Monday, April 19, 2021

Lubang Buaya Cilaka

MALAM kian larut ketika para pria penggali sumur tua itu menemukan jempol kaki manusia menyembul dari kedalaman, dari tumpukan sampah, tanah, dan daun pisang. Seketika pria tersebut pingsan. Entah tak kuasa melihat jasad di dalam sumur tua, keracunan, atau mungkin faktor kelelahan bekerja di bawah todongan senjata.

Sumur tua itu belakangan dikenal Lubang Buaya, salah satu lokasi paling seram karena dikaitkan dengan kekejaman Partai Komunis Indonesia (PKI) bersama Gerwani. Lubang Buaya berada di kawasan komplek Halim Perdana Kusuma, wilayah kuasa Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Udara. Pada masa itu, kisaran Oktober 1965, kawasan Lubang Buaya merupakan areal perkebunan karet. Ada satu rumah tua di sana, rumah salah seorang petani Desa Lubang Buaya, yang diduga menjadi “sarang” para gerombolan melatih milisi.

Pria yang pingsan di dalam sumur tua itu bernama Suparman, salah seorang warga di sekitar kawasan Lubang Buaya. Suparman bersama-sama dengan tujuh warga lainnya diminta bantuan oleh lurah setempat. Awalnya mereka diajak untuk membenahi jembatan. Namun faktanya, mereka justru diminta untuk menggali lubang di perkebunan karet Lubang Buaya.

Selain Suparman, warga lainnya yang ikut membantu untuk mencari keberadaan jasad para Jenderal TNI AD adalah Asmawi. Ada juga Mahmud dan Pane. Dalam kesaksiannya di YouTube Kurator Museum, seperti dilansir Okezone, Asmawi mengaku pencarian jasad korban di Lubang Buaya tidak serta merta. Ada proses yang dilakukan selama dua jam untuk menemukan sumur tersebut.

Para penggali juga mendapat instruksi dari seseorang yang mengenakan seragam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), sebutan TNI pada masa itu, yang memakai baret merah. Personel ABRI itu disebutkan menggunakan metal detector untuk menentukan titik-titik lokasi yang harus digali. “Bapak yang pakai baret merah bawa besi pas dicocokin (tusuk ke tanah) pas ketemu bunyi besi, nah katanya, coba gali lubang,” ungkap Asmawi.

Di atas gundukan tanah itu terlihat sebuah pohon pisang yang baru ditanam. Tanahnya juga tidak terlalu keras untuk digali. Namun sepanjang penggalian justru tanah tersebut hanya dipenuhi sampah. “Sampahnya macem-macem, ada daun pohon pisang masuk,” ungkap Asmawi lagi, yang mengatakan proses penggalian dimulai 3 Oktober 1965, sekitar pukul 16.00 WIB hingga pukul 01.00 WIB.

Asmawi dan ke enam rekannya kelelahan. Sedari awal penggalian tidak mendapat jatah makan atau minum. Alhasil ketika menemukan jempol kaki di lubang yang ditimbun sampah itu, beberapa penggali langsung pingsan.

Tentang siapa sebenarnya yang pertama kali menemukan jempol kaki tersembul dari lubang itu berbeda-beda. Akan tetapi, para penggali sepakat bahwa ada diantara mereka yang pingsan. Sehingga ketika malam kian larut, upaya penggalian sumur itu dihentikan. Para penggali dibawa ke sebuah rumah untuk diberikan makanan dan minuman. Di rumah itu pula mereka diinterogasi oleh tentara. Katanya untuk keperluan dokumentasi.

Esoknya, tugas ke tujuh warga sekitar Lubang Buaya itu digantikan oleh tentara Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), pimpinan Panglima Kostrad Mayjen Soeharto. Dalam pengangkatan jenazah, Soeharto turut meminta bantuan kepada Komandan Korps Komando Angkatan Laut (KKO) Brigjen Hartono untuk meminjam alat. Soeharto juga meminta KKO untuk mengirimkan penyelam dari Kompi Intai Para Amfibi (Kipam) ke Lubang Buaya.

Tim yang ditugaskan ke lokasi terdiri atas sembilan penyelam, di antaranya Letnan Satu (Lettu) Mispam Sutanto, Pembantu Letnan Satu (Peltu) Kandouw, Peltu Sugimin, serta dua orang dokter dr Kho Tjio Ling dan drg Sumarno.

Tim KKO itu bergerak dari markas mereka di Kwitang, Jakarta Pusat, tanpa tahu di mana letak Desa Lubang Buaya. Mereka sempat berputar-putar antara Halim Perdanakusuma dan Cililitan. Tim KKO baru tiba di lokasi Lubang Buaya sekitar pukul 04.00 WIB, akan tetapi dihadang pasukan RPKAD yang sedang berjaga. Antara pasukan dari dua marka TNI itu sempat bersitegang, yang membuat drg Sumarno meminta Tim KKO mengalah saja.

Perdebatan antara dua tim TNI beda marka itu mereda setelah Soeharto tiba. Dia langsung menanyakan keberadaan tim KKO yang diminta datang ke lokasi. Akhirnya tim dari Kipam KKO yang dipimpin Kapten Winanto masuk ke lokasi. Secara bergantian, pasukan KKO dan RPKAD masuk ke dalam sumur yang sempit.

Satu per satu jenazah para jenderal itu diangkat oleh Kopral Anang (RPKAD), Praka Subekti (KKO), dan Serma Suparimin (KKO). Akhirnya, pukul 13.30 WIB, tujuh jenazah jenderal bisa diangkat ke permukaan sumur.

Jenazah pertama yang berhasil ditemukan adalah Letnan Satu Pierre Tendean, ajudan Jenderal Abdul Haris Nasution. Lettu Piere ditangkap di rumah Nasution oleh gerombolan karena salah identifikasi. Jasad Lettu Piere berhasil diangkat ke permukaan pada pukul 12.05. Selanjutnya, pasukan KKO menarik dua jenazah lainnya dari dalam sumur tua pada pukul 12.15 WIB. Kedua jenazah itu adalah Mayor Jenderal Suwondo Parman dan Mayor Jenderal Suprapto.

Pukul 12.55, giliran jasad Mayor Jenderal MT Haryono dan Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomihardjo yang diangkat ke atas. Menyusul kemudian jasad Jenderal TNI Ahmad Yani pada pukul 13.30.

Pencarian terhadap satu jasad dari enam jenderal yang hilang sempat berhenti sesaat. Ada anggota keracunan dan banyak penyelam yang kelelahan, lantaran diameter sumur begitu sempit. Komandan Kipam Kapten KKO Winanto akhirnya turun tangan. Dia turut memboyong alat selam dan penerang ke dalam sumur itu.

Upaya Kapten KKO Winanto berhasil menemukan satu jenazah tersisa. Tim kemudian mengidentifikasi bahwa jasad itu adalah Mayjen TNI Donald Izacus Panjaitan. Ketujuh jenazah itu lalu dibawa untuk diautopsi, dibersihkan, dan dikuburkan.

Kenapa jasad mereka berada di Lubang Buaya?

Tentang hal ini, sudah jamak diketahui oleh masyarakat Indonesia dan bahkan publik internasional. Sejarah mencatat, pada 30 September 1965 telah terjadi “penjemputan paksa” terhadap enam jenderal dari rumah mereka masing-masing. Mereka adalah Jenderal TNI Ahmad Yani yang menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi dan Mayjen TNI Donald Izacus Panjaitan sang Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat Bidang Logistik. Kedua Jenderal ini gugur di rumah dinas masing-masing saat dijemput oleh pasukan Cakrabirawa.

Selain itu, pasukan pimpinan Komandan Batalion I Kawal Kehormatan Tjakrabirawa Kolonel Untung juga menjemput paksa empat jenderal lainnya. Mereka adalah Letjen TNI Raden Suprapto selaku Deputi II Menteri/Panglima AD Bidang Administrasi, Letjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono selaku Deputi III Menteri/Panglima AD Bidang Perencanaan dan Pembinaan, Letjen TNI Siswondo Parman selaku Asisten I Menteri/Panglima AD Bidang Intelijen, dan Mayjen TNI Sutoyo Siswomiharjo selaku Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal AD.

Para pasukan Cakrabirawa pada awalnya juga ditugaskan untuk menculik Jenderal TNI Abdul Haris Nasution di rumahnya. Namun, Menteri Pertahanan dan Keamanan yang menjadi target utama itu malah berhasil lolos meski cidera di kaki karena terkena peluru. Pasukan justru memboyong Kapten Pierre Tendean sang ajudan karena salah mengenali orang. Di saat bersamaan, pasukan Pasopati Cakrabirawa juga memuntahkan peluru ke tubuh Ade Irma Nasution, yang merupakan putri bungsu sang jenderal.

Para perwira TNI AD itu pada awalnya diminta oleh Pasukan Cakrabirawa untuk menemui Presiden Soekarno. Menurut dokumentasi sejarah yang disponsori tentara dalam film G30S/PKI disebutkan bahwa kondisi negara malam itu dalam keadaan genting.

Namun nahas. Diantara para perwira TNI AD itu melawan. Akibatnya tiga jenderal tewas di rumah dinasnya. Akhirnya, para jenderal yang “dijemput paksa” itu, baik yang masih hidup maupun yang sudah gugur, diboyong ke Lubang Buaya pada dinihari 1 Oktober 1965. Di sana mereka diberondong pertanyaan tentang Dewan Jenderal. Para perwira yang masih hidup juga dipaksa untuk menandatangani surat pengakuan bahwa dirinya terlibat upaya kudeta. Penyiksaan terjadi. Ada perwira yang dipukul kepalanya dengan benda keras. Ada juga yang patah kaki. Hal itu terungkap dari penyelidikan forensik yang dilakukan Tim KKO. Namun, tidak seperti propaganda dalam film G30S/PKI. Tidak ada bekas luka sayatan atau pemotongan penis pada korban.

Para jenderal yang masih hidup itu menolak untuk mengakui terlibat dalam Dewan Jenderal. Akhirnya mereka dibunuh dan dikuburkan satu liang sedalam 12 meter, di kawasan Lubang Buaya.

Lokasi pembunuhan terhadap para perwira TNI AD itu baru diketahui setelah salah seorang Agen Polisi Dua Sukitman melaporkan peristiwa malam itu. Dia merupakan salah satu korban penculikan yang berhasil lolos dari Lubang Buaya. Sukitman seperti dalam catatan Maulwi Saelan: Penjaga Terakhir Presiden (2014) akhirnya mengungkap lokasi para jenderal yang diculik itu. Dia bahkan menjadi penunjuk jalan bagi tim pencari ke Lubang Buaya.

Para perwira TNI yang diculik tersebut dituduh terlibat dalam Dewan Jenderal, yang diisukan hendak melakukan makar terhadap Presiden Soekarno. “Padahal itu cerita khayalan yang dikarang PKI. Pak S Parman lalu disuruh tanda tangan. Andai dia mau tanda tangan, berarti TNI AD benar-benar akan melakukan kudeta. Tapi beliau kukuh TNI AD tidak akan melakukan kudeta,” kata Perwira Seksi Pembimbingan Informasi Monumen Pancasila Sakti dari TNI Angkatan Darat, M Yutharyani seperti dilansir CNN Indonesia.

Selain tujuh korban yang ditemukan di Lubang Buaya itu, Gerakan 30 September juga menculik Komandan Korem 072/Pamungkas Brigjen TNI Katamso Darmokusumo dan Kepala Staf Korem 072/Kodam VII/ Diponegoro Kolonel Raden Sugiyono Mangunwiyoto di luar Jakarta. Penculikan terhadap dua perwira itu dilakukan oleh oknum pasukan Batalion L. Jasad mereka belakangan ditemukan di sebuah lubang, di tengah rawa, di belakang Markas Batalion L di Kentungan. Jaraknya sekitar 6 Kilometer sebelah utara Kota Yogyakarta.

Peristiwa Gerakan 30 September ini berakibat fatal pada Partai Komunis Indonesia (PKI). Partai yang dipimpin oleh DN Aidit itu dituding menjadi dalang pembunuhan terhadap para jenderal. TNI AD yang kadung geram menyisir komunis hingga ke seluruh Indonesia.

Soeharto yang memegang kendali penuh pasukan RPKAD turut mengirim kawat ke seluruh Kodam di Tanah Air, termasuk ke Sumatra dan Aceh. Di Sumatra, dendam terhadap kaum komunis telah membara sejak lama lantaran pembantaian terhadap kaum feodal dan tuan tanah di awal-awal Indonesia merdeka. Dendam terhadap komunis di Sumatra juga dilatarbelakangi oleh perbedaan pandangan politik masa itu.

Sementara di Aceh, pemusnahan kaum komunis lebih bersandar pada ideologi yang diadopsi PKI bertolak belakang dengan ajaran Islam. Meskipun demikian, ada beberapa warga–yang dituding PKI–hanyalah rakyat biasa yang tidak mengerti apa akronim dari PKI itu. Di antara mereka bahkan ada tokoh yang terjebak menghadiri acara, atau rakyat biasa masuk dalam daftar karena menerima bantuan cangkul dan alat-alat tani dalam kampanye politik PKI. Bagi rakyat biasa yang menjadi korban tersebut, mereka hanya paham bahwa PKI adalah Partai Kebangkitan Islam atau sesuatu lembaga yang bersandar pada Islam. Apalagi tokoh-tokoh PKI di Aceh seperti Thaib Adamy adalah seorang Muslim.

Seperti kisah seorang warga Simeulue, yang mengutip keterangan leluhurnya tentang kejadian di Pulau Siumat, yang berjarak sekitar 20 Kilometer dari Kota Sinabang. Saat itu ada kenduri besar yang dipelopori oleh PKI dari daratan Aceh. Semua tokoh Simeulue diundang ke pulau kecil tersebut. Kendati mengetahui bahwa acara itu digelar oleh PKI, akan tetapi para tokoh Simeulue tidak tahu target politik partai berhaluan kiri itu ke depannya. “Sehingga sebagian masyarakat yang hadir di acara itu ada yang mau bergabung. Yang akhirnya mereka menjadi anggota PKI,” ungkap narasumber SumateraPost.com yang enggan dicantumkan nama itu.

Meskipun begitu, tidak sedikit pula para tokoh masyarakat yang diundang ke pulau kecil itu tidak bersedia bergabung dengan PKI. Ada di antara mereka yang memiliki keahlian berlayar bahkan kabur dari lokasi kenduri dengan perahu masing-masing. “Tahunnya saya lupa. Antara 1963 atau 1964,” katanya lagi.

Masyarakat Aceh baru tahu bahwa PKI berideologi komunis justru setelah jasad para Jenderal TNI AD ditemukan di Lubang Buaya. Berdasarkan catatan Jess Malvin, dalam bukunya The Army and The Indonesian Genocide Mechanic of Mass Murder (2019), masyarakat Aceh secara massal mengikuti salat ghaib kepada para perwira TNI AD yang menjadi korban G30S di Lubang Buaya. Hari itu bertepatan dengan peringatah HUT TNI AD pada 5 Oktober 1965. Saat itu, ulama tidak berani keluar rumah. Namun atas perlindungan massa dan rakyat yang geram terhadap komunis, para ulama hadir pula ke Lapangan Blang Padang, Banda Aceh, tempat upacara itu dipusatkan.

Dalam upacara itu pula dideklarasikan perlawanan terhadap PKI dan diungkap fakta bahwa ideologi partai itu adalah ateis. Rakyat yang mendengar hal tersebut spontan marah dan mulai bertindak untuk memusnahkan paham komunis di Aceh.

John Roosa, Associate Professor Departemen Sejarah University of British Columbia dalam bukunya Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, menyebut aksi pembunuhan Jenderal di Lubang Buaya sudah banyak direkayasa. Pada dasarnya, menurut John Roosa, keberadaan Gerwani–gerakan perempuan sempalan PKI– di Lubang Buaya dalam rangka mengikuti latihan Dwi Komando Rakyat (Dwikora). Selain kader Gerwani, mereka yang mengikuti latihan Dwikora di Lubang Buaya pada 1965 adalah anggota PKI, Pemuda Rakyat, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia, dan Buruh Tani Indonesia.

Pun demikian, John Rossa yang mengutip keterangan Duta Besar AS untuk Indonesia, Marshall Green, tidak menyamarkan tentang bahayanya gerakan tersebut jika berhasil dilakukan, terutama bagi kekuatan AS di Asia Tenggara. Jika gerakan itu berhasil, menurutnya, Indonesia dapat berubah menjadi negara komunis yang bersekutu dengan Uni Soviet. “Bangsa terbesar keempat di dunia ini (Indonesia) akan menjadi komunis, dan memang nyaris demikian,” ujar Green pada 1997.

Penumpasan terhadap unsur PKI dan kaki tangannya tersebut justru mengubah wajah Indonesia dalam percaturan politik dunia. Pecahnya gerakan tersebut juga menandai berakhirnya Orde Lama pimpinan Soekarno.

Profesor politik University of Papua New Guinea asal Australia, Rex Mortimer, seperti dilansir CNN Indonesia, menggambarkan nasib yang menimpa PKI dengan tepat pada pembuka bukunya, Indonesian Communism Under Sukarno Ideology and Politics, 1959-1965. PKI yang berkembang pesat dengan kecepatan menakjubkan, ujar Mortimer, selalu kandas oleh skandal kekerasan di tiap periode kebangkitannya.[]

*Note: Tulisan ini sudah dimuat di sumaterapost.com

No comments:

Post a Comment