Friday, March 14, 2025

Aksi TPR Merebut Kutaraja

LASKAR Dewan Perjuangan Rakyat (DPR) di bawah pimpinan Husin Al Mujahid merebut Kutaraja (Banda Aceh) yang menjadi pusat pemerintahan Residen Aceh pada 3 Maret 1946. Perebutan ibu kota ini dilakukan Amir Husin Al Mujahid dalam rangka gerakan revolusi sosial yang dilakukan kalangan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) untuk menumpas kekuasaan para uleebalang--yang masa itu disebut kaum feodal.

Dikutip dari buku Memorandum tentang Peristiwa Pemberontakan DI TII di Atjeh terbitan TT I Bukit Barisan, sasaran utama kelompok Amir Husin Al Mujahid adalah merebut kekuasaan Residen Aceh dari tangan Teuku Nyak Arief dan militer dari tangan Syamaun Gaharu. Dalam gerakannya, Amir Husin Al Mujahid dan pasukannya melakukan konvoi dari Seulimuem, Aceh Besar, menuju Banda Aceh menggunakan 40 unit truk. Sebelumnya mereka melakukan konvoi dalam rangka unjuk kekuatan dari Idi, Lhokseumawe, Sigli hingga Seulimuem.

Selain bertujuan mencopot jabatan T Nyak Arief, laskar di bawah kepemimpinan Amir Husin Al Mujahid juga hendak menyeberang ke Sabang yang masih diduduki oleh Sekutu/NICA sejak 25 Agustus 1945.

Revolusi sosial yang bertujuan menggulingkan kekuasaan uleebalang berhasil menyebar di Aceh pada 5 Maret 1946. Gerakan ini turut menggeser posisi Teuku Nyak Arif dari jabatan Residen Aceh dan diberikan kepada Teuku Chik Mohammad Daudsyah yang dianggap netral.

Kelompok Amir Husin Al Mujahid tersebut kelak juga akrab disebut dengan Tentara Perjuangan Rakyat (TPR). Mengutip buku Revolusi Kemerdekaan Indonesia di Aceh 1945-1949 yang ditulis oleh Teuku Ibrahim Alfian, TPR merupakan penjelmaan dari Barisan Berani Mati Lasykar Teungku Chik Paya Bakong yang dibentuk khusus untuk menumpas gerakan Cumbok pada Januari 1946.

TPR pada masa itu juga menjalin afiliasi dengan TRI dan Lasykar Pesindo. Pasukan Amir Husin Al Mujahid bahkan mendapat bantuan langsung dari Lasykar Kesatria Pesindo ketika bergerak ke pantai barat Aceh, terutama ketika mengultimatum Teuku Nyak Arief dan Syamaun Gaharu agar lengser dari jabatannya.

Amir Husin Almujahid kemudian menjadi Wakil Gubernur Militer untuk Aceh dan sekitarnya. Dia juga sempat menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat pada Negara Bagian Aceh pada September 1955 setelah Tgk Daud Beureueh mengumumkan Aceh menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) atau dikenal juga Darul Islam/Tentara Islam (DI/TII), sesuai Piagam Batee Kareung.

Sebelumnya Amir Husin Al Mujahid menduduki jabatan sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Pemuda PUSA di bawah Tgk Daud Beureueh. Dia pernah ditahan oleh Jepang selama dua bulan bersama Teungku Abubakar Adamy, setelah menyerahkan diri untuk membebaskan Teungku Daud Beureueh, Teungku Abdul Wahab Seulimuem, Teuku Muhammad Amir, Teungku Muhammad Yunus Jamil dan beberapa orang lainnya yang menjabat sebagai pengurus PUSA.

Gerakan yang dilakukan oleh Amir Husin Al Mujahid bersama TPR di Aceh belakangan menimbulkan polemik dari internal militer. Terutama ketika Amir Husin Al Mujahid menjadi tokoh terkemuka di kalangan militer, di Aceh. Kelompok militer tersebut kemudian menculik Amir Husin Al Mujahid yang sedang menginap di Hotel Aceh, Kutaraja (Banda Aceh) pada akhir April 1946. Dia kemudian dibawa untuk menghadap Teungku Abdul Wahab Seulimuem, seorang tokoh Markas Besar Rakyat Umum (MBRU) yang pada waktu itu menjabat sebagai Bupati Pidie.

Para penculik pada awalnya bermaksud hendak mempertemukan Amir Husin Al Mujahid dengan Syamaun Gaharu. Namun, upaya itu gagal karena Amir Husin Al Mujahid lolos setelah mendapat bantuan dari para pengikutnya. Penculikan terhadap Amir Husin Al Mujahid itu kemudian mengakhiri aksi revolusi sosial di Aceh.

Amir Husin Al Mujahid meninggal dunia pada 16 Rajab 1402 atau bertepatan dengan tanggal 10 Mei 1982 pukul 18.30 WIB di Rumah Sakit Islam Malahayati, Medan, Sumatera Utara. Jasadnya kemudian dikebumikan di Desa Alue Jangat, Idi Rayeuk, Aceh Timur.[]

No comments:

Post a Comment