“MARI sobat, mari saudara/ Pergi perang di Samalanga/ Mari kumpul dan bersuara/ Lalu menyanyi bersama-sama// Satu nyanyian yang amat merdu/ Menghibur hati yang amat duka/ Hari ini kita di Meureudu/ Esok lusa jalan ke muka// Dari Meureudu jalan di sawah/ Itu jalan yang amat susah/ Tempo-tempolah liwat rawa/ Asal bisa dapat ke muka// Kalau jalan harus berdiam/Karna musuh berjaga-jaga/ Kalau dengar bunyi meriam/ Itu tandalah musuh ada// Sungguh musuh banyak sekali/ Ada berdiri di dalam benteng/ Harus kami berlari-lari/Waktu komandolah: Ataqeeren//…”
Inilah beberapa penggal syair yang diciptakan Iz Thenu, salah seorang pendeta Belanda yang bertugas membina rohani para prajurit pribumi berjudul “Samalanga”. Thenu yang lahir pada 14 September 1868 di Hutumuri, Ambon, itu terinspirasi pada peperangan Belanda yang susah payah dalam merebut Samalanga. Perang yang pelik lantaran turut menghadiahkan cinderamata bagi komandan militer Belanda, sekelas van der Heijden.
Perang di Samalanga itu kelak juga ditulis oleh C Nieuwenhuis dalam buku berjudul “De expeditie naar Samalanga“. Kemudian tulisannya diterjemahkan oleh Aboe Bakar ke dalam bahasa Indonesia, dan sumaterapost.com mendapat catatan tentang Perang Samalanga itu dari buku “Agresi Belanda ke Samalanga” yang dicetak ulang oleh Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA) Banda Aceh, tahun 2017 lalu.
Dalam buku tersebut, Nieuwenhuis menguatarakan alasan Belanda menyerang Samalanga karena ingin memperluas wilayah mereka di Aceh. Selain itu, penyerangan ke Samalanga juga dilakukan untuk memutus mata rantai bantuan untuk pasukan Aceh yang ingin merebut kembali Bandar Aceh Darussalam.
Agresi ke wilayah Samalanga dilakukan berkali-kali oleh Belanda. Percobaan tersebut terus menerus mengalami kegagalan, terutama ketika kolonial hendak merebut benteng Batee Iliek.
Belanda mengetahui pengaruh kuat penguasa Samalanga, Teuku Chik Muda atau akrab disapa Teuku Chik Bugeh di kawasan itu. Dibantu oleh kakak tirinya, Pocut Meuligoe, penguasa Samalanga kerap kali mengirimkan pasukan ke Aceh Besar untuk membantu mengusir Belanda.
Pengiriman pasukan ke Aceh Besar itu telah terjadi sejak 1873 hingga 1877. Faktor inilah yang membuat Belanda menyusun rencana untuk menyerang Samalanga dengan memanfaatkan cuak bernama Sutan Maharaja pada tahun 1877.
Ekspansi ke Samalanga itu dipimpin oleh Kolonel K van der Heijden, seorang putra dari perwira tinggi Belanda, Kolonel Hubert Joseph Lambert Ridder de Stuers yang menikah dengan seorang wanita Bugis. Dalam ekspedisi tersebut, ikut serta seorang mayor Inggris yang bernama Palmer dan Uleebalang Meuraksa Teuku Nyak Hamzah selaku penasehat Belanda.
Pemberangkatan pasukan dalam jumlah besar ke Samalanga pertama kali dilakukan pada 8 Agustus 1877. Nieuwenhuis mencatat belasan kapal perang berangkat dari Ulee Lheue menuju perairan Samalanga malam itu. Namun, ekspedisi tersebut berhasil dipukul mundur oleh pasukan Aceh di Samalanga.
“Dalam pertempuran sengit di Teumulét pada tanggal 26 Agustus, Van der Heijden bahkan tertembak mata kirinya dan sejak itu ia dijuluki oleh orang-orang Aceh sebagai “jeundran buta siblah” (jenderal buta sebelah),” tulis Nieuwenhuis.
Belanda kemudian mengirimkan armada tambahan, sebanyak empat kapal perang yang berlabuh di perairan Meureudu, ke Samalanga pada 10 September 1877. Empat kapal perang tersebut menggempur kota selama dua setengah jam. Pasukan Belanda turut menyerang pasukan-pasukan di tepi barat Kuala Ulim, yang menyebabkan Teuku Chik Muda atau akrab disapa Teuku Chik Bugeh akhirnya mendatangi Kampung Sangsō untuk berdamai.
Teuku Chik Muda kemudian menandatangani sebuah akta di meunasah kampung Sangsō yang disaksikan oleh Kepala Staf Letnan Kolonel H.F Meijer, kontelir kl. 1 H. van Keukelum. Saksi lain yang menyaksikan penandatanganan akta damai itu adalah dua orang perwira Belanda.
Meskipun penguasa Samalanga telah menandatangani akta tersebut, tetapi tidak membuat perlawanan di Benteng Batee Iliek mereda. Pada 22 Juli 1880, tulis Nieuwenhuis, Belanda kembali melancarakan serangan ke Benteng Batee Iliek yang dipimpin oleh Mayor W A Schmilau. Usaha tersebut juga gagal. Begitu pula dengan serangan Belanda berikutnya yang dipimpin oleh Van der Heijden pada Agustus 1880, yang juga menemui kegagalan.
“Peristiwa ini dalam sejarah perang kolonial Belanda disebut het Echec van Samalanga (kegagalan total di Samalanga),” catat Nieuwenhuis.
Belanda akhirnya berhasil merebut Samalanga setelah 21 tahun berlalu sejak agresi pertama mereka ke daerah tersebut. Keberhasilan itu lantaran banyaknya bocoran tentang basis-basis para pejuang Aceh di Meureudu dan Samalanga. Selain itu, keberhasilan Belanda ini juga dibantu oleh andil Teuku Chik Muda dan uleebalang Peudada yang berbelot kepada Belanda.
“Dengan itulah akhirnya Batée Iliek jatuh pada tanggal 3 Februari 1901, setelah dipertahankan dengan gigih oleh pejuang-pejuang Aceh,” tulis Nieuwenhuis, yang merupakan saksi hidup peristiwa agresi Belanda ke wilayah Samalanga dan sekitarnya tahun 1901.[]
*Note: Tulisan ini sudah dimuat di sumaterapost.com
No comments:
Post a Comment