"Beungoh singoh geutanyoe
jep kupi di keude Meulaboh atawa ulon akan syahid (Besok pagi kita akan minum
kopi di Meulaboh atau aku akan gugur)."
Kalimat itu tertulis di tugu
Teuku Umar Meulaboh, diyakini sebagai kalimat terakhir yang diucapkannya
sebelum akhirnya tewas di tangan Garnizun Belanda pada 11 Februari 1899, 26
tahun setelah perang Aceh-Belanda dimulai sejak Maret 1873.
Teuku Umar lahir sekitar tahun
1854. Ayahnya adalah Teuku Mahmud dan ibunya seorang adik raja Meulaboh.
Leluhur Umar merupakan perantau dari Minangkabau yang datang ke Aceh pada abad
17.
Gelar Teuku diperoleh dari kakek
Umar yang bernama Nanta Cih sebagai penghargaan atas jasanya membantu Sultan
Alaiddin Syah dalam pertentangannya dengan Panglima Polim dan Sagi XXII. Dengan
bantuan Nanta Cih itu Sultan mendapat kemenangan dan Nanta Cih diberi gelar
Teuku yang diwariskan kepada anak-anak dan cucu-cucunya, antara lain Teuku
Umar.
Umar tidak pernah mendapat
pendidikan seperti lazimnya di kalangan anak yang sederajat. Ia lebih banyak
mengikuti kemauannya sendiri, tidak mau tunduk kepada orang tuanya dan kepada
siapa pun. Ia suka berkelahi dan berkelana ke hutan-hutan di Aceh Barat dengan
membawa senjata yang tingginya sama dengan tubuhnya. Ia juga kerap membawa
kelewang.
Di usia muda, Umar dipercaya
menjadi kepala Kampung Darat, Meulaboh. Umar berusia 19 tahun saat perang
Belanda di Aceh meletus pada 1873. Jiwa mudanya yang bergelora turut membuat
Umar ikut aktif berperang melawan Belanda di Kampung Darat. Kepiawaian dan
keberanian dalam peperangan membuat Umar tampil sebagai satu-satunya sosok
pemimpin yang dikagumi di Meulaboh.
Peperangannya melawan Belanda pun
kemudian meluas dari perjuangan di Kampung Darat ke Meulaboh. Umar semula
menempatkan markas utamanya di Kampung Darat. Markas ini sangat sulit ditembus
Belanda dari jalur darat. Belanda akhirnya membombardir markas Umar melalui
laut yang membuat pertahanan Kampung Darat sedikit longgar. Setelah bombardir
tersebut, infanteri Belanda kemudian menyerbu Kampung Darat yang dipertahankan
dengan sengit oleh pasukan Umar. Namun markas Umar ini berhasil dikuasai
Belanda pada Februari 1878.
Teuku Umar bersama pasukannya
kemudian pindah ke Aceh Barat lalu menuju wilayah VI Mukim di Aceh Besar. Di
sana ia bertemu dengan pamannya Nanta Setia. Ia kemudian mengawini putri
pamannya, Cut Nyak Dhien, yang telah menjadi janda setelah suamnyi Teungku
Ibrahim Lamnga tewas melawan Belanda. Cut Nyak Dhien menambah motivasi Umar
melawan Belanda melalui nazarnya yang akan menikah dengan pejuang Aceh
sepeninggal Teungku Ibrahim Lamnga.
Dalam perjalanan perangnya
melawan Belanda, Umar kerap bolak-balik menyatakan kesetiannya terhadap
Kesultanan Aceh. Ia bahkan pernah membantu Belanda menyerang pasukan Mayit Tiro
di Pidie. Belanda kemudian menganugerahkan tanda jasa kepada Teuku Umar dan
memberinya gelar Johan Pahlawan.
Namun setelah mendapatkan
logistik perang dan dana melimpah, Umar pun kembali berbalik menyerang Belanda.
Pada tanggal 30 Maret 1896, Teuku Umar keluar dari dinas militer Belanda dengan
membawa pasukannya beserta 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg
amunisi, dan uang 18.000 dollar.
Berita larinya Teuku Umar
menggemparkan Pemerintah Kolonial Belanda. Gubernur Deykerhooff dipecat dan
digantikan oleh Jenderal Vetter. Tentara baru segera didatangkan dari Pulau
Jawa. Vetter mengajukan ultimatum kepada Umar untuk menyerahkan kembali semua
senjata kepada Belanda. Umar tidak mau memenuhi tuntutan itu. Ia lantas dipecat
sebagai Uleebalang Leupung dan Panglima Perang Besar Gubernemen Hindia Belanda
pada tanggal 26 April 1896.
Kembalinya Umar melawan Belanda
turut didukung oleh ajakan perang Teungku Fakinah, pimpinan perang wanita dari
Aceh Besar yang juga sahabat Cut Nyak Dhien.
Selain itu, Umar turut mengubah
haluan perangnya lantaran sakit hati diperlakukan semena-mena oleh pembesar
Belanda di Banda Aceh.
Umar dan pasukannya yang telah
mendapatkan pendidikan perang menjadi ancaman berbahaya bagi Belanda. Umar
kemudian diburu atas perintah Gubernur Hindia Belanda di Batavia.
Sultan Aceh dan Panglima Polim
senang setelah mengetahui Umar telah berbalik melawan Belanda. Ia kemudian
mendapat undangan untuk memperkuat armada Kerajaan Aceh Darussalam di Keumala.
Umar pun memboyong seluruh pasukannya ke daerah tersebut untuk membantu Sultan
Aceh melawan Belanda.
Setelah Keumala dikepung Belanda
dan markas besar Kerajaan Aceh Darussalam itu hancur, Umar kembali ke Meulaboh melalui
Teunom. Sekembali Teuku Umar ke pesisir barat Aceh ini telah membuat keamanan
pasukan Belanda menjadi terancam.
Van Heutsz, yang pada waktu itu
sudah naik pangkat menjadi Mayor Jenderal, terpaksa memimpin pertempuran
melawan pasukan Aceh. Ia dibantu Letnan Jenderal J.A. Vetter yang diutus dari
Batavia untuk memburu Umar. Saat itu, Umar telah dinobatkan sebagai pemimpin
peperangan semesta rakyat Aceh. Belanda kemudian mengerahkan pasukan besar
untuk memadamkan perlawanan Aceh di bawah kepemimpinan Teuku Umar.
Serangan Belanda ini membuat
Teuku Umar bertahan di lembah Beuniet, dekat Tangsé. Ia kemudian mengundurkan
diri ke Aceh Barat dengan mengambil tempat di sekitar Woyla dan Teunom.
Belanda terus memburu Teuku Umar
hingga Aceh Barat. Saat itu Umar dan pasukannya sedang bergerak dari markasnya
untuk menyerang Meulaboh. Namun perjalanan Umar diketahui oleh mata-mata
Belanda yang akhirnya menjebaknya di daerah Ujong Kala. Di lokasi inilah Teuku
Umar tewas pada 11 Februari 1899. Teuku Umar kemudian dimakamkan di Mugo Rayek,
Panton Reu, Aceh Barat oleh pengikutnya.[] Dari Berbagai Sumber
No comments:
Post a Comment