Inggris kala itu tidak siap kehilangan sumber mata uang dari Malaya, sebutan lama untuk Malaysia. Inggris juga belum rela kehilangan sumber daya dari Singapura serta Kalimantan Utara atau Brunei Darussalam.

Pram mencatat, Malaya merupakan penghasil timah, karet, dan minyak kelapa sawit.

Sedangkan Brunai merupakan tambang minyak, dan Singapura merupakan pelabuhan transit yang bisa dijadikan pusat kendali kekuasaan maupun ekonomi.

Kampanye Ganyang Malaysia yang secara resmi dideklarasikan pada 25 September 1963 tersebut memantik dukungan dari banyak pihak. Dukungan bahkan berdatangan dari partai politik dan kelompok yang berseberangan dengan Presiden Soekarno.

Sementara Partai Komunis Indonesia (PKI) sudah sedari awal mendukung langkah yang diambil Soekarno itu. Bagi PKI, keberadaan Malaysia dapat menjadi ancaman ideologi yang nyata bagi partai tersebut. Untuk hal itulah, PKI menjadi partai politik yang paling aktif memberikan dukungan terhadap kampanye tersebut. PKI bahkan ikut mengorganisir dan berpartisipasi dalam sejumlah demonstrasi, serta berada di depan untuk menasionalisasikan perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia.

Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat yang sedari awal berbeda jalur politik dengan PKI, bahkan terpaksa ikut mendukung kampanye Ganyang Malaysia. Meskipun secara diam-diam, tulis Colin Brown dalam buku “A Short History of Indonesia: The Unlikely Nation?“, pimpinan AD menjalin komunikasi dengan Malaysia dan Inggris. “Dan memastikan bahwa pasukan elit dijauhkan dari medan perang utama di Kalimantan dan dekat dengan Jakarta.” tulis Colin.

Malaysia bukanlah Irian Jaya. Solidaritas dan kekuatan politik negara jiran saat itu cukup besar. Dukungan militernya bahkan jelas lebih besar dari Indonesia. Begitu pula dengan tingkat legitimasi internasionalnya, yang menurut Colin, lebih tinggi.

Sementara Soekarno saat itu hanya mendapat dukungan dari China dan segelintir negara yang sepaham, seperti Korea Utara. Alhasil, Soekarno menarik Indonesia dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Mundurnya Indonesia dari PBB itu sebagai bentuk protes atas terpilihnya Malaysia sebagai Dewan Keamanan (DK) di lembaga antar bangsa tersebut.

Kampanye Ganyang Malaysia justru meredup setelah kekuatan politik Soekarno goyang. Padahal kampanye itu telah berlangsung selama dua tahun.

Peta politik justru berubah ketika militer menguasai Indonesia. Di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto, salah satu tindakan pertamanya adalah mengakhiri konfrontasi. “…and to establish friendly relations with Malaysia,” tulis Colin.[]

*Note: Artikel ini sudah tayang di sumaterapost.com

No comments:

Post a Comment