Belanda boleh saja menduduki Darud Donya yang ditinggalkan. Namun, mereka tak pernah tenang dan leluasa untuk memperluas daerah kekuasaan. Mortir dan timah panas pasukan Aceh selalu mengintai serdadu Belanda. Rencong dan kelewang pun seakan tak sabar menikam dan menebas tubuh lawan yang tidak waspada.Foto: Pos Belanda di Biluy pada 1894/De Atjeh-Onsluten in 1896
"Kami terus menerus mengalami masalah dengan Bilui, pos ditembaki tanpa henti dan pasukan bantuan dibombardir pada tanggal 25 Juni 1894. Pasukan bantuan sulit untuk membalasnya. Kampung antara Cot Gu dan Bilui telah diduduki dan diperkuat oleh pasukan jahat (pasukan Aceh), sehingga komunikasi dengan Bilui terputus."
Bilui yang dimaksud perwira Belanda itu merupakan Mukim Biluy, salah satu kawasan yang berada di Kecamatan Darul Kamal, Aceh Besar, Aceh saat ini. Hamparan sawah luas di muka pemukiman menjadi ciri khas perkampungan ini. Wilayah yang masih asri itu juga diadang oleh perbukitan di belakangnya.
Dalam jurnal perwira Belanda itu, seperti diterbitkan Uitgave v. Nijgn & van Ditmar, disebutkan juga bagaimana mereka kerap mendapat perlawanan dari pasukan Aceh.
Awal kisah mereka bertahan di Pos Bilui dimulai pada 20-21 Mei 1894. Malam itu, tiga brigade pasukan Marsose di bawah pimpinan Kapten Bakkers berangkat melalui Lampeuneurut ke Cot Gu. Ikut serta dalam misi itu Asisten Residen Kroesen dan para kepala suku yang telah menjalin hubungan dengan Belanda.
Ketika pasukan hampir tiba di Bilui, Belanda mendapati beberapa orang Aceh yang sedang berdoa. Mereka langsung kabur ketika melihat pasukan Belanda bersenjata lengkap mendekat.
Namun, itu bukan akhir dari sebuah cerita yang ditulis tentang misi Bilui oleh perwira Belanda tersebut. Keesokan paginya, 21 Mei 1894, empat kompi infanteri, satu baterai artileri gunung, dan satu peleton kavaleri berangat ke Bilui untuk membebaskan para marsose yang sudah terlebih dulu tiba di sana.
"Seperti yang dapat dipahami, semua ini tidak akan berjalan dengan mudah, dan musuh sekarang datang dalam jumlah besar. Pasukan tersebut terkena tembakan hebat sepanjang hari," tulis perwira tersebut.
Bilui menjadi pos yang paling banyak menelan korban jiwa. Belanda rugi besar di pos ini, baik sejak pertama kali mendirikan pos hingga penempatannya di kemudian hari.
Dikisahkan, penyerangan terhadap pasukan Marsose selanjutnya terjadi pada malam 21-22 Mei 1894. Pasukan Aceh merayap mendekati pos Belanda di Bilui. Ketika posisinya berjarak 43 langkah dari pos yang sedang dibangun itu, pasukan Aceh melepaskan tembakan dengan sengit. Namun, tidak ada prajurit Belanda yang kena.
Serangan pasukan Aceh itu tidak membuat Belanda menghentikan proyek pembangunan pos di Bilui. Berbagai bahan untuk keperluan mendirikan pos dibawa ke Bilui.
"Semua ini terjadi di bawah tembakan aktif dari musuh. Secara total kami kehilangan dua orang tewas dan 21 orang terluka dalam kejadian ini, termasuk Letnan Dua Liefrinck, yang kakinya harus diamputasi," tulis Uitgave v. Nijgn & van Ditmar.
Seperti yang dikisahkan di awal, pembangunan pos Belanda di Bilui tidak dalam kondisi aman dan damai. Mereka terus menerus ditembaki. Bahkan dibombardir.
Pasukan bantuan yang didatangkan tak mampu menghalau serangan dari pasukan Aceh. Kampung antara Cot Gu dan Bilui bahkan telah dikuasai oleh pasukan Aceh. "Komunikasi dengan Bilui terputus."
Belanda kemudian mengirimkan Batalion ke-3 di bawah komando Mayor Heeres untuk membersihkan jalan. Personel Belanda itu juga diperkuat dengan artileri gunung dan kavaleri. Mereka terus bergerak maju untuk membebaskan Bilui dari pengepungan.
Belanda membagi dua grup pasukannya untuk menyergap pasukan Aceh. Belakangan, Teuku Umar dan pasukannya ikut bergabung dengan salah satu grup pasukan Belanda. Gerakan menjepit pertahanan pasukan Aceh itu disertai dengan tembakan perlindungan dari baterai gunung dan baterai delapan mortir Belanda.
Infanteri Belanda merangsek maju. Namun mereka mengalami penderitaan besar ketika keluar dari perkampungan dan berjalan di areal persawahan yang terbuka. Timah panas yang dilesakkan pasukan Aceh bertubi-tubi ke arah Belanda.
"Namun musuh juga menderita kerugian besar karena selama mundur, mereka meninggalkan orang-orang mati di medan perang," tulis Uitgave v. Nijgn & van Ditmar.
Dalam pertempuran itu, terdapat empat prajurit Belanda tewas. Selebihnya sebanyak tujuh serdadu terluka termasuk Kapten J. Seek yang tertembak di kaki.
Belanda kemudian berinisiatif mendirikan pos lain di kawasan Lamkunyet pada 4 Juli 1894. Pos itu dimaksudkan untuk membantu mengamankan Bilui. Lokasi pos dipilih di sebelah barat Bilui, di jalan menuju Bukit Terin.
Akan tetapi, pasukan Aceh tidak sedikit pun memberikan kesempatan kepada Belanda. Jalur menuju pos baru tersebut justru berhasil diduduki oleh pasukan Aceh pada 17 Juli 1894.
Belanda kepayahan menguasai Bilui. Pasukan bantuan yang dikirim ke sana pun tak pelak mendapat serangan dari pasukan Aceh ketika meninggalkan Cot Gu. Seorang komandan pasukan Belanda, Kapten Anken, malah terkena tembakan pasukan Aceh di dada ketika hendak mengintai medan. Dia meninggal selang seperempat jam kemudian.
Langkah pasukan Belanda terhenti di sana. Pasukan marsose itupun terpaksa menunggu bala bantuan dari Kota Radja (Bandar Aceh), yang terdiri dari satu kompi dari Batalion 3 dan satu kompi dari Batalion 14. Pasukan bantuan itu juga disertai dengan dua seksi artileri gunung.
Pasukan Aceh terkepung. Dari Bilui, pasukan marsose yang masih bertahan menyerang dari belakang. Pertempuran itu berakhir. Pasukan Aceh kalah telak.
Namun, Belanda tak menyangka bahwa sebagian pasukan Aceh yang dikepung di jalur itu ada yang selamat. Diantara mereka bersembunyi dan mencoba menyergap pasukan Belanda yang kembali dari Bilui. Akan tetapi, upaya pasukan Aceh itu gagal karena lebih dulu diketahui oleh pasukan patroli regu pasukan Belanda dari sayap kanan Bilui.
Rencana Belanda mendirikan pos di Bilui sia-sia. Pasukan Aceh tidak pernah menyerah untuk menyerang Belanda. Alhasil, pos yang sudah didirikan tidak sempat ditempati, baik di Bilui maupun Lamkunyet.
Pos-pos Belanda yang didirikan di Cot Gue, Bilui, Lamkunyet, Tungkop, Cot Rang, Krueng Glumpang, Lambarih, Lamsut, Aneuk Galong dan Senelop acapkali mendapat serangan pasukan Aceh. Begitu pula dengan moda transportasi yang dibangun Belanda, juga tak terhindar dari sabotase pasukan Aceh.
Menurut perwira Belanda, pos-pos yang dibangun di sana hanya mampu melindungi pasukan dari hujan dan angin. Namun, pos-pos yang dilengkapi dengan penghalang kawat besi serta pagar kayu itu tidak begitu optimal menahan serangan bom.
"Banyak yang terluka berada di benteng pertahanan, yang berhasil diselamatkan dari tembakan musuh."[]
No comments:
Post a Comment