Showing posts with label kerajaan aceh. Show all posts
Showing posts with label kerajaan aceh. Show all posts

Saturday, March 22, 2025

Dua Muka Teuku Umar: Teman Sekaligus Musuh Utama Belanda

AMPON UMAR adalah anak “badung” yang ingin dihukum oleh Belanda. Dia berkali-kali menipu Belanda dengan berpura-pura menjadi sahabat dan kemudian menikam mereka dari belakang. 

Kisah “kenakalan” Umar seperti itu banyak dicatat oleh Belanda, baik dari kalangan sarjana bahkan hingga tingkat prajurit yang pernah bersinggungan langsung dengan uleebalang dari pantai barat Aceh tersebut. Salah satunya adalah H. J. Schmidt, seorang marsose yang memiliki pengalaman luas dalam perang Aceh. 

“Dia telah berperang melawan kami selama bertahun-tahun dan berulang kali tunduk pada otoritas kami, hanya untuk melakukan pengkhianatan lagi ketika dia melihat peluang. Namun Jenderal Deijckerhoff menaruh keyakinan tak terbatas pada janji kesetiaannya. Untuk mendukung kekuasaan Teuku Umar, ia mengangkatnya menjadi Uleebalang Leupueng (XXV Mukim), yang penguasa aslinya telah dikalahkan; pelantikannya sebagai Panglima Prang Besar dilakukan pada bulan September 1893 (30 September 1893),” tulis H. J Schmidt dalam buku Marechausse In Atjeh: Herinneringen en Ervaringen van Den Eersten Luitenant en Kapitein van Het Korps Marechaussee van Atjeh en Onderhoorigheden

Meski tidak menyukai Teuku Umar, tetapi Schmidt mengakui peran penting uleebalang dari pantai barat Aceh tersebut telah membuat wilayah kekuasaan Belanda kian meluas, terutama di daerah Aceh Besar. Keberpihakan Umar kepada Belanda juga telah membuat mereka berhasil merebut kembali pos-pos terdepan di lini konsentrasi. H.J. Schmidt bahkan menyebut setelah Teuku Umar berpihak kepada mereka, maka sejak 1895 Belanda merasakan suasana damai setelah sekian lama mereka menginjakkan kaki di Aceh.

Friday, March 14, 2025

Siak Bersekutu dengan Belanda

SULTAN Assyaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Ismail Abdul Jalil Syarifuddin atau Sultan Said Ismail yang memimpin daerah Siak mengikat perjanjian dengan Belanda pada 21 Februari 1858. Perjanjian itu dilakukan sebagai konsekuensi permintaan Siak kepada Belanda untuk membantu mengusir Inggris dari daerahnya.

Namun, Belanda memanfaatkan kerjasama ini dengan menuntut 12 daerah di Siak, meliputi Kota Pinang, Pagarawan, Batu Bara, Badagai, Kualiluh, Panai, Bilah, Asahan, Serdang,Langkat, Temieng, serta Deli. Daerah-daerah itu ternyata berada di bawah pengaruh Kesultanan Aceh Darussalam.

Provokasi Belanda ini memancing amarah Sultan Aceh yang kemudian mengutus Tuanku Hasyim Bangta Muda sebagai Wali Sultan Aceh di Sumatra Bagian Timur. Tuanku Hasyim mendapat amanah untuk mengonsolidasikan wilayah-wilayah Aceh dari pengaruh Belanda di daerah perbatasan.

Sunday, March 9, 2025

Laporan Dewan Delapan

DEWAN Delapan dari Penang melaporkan perkembangan politik internasional kepada Sultan Aceh melalui Panglima Polem Seri Muda Perkasa dan Panglima Sagi XXVI bergelar Panglima Setia Alam pada 20 Muharram 1291 Hijriah atau 9 Maret 1874 (Versi Ali Hasymi menyebut laporan itu disampaikan pada 8 Maret 1874).

Dalam laporannya, Ketua Dewan Delapan, Teuku Paya, menyebutkan bahwa perselisihan antara Kerajaan Aceh dengan Belanda telah menjadi perbincangan di negeri-negeri Eropa. Dewan Delapan bahkan menyebutkan akan adanya bantuan yang diterima Aceh dari Inggris di bawah kepemimpinan Ratu Victoria.

Mengutip Ali Hasjmy dalam buku "Penyebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun Melawan Agresi Belanda", disebutkan bahwa Dewan Delapan juga optimis akan ada campur tangan Eropa dalam perang melawan Belanda di Aceh. Diharapkan campur tangan dunia barat itu mampu membuat Belanda mengakhiri blokade laut di Aceh.

Selain itu, mengutip H M Said dalam buku Aceh Sepanjang Abad Jilid II, Dewan Delapan juga mengabarkan adanya pergantian jabatan Perdana Menteri Inggris dari Gladstone kepada Disraeli. Glandstone dicopot dari jabatannya lantaran terlalu memihak Belanda sehingga merugikan Aceh. Sementara Disraeli dianggap tidak akrab dengan Belanda.

Serangan 6 Maret 1907

BELANDA memang berhasil membuat Sultan Muhammad Daud Syah menyerahkan diri usai menangkap dua permaisuri dan putra mahkota, Tuanku Ibrahim. Namun, perlawanan orang-orang Aceh melawan Belanda belum usai, baik secara de facto maupun de jure.

Di lapangan, perang terus berlanjut meski tak lagi dipimpin secara terpusat di bawah bendera Kerajaan Aceh. Pejuang-pejuang Aceh bergerak sendiri-sendiri setelah panglima perang tertinggi ditangkap Belanda. 

Jika pada awal-awal pasukan Aceh memilih perang frontal, pada akhirnya mereka terpaksa memilih jalan hit and run alias bergerilya. Strategi inilah yang membuat Belanda sempat pusing, sebelum akhirnya mereka membentuk pasukan antigerilya bernama marsose.

Pun banyak pejuang Aceh yang gugur di tangan unit baru KNIL tersebut, khususnya Kolone Macan, tetapi tidak membuat para patriotik dengan serta merta angkat tangan dan menggantung senjata. Keuchik Seuman dan Pang Usoih, misalnya.

Dua sosok itu bersama pasukannya bahkan berani menyerang Belanda di ibu kota, Kutaraja, pada 6 Maret 1907. Serangan mendadak ini mengejutkan van Daalen di Kutaradja, pejabat Hindia Belanda di Batavia, dan bahkan petinggi Belanda di Den Haag. 

Sunday, November 19, 2017

Para Cuak dalam Agresi Militer Belanda di Aceh

Ilustrasi Perang Aceh
SULTAN DELI saat itu telah berganti. Kebijakan politik pun berubah dari menolak pengaruh asing dengan mengakui Belanda. Adalah Sultan Mahmud yang "berjasa besar" memberikan Belanda kekuasaan di Deli saat itu. 

Sultan Mahmud yang menggantikan Sultan Usman bersedia menandatangani perjanjian politik dengan Belanda pada 22 Agustus 1862. Dengan demikian, maka Belanda pun mendapat kesempatan menggunakan wilayah ini menjadi batu loncatan. Hal ini pula yang membuat kekuatan pertahanan Aceh terus terdesak.

Friday, March 20, 2015

Pakaian Orang Aceh Tempo Dulu


SAAT membaca sejarah Aceh abad 16 hingga abad 18 bagaimana bayangan Anda tentang pakaian yang dikenakan penduduknya saat itu? Beberapa orang justru secara spontan akan menjawab pakaian tradisional Aceh adalah kupiah meukutob, kain songket, baju dan celana berwarna hitam yang terbuat dari kain blacu atau jenis kain lainnya. Selain itu, pakaian orang Aceh juga dilengkapi dengan rencong di pinggangnya.

Namun tidak semua orang-orang Aceh berpakaian lengkap dengan baju adat terutama masyarakat kelas bawah yang bukan keluarga istana. Lantas bagaimana pakaian orang Aceh tempo dulu?

Mengenai gaya hidup dan adat kebiasaan orang Aceh ini pernah ditulis oleh Denys Lombard dalam bukunya Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda. Denys adalah salah satu peneliti sejarah dari Prancis. Dalam tulisan yang diterbitkan pada 1967 ini, Denys Lombard telah mencoba membuat suatu analisa terhadap sejarah Aceh tidak hanya berdasarkan pada orientasi Eropa yang banyak dianut oleh sarjana Barat. Namun Lombard telah mencobanya dengan melihat dari "dalam" yakni orientasi Asia.

Riwayat Tuan Dikandang di Gampong Pande



WARGA Gampong Pande, Banda Aceh menggelar Haul Tuan Dikandang ke 859 di Kompleks Makam Tuan Dikandang desa setempat, Sabtu, 14 Februari 2015. Kegiatan ini dilaksanakan pukul 12.00 Wib dan dihadiri oleh sejumlah keturunan raja-raja Aceh.

"Ini Haul perdana Tuan Dikandang yang kita gelar. Kegiatan ini murni inisiatif tokoh-tokoh masyarakat Gampong Pande dengan tujuan untuk mengenang kembali kebesaran ulama Tuan Dikandang," ujar Said Zulkarnain Alaydrus, Ketua Panitia Pelaksana Haul Tuan Dikandang kepada ATJEHPOST.co.

Said Zulkarnain mengatakan Tuan Dikandang merupakan ulama besar yang datang dari Baghdad bersama 500 pengawalnya. Sebelum bertandang ke Aceh, Tuan Dikandang yang memiliki nama lengkap Al Makdum Abi Abdullah Syekh Abdurrauf Al Mulakab Tuan Dikandang ini singgah di India selama setahun.

11 Februari 1899: Teuku Umar Tewas di Ujong Kala



"Beungoh singoh geutanyoe jep kupi di keude Meulaboh atawa ulon akan syahid (Besok pagi kita akan minum kopi di Meulaboh atau aku akan gugur)."

Kalimat itu tertulis di tugu Teuku Umar Meulaboh, diyakini sebagai kalimat terakhir yang diucapkannya sebelum akhirnya tewas di tangan Garnizun Belanda pada 11 Februari 1899, 26 tahun setelah perang Aceh-Belanda dimulai sejak Maret 1873.

Teuku Umar lahir sekitar tahun 1854. Ayahnya adalah Teuku Mahmud dan ibunya seorang adik raja Meulaboh. Leluhur Umar merupakan perantau dari Minangkabau yang datang ke Aceh pada abad 17.

Gelar Teuku diperoleh dari kakek Umar yang bernama Nanta Cih sebagai penghargaan atas jasanya membantu Sultan Alaiddin Syah dalam pertentangannya dengan Panglima Polim dan Sagi XXII. Dengan bantuan Nanta Cih itu Sultan mendapat kemenangan dan Nanta Cih diberi gelar Teuku yang diwariskan kepada anak-anak dan cucu-cucunya, antara lain Teuku Umar.

6 Februari 1939; Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah Mangkat di Pengasingan


ACEH Lamuri Foundation (ALIF) akan menggelar Haul Sultanah Kamalat Syah dan Sultan Alaiddin Muhammad Dawod Syah pada Minggu, 8 Februari 2015. Kegiatan yang digagas bersama lembaga Sejarah Indatu Lamuria Aceh (SILA), Pamong/Penyuluh Budaya dan Duta Museum Aceh ini dilaksanakan di Museum Rumoh Aceh, sekitar pukul 09.30 Wib.

“Sultanah Kamalat Syah merupakan pengganti Sultanah Zaqiatuddin Inayat Syah. Dia bertahta pada 1688,” ujar Ketua Alif, Mawardi Usman, kepada ATJEHPOST.co.

Ada dua versi tentang asal-usul Sultan Kamalat Syah. Pertama, Kamalat Syah adalah putri Raja Umar bin Sutan Muda Muhammad Muhidudin sekaligus adik angkat dari Sultanah Zaqiatuddin Inayat Syah. Kedua adalah anak angkat Ratu Sultanah Safiatuddin Syah.

Ia mengatakan di masa kepemimpinan Sultan Kamalat Syah banyak mendapatkan kunjungan dari Persatuan Dagang Perancis dan serikat dagang Inggris, dan East Indian Company.

5 Februari 1641; Mangkatnya Sultan Iskandar Tsani



SULTAN Iskandar Tsani Alauddin Mughayat Syah merupakan Sultan Aceh ketiga belas. Dia merupakan sultan pengganti setelah Iskandar Muda berkuasa.

Jika melihat dari silsilah keluarganya, Sultan Iskandar Tsani adalah putera dari Sultan Pahang, Ahmad Syah. Dia dibawa ke Aceh oleh Iskandar Muda saat Pahang berada di bawah bendera Kerajaan Aceh Darussalam pada 1617.

Setelah dewasa, Sultan Iskandar Tsani menikah dengan puteri tertua Sultan Iskandar Muda, yang kelak bergelar Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin. Iskandar Tsani kemudian dipercaya menggantikan kedudukan Sultan Iskandar Muda, saat sultan mangkat pada 16 Desember 1636.

Tuesday, March 10, 2015

Benteng Batee Iliek dan Pertempuran Terakhir Teungku Cik Pante Geulima

TEUNGKU Cik Pante Geulima Syekh Ismail bin Yakub tanpa komando dari Kerajaan Aceh Darussalam langsung membentuk pelatihan belanegara sebelum Belanda mengeluarkan ultimatum pada 26 Maret 1873. Dayah Pante Geulima yang telah memiliki hampir seribu santri langsung berubah menjadi kamp pelatihan militer. Setelah peperangan meletus antara Kerajaan Aceh Darussalam dengan Belanda, Teungku Cik Pante Geulima bersama satu balang (batalion) sekitar seribu orang, berangkat ke Aceh Besar untuk mempertahankan Krueng Daroy. Di sana, ia mendirikan kuta reuntang dengan tujuh buah kubu yang sambng menyambung, dengan kubu induk bernama Kuta Bu. (Baca: Teungku Cik Pante Geulima; Panglima Perang di Kuta Reuntang). 

Meskipun ibu kota Kerajaan Aceh Darussalam dapat direbut musuh, tapi keberadaan Teungku Cik Pante Geulima di kuta reuntang kerap merepotkan Belanda. Kuta reuntang sama sekali tidak bisa ditembus Belanda selama di bawah kepemimpinan Teungku Cik Pante Geulima. Setelah 3,5 bulan memimpin daerah Krueng Daroy akhirnya Teungku Cik Pante Geulima ditarik kembali ke Pidie oleh Laksamana Teuku Raja Muda Cut Latif. Ia kemudian diutus ke Tanah Batak dan Karo untuk melakukan diplomasi politik dengan raja-raja setempat termasuk dengan Sisingamangaraja XII. (Baca: Peranan Teungku Cik Pante Geulima di Daerah Sisingamangaraja). 

Peranan Teungku Cik Pante Geulima di Daerah Sisingamangaraja

SEJAK Belanda mengganggu kedaulatan Kerajaan Aceh Darussalam, pimpinan Dayah Cik Pante Geulima, Syekh Ismail bin Yakub ikut memperkuat barisan militer di Aceh Besar. Ia dipercaya sebagai panglima perang kuta reuntang di Daerah Krueng Daroy selama 3,5 tahun. Keberadaannya di daerah tersebut terus mengancam posisi Belanda yang telah menguasai ibu kota. (Baca: Teungku Cik Pante Geulima; Panglima Perang di Kuta Reuntang

Pihak Kerajaan Aceh Darussalam telah memperkirakan peperangan menghadapi Belanda akan berlangsung lama. Karenanya, Teungku Cik Pante Geulima Syekh Ismail bin Yakub mendapat mandat mengunjungi Tanah Batak dan Tanah Karo untuk perlawanan menghadapi Belanda. Tugas tersebut dilaksanakan Syekh Ismail dengan mengikutsertakan 400 pasukannya ke wilayah Batak Karo. Di dalam pasukan tersebut terdapat ulama, juru dakwah, dan ahli peperangan. Setiba di wilayah Batak dan Karo, Syekh Ismail bin Yakub mengadakan kontak dengan pemimpin-pemimpin setempat. Salah satunya dengan Pahlawan Batak, Sisingamangaraja XII.

Teungku Cik Pante Geulima; Panglima Perang di Kuta Reuntang

DIA merupakan salah satu pejuang yang berjasa dalam perang di benteng Aceh, Kuta Batee Iliek melawan Belanda. Namanya terkenal pada masa perang kolonial, tapi terlupakan dalam catatan sejarah kepahlawanan Indonesia.

“Jenderal K. Van der Heijden, panglima agresor, yang dipaksa atasannya memimpin penyerbuan terhadap benteng Aceh, Kuta Batee Iliek, harus menyerahkan matanya kepada pelor pahlawan-pahlawan Aceh hatta buta, namun Kuta Batee Iliek, salah satu benteng Aceh yang hebat tidak dapat direbutnya. Sehingga dia dicopot dari jabatannya dan diserahkan kepada Jenderal Mayor YB van Heutsz. Salah seorang di antara pahlawan Kuta Batee Iliek yang terkenal adalah Tengku Haji Ismail bin Yakub,” tulis Ali Hasjmy dalam bukunya: Ulama Aceh, Mujahid Pejuang Kemerdekaan dan Pembangun Tamaddun Bangsa.

Haji Ismail bin Yakub merupakan anak Teungku Cik Pante Geulima Yakub. Garis keturunannya yang panjang bermuara kepada Sultan Aceh Saiyiddil Mukamil.

Ali Hasjmy merunut silsilah Haji Teungku Haji Ismail bin Teungku Cik Pante Geulima Yakub bin Teungku di Bale Abdurrahman bin Teungku Muhammad Said bin Teungku Darah Puteh bin Teungku Tok Setia bin Teungku Yakub bin Meurah Puteh bin Meurah Abdullah bin Saiyiddil Mukammil. Leluhur Haji Ismail, yang memiliki nama sama dengan ayahnya, Yakub, memilih jalan berbeda seperti ayah dan kakeknya yang bergelar Meurah. Ia lebih mencintai pendidikan daripada kekuasaan yang kemudian mendirikan Dayah Pante Geulima. Sejak itu semua leluhur Ismail yang memimpin dayah dikenal sebagai Teungku Cik Pante Geulima. Ismail lahir di Pante Geulima, Meureudu, sekitar tahun 1838 atau 1253/1254 Hijriah.

Pepustakaan Tanoh Abee

"PERPUSTAKAAN (kutubkhanah) ini milik pribadi keturunan Teungku Chiek Tanoh Abee Al Fairusy Al Bagdady. Di dalam perpustakaan ini banyak tersimpan manuskrip-manuskrip tentang Islam, sejarah dan kebudayaan Aceh dari abad 16 hingga abad 19 M."

Demikian isi pamplet Pustaka Tanoh Abee yang dipancang di depan gerbang kompleks perpustakaan tertua di Asia Tenggara tersebut. Pustaka ini terletak di Blang Krieng atau Gampong Seuneubok, Kecamatan Seulimum Kabupaten Aceh Besar.

Di dalam kompleks ini terdapat dua gedung permanen bantuan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) yang dibangun medio 2009 lalu. Salah satu bangunan permanen ini langsung menyambut tamu yang datang dari pintu gerbang utama. Kondisinya kurang terurus lantaran pembangunan yang disebut-sebut asal jadi.

Teuku Umar Berbalik Arah Melawan Belanda karena Kecewa?

TANTANGAN perang dari Teungku Fakinah, pemimpin sukey (resimen) perempuan Kerajaan Aceh Darussalam bukan satu-satunya alasan Teuku Umar kembali melawan Belanda. Setelah pengkhianatannya terhadap kerajaan, Umar yang diberi julukan Johan Pahlawan dan mendapat kedudukan sebagai panglima besar oleh Belanda tersebut ternyata memendam rasa kecewa. Adalah H Mohammad Said yang mencatat kekecewaan Teuku Umar tersebut dalam bukunya Aceh Sepanjang Abad jilid II.

Meninggalnya Teungku Ma'at Sang Ulama Tiro

Ilustrasi
PERLAWANAN ulama Aceh di bawah pimpinan keluarga Tiro membuat Belanda kewalahan. Dimulai dari peran serta Syekh Muhammad Saman yang dikenal Teungku Chik Di Tiro pada masa awal peperangan Belanda di Aceh, keluarga Tiro terus menerus menyulitkan Belanda hingga mereka angkat kaki dari Aceh.

Tongkat estafet jabatan Wali Nanggroe yang diberikan kepada keluarga Tiro menjadi salah satu penyebab tingginya perlawanan Aceh terhadap Belanda. Meskipun Belanda telah menangkap Sultan Aceh terakhir, Sultan Muhammad Dawood namun pejuang Aceh tidak berhenti melakukan perang gerilya. Sejak meninggalnya Syekh Muhammad Saman di Tiro pada 1891, jabatan Wali Nanggroe dipikul oleh anak-anak dan cucunya.

Semasa perang melawan Belanda, jabatan Wali Nanggroe terakhir dijabat oleh Tengku Chik di Tiro Muaz bin Muhammad Amin. Ia merupakan salah satu pemuda yang baru berusia 16 tahun. Teungku Ma'at merupakan nama lain Syeh Ma'at bin Muhammad Amin alias Teungku Chik di Tiro Muaz bin Muhammad Amin merupakan Wali Nanggroe ke tujuh di Aceh yang diangkat pada 1911 setelah meninggalnya Teungku Mahyeddin di Tiro.

Wednesday, December 17, 2014

Mencari Makam Ratu Inayat Zakiatuddin Syah

SEDIKITNYA ada enam nisan berada dalam kompleks Makam Meuh II, di Kompleks Gedung Juang, Banda Aceh. Nisan-nisan tersebut merupakan milik keluarga Kerajaan Aceh Darussalam.

Di bawah nisan ini berbaring jasad-jasad tokoh penting Aceh masa dulu. Di antaranya adalah Putri Raja Anak Raja Bangka Hulu, Sultan Alauddin Mahmudsyah (1760-1764), Raja Perempuan Darussalam, dan Tuanku Zainal Abidin.

Amatan ATJEHPOST.co di lokasi, Jumat, 3 Oktober 2014, tiga di antara nisan-nisan tersebut memiliki konstruksi berbeda. Bangunan nisan ini lebih besar di bandingkan yang lainnya. Keseluruhan nisan ini berada dalam satu pagar yang luasnya seukuran lapangan tenis.