Sunday, May 9, 2021

Jejak Gubernur Belanda di Aceh (2)

Sumber: KITLV

KEGANASAN van der Heijden selaku pemimpin sipil dan militer di Aceh menjadi sorotan oleh kalangan internal Belanda. Sikapnya yang tidak beradab dalam menghadapi Aceh bahkan disebut sebagai prilaku bar-bar. Hal inilah yang membuat Belanda mempertimbangkan kembali posisi van der Heijden sebagai penguasa tertinggi di Aceh.

Dr Julius Jacobs dalam buku “Het Familie en kampongleven in Groot Atjeh” bahkan memaparkan fakta-fakta memalukan yang dilakukan oleh Belanda di bawah kepemimpinan Heijden. Dia meminta parlemen Belanda tidak melupakan keganasan yang dilakukan oleh tentara mereka di Aceh tersebut.

Tentang kebrutalan Belanda ini, Dr Jacobs mengaku melihatnya sendiri di lapangan ketika berada di Aceh.

“… Men spreke niet van oorlogsrecht, zools mij zoo dikwijls is voorgeworpen. Oorlogrecht is het iemand neer te schieten, die met een klewang of donderbus in de hand op ons toetreedt of in onze handen valt; doch het is geen oorlogsrecht wanneer een grijsaad en een jongen van 12 jaar, die op de sawah werkzaam en beiden ongewapen zijn, worden neergeschoten (seseorang tidak dapat berbicara tentang hukum perang, seperti yang sering disampaikan kepada saya. Merupakan hak perang untuk menembak seseorang yang mendekati atau menyerang kita dengan klewang atau blunderbuss di tangan, tetapi bukan hukum perang ketika seorang tua bangka dan seorang anak laki-laki berusia 12 tahun yang sedang bekerja di sawah, tanpa senjata, ditembak begitu saja,” tulis Dr Jacobs menyorot keganasan van der Heijden.

Tentu saja van der Heijden yang menghadapi sidang militer membantah semua tuduhan atas dirinya, termasuk aksi pembongkaran makam para Sultan Aceh. Dia mengatakan kebijakan serupa juga dilakukan oleh para Gubernur Belanda di Aceh sebelum dia berkuasa. (Baca: Jejak Gubernur Belanda di Aceh).

Tuesday, May 4, 2021

Jejak Gubernur Belanda di Aceh

“…kita hanya seorang miskin dan muda, dan kita sebagai juga Gubernemen Hindia Belanda, berada di bawah perlindungan Tuhan yang maha kuasa…”

Pernyataan ini merupakan jawaban Sultan Alaiddin Mahmud Syah terhadap ultimatum Belanda yang bersikukuh menyerang kedaulatan Aceh. Surat pernyataan perang oleh Belanda itu ditulis pada 26 Maret 1873, dan disampaikan kepada Sultan Aceh pada 1 April 1873.

Pernyataan perang itu antara lain berbunyi. “Dengan ini, atas dasar wewenang dan kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh Pemerintah Hindia Belanda, ia atas nama Pemerintah, menyatakan perang kepada Sulthan Aceh..”

Beberapa kali imperialis tersebut menyurati Sultan Aceh dan sekian kalinya pula mendapatkan jawaban yang mengecewakan. Hingga akhirnya, Komisaris Pemerintah Belanda, Niewehhuijzen memerintahkan kapal perang Citadel van Antwerpen untuk memborbardir dan mendaratkan pasukannya di Ulee Lheue sejak 26 Maret 1873.

Perang berlangsung sengit hingga 31 tahun lamanya. Sejak deklarasi perang ditabuh dari kapal Citadel, Belanda baru berhasil menangkap Sultan Aceh Tuanku Muhammad Daud Syah pada 15 Januari 1903. Penangkapan itu pun dilakukan secara culas, yaitu dengan menawan permaisuri dan putra mahkota terlebih dahulu.

Alhasil, Sultan Aceh bersedia datang menemui Belanda dengan bertelanjang kaki–isyarat bahwasanya Tuanku Muhammad Daud Syah hanyalah seorang rakyat biasa. Belanda tidak paham akan hal itu dan dengan tergesa-gesa mengumumkan bahwa Sultan Aceh telah kalah perang. Padahal, di lapangan, situasi pertempuran masih terjadi hingga 39 tahun selanjutnya. Komando perang telah diambil alih oleh para ulama secara estafet. (Baca: Januari dalam Sepenggal Catatan Sejarah Aceh)

Selama perang puluhan tahun itu, Belanda turut membentuk sistem pemerintahan resmi di Aceh. Sistem pemerintahan ini pernah dijabat oleh sipil dan militer, yang belakangan disebut Gubernur.