STATUS Aceh sebagai salah satu daerah di Indonesia sempat terkatung-katung sesaat setelah Belanda melancarkan agresi kedua. Penetapan status daerah sebagai keresidenan dan provinsi pun sempat berubah-ubah seiring bergantinya sistem pemerintahan di tingkat pusat.
Pemerintah Indonesia yang berusia muda nyaris tak mampu bertahan dengan agresi Belanda yang membonceng sekutu setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II. Pusat pemerintahan Indonesia direbut. Presiden Indonesia Soekarno, dan Wakil Presiden Mohammad Hatta yang berkantor di Yogyakarta bahkan ditangkap. Bersama mereka ikut dibui Sutan Syahrir, seorang tokoh yang kelak merintis Partai Sosialis Indonesia.
Kekacauan demi kekacauan terjadi saat itu. Daerah-daerah yang sudah mendeklarasikan diri ikut serta dalam barisan Indonesia pun jadi kasak kusuk. Sejak itu, Indonesia kehilangan pusat pemerintahan dan pemimpin.
Menyikapi kondisi tersebut, sejumlah tokoh pimpinan republik yang berada di Sumatera Barat berembuk. Syafruddin Prawiranegara adalah salah satu tokoh itu. Dia bersama Kolonel Hidayat yang menjabat sebagai Panglima Tentara dan Teritorium Sumatra mengunjungi Gubernur Sumatra/Ketua Komisaris Peerintah Pusat, Teuku Muhammad Hasan pada 19 Desember 1948.
Mereka lantas meninggalkan Bukittinggi menuju Halaban, sebuah daerah perkebunan teh yang berjarak 15 km di selatan Kota Payakumbuh. Di sana berkumpul para tokoh republik lainnya, seperti Mr Sutan Mohammad Rasjid, Mr. Lukman Hakim, Ir Indratjahja, Ir Mananti Sitompul, Maryono Danubroto, Direktur BNI Mr. A Karim, Rusli Rahim, dan Mr Latif.
Dalam pertemuan tersebut, para tokoh republik sepakat membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada 22 Desember 1948. Mr Syafruddin Prawiranegara didapuk menjadi Ketua PDRI (presiden darurat) sekaligus Menteri Pertahanan, Menteri Penerangan, dan Menteri Luar Negeri ad interim.
Sementara Mr Teuku Mohammad Hassan didaulat sebagai Wakil Ketua PDRI (setingkat Wapres) sekaligus sebagai Menteri Dalam Negeri, Menteri PPK dan juga Menteri Agama. Selanjutnya Mr Sutan Mohammad Rasjid dipercaya menduduki jabatan Menteri Keamanan, Menteri Sosial, Pembangunan, Pemuda.
Begitu juga dengan Mr Lukman Hakim yang diangkat sebagai Menteri Keuangan dan Menteri Kehakiman, selanjutnya Ir Manati Sitompul sebagai Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Kesehatan, serta Ir Indracaya sebagai Menteri Perhubungan/Menteri Kemakmuran.
PDRI kemudian melakukan perlawanan terhadap Belanda yang sudah menahan Soekarno dan Mohd Hatta, dengan cara bergerilya di rimba belantara. Untuk mendukung perlawanan, PDRI turut membentuk lima wilayah pemerintahan militer di Sumatra. Aceh termasuk salah satu wilayah yang dimaksud.
Wilayah pemerintah militer Aceh meliputi Aceh, Langkat dan Tanah Karo. Sementara Gubernur Militer untuk daerah itu ditunjuk Tgk Daud Beureueh yang dibantu Letnan Kolonel Askari sebagai Wagub Militer.
SM Amin dalam buku "Di Sekitar Peristiwa Berdarah di Aceh" mencatat penunjukan Daud Beureueh sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo dilakukan pada 16 Mei 1949 melalui surat No. 21/Pem/PDRI (lampiran ke-11). Keluarnya keputusan tersebut sekaligus menghapus Provinsi Sumatra Utara dan meniadakan jabatan Gubernur Sumatra Utara.
Selain Aceh, Langkat dan Tanah Karo, PDRI juga membentuk Pemerintahan Militer Tapanuli-Sumatra Timur-Selatan di bawah komando Gubernur Militer Dr. F. L Tobing.
Di tengah kekacauan menghadapi Belanda itu kemudian muncul aspirasi agar status Aceh benar-benar ditingkatkan menjadi provinsi.
Keinginan tersebut diutarakan oleh tokoh Aceh seperti Daud Beureueh, Hasan Ali, Ayah Gani, H. M Nur El Ibrahimy, dan Teuku Amin seperti dicatat oleh Neta S Pane dalam buku "Sejarah dan Kekuatan GAM: Solusi, Harapan dan Impian."
Keinginan itu kemudian disetujui oleh Petinggi (Presiden) PDRI Syafruddin Prawiranegara dengan mengeluarkan Ketetapan PDRI No. 8/Des/WKPH tertanggal 17 Desember 1949 di Kutaraja (Banda Aceh). Dalam ketetapan itu, Daud Beureueh diangkat menjadi Gubernur Aceh.
Jabatan resmi Tgk Daud Beureueh sebagai Gubernur Aceh baru berlaku pada 1 Januari 1950. Kala itu, Indonesia sudah berstatus sebagai Republik Indonesia Serikat (RIS), yang merupakan konsep kenegaraan hasil keputusan melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag tanggal 23 Agustus-2 November 1949. RIS kelak berubah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada Mei 1950.
Dalam konsep NKRI, Indonesia menaungi sepuluh provinsi berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 1950, yang turut berimbas kepada Aceh sebagai provinsi malah turun pangkat menjadi setingkat residen. PP ini membuat Daud Beureueh berang yang kemudian memilih mengangkat senjata melawan pemerintah NKRI.
Sebenarnya, mengutip SM Amin dalam buku "Di Sekitar Peristiwa Berdarah di Aceh", ketetapan yang dikeluarkan Wakil PM terkait pembentukan Provinsi Aceh sempat menuai pro dan kontra. Penetapan itu tak hanya berlaku di Aceh saja, tetapi juga menjadi pembahasan di tingkat nasional karena dianggap bertentangan dengan undang-undang.
Hal inilah yang membuat perwakilan Kementerian Dalam Negeri yang seharusnya melantik Gubernur Aceh serta Anggota DPR Aceh pada 30 Januari 1950 tidak datang ke Kutaraja. Padahal surat tentang pembentukan provinsi tersebut sudah terlebih dulu dikirim ke Yogyakarta.
Untuk meredam ketegangan, Pemerintah NKRI kemudian mengirim panitia penyelidik di bawah pimpinan Menteri Mr Susanto Tirtoprodjo pada Maret 1950. Panitia tersebut kemudian mengadakan pertemuan dengan anggota-anggota instansi pemerintah daerah pada 13 Maret 1950 sekaligus mengatakan bahwa pemerintah Pusat belum menetapkan adanya Provinsi Aceh.
Keterangan tersebut membangkitkan reaksi Gubernur Aceh Tgk M Daud Beureueh dan Ketua DPR Aceh Tgk A Wahab serta beberapa anggota DPR Aceh lainnya seperti T. M. Amin, Zaini Bakri, dan Abd Gani. Mereka mengemukakan pendapat untuk mempertahankan status Provinsi Aceh dengan alasan keinginan rakyat.
Tak hanya para senior yang memprotes hal tersebut, tokoh pemuda di Aceh seperti Tgk Amir Husin Al Mujahid pun ikut turun tangan dengan menggelar rapat Pemuda Perjuangan Seluruh Aceh di Alue Jangat pada 11 April 1950. Dalam rapat tersebut, para pemuda sepakat mengeluarkan resolusi untuk mempertahankan status Provinsi Aceh, disertai ancaman tentang gangguan keamanan jika provinsi dibubarkan.
Sementara di sisi lain, terdapat keinginan dari sejumlah pihak agar Aceh tetap masuk dalam provinsi Sumatra Utara. Para pihak itu kemudian menggelar rapat di Langsa pada 3 September 1950.
Dalam rapat tersebut, mereka membentuk Panitia Penyempurnaan Dewan Perwakilan Rakyat yang menyerupai gabungan partai-partai politik dan organisasi rakyat, baik kalangan buruh, tani, ataupun pemuda dan elemen sipil lainnya. Dalam rapat itu juga, peserta setuju jika Aceh masuk dalam Provinsi Sumatera Utara.
Barisan pendukung Aceh bergabung dengan Sumatera Utara kemudian mengeluarkan mosi untuk selanjutnya dibawa ke Medan oleh Ketua Panitia Amir Daulay dan anggota-anggota dewan pimpinan, seperti Hindun Rasyid serta SM Ramli. Mosi tersebut kelak disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri yang dijabat Mr. Assaat.
Di sisi lain, kecurigaan antara kelompok mencuat di Aceh. Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) dituding mulai memobilisasi penduduk untuk melawan pemerintah.
Gesekan antar kelompok kian memanas imbas revolusi sosial untuk menggulingkan kekuasaan feodal yang mengakibatkan peristiwa berdarah di Aceh. Aksi tuding menuding dan perang opini hingga berujung saling lapor pun terjadi di Aceh.
Kekecewaan terhadap Pemerintah Pusat juga belum meredam akibat dicabutnya status provinsi. Tokoh pemuda Amir Husin Al Mujahid bahkan menggelar rapat akbar di Beureunuen pada 1 Oktober 1950 untuk membahas persoalan status Provinsi Aceh.
Hadir dalam rapat itu beberapa kepala daerah, kepala mukim, pengurus agama, para hakim syariah, perwakilan Masyumi, anggota PUSA, dan juga Pemuda PUSA. Ikut serta tokoh masyarakat dan politisi di Sigli serta Kota Bakti dalam kampanye akbar di Beureuenun tersebut. Rapat itu dipimpin oleh Bupati Pidie, T. A. Hasan.
Gejolak di Aceh akhirnya terdengar hingga pemerintahan pusat di Yogyakarta. Alhasil, seperti ditulis Al Chaidar dalam buku "Darul Islam di Aceh", Perdana Menteri (PM) M. Natsir ditugaskan berkunjung ke Kutaraja pada 22 Januari 1951 untuk membujuk golongan pro-Provinsi Aceh, agar mau menerima sementara pembentukan Provinsi Sumatera Utara.
Setelah berhasil meyakinkan kubu Daud Beureueh, pengumuman Aceh dilebur dalam wilayah Provinsi Sumatera Utara akhirnya disampaikan secara resmi oleh PM M. Natsir melalui Radio Republik Indonesia (RRI) Kutaraja pada 23 Januari 1951. Daerah yang pernah menjadi modal kemerdekaan Indonesia tersebut akhirnya dipaksa tunduk di bawah Provinsi Sumatera Utara dengan status dikecilkan menjadi keresidenan.
Harry Kawilarang dalam buku "Aceh dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki" menulis, pengumuman itu memantik reaksi keras dari kelompok pendukung Indonesia di Aceh, termasuk Teungku Daud Beureueh. Peleburan Aceh menjadi residen itu juga menambah daftar kekecewaan Daud Beureueh kepada Soekarno, yang pernah berjanji untuk memberikan keleluasaan bagi Aceh menerapkan syariat Islam dalam sistem pemerintahannya.
Tak lama setelah pengumuman tersebut, tepatnya pada 25 Januari 1951, Abdul Hakim dilantik menjadi Gubernur Sumatera Utara. Sementara Medan menjadi ibu kota pemerintahan provinsi.
Pegawai bekas Provinsi Aceh juga diwajibkan pindah ke ibu kota baru tersebut, sementara untuk daerah Aceh diangkat seorang residen koordinator untuk mengawasi terlaksananya pemerintahan setempat.
Imbas dari kebijakan tersebut akhirnya menyeret golongan republiken di Aceh mulai tertarik dengan gerakan Darul Islam yang diproklamirkan SM Kartosuwiryo di Jawa Barat pada Februari 1948.[]
No comments:
Post a Comment