Friday, March 20, 2015

11 Februari 1899: Teuku Umar Tewas di Ujong Kala



"Beungoh singoh geutanyoe jep kupi di keude Meulaboh atawa ulon akan syahid (Besok pagi kita akan minum kopi di Meulaboh atau aku akan gugur)."

Kalimat itu tertulis di tugu Teuku Umar Meulaboh, diyakini sebagai kalimat terakhir yang diucapkannya sebelum akhirnya tewas di tangan Garnizun Belanda pada 11 Februari 1899, 26 tahun setelah perang Aceh-Belanda dimulai sejak Maret 1873.

Teuku Umar lahir sekitar tahun 1854. Ayahnya adalah Teuku Mahmud dan ibunya seorang adik raja Meulaboh. Leluhur Umar merupakan perantau dari Minangkabau yang datang ke Aceh pada abad 17.

Gelar Teuku diperoleh dari kakek Umar yang bernama Nanta Cih sebagai penghargaan atas jasanya membantu Sultan Alaiddin Syah dalam pertentangannya dengan Panglima Polim dan Sagi XXII. Dengan bantuan Nanta Cih itu Sultan mendapat kemenangan dan Nanta Cih diberi gelar Teuku yang diwariskan kepada anak-anak dan cucu-cucunya, antara lain Teuku Umar.


Umar tidak pernah mendapat pendidikan seperti lazimnya di kalangan anak yang sederajat. Ia lebih banyak mengikuti kemauannya sendiri, tidak mau tunduk kepada orang tuanya dan kepada siapa pun. Ia suka berkelahi dan berkelana ke hutan-hutan di Aceh Barat dengan membawa senjata yang tingginya sama dengan tubuhnya. Ia juga kerap membawa kelewang.

Di usia muda, Umar dipercaya menjadi kepala Kampung Darat, Meulaboh. Umar berusia 19 tahun saat perang Belanda di Aceh meletus pada 1873. Jiwa mudanya yang bergelora turut membuat Umar ikut aktif berperang melawan Belanda di Kampung Darat. Kepiawaian dan keberanian dalam peperangan membuat Umar tampil sebagai satu-satunya sosok pemimpin yang dikagumi di Meulaboh.

Peperangannya melawan Belanda pun kemudian meluas dari perjuangan di Kampung Darat ke Meulaboh. Umar semula menempatkan markas utamanya di Kampung Darat. Markas ini sangat sulit ditembus Belanda dari jalur darat. Belanda akhirnya membombardir markas Umar melalui laut yang membuat pertahanan Kampung Darat sedikit longgar. Setelah bombardir tersebut, infanteri Belanda kemudian menyerbu Kampung Darat yang dipertahankan dengan sengit oleh pasukan Umar. Namun markas Umar ini berhasil dikuasai Belanda pada Februari 1878.

Teuku Umar bersama pasukannya kemudian pindah ke Aceh Barat lalu menuju wilayah VI Mukim di Aceh Besar. Di sana ia bertemu dengan pamannya Nanta Setia. Ia kemudian mengawini putri pamannya, Cut Nyak Dhien, yang telah menjadi janda setelah suamnyi Teungku Ibrahim Lamnga tewas melawan Belanda. Cut Nyak Dhien menambah motivasi Umar melawan Belanda melalui nazarnya yang akan menikah dengan pejuang Aceh sepeninggal Teungku Ibrahim Lamnga.

Dalam perjalanan perangnya melawan Belanda, Umar kerap bolak-balik menyatakan kesetiannya terhadap Kesultanan Aceh. Ia bahkan pernah membantu Belanda menyerang pasukan Mayit Tiro di Pidie. Belanda kemudian menganugerahkan tanda jasa kepada Teuku Umar dan memberinya gelar Johan Pahlawan.

Namun setelah mendapatkan logistik perang dan dana melimpah, Umar pun kembali berbalik menyerang Belanda. Pada tanggal 30 Maret 1896, Teuku Umar keluar dari dinas militer Belanda dengan membawa pasukannya beserta 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg amunisi, dan uang 18.000 dollar.

Berita larinya Teuku Umar menggemparkan Pemerintah Kolonial Belanda. Gubernur Deykerhooff dipecat dan digantikan oleh Jenderal Vetter. Tentara baru segera didatangkan dari Pulau Jawa. Vetter mengajukan ultimatum kepada Umar untuk menyerahkan kembali semua senjata kepada Belanda. Umar tidak mau memenuhi tuntutan itu. Ia lantas dipecat sebagai Uleebalang Leupung dan Panglima Perang Besar Gubernemen Hindia Belanda pada tanggal 26 April 1896.

Kembalinya Umar melawan Belanda turut didukung oleh ajakan perang Teungku Fakinah, pimpinan perang wanita dari Aceh Besar yang juga sahabat Cut Nyak Dhien.

Selain itu, Umar turut mengubah haluan perangnya lantaran sakit hati diperlakukan semena-mena oleh pembesar Belanda di Banda Aceh.

Umar dan pasukannya yang telah mendapatkan pendidikan perang menjadi ancaman berbahaya bagi Belanda. Umar kemudian diburu atas perintah Gubernur Hindia Belanda di Batavia.

Sultan Aceh dan Panglima Polim senang setelah mengetahui Umar telah berbalik melawan Belanda. Ia kemudian mendapat undangan untuk memperkuat armada Kerajaan Aceh Darussalam di Keumala. Umar pun memboyong seluruh pasukannya ke daerah tersebut untuk membantu Sultan Aceh melawan Belanda.

Setelah Keumala dikepung Belanda dan markas besar Kerajaan Aceh Darussalam itu hancur, Umar kembali ke Meulaboh melalui Teunom. Sekembali Teuku Umar ke pesisir barat Aceh ini telah membuat keamanan pasukan Belanda menjadi terancam.

Van Heutsz, yang pada waktu itu sudah naik pangkat menjadi Mayor Jenderal, terpaksa memimpin pertempuran melawan pasukan Aceh. Ia dibantu Letnan Jenderal J.A. Vetter yang diutus dari Batavia untuk memburu Umar. Saat itu, Umar telah dinobatkan sebagai pemimpin peperangan semesta rakyat Aceh. Belanda kemudian mengerahkan pasukan besar untuk memadamkan perlawanan Aceh di bawah kepemimpinan Teuku Umar.

Serangan Belanda ini membuat Teuku Umar bertahan di lembah Beuniet, dekat Tangsé. Ia kemudian mengundurkan diri ke Aceh Barat dengan mengambil tempat di sekitar Woyla dan Teunom.

Belanda terus memburu Teuku Umar hingga Aceh Barat. Saat itu Umar dan pasukannya sedang bergerak dari markasnya untuk menyerang Meulaboh. Namun perjalanan Umar diketahui oleh mata-mata Belanda yang akhirnya menjebaknya di daerah Ujong Kala. Di lokasi inilah Teuku Umar tewas pada 11 Februari 1899. Teuku Umar kemudian dimakamkan di Mugo Rayek, Panton Reu, Aceh Barat oleh pengikutnya.[] Dari Berbagai Sumber

No comments:

Post a Comment