AMPON UMAR adalah anak “badung” yang ingin dihukum oleh Belanda. Dia berkali-kali menipu Belanda dengan berpura-pura menjadi sahabat dan kemudian menikam mereka dari belakang.
Kisah “kenakalan” Umar seperti itu banyak dicatat oleh Belanda, baik dari kalangan sarjana bahkan hingga tingkat prajurit yang pernah bersinggungan langsung dengan uleebalang dari pantai barat Aceh tersebut. Salah satunya adalah H. J. Schmidt, seorang marsose yang memiliki pengalaman luas dalam perang Aceh.
“Dia telah berperang melawan kami selama bertahun-tahun dan berulang kali tunduk pada otoritas kami, hanya untuk melakukan pengkhianatan lagi ketika dia melihat peluang. Namun Jenderal Deijckerhoff menaruh keyakinan tak terbatas pada janji kesetiaannya. Untuk mendukung kekuasaan Teuku Umar, ia mengangkatnya menjadi Uleebalang Leupueng (XXV Mukim), yang penguasa aslinya telah dikalahkan; pelantikannya sebagai Panglima Prang Besar dilakukan pada bulan September 1893 (30 September 1893),” tulis H. J Schmidt dalam buku Marechausse In Atjeh: Herinneringen en Ervaringen van Den Eersten Luitenant en Kapitein van Het Korps Marechaussee van Atjeh en Onderhoorigheden.
Meski tidak menyukai Teuku Umar, tetapi Schmidt mengakui peran penting uleebalang dari pantai barat Aceh tersebut telah membuat wilayah kekuasaan Belanda kian meluas, terutama di daerah Aceh Besar. Keberpihakan Umar kepada Belanda juga telah membuat mereka berhasil merebut kembali pos-pos terdepan di lini konsentrasi. H.J. Schmidt bahkan menyebut setelah Teuku Umar berpihak kepada mereka, maka sejak 1895 Belanda merasakan suasana damai setelah sekian lama mereka menginjakkan kaki di Aceh.
Sebagai catatan, Teuku Umar diangkat sebagai Panglima Perang Belanda pada 30 September 1893. Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA) dalam buku Perang Kolonial Belanda di Aceh mencatat, Belanda bahkan turut menggelar upacara resmi penyerahan jabatan sebagai Panglima Besar Belanda kepada Teuku Umar di Kutaraja (Bandar Aceh versi Belanda).
Tak hanya seremoni kemiliteran, Belanda juga memberinya gelar Teuku Johan Pahlawan kepada Teuku Umar. Selain itu, Belanda juga memberikan hak kepada Teuku Umar untuk memimpin 250 orang prajurit.
Teuku Umar memanfaatkan kesempatan tersebut dengan merekrut orang-orang Aceh untuk dipersenjatai. Dia bahkan turut mengangkat tiga panglima perang dari kalangan keluarganya.
Belanda yang senang dengan keberpihakan Teuku Umar juga memberikan uang sebesar 66.360 florin setahun untuk dibagi-bagikan kepada para pengikutnya. Belanda juga membuatkan rumah untuk Teuku Umar di Lampisang.
Jenderal Deijckerhoff berulangkali diperingatkan tentang Teuku Umar yang masih mungkin membelot, seperti yang pernah dilakukan sebelumnya. Akan tetapi, Jenderal Deijckerhoff sangat mempercayai Teuku Umar. Di sisi lain, Deijckerhoff ingin menerapkan kebijakan merangkul warga Aceh agar perang yang telah banyak menghabiskan kas Belanda tersebut berkesudahan.
H. J. Schmidt mencatat, Jenderal Deijckerhoff bahkan turut menugaskan Teuku Umar untuk membersihkan Mukim Lamkrak. Namun, Teuku Umar menyebut tidak berdaya menghadapi perlawanan di Lamkrak karena pasukannya tidak sebanding dengan kekuatan musuh. Dia bahkan meminta Gubernur Jenderal Belanda untuk menambahkan kekuatan pasukannya menjadi 1.000 orang.
Menurut H. J. Schmidt, permintaan Teuku Umar tersebut mendapat persetujuan dari Gubernur Jenderal Deijckerkhoff yang memberikan 380 senapan Beaumont dan 500 muzzleloader, dana, amunisi, dan hal lain yang diperlukan. Namun, Deijckerkhoff menolak permintaan Teuku Umar untuk menyediakan sejumlah artileri lapangan.
Di sisi lain, Teuku Umar masih setengah hati memerangi Lamkrak karena beberapa penyebab.
H. Mohammad Said yang mencatat kekecewaan Teuku Umar tersebut dalam bukunya Aceh Sepanjang Abad jilid II berhasil mengutip surat lengkap Teuku Umar yang ditujukan kepada Belanda. Dari surat itu diketahui, sebenarnya Teuku Umar kecewa serta tersinggung karena telah dipermalukan oleh para pembesar Belanda.
"Dengan ini saya memaklumkan ke hadapan tuan besar (Residen van Langen-red) bahwa tugas yang dipikulkan oleh tuan kepada saya untuk mengepung Lamkrak sampai ke Luthu dan Releueng dan yang sudah saya setujui untuk pergi ke sana, tidak dapat saya penuhi, berhubung karena kontelir Ulee Lheue dan hoofd jaksa Muhammad Arif telah mempermalukan saya,” bunyi surat yang dikutip H. Mohammad Said tersebut.
Berdasarkan surat itu, Teuku Umar ternyata tersinggung dengan sikap Kontelir VI yang mempermalukan abangnya, Teuku Rajut, di Leupung saat menghadap Kontelir VI. Selain itu, gaji Umar juga ditahan Belanda selama dua bulan. Umar juga kesal karena Kontelir menendang Imum Gurah Lamteungoh (Mukim VI) di hadapan banyak orang.
Teuku Umar juga keberatan dengan sikap Kontelir Ulee Lheue yang ingin mengorek informasi dari toke Cina tentang utang piutangnya. “Hal itu memalukan saya benar,” bunyi surat Umar kepada van Langen.
Kekesalan Teuku Umar terhadap Belanda juga disebabkan oleh sikap Kontelir Ulee Lheue yang menghina abangnya, Teuku Nyak Muhammad dari XI Mukim, ketika menyambut tuan besar yang datang ke Peukan Bada. Pada saat itu, Kontelir Ulee Lheue bahkan menyamakan abang Teuku Umar, Teuku Nyak Muhammad, seperti kerbau.
Teuku Umar juga tidak suka dengan perangai Kontelir Ulee Lheue yang memukul seorang pria yang sedang bersama istrinya ketika sedang berpapasan di Ulee Lheue menggunakan cambuk kuda. Apa yang dilakukan Kontelir Ulee Lheue tersebut telah membuat mata pria itu rusak. Kontelir itu bahkan menendang pria yang telah luka tersebut sehingga tersungkur ke sawah.
Banyak hal lain yang menimbulkan kemarahan Teuku Umar kepada Belanda sehingga berniat istirahat dan tidak lagi diperalat untuk berperang melawan orang Aceh. Meskipun demikian, Teuku Umar memperingatkan Belanda tentang gerakan perlawanan yang dilakukan pasukan Aceh–yang telah merebut Benteng di Lamkunyet, di Biluy, dan Cot Gu Aceh Besar.
Teuku Umar juga menyebut pejuang-pejuang dari XXII Mukim sudah merebut beberapa titik pertahanan lain. Di dalam surat tersebut, Umar turut menyarankan Belanda agar mengutus Kontelir Ulee Lheue dan hoofd jaksa Muhammad Arif untuk merebut kembali pos-pos pertahanan tersebut.
“Jika tuan besar akan menyerang, saya akan melawan, karena perasaan saya tidak kepada Kompeni, dan saya harap akan dibayangi tetap oleh bendera Gubernemen. Begitu juga saya tidak berubah terhadap tuan besar panglima staf, Residen van Langen dan Asisten Residen Kutaraja. Jika sekiranya tuan besar ingin juga supaya saya kepung Lamkrak, saya akan lakukan, tapi saya ingin supaya tuan besar Gubernur Jenderal di Betawi (maksudnya: Jakarta) menandatangani suatu ketegasan bahwa keinginan itu adalah sebenar-benarnya dan pendiriannya tidak berubah, supaya jangan lagi berulang apa yang sudah pernah terjadi. Tentang senjata-senjata yang sudah diserahkan ke tangan saya, tidaklah dipindahkan ke mana-mana, sebab saya mengawasi wilayah enam mukim,” pungkas Teuku Umar dalam surat tersebut.
Apa yang dilakukan Teuku Umar setelah menjadi Panglima Besar Belanda tersebut sebenarnya juga pernah dilakukannya pada 3 Juli 1884 lalu. Saat itu, Teuku Umar yang juga pernah memihak Belanda diminta untuk membebaskan awak kapal Nisero yang disandera penguasa Teunom.
Merujuk catatan PDIA dalam buku Perang Kolonial Belanda di Aceh, Teuku Umar pada saat itu dikirim bersama 32 orang pengikutnya dengan menumpang kapal perang "Bengkulen" ke Teunom. Namun, sebelum sampai ke tempat tujuan, Teuku Umar bersama pasukannya justru menyerang pasukan Belanda dan merampas amunisi mereka.
Teuku Umar akhirnya kembali melawan Belanda pada 29 Maret 1896. Pengendali B. B. Gisolf, seperti dicatat H. J. Schmidt, mengabarkan kepada Gubernur Jenderal bahwa Teuku Umar telah desersi bersama ratusan pasukannya.
Jenderal Deijckerhoff bergegas meminta bala bantuan dari Jawa. Namun apa yang dilakukan Teuku Umar telah membuat jabatannya dicabut. Kedudukannya kemudian diganti oleh Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Vetter, yang tiba di Aceh pada 7 April.
Belanda akhirnya mengerahkan segala upaya untuk menghukum Teuku Umar. Belanda juga memecat Teuku Umar dan mencabut gelar Johan Pahlawan pada 27 April 1896.
Rasa geram Belanda terhadap Ampon Umar turut mengubah strategi lini konsentrasi yang semula dipertahankan, demi dapat mengejar dan benar-benar menaklukkan Teuku Umar serta pasukan Aceh.
Letnan Jenderal Vetter segera mengambil tindakan tegas terhadap Teuku Umar dengan turut membubarkan pos-pos terdepan yang kerap mendapat gangguan serangan dari pasukan Umar. Penarikan pasukan tersebut membuat 230 personel Belanda tewas, termasuk delapan di antaranya perwira.
Di sisi lain, para pejuang Aceh merapatkan barisan bersama Teuku Umar.
Tindakan Vetter belum dapat menangkap Teuku Umar dengan cepat. Padahal banyak penduduk yang dihukum, rumah dibakar, dan harta mereka dirampas terutama di wilayah-wilayah dekat lini konsentrasi.
Vetter kemudian diganti oleh Mayor Jenderal Steemfort, sembari menunggu kedatangan Mayor Jenderal de Moulin, yang hanya bertahan dua hari di Aceh. Moulin mati setelah dua hari berada di Aceh.
Steemfort terpaksa mengambil alih komando pada 11 Juni 1896 hingga akhirnya diganti oleh Kolonel C.P.J van Vliet pada 8 November 1896. Selain itu, Belanda turut mengirim Letnan Kolonel van Heutsz untuk memimpin pasukan marsose ke Aceh. Kehadiran van Heutsz di daerah tersebut berhasil mendesak perlawanan Teuku Umar.
Pimpinan pasukan Belanda yang satu ini berhasil merebut beberapa pos terdepan di lini konsentrasi, seperti Benteng Aneuk Galong.
Serangan yang dipimpin van Heutsz membuat Teuku Umar dan pasukannya harus memindahkan perlawan ke Pidie. Di sana, Teuku Umar bergabung dengan pasukan Panglima Polem dan Sultan Aceh Tuanku Muhammad Daud. Dia bersama-sama Teuku Johan Lampaseh, Teuku Cot Tungkob dan beberapa uleebalang terkemuka dari Mukim VI dan XII kemudian berikrar setia kepada Sultan Muhammad Daud Syah pada 1 April 1898.
Langkah Belanda untuk menghukum Teuku Umar dan pasukannya baru benar-benar dapat dilakukan setelah Belanda mengganti kedudukan Jenderal van Vliet. Kolonel van Heutsz yang mendapat bantuan dari Snouck Hurgronje kemudian menjalankan strategi untuk mematahkan perlawanan Aceh secara menyeluruh.
Gubernur van Heutsz selanjutnya memburu Teuku Umar, Panglima Polem dan Sultan Aceh Tuanku Muhammad Daud ke Pidie. Dalam serangan pada 1 Juni 1898 tersebut, pasukan Belanda, terbagi atas dua kolone, yaitu Kolone Pidie dan Kolone Seulimeum, di bawah komando Van Heutsz yang dibantu oleh penasihat Belanda urusan bumiputera, Dr. C. Snouck Hurgronje.
Kolone Pidie beranggotakan kurang lebih 6.000 orang, terdiri dari 125 perwira, sebanyak 2.100 orang Eropa dan yang dipersamakan dengan Eropa, sebanyak 1.200 bumiputera, kemudian diperkuat oleh 200 orang pembantu, dan 2.400 narapidana kerja paksa.
Sedangkan Kolone Seulimeum diperkuat oleh 1.950 orang, yang terdiri dari 35 perwira, sebanyak 450 orang Eropa dan yang dipersamakan dengan Eropa, sebanyak 500 orang bawahan bumiputera, sebanyak 50 orang pembantu, kemudian 400 orang narapidana kerja paksa, serta 500 orang Cina sebagai tukang angkat.
Serangan van Heutsz membuat pasukan Panglima Polem dan Sultan Aceh terdesak. Begitu pula dengan Teuku Umar yang kembali memindahkan pusat perlawanan ke pantai barat Aceh, melalui Tangse.
Di sisi lain, tepatnya pada 23 Juli 1898, Teuku Umar yang dulu menjadi panglima besar Belanda didaulat menjadi pimpinan perang pasukan Aceh. Penunjukkannya sebagai pimpinan perang dilakukan di Keude Meulu pada 23 Juli 1898.
Namun serangan besar-besaran yang dilakukan van Heutsz membuat pasukan Aceh terdesak. Teuku Umar yang bertahan di lembah Beuniet, dekat Tangse, harus mengundurkan diri ke Woyla dan Teunom pada 24 Agustus 1898. Sementara Teuku Cot Tungkob yang sempat berikrar setia kepada Sultan Aceh, terpaksa menyerah kepada Belanda pada 8 Desember 1898.
Belanda yang kemudian memecah pasukan di Pidie, terus memburu Teuku Umar di kawasan Teunom dan Woyla. Teuku Umar akhirnya syahid setelah mendapat dua tembakan dari Belanda di Ujong Kala, saat hendak menyerang Meulaboh pada 10 Februari 1899.
Pimpinan perang Aceh itu kemudian dimakamkam di Desa Meugoe Rayeuk, Kecamatan Kaway XVI, Kabupaten Aceh Barat, setelah sebelumnya jasad Teuku Umar sempat disembunyikan oleh bawahannya dari Belanda yang terus mengejar pada 11 Februari 1899.
***
SILSILAH Teuku Umar simpang siur. Sebagian kalangan menyebut Ampon Umar memiliki nasab dengan salah satu daerah Kerajaan Pagaruyung–yang kelak berada di bawah kendali Kesultanan Aceh Darussalam. Tentang hal ini dapat dilihat dalam catatan H. M Said yang mengutip tulisan Abdul Karim. Dalam tulisan itu, penyair Aceh tersebut menyebutkan leluhur Teuku Umar adalah Datuk Songsong Buluh yang datang ke Aceh dari Minangkabau bersama tiga orang.
Di Aceh, dia menetap di Meulaboh dan mendapat perhatian dari Teuku Chik Raja Meulaboh. Kelak datuk Songsong Buluh tersebut dinikahkan dengan putri Teuku Chik raja Meulaboh.
Dari perkawinan tersebutlah kemudian melahirkan Teuku Umar.
Sementara peneliti luar cenderung menyebut silsilah Teuku Umar berasal dari Aceh Besar. Hal inilah yang kemudian membuatnya memiliki pertalian saudara dengan Cut Nyak Dhien.
Salah satu peneliti luar, Ny. M. h. Szekely Lulofs yang dikutip H. M Said, mengatakan ayah Teuku Umar adalah Teuku Mahmud yang merupakan saudara Teuku Nanta Setia, Uleebalang Mukim VI Aceh Besar.
Sedangkan Encyclopedie ven Nederlandsch Indie mencatat bahwa Umar merupakan putra Teuku Mahmud, dan cucu Teuku Nanta dari VI Mukim.
Belanda yang kemudian tertarik dengan pengaruh Teuku Umar di Meulaboh melihatnya sebagai seorang pemuda yang sedang mencari jati diri. Umar seorang pemberani, tetapi tidak mendapat tempat yang layak di antara penguasa Meulaboh.
Hal inilah yang kemudian membuat Teuku Umar berhubungan dengan Belanda.
Namun, seorang guru sejarah dari SMAN 1 Aceh Barat Daya, Irfan Mulyadi, membantah bahwa sosok Teuku Umar seperti yang digambarkan Belanda. Dia juga tidak sepakat jika karakter Teuku Umar adalah seseorang yang hanya memanfaatkan peluang (oportunis).
"Memang ada yang menyatakan kalau Teuku Umar adalah seorang oportunis, tapi tidakkah kita melihat Teuku Umar sudah dua kali menipu Belanda dan membawa lari ratusan senjata dan ribuan amunisi serta uang Belanda yang dibagikan kepada para pejuang Aceh," kata Irfan Mulyadi kepada HabaAceh.id, Minggu (11/2).
Menurut Irfan Mulyadi, jika memang benar Teuku Umar hanya mementingkan diri sendiri, maka tidak akan mendapat dukungan dari para ulama seperti Teungku Chik Kutakarang.
"Tengku Chik Kutakarang mendukung Teuku Umar, bahkan Tengku Chik Kutakarang mengeluarkan fatwa kepada para pejuang Aceh untuk tidak membunuh Teuku Umar dan prajurit Teuku Umar sesama Aceh. Kalau memang Teuku Umar seorang oportunis mengapa mempunyai pengikut yang sangat setia bahkan ketika sudah syahid jenazah beliau masih dilarikan oleh para pejuang Aceh, bahkan kuburan beliau pun berpindah-pindah dan dirahasiakan dari Belanda," pungkas Irfan Mulyadi.[]
No comments:
Post a Comment