Sunday, March 9, 2025

Serangan 6 Maret 1907

BELANDA memang berhasil membuat Sultan Muhammad Daud Syah menyerahkan diri usai menangkap dua permaisuri dan putra mahkota, Tuanku Ibrahim. Namun, perlawanan orang-orang Aceh melawan Belanda belum usai, baik secara de facto maupun de jure.

Di lapangan, perang terus berlanjut meski tak lagi dipimpin secara terpusat di bawah bendera Kerajaan Aceh. Pejuang-pejuang Aceh bergerak sendiri-sendiri setelah panglima perang tertinggi ditangkap Belanda. 

Jika pada awal-awal pasukan Aceh memilih perang frontal, pada akhirnya mereka terpaksa memilih jalan hit and run alias bergerilya. Strategi inilah yang membuat Belanda sempat pusing, sebelum akhirnya mereka membentuk pasukan antigerilya bernama marsose.

Pun banyak pejuang Aceh yang gugur di tangan unit baru KNIL tersebut, khususnya Kolone Macan, tetapi tidak membuat para patriotik dengan serta merta angkat tangan dan menggantung senjata. Keuchik Seuman dan Pang Usoih, misalnya.

Dua sosok itu bersama pasukannya bahkan berani menyerang Belanda di ibu kota, Kutaraja, pada 6 Maret 1907. Serangan mendadak ini mengejutkan van Daalen di Kutaradja, pejabat Hindia Belanda di Batavia, dan bahkan petinggi Belanda di Den Haag. 

Peristiwa ini juga membuat prestise militer Belanda di kalangan internasional dipertanyakan.

H. M. Said dalam buku Aceh Sepanjang Abad mencatat Keuchik Seuman dan Pang Usoih merupakan panglima Sultan Aceh yang masih meneruskan perjuangan, meski Tuanku Muhammad Daud Syah telah berada di bawah pengawasan Belanda. Kedua sosok ini juga sering menjadi bahan bagi Belanda untuk mengungkap keterlibatan Sultan Aceh dalam penyerangan-penyerangan yang dilakukan terhadap mereka.

Salah satunya ketika Keuchik Seuman dan Pang Usoih menggelar pertemuan di Kuala Aceh, dekat rumah Kepala Desa Kuala, Keuchik Syekh. 

Tuduhan yang memberatkan Sultan Aceh pada masa itu juga terjadi di perhelatan kenduri bulan Sya'ban. Dalam acara tersebut, Sultan Aceh menggelar perundingan di makam Teungku Musapi di Kuala Musapi. 

Hadir dalam kegiatan tersebut Teuku Djohan, Teuku Meurah Lamgapang (?), Teuku Syekh Cut Putu, Teuku Berahim Tigang (?), Teuku Daud Silang, Pocut Di Murong, Panglima Ma Asan, dan Nyak Abaih.

Di malam kenduri tersebut, Sultan Aceh Muhammad Daud Syah secara diam-diam berjumpa dengan Keuchik Seuman dan Pang Usoih pada malam harinya di sebuah rumah milik seorang Tionghoa, di Kuta Bum Bongki. Dalam pertemuan tersebut, menurut H. M Said, Sultan Aceh memerintahkan Keuchik Seuman dan para pengikutnya untuk menyerang benteng Belanda di Kutaraja.

Sultan juga disebut memberikan uang sebanyak $ 270 melalui perantara Panglima Ma Asan dan Si Mega Kali untuk aksi tersebut.

Meski demikian, Sultan Aceh membantah bahwa serangan yang dilakukan Keuchik Seuman dan Pang Usoih merupakan perintah darinya. Dia hanya mengakui kepada Belanda pernah mendatangi Kuala untuk berburu. 

Kendati masuk dalam catatan sejarah tentang penyerangan yang dilakukan Keuchik Seuman dan Pang Usoih pada 6 Maret 1907 di Kutaraja, tetapi saya belum mendapatkan rincian dampak serangan tersebut terhadap Belanda dari catatan H M Said.

Namun, berdasarkan catatan T Ibrahim Alfian dalam buku Perang di Jalan Allah disebutkan serangan malam pada 6 Maret 1907 tersebut telah membuat Belanda was-was. Pasalnya selama itu Kutaraja menjadi tempat paling aman bagi Belanda setelah Sultan Aceh menyerah. 

Serangan pada 6 Maret 1907 itu juga disusul kemudian dengan serangan yang dilakukan penduduk Leupung pada 7 Juni 1907 di Bivak Seudu, serta serangan di Peukan Bada Mukim VI Aceh Besar pada 16 Juni 1907.

Serangan tersebut juga berdampak pada Sultan Aceh Tuanku Muhammad Daud Syah yang kemudian diasingkan ke Ambon bersama Tuanku Husin dan empat putranya, T Johan Lampaseh, pejabat Panglima Sagi Mukim XXVI, Keuchik Syekh dan Nyak Abas.[]

No comments:

Post a Comment