Showing posts with label Sejarah Aceh. Show all posts
Showing posts with label Sejarah Aceh. Show all posts

Wednesday, February 7, 2024

Peristiwa Februari dalam Lintasan Sejarah Aceh

KEMARIN, 3 Februari 2024, bertepatan dengan peristiwa tragis yang pernah terjadi pada 25 tahun lalu di Aceh Timur. Puluhan jenazah warga Aceh ditemukan di Sungai (Krueng) Arakundo yang letaknya sekitar 23 kilometer sebelah barat Idi Cut. 

Berdasarkan data Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) jumlah jenazah yang ditemukan mencapai 58 orang. Masih berdasarkan catatan KontraS, jenazah yang ditemukan tersebut dimasukkan ke dalam goni dan diikat dengan batu. 

Dari keterangan saksi mata yang dihimpun KontraS, para korban merupakan warga yang mengikuti ceramah di Aceh Timur. Ceramah tersebut dihentikan oleh TNI karena dituding menjadi media Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk ajang propaganda pada 3 Februari 1999 lalu. Saksi mata turut menyebut sempat terdengar suara rentetan tembakan pasca penghentian kegiatan ceramah malam itu.

Peristiwa yang kelak disebut tragedi Arakundo itu merupakan satu dari sekian banyak kejadian yang terjadi pada bulan Februari, berdasarkan catatan sejarah panjang daerah ini.

Pada bulan yang sama, rentang waktu berabad-abad sebelumnya, tepat pada 15 Februari 1641, juga terjadi peristiwa yang kelak dicatat dalam sejarah. Pada tanggal itu, H. M Zainuddin dalam buku Tarich Aceh dan Nusantara Jilid 1 mencatat, Sultan Iskandar Tsani Ala'addin Mughayat Syah mangkat secara tiba-tiba di istana Sultan Aceh. 

Tidak diketahui penyebab mangkatnya sang pemimpin pengganti Sultan Iskandar Muda tersebut. Namun, berdasarkan catatan H. M. Zainuddin, di masa pemerintahan Iskandar Tsani terjadi polemik antara pengikut Syekh Nuruddin Ar Raniry dengan Hamzah Fansuri. 

Sejarah Panjang Aceh di Bulan Januari

JANUARI
dalam tahun Masehi menyimpan banyak peristiwa penting yang kelak menjadi sejarah perjalanan Aceh menjadi seperti sekarang. Pada Januari, peristiwa demi peristiwa yang mengubah wajah Aceh pada masa lalu menjadi seperti sekarang kemudian dicatat oleh militer Belanda selama genderang perang ditabuh di atas kapal perang.

Catatan militer Belanda itu selanjutnya turut menjadi rujukan berbagai peristiwa yang ditulis sejarawan pasca kemerdekaan Indonesia. Sejarah ini belum tentu benar, akan tetapi dapat menjadi panduan sementara untuk mengetahui apa yang terjadi di Aceh pada masa lalu.

Generasi muda Aceh perlu berpikir kritis dalam menyikapi catatan sejarah daerah yang bersandar pada catatan "pemenang perang". Penelitian ilmiah dan kajian-kajian kritis untuk menganalisa sebuah peristiwa juga diperlukan agar sejarah Aceh tidak menjadi dongeng, atau dongeng malah menjadi sejarah.

***

Wednesday, December 27, 2023

Desember dalam Catatan Panjang Sejarah Aceh

ACEH memiliki sejarah panjang di bulan Desember jika merujuk pada penanggalan tahun berdasarkan perhitungan kalender Masehi. Beberapa peristiwa yang tak bisa dilupakan begitu saja terjadi pada akhir tahun, sejak beberapa dekade hingga hitungan abad. Apa saja itu?

Dari penelusuran singkat penulis, terdapat beberapa kejadian yang terkadang mengubah jalannya sejarah Aceh di masa kini. Kejadian-kejadian tersebut antaranya berkaitan dengan peristiwa duka maupun aktivitas yang berkaitan dengan politik ideologi kedaerahan.

Berbagai rujukan kejadian yang kini menjadi sejarah tersebut dimulai dari tanggal 23 Desember 1389 Masehi atau bertepatan dengan hari Jum'at, 14 Zulhijjah 791 Hijriah. Pada hari itu, berabad-abad lampau, seorang sultanah dari Kerajaan Sumatrah (Pasai) bernama Sultanah Al' Ala mangkat. Dia merupakan putri Sultan Malikuzzahir (Malik at Thahir) yang memimpin Kerajaan Sumatrah.

Penanggalan mangkatnya sang sultanah itu terukir dengan jelas di batu nisan yang kelak ditemukan di kompleks pemakaman para raja di Peut Ploh Peuet, Gampong Minyek Tujoh, Kemukiman Ara, Aceh Utara. Hal itu kemudian dicatat dengan runut oleh H. Mohammad Said, dalam bukunya Aceh Sepanjang Abad Jilid I.

Sejarah lain yang terjadi pada akhir tahun Masehi adalah terkait permintaan maaf pimpinan Dinasti Oranje kepada Sultan Aceh. Bertanggal 11 Desember 1600 Masehi, Prince Maurist de Nassau yang memimpin Dinasti Oranje di Belanda mengirim utusan ke Aceh. 

Tuesday, April 4, 2023

Paya Reubee dalam Catatan Sejarah Aceh

Ilustrasi pasukan Marsose dalam formasi bertahan. Sumber foto: KITLV/Tropen Museum

PAYA Reubee menjadi tempat strategis  bagi Belanda untuk memenangkan perang di sebagian kawasan Pidie. Lokasi dengan bentang alam berawa ini berada di suatu bagian yang tercatat masuk dalam V Mukim Reubee--yang di dalamnya berdiri beberapa perkampungan penduduk seperti Gampong Reubee, Beuah, Hagoh, dan Peudaya. Keseluruhan pemukiman penduduk ini bercokol tak jauh dari rawa yang menjadi tempat penting bagi pejuang Aceh melakukan serangan-serangan gerilya terhadap patroli Belanda.

Paya Reubee juga menjadi basis para pejuang untuk melakukan sabotase terhadap pelintasan kereta api jalur Sigli dan Padang Tiji. Belanda yang sudah menguasai beberapa titik daratan milik Sultan Aceh sudah lama berhajat untuk menghancurkan pertahanan pejuang di rawa-rawa ini. 

Keberadaan markas para pejuang Aceh di Paya Reubee turut mendapat sokongan dari penduduk setempat. Mereka mendapat perbekalan dan informasi terkait kedatangan musuh. Hal inilah yang membuat Belanda sukar sekali menaklukkan Paya Reubee yang wilayahnya sulit untuk dilalui tanpa harus diketahui oleh lawan tersebut.

Namun, Belanda berhasil mengumpulkan informasi terkait keberadaan para pejuang Aceh di sekitar Paya Reubee berkat bantuan seorang imam mukim. Sosok yang tidak disebutkan namanya ini digambarkan sebagai seseorang yang opportunis sehingga berhasil mengecoh kedua kubu yang bertikai. Di satu sisi, sosok ini membantu para pejuang Aceh melawan Belanda. Namun, di sisi lain, sosok imum mukim tersebut telah bersumpah setia kepada Belanda seperti dicatat H. M. Said dalam bukunya Aceh Sepanjang Abad.

Dari informasi yang disodorkan imum mukim itulah Belanda akhirnya mengepung Paya Reubee pada 20 Januari 1901. Berkekuatan dua kompi prajurit KNIL di-back up Marsose, Belanda menggunting pertahanan pejuang Aceh di Paya Reubee. Satu kompi pasukan Belanda dipimpin Kapten L.J. Schroder, sementara kompi lainnya dipimpin oleh Kapten D.A. de Voogt.

Pertempuran di Paya Reubee berlangsung alot. Butuh sehari bagi Belanda untuk menembus pertahanan pejuang Aceh di lokasi ini. Setelah mengerahkan kekuatannya, pasukan Aceh berhasil dipukul mundur. Selain itu, pertempuran ini juga merenggut nyawa beberapa pimpinan pejuang sepeti Pang Lam Beurah, Teungku Mak Usen Pendaya dan Pang Gemito.

"Ulama Teungku Di Krueng yang memimpin perlawanan totalnya ketika itu mendapat luka-luka, tapi dapat diselamatkan dari sergapan Belanda," tulis H. M Said.

Belanda merayakan kemenangannya hari itu. Namun, kegembiraan itu hanya berlangsung sesaat lantaran pejuang Aceh yang telah mengevakuasi Teungku Di Krueng kembali menyerang pada malam harinya. Dalam pertempuran di gelap malam itu, Belanda harus mundur dengan membakar pondok-pondok serta bangunan pertahanan pejuang Aceh yang ada di Paya Reubee.

Kejahatan Perang Belanda dalam Ekspedisi Gayotocht van Daalen

Korban pembantaian Belanda di perkampungan Aceh selama ekspedisi militer di bawah kepemimpinan van Daalen di sepanjang Dataran Tinggi Gayo, Tanah Alas, dan Batak. Foto: KITLV/Tropen Museum

Belanda yang baru beberapa tahun membentuk Korps Marechaussee te Voet alias Marsose--unit anti-gerilya yang terdiri dari para relawan KNIL untuk memburu Sultan Aceh, turut melancarkan ekspedisi ke dataran tinggi Gayo. Dalam rangka eskpedisi militer tersebut, Belanda di bawah komando van Daalen menyisir dan menyapu perkampungan yang ada di sepanjang jalur ekspedisi sepanjang Tanah Gayo, Alas, hingga mencapai Tanah Batak dan wilayah Sisingamangaraja.

Pada 4 April 1904, ekspedisi militer Belanda mencapai Kampung Badak dan terlibat pertempuran dengan masyarakat setempat. Sebanyak 93 orang laki-laki dari kampung tersebut tewas dalam pertempuran tak seimbang tersebut. Selain itu, sebanyak 29 orang perempuan dan anak-anak juga ikut dibunuh dalam ekspedisi yang belakangan dikenal dengan istilah Gayotocht tersebut.

Rangkaian ekspedisi militer Belanda di pedalaman Aceh tersebut berujung pada pembantaian penduduk setempat. Selain di Kampung Badak, Surat Kabar Deli Courant menyebutkan, dalam peristiwa ekspedisi di salah satu desa di Gayo, ratusan warga dibantai dan menyebabkan korban tewas terdiri 313 pria, 189 wanita, dan 59 anak-anak. Aksi pembantaian berlanjut ke wilayah Suku Alas di Aceh Tenggara (berdasarkan peta administrasi wilayah Aceh saat ini). 

Pembantaian yang dilakukan Belanda dan paling diingat hingga sekarang adalah peristiwa di Benteng Kuta Reh. Pembantaian massal yang dilakukan Belanda di desa ini disebutkan menjadi salah satu catatan buruk ekspedisi militer negeri Kincir Angin itu di Aceh. Aksi pembantaian ini bahkan disebut merupakan salah satu kejahatan perang Belanda selain kasus Rawa Gede. Namun, sayangnya hingga saat ini, Belanda tidak menyampaikan permintaan maaf atas kasus pembunuhan besar-besaran di Kuta Reh tersebut.

Serangan Belanda ke Kuta Reh berlangsung pada 14 Juni 1904 dan telah merenggut 313 orang pria dari penduduk setempat. Selain itu, sebanyak 248 wanita dan akan-anak juga dibunuh secara sadis. Jenazah para penduduk kemudian ditumpuk dan diabadikan dalam sebuah foto yang kelak menjadi pengingat tentang kekejaman Belanda selama berperang di Aceh. Selain membunuh penduduk Kuta Reh, Belanda juga menawan 20 orang perempuan dan 61 anak-anak. Sementara kaum pria tidak ada yang selamat dalam serangan tersebut. Penyerangan ke Kuta Reh juga turut membuat Belanda kehilangan lima personil prajuritnya yang tewas dan sebanyak 14 lainnya luka-luka.

Belanda Menginvasi Kesultanan Aceh

Kondisi Ulee Lheue, Banda Aceh, pada suatu masa

Kondisi Ulee Lheue, Banda Aceh, pada suatu masa. Sumber foto: KITLV/Tropen Museum


“…kita hanya seorang miskin dan muda, dan kita sebagai juga Gubernemen Hindia Belanda, berada di bawah perlindungan Tuhan yang maha kuasa…”

Pernyataan ini merupakan jawaban Sultan Alaiddin Mahmud Syah terhadap ultimatum Belanda yang bersikukuh menyerang kedaulatan Aceh. Surat pernyataan perang oleh Belanda itu ditulis pada 26 Maret 1873, dan disampaikan kepada Sultan Aceh pada 1 April 1873.

Pernyataan perang itu antara lain berbunyi, “…dengan ini, atas dasar wewenang dan kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh Pemerintah Hindia Belanda, ia atas nama Pemerintah, menyatakan perang kepada Sulthan Aceh…”

Beberapa kali Belanda menyurati Sultan Aceh dan sekian kalinya pula mendapatkan jawaban yang mengecewakan. Salah satu bunyi surat Sultan Aceh Tuanku Mahmud Syah adalah seperti di tulisan pembuka, di atas.

Hingga akhirnya, Komisaris Pemerintah Belanda, Niewehhuijzen memerintahkan kapal perang Citadel van Antwerpen untuk memborbardir dan mendaratkan pasukannya di Ulee Lheue sejak 26 Maret 1873.

Belanda memerangi Aceh bersandar pada Perjanjian Traktrat Sumatra yang di dalamnya menentukan negara Kincir Angin itu bebas untuk memperluas kendali mereka atas seluruh pulau Sumatera. Belanda, dalam Traktat Sumatra, juga tidak berkewajiban untuk menghormati independensi dan integritas Kerajaan Aceh sebagaimana tercantum dalam “London Treaty” 1842. Traktat ini merupakan perjanjian Belanda dengan Great Britain atau Inggris Raya pada tahun 1871.

Sunday, May 9, 2021

Jejak Gubernur Belanda di Aceh (2)

Sumber: KITLV

KEGANASAN van der Heijden selaku pemimpin sipil dan militer di Aceh menjadi sorotan oleh kalangan internal Belanda. Sikapnya yang tidak beradab dalam menghadapi Aceh bahkan disebut sebagai prilaku bar-bar. Hal inilah yang membuat Belanda mempertimbangkan kembali posisi van der Heijden sebagai penguasa tertinggi di Aceh.

Dr Julius Jacobs dalam buku “Het Familie en kampongleven in Groot Atjeh” bahkan memaparkan fakta-fakta memalukan yang dilakukan oleh Belanda di bawah kepemimpinan Heijden. Dia meminta parlemen Belanda tidak melupakan keganasan yang dilakukan oleh tentara mereka di Aceh tersebut.

Tentang kebrutalan Belanda ini, Dr Jacobs mengaku melihatnya sendiri di lapangan ketika berada di Aceh.

“… Men spreke niet van oorlogsrecht, zools mij zoo dikwijls is voorgeworpen. Oorlogrecht is het iemand neer te schieten, die met een klewang of donderbus in de hand op ons toetreedt of in onze handen valt; doch het is geen oorlogsrecht wanneer een grijsaad en een jongen van 12 jaar, die op de sawah werkzaam en beiden ongewapen zijn, worden neergeschoten (seseorang tidak dapat berbicara tentang hukum perang, seperti yang sering disampaikan kepada saya. Merupakan hak perang untuk menembak seseorang yang mendekati atau menyerang kita dengan klewang atau blunderbuss di tangan, tetapi bukan hukum perang ketika seorang tua bangka dan seorang anak laki-laki berusia 12 tahun yang sedang bekerja di sawah, tanpa senjata, ditembak begitu saja,” tulis Dr Jacobs menyorot keganasan van der Heijden.

Tentu saja van der Heijden yang menghadapi sidang militer membantah semua tuduhan atas dirinya, termasuk aksi pembongkaran makam para Sultan Aceh. Dia mengatakan kebijakan serupa juga dilakukan oleh para Gubernur Belanda di Aceh sebelum dia berkuasa. (Baca: Jejak Gubernur Belanda di Aceh).

Tuesday, May 4, 2021

Jejak Gubernur Belanda di Aceh

“…kita hanya seorang miskin dan muda, dan kita sebagai juga Gubernemen Hindia Belanda, berada di bawah perlindungan Tuhan yang maha kuasa…”

Pernyataan ini merupakan jawaban Sultan Alaiddin Mahmud Syah terhadap ultimatum Belanda yang bersikukuh menyerang kedaulatan Aceh. Surat pernyataan perang oleh Belanda itu ditulis pada 26 Maret 1873, dan disampaikan kepada Sultan Aceh pada 1 April 1873.

Pernyataan perang itu antara lain berbunyi. “Dengan ini, atas dasar wewenang dan kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh Pemerintah Hindia Belanda, ia atas nama Pemerintah, menyatakan perang kepada Sulthan Aceh..”

Beberapa kali imperialis tersebut menyurati Sultan Aceh dan sekian kalinya pula mendapatkan jawaban yang mengecewakan. Hingga akhirnya, Komisaris Pemerintah Belanda, Niewehhuijzen memerintahkan kapal perang Citadel van Antwerpen untuk memborbardir dan mendaratkan pasukannya di Ulee Lheue sejak 26 Maret 1873.

Perang berlangsung sengit hingga 31 tahun lamanya. Sejak deklarasi perang ditabuh dari kapal Citadel, Belanda baru berhasil menangkap Sultan Aceh Tuanku Muhammad Daud Syah pada 15 Januari 1903. Penangkapan itu pun dilakukan secara culas, yaitu dengan menawan permaisuri dan putra mahkota terlebih dahulu.

Alhasil, Sultan Aceh bersedia datang menemui Belanda dengan bertelanjang kaki–isyarat bahwasanya Tuanku Muhammad Daud Syah hanyalah seorang rakyat biasa. Belanda tidak paham akan hal itu dan dengan tergesa-gesa mengumumkan bahwa Sultan Aceh telah kalah perang. Padahal, di lapangan, situasi pertempuran masih terjadi hingga 39 tahun selanjutnya. Komando perang telah diambil alih oleh para ulama secara estafet. (Baca: Januari dalam Sepenggal Catatan Sejarah Aceh)

Selama perang puluhan tahun itu, Belanda turut membentuk sistem pemerintahan resmi di Aceh. Sistem pemerintahan ini pernah dijabat oleh sipil dan militer, yang belakangan disebut Gubernur.

Saturday, April 24, 2021

Januari dalam Sepenggal Catatan Sejarah Aceh

CATATAN tentang sejarah Aceh sangat panjang untuk dapat diceritakan secara mendetil atau ditulis secara lengkap dalam satu buku. Butuh penelitian yang serius untuk mengungkap fakta dari catatan sejarah Aceh selama ini. Meskipun demikian, sepenggal catatan sejarah Aceh itu telah berhasil didokumentasikan oleh H Mohammad Said dalam Aceh Sepanjang Abad Jilid I dan Jilid II.

Dalam catatan tersebut, tidak sepenuhnya sejarah Aceh ditulis lengkap karena diduga keterbatasan waktu dan belum canggihnya peralatan penelitian pada masa itu. Catatan sejarah tersebut perlu dilanjutkan, terutama dalam hal dokumentasi tanggal sebuah peristiwa yang kelak menjadi sejarah sebuah bangsa.

Dari hasil penelusuran singkat yang dilakukan SumateraPost.com, terdapat banyak peristiwa besar di bulan Januari dalam sejarah perjalan daerah ini. Mulai dari serangan Belanda ke Aceh hingga penyanderaan kapal Inggris oleh Raja Teunom.

Di bulan Januari juga tercantum peristiwa pembuangan alias pengasingan Cut Nyak Dhien dan juga penyerahan diri Sultan Aceh Darussalam Tuanku Muhammad Daud kepada Belanda.

Berikut sebagian peristiwa penting yang pernah terjadi di Aceh sepanjang Januari, versi H Mohammad Said dalam Aceh Sepanjang Abad yang kemudian dirangkum oleh SumateraPost.com:

Wednesday, April 21, 2021

Diwana Singkat ke Gedung Sentral Telepon Belanda

ANGKA 1903 berwarna biru terlihat kontras dengan dinding papan berkelir putih, di bangunan segi delapan yang ada di pusat Kota Banda Aceh itu. Ada dua ventilasi berlogo salib khas bangunan Eropa abad 19 mengapit di dua sisi angka tersebut. Sementara di atasnya masih kokoh tertancap atap berbentuk limas dengan seng yang sudah berkarat. Di bawah angka itu terdapat dua daun jendela kaca tiga kolom yang diapit oleh ventilasi kayu berjejer persegi panjang.

Di salah satu dinding lainnya, yang luasnya sedikit lebih kecil itu, ditempel dua balok kira-kira berukuran 5×5. Jika ditelisik secara kasat mata, balok itu seperti berbentuk menyerupai huruf X. Namun jika diperhatikan secara seksama, balok itu juga seperti membentuk huruf A yang saling menindih.

Jauh di bawah angka 1903 tersebut terdapat sebuah pintu berkubah yang menjadi satu-satunya akses ke lantai dasar bangunan. Pintu ini ditempel ke dinding berkonstruksi batu persegi panjang berukuran besar.

Bangunan itu berada di kawasan Simpang Jam, Kota Banda Aceh. Di sayap timur kompleks bangunan itu merupakan Taman Ghairah atau kelak dikenal Taman Putroe Phang. Sementara di arah barat kompleks bangunan tersebut berdiri sebuah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU). Tak jauh dari bangunan segi delapan ini juga terdapat Kompleks Gunongan, dan kompleks pemakaman Belanda yang dikenal Peucut alias Kherkhoff.

Monday, April 19, 2021

Perlawanan Teuku Ben Peukan Berakhir di Daftar Pengasingan

PEPERANGAN Belanda merebut wilayah-wilayah Kesultanan Aceh tidak berlangsung mudah. Blokade-blokade yang diterapkan pun tak menyurutkan semangat perjuangan para pasukan sultan. Perwira-perwira Belanda pun tak sedikit yang dicopot dari jabatannya, hilang nyawanya, dan juga cidera akibat perang di wilayah paling barat pulau Sumatra itu.

Alotnya pertempuran Belanda di Aceh itu disebabkan oleh banyaknya pemimpin pasukan yang terkenal cerdik dan setia kepada Sultan Aceh. Pun di antara mereka kemudian ada yang menyerah, itu perkara lain.

Dari sekian banyak nama pemimpin-pemimpin perlawanan penjajahan Belanda itu, tersebutlah nama Teuku Ben Peukan dari Meureudu. Sosok ini merupakan satu dari sekian banyak pemimpin pasukan di Aceh yang telah menyatakan ikrar setia kepada sultan. Teuku Ben Peukan pun salah seorang pemimpin di Aceh yang masuk dalam daftar Belanda untuk diasingkan meski sudah menyerah.

Setelah Dalam dan sebagian besar wilayah Aceh Besar terus menerus terjadi perang, Sultan Aceh memindahkan markas besar ke Pidie. Pada bulan Januari 1897, setelah pemimpin pasukan Teuku Umar terdesak, Sultan Muhammad Daud Syah mengadakan musyawarah besar di Garot. Kehadiran Sultan Aceh turut didampingi oleh Panglima Polem.

Para Perawat Ingatan Aceh


GENERASI
Aceh dalam beberapa dekade terakhir nyaris kehilangan identitas lantaran lupa dengan sejarah bangsanya sendiri yang pernah berjaya di masa lalu. Pengetahuan tersebut hampir saja tercerabut hingga ke akar-akarnya akibat perang yang berkepanjangan dan musnahnya ribuan kitab di beberapa dayah tradisional, pada abad 18 hingga abad 19 Masehi. Beruntung pasca Indonesia merdeka, beberapa tokoh kembali membuka identitas Aceh yang sempat tenggelam meskipun dibutuhkan banyak sekali penelitian mendalam untuk dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Di antara para tokoh itu adalah Ali Hasjmy mantan Gubernur Aceh, Tgk Abdullah Ujong Rimba, Hasan Tiro sang deklarator Gerakan Aceh Merdeka (GAM), HM Zainuddin, dan H M Said.

Selain tokoh-tokoh tersebut ada pula Isa Sulaiman, Gade Ismail, T Ibrahim Alfian, dan Rusdi Sufi yang semasa hidup pernah tercatat sebagai akademisi Universitas Syiah Kuala. Begitu pula dengan TA Talsya dan H Harun Keuchik Leumik yang karya-karyanya identik dengan wawasan masa lalu.

Namun sederet tokoh tersebut kini telah kembali menghadap Sang Khalik. Ada yang meninggal karena faktor usia, sakit serta ada juga yang menjadi korban gempa dan tsunami Aceh pada 26 Desember 2004 lalu.

Meskipun para sejarawan tersebut telah meninggal, akan tetapi karya-karyanya yang sedikit banyak telah mengungkap siapa Aceh di mata dunia di abad pertengahan, masih dapat ditemukan dan dikonsumsi generasi muda saat ini. Walaupun banyak karya-karya sejarah itu perlu diluruskan, dikaji secara mendalam atau dibuktikan secara ilmiah agar dapat diadopsi di bangku pendidikan serta tidak lari dari fakta atau peristiwa masa lalu yang cenderung berubah karena kondisi politik dalam negeri atau global.

Mereka-mereka yang telah pergi itu turut meninggalkan “pondasi sejarah” untuk dapat digali lagi oleh generasi muda Aceh masa depan. Kepergian mereka merupakan pukulan besar bagi Aceh, meskipun kemudian ada yang memberanikan diri meneruskan tongkat estafet untuk menjaga, meneruskan, dan meneliti sejarah Aceh secara lebih mendalam.

Diantara para perawat ingatan itu ada yang berasal dari akademisi dan memiliki latarbelakang ilmu sejarah, antropologi, sosiologi atau arkeologi dari bangku kuliah, tetapi ada juga yang berasal dari masyarakat biasa, kolektor dan bahkan wartawan.

Pulau Tuan dalam Sebuah Catatan

DARATAN itu mungkin tak seluas lapangan sepak bola Harapan Bangsa yang ada di Lhong Raya, Aceh Besar. Bentang alamnya berupa bukit dan bukan dataran rendah sehingga tak ada pemukiman di sana. Namanya Pulau Tuan.

Pulau ini berjarak sekitar 1,37 Kilometer dari Ujong Pancu, daratan paling ujung Pulau Sumatra yang berada di wilayah administratif Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar. Sementara jika ditarik garis lurus melalui aplikasi Google Maps, maka jarak Pulau Tuan dengan Ulèe Lheue hanya terpaut 3,84 Kilometer saja. Artinya jika bergerak dari arah Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, jarak tempuh garis lurus ke pulau itu sekitar 7,59 Kilometer.

Sepintas tidak ada hal istimewa di Pulau Tuan yang tak bertuan itu. Namun jika ditilik dari beberapa catatan lawas, maka Pulau Tuan menjadi satu objek penting bagi peneliti sejarah.

Kisah Pengkhianatan di Peperangan Samalanga

“MARI sobat, mari saudara/ Pergi perang di Samalanga/ Mari kumpul dan bersuara/ Lalu menyanyi bersama-sama// Satu nyanyian yang amat merdu/ Menghibur hati yang amat duka/ Hari ini kita di Meureudu/ Esok lusa jalan ke muka// Dari Meureudu jalan di sawah/ Itu jalan yang amat susah/ Tempo-tempolah liwat rawa/ Asal bisa dapat ke muka// Kalau jalan harus berdiam/Karna musuh berjaga-jaga/ Kalau dengar bunyi meriam/ Itu tandalah musuh ada// Sungguh musuh banyak sekali/ Ada berdiri di dalam benteng/ Harus kami berlari-lari/Waktu komandolah: Ataqeeren//…”

Inilah beberapa penggal syair yang diciptakan Iz Thenu, salah seorang pendeta Belanda yang bertugas membina rohani para prajurit pribumi berjudul “Samalanga”. Thenu yang lahir pada 14 September 1868 di Hutumuri, Ambon, itu terinspirasi pada peperangan Belanda yang susah payah dalam merebut Samalanga. Perang yang pelik lantaran turut menghadiahkan cinderamata bagi komandan militer Belanda, sekelas van der Heijden.

Perang di Samalanga itu kelak juga ditulis oleh C Nieuwenhuis dalam buku berjudul “De expeditie naar Samalanga“. Kemudian tulisannya diterjemahkan oleh Aboe Bakar ke dalam bahasa Indonesia, dan sumaterapost.com mendapat catatan tentang Perang Samalanga itu dari buku “Agresi Belanda ke Samalanga” yang dicetak ulang oleh Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA) Banda Aceh, tahun 2017 lalu.

Sejarah September: Kala Belanda Berniat Ajukan Resolusi Damai

BELANDA begitu gembira ketika Habib Abdurrahman memutuskan menyerah dengan sejumlah syarat. Mereka beranggapan, menyerahnya Habib menjadi pencapaian besar dalam melemahkan perjuangan perlawanan rakyat Aceh. Padahal kondisi di lapangan berbanding terbalik dengan harapan itu.

Hal tersebut dibuktikan dengan semakin gencarnya perlawanan yang dilakukan oleh pasukan Teungku Chik Di Tiro dan Teuku Umar di lapangan. Perlawanan yang benar-benar merepotkan Belanda hingga akhirnya terjadi konflik internal di pemerintahan mereka.

Konflik tersebut sebenarnya sudah dimulai sejak pemerintahan sipil diampu oleh Gubernur A Pruys van der Hoeven. Namun, kebijakan sosok tersebut kerap berbenturan dengan Gubernur Jenderal F Jacob yang sudah ditempatkan di Jakarta sejak April 1881.

September dalam Sepenggal Catatan Sejarah Aceh

PERANG Belanda di Aceh yang berlangsung pada tahun 1873 hingga 1904 menjadi catatan sejarah buruk bagi kolonial selama menancapkan kukunya di Tanah Melayu. Lebih 37 ribu serdadu Belanda dilaporkan tewas dalam perang bersamaan mewabahnya kolera di Tanah Rencong.

Belanda mengepung Aceh yang menjadi kerajaan terakhir di jazirah Melayu dari setiap lini. Blokade laut turut dilakukan guna mencegah Aceh mendapat bantuan dari luar. Militer negara Kincir Angin itu juga mengepung daratan Sumatra untuk mempersempit gerak perjuangan Sultan Aceh. Alhasil, Belanda baru berhasil menawan Sultan Aceh dan membuangnya ke Ambon setelah 31 tahun mendeklarasikan perang. Itu pun dilakukan dengan cara culas yang kemudian mendapat sorotan dari kalangan internasional.

Pertempuran Belanda di Aceh tersebut membuat kolonial merugi. Perang itu juga mengakibatkan Belanda frustasi sehingga menggelar kampanye bumi hangus dan genosida. Kejahatan perang yang hingga saat ini tidak pernah dibicarakan di Mahkamah Internasional.

Dalam perang melawan Kesultanan Aceh dan rakyatnya, Belanda sempat dibuat bingung dengan taktik hit and run, pasca penangkapan Sultan Aceh. Perang gerilya yang diterapkan oleh pasukan Aceh tersebut turut membuka mata kolonial tentang strategi militer baru, yang sebelumnya tidak pernah mereka saksikan. Alhasil, Belanda kemudian mau tidak mau terpaksa membentuk satu unit khusus pasukan anti-gerilya: Marsose. Unit tempur ini terdiri dari pasukan pribumi dari kerajaan-kerajaan yang telah takluk di bawah bendera Hindia Belanda.

6 Peristiwa Penting Sejarah Aceh pada 7 September

ENAM peristiwa besar yang menentukan nasib Kesultanan Aceh dalam perang melawan Belanda terjadi pada 7 September. Ke enam peristiwa itu dicatat dengan baik oleh H Mohammad Said dalam buku Aceh Sepanjang Abad Jilid 2 yang diterbitkan pada tahun 1991.

Ke enam peristiwa itu dapat dirunut mulai pada 7 September 1881.

Seperti diketahui, Belanda sebelum menyerang Kesultanan Aceh Darussalam telah memberlakukan blokade jalur laut. Alhasil Kesultanan Aceh Darussalam tidak dapat memperbarui senjata dalam menghadapi agresi itu. Namun, pada 7 September 1881, blokade pantai Aceh dibuka oleh Belanda khusus untuk kapal dagang Inggris.

Sejak blokade tersebut dibuka, kekejaman Belanda yang dipimpin oleh van der Heijden dalam perang di Aceh mulai tersiar ke luar negeri. Pers menyindir prilaku tak manusiawi Belanda serta menyebut bahwa di Aceh ada “kayser” yang menggunakan "macht boven recht” dan sebagainya.

Setelah publikasi meluas, Kejaksaan Agung Belanda di Betawi mengutus Direktur Penjara Belanda, Stibbe. Dia ditugaskan untuk menyelidiki tahanan perang yang kemudian laporannya disampaikan kepada parket.

Sunday, April 18, 2021

Ketika Panglima Aceh Berdamai dengan Musuh

PERANG telah menciptakan banyak pertumpahan darah. Perang juga turut melahirkan yatim dan para janda korban konflik di antara kubu yang bertikai. Tidak ada yang menyenangkan dari sebuah perperangan, meskipun terkadang jalan itu harus ditempuh untuk menegakkan kedaulatan di tanah sendiri. Langkah itu pula yang pernah ditempuh Sultan Aceh untuk mengantisipasi gangguan-gangguan Belanda di wilayah kedaulatannya.

Damai adalah jalan lain bagi kedua belah pihak yang bertikai untuk saling merangkul. Terkadang damai merupakan jalan terbaik bagi sebagian pihak untuk kembali saling menghormati dan bersatu membangun negeri.

Akan tetapi, pengertian damai tidak sama dengan menyerah kalah. Pihak yang berdamai akan saling menghargai antara satu sama lain. Pihak yang berdamai juga akan mengeksekusi setiap janji yang telah dideklarasikan.

Damai juga tidak dapat diartikan dengan membuat salah satu kubu yang pernah bertikai, bak anak kecil linglung karena kehilangan ibunya di keramaian. Jika pun itu terjadi, artinya salah satu kubu telah mengacuhkan makna damai sebenarnya.

Thursday, August 27, 2015

Kenapa Ada Lambaro yang Disebut Kaphee?

GAMPONG ini menjadi sentral perdagangan Kabupaten Aceh Besar. Lokasinya strategis dan dilintasi jalur Banda Aceh-Medan. Namanya Lambaro Kaphee (kafir). Letaknya hanya berjarak delapan kilometer dari Banda Aceh.

Lambaro Kaphee menjadi sentra perdagangan dan dinilai sebagai ibukota kedua Aceh Besar. Saban harinya, sayur dan buah dari berbagai penjuru Aceh transit di Lambaro Kaphee. Daerah ini tunduk di wilayah administratif Ingin Jaya. Banyak jalur alternatif yang bisa ditempuh menuju daerah ini. Misalnya dari Medan-Banda Aceh atau sebaliknya, dari Bandara SIM Blang Bintang, dan Lampeuneurut menuju pesisir barat Aceh.

Kondisi Lambaro Kaphee yang strategis inilah membuat daerah tersebut diperebutkan semenjak masa kesultanan Aceh. Salah satunya ketika perang Belanda di Aceh pada abad 19.

Friday, March 20, 2015

Pakaian Orang Aceh Tempo Dulu


SAAT membaca sejarah Aceh abad 16 hingga abad 18 bagaimana bayangan Anda tentang pakaian yang dikenakan penduduknya saat itu? Beberapa orang justru secara spontan akan menjawab pakaian tradisional Aceh adalah kupiah meukutob, kain songket, baju dan celana berwarna hitam yang terbuat dari kain blacu atau jenis kain lainnya. Selain itu, pakaian orang Aceh juga dilengkapi dengan rencong di pinggangnya.

Namun tidak semua orang-orang Aceh berpakaian lengkap dengan baju adat terutama masyarakat kelas bawah yang bukan keluarga istana. Lantas bagaimana pakaian orang Aceh tempo dulu?

Mengenai gaya hidup dan adat kebiasaan orang Aceh ini pernah ditulis oleh Denys Lombard dalam bukunya Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda. Denys adalah salah satu peneliti sejarah dari Prancis. Dalam tulisan yang diterbitkan pada 1967 ini, Denys Lombard telah mencoba membuat suatu analisa terhadap sejarah Aceh tidak hanya berdasarkan pada orientasi Eropa yang banyak dianut oleh sarjana Barat. Namun Lombard telah mencobanya dengan melihat dari "dalam" yakni orientasi Asia.