Sunday, March 9, 2025

Pembantaian di Gampong Pulot, Cot Jeumpa dan Krueng Kala Terungkap

APARAT keamanan mengeksekusi 10 orang warga di Krueng Kala, Aceh Besar pada 4 Maret 1955. Peristiwa ini terungkap setelah Achmad Chatib Ali atau sering disingkat Acha, seorang wartawan, menerbitkan laporan investigasinya berjudul "Bandjir Darah di Tanah Rentjong" di Koran Peristiwa edisi 3 Maret 1955 dan disusul dengan daftar korban pada edisi 10 Maret 1955. 

Pembantaian yang terjadi di Krueng Kala tersebut merupakan serangkaian peristiwa imbas penyerangan anggota Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) terhadap satu unit truk militer yang membawa 16 tentara dan beberapa drum minyak di jalur pendakian Gunong Paro. Penyerangan tersebut dipimpin oleh Pawang Leman.

Balas dendam untuk mencari kelompok Pawang Leman yang dilakukan tentara tersebut sebelumnya juga terjadi di Gampong Cot Jeumpa pada 28 Februari 1955. Dalam peristiwa itu sebanyak 64 warga dieksekusi. 

Sebelumnya pada 25 Februari 1955, tentara juga menembak 25 petani dari Gampong Pulot, Aceh Besar, karena geram tidak menemukan pasukan Pawang Leman.

Dari tiga peristiwa tersebut, sebanyak 99 orang warga menjadi korban. Sebanyak 64 orang diantaranya yang berasal dari Cot Jeumpa dikubur dalam dua liang besar.

Peristiwa pembantaian warga yang berhasil diungkap Acha menghebohkan publik. 

Front Pemuda Aceh pada 4 Maret 1955 menuntut pemerintah untuk mengirim penyelidik khusus atas peristiwa pembantaian warga di Desa Pulot, Cot Jeumpa dan juga Krueng Kala. 

Selain itu, gabungan partai dan organisasi yang terdiri dari Pemuda Aceh Dinamis, Front Pemuda Aceh, Masyumi/Muslimat, PSII, PSI, Wanita Nasional Indonesia, IPPI, Muhammadiyah, PGRI, PNI, GPII, PII, Gerakan Pemuda Sosialis Indonesia dan Serikat Buruh Kesehatan juga mengeluarkan resolusi tertanggal 7 Maret 1955 yang ditandatangani oleh Dr Zainal Abidin.

Dalam buku Di Sekitar Peristiwa Berdarah di Aceh yang ditulis SM Amin, resolusi tersebut berisi tentang tuntutan penyelidikan dan penyelesaian dengan cepat dan tepat serta memberikan jaminan sosial terhadap ahli waris korban pembantaian di Desa Pulot, Desa Cot Jeumpa dan Krueng Kala.

Aksi serupa juga berlanjut di bawah bendera Badan Kontak Organisasi Pemuda Pelajar Mahasiswa Aceh Seluruh Indonesia dan masyarakat Aceh di Jakarta pada 9 Maret 1955. 

Dalam aksinya mereka memprotes pembunuhan yang dilakukan tentara terhadap warga dari tiga desa di Aceh Besar tersebut. 

Massa juga mengeluarkan resolusi yang ditandatangani oleh Ketua A Madjid Ibrahim dan Sekretaris Jusuf TM, yang isinya mendesak pemerintah untuk memberikan informasi utuh kepada masyarakat tentang peristiwa Pulot-Cot Jeumpa. Mereka juga mendesak pemerintah untuk mengirim misi parlementer ke Aceh dan memberikan jaminan hidup kepada keluarga korban.

Hal senada juga disampaikan oleh Pengurus Taman Iskandar Muda (TIM) di Jakarta yang ditandatangani oleh Ketua mum Yusda dan sekretaris M J Ibrahim pada 11 Maret 1955. Mereka mendukung aksi protes Badan Kontak Organisasi Pemuda Pelajar Mahasiswa Aceh Seluruh Indonesia terkait pembantaian warga di Pulot-Cot Jeumpa dan Krueng Kala.

Pengurus TIM bahkan mengajak seluruh partai politik dan organisasi pemuda untuk menghukum peristiwa berdarah di Pulot-Cot Jeumpa.

Protes serupa juga dilayangkan oleh Ikatan Pemuda Seulawah di Bandung. Dalam aksinya mereka mengeluarkan resolusi agar para pelaku mendapat hukuman yang setimpal atas pembantaian tersebut. Resolusi itu kemudian ditandatangani oleh Ketua Umum T Idris pada 11 Maret 1955.

Tak hanya itu, pimpinan Perma Komisariat Langkat Hilir di Tanjung Pura dalam resolusinya 12 Maret 1955 juga mendesak pemerintah untuk mengirim missi parlementer terkait pembantaian di Pulot-Cot Jeumpa. 

Dalam resolusi yang ditandatangani Ketua TM Daud Hanafiah dan Sekretaris M Jusuf Arby itu, Perma bahkan mengancam akan mengajukan persoalan pembunuhan di Pulot-Cot Jeumpa dan Krueng Kala ke sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau United Nation (UN).

Persitiwa pembantaian warga itu juga mendapat atensi dari Pimpinan Ladjnah Afdeling PSII di Lubuk Pakam tertanggal 13 Maret 1955, DPP Masyumi pada 15 Maret 1955, Persatuan Putra Aceh Setia dan Perserikatan Pemuda Aceh Indonesia di Tanjung Tiram pada 16 Maret 1955.

Dalam protesnya mereka mendesak pemerintah untuk memberikan penjelasan secepat mungkin, serta mengimbau kepada seluruh putra Aceh untuk ikut berduka cita, tetap bersatu, tenang dan waspada. 

Akibat protes yang datang dari segala penjuru tersebut membuat Pemerintah Indonesia dalam sidang DPR pada 13 April 1955 mengakui adanya kasus terbunuhnya sejumlah penduduk di Gampong Pulot, Cot Jeumpa dan Krueng Kala. Namun, pemerintah menyangkal bahwa aksi tersebut merupakan pembantaian terhadap warga sipil seperti yang dilansir oleh surat kabar. 

Pemerintah berdalih penembakan terhadap sejumlah orang tersebut terjadi dalam pertempuran sewaktu aparat keamanan melakukan patroli yang kemudian mendapat serangan dari sejumlah besar penduduk kampung yang dipersenjatai.

Kasus pembantaian ini kemudian direspons secara tegas oleh Hasan Muhammad di Tiro yang kala itu sedang kuliah di Fakultas Hukum, Universitas Colombia, Amerika Serikat. Pada masa itu, Hasan Tiro juga bekerja pada dinas penerangan delegasi Indonesia di PBB.

Hasan Tiro menilai pembunuhan massal tersebut merupakan bentuk genosida. Dia pun kemudian memprotes pemerintah Indonesia, mengultimatum Perdana Menteri (PM) Indonesia, Ali Sastroamidjojo, serta melaporkan kejadian tersebut dalam agenda PBB. 

Hasan Tiro bahkan menyatakan diri sebagai pendukung DI/TII serta menjadi Menteri Berkuasa Penuh dan Duta Besar Republik Islam Indonesia/Negara Islam Indonesia di PBB dan Amerika Serikat. Apa yang dilakukan Hasan Tiro ini membuat paspornya dicabut oleh Pemerintah Indonesia.[]

No comments:

Post a Comment