Ilustrasi |
Tongkat estafet jabatan Wali Nanggroe yang diberikan kepada keluarga Tiro menjadi salah satu penyebab tingginya perlawanan Aceh terhadap Belanda. Meskipun Belanda telah menangkap Sultan Aceh terakhir, Sultan Muhammad Dawood namun pejuang Aceh tidak berhenti melakukan perang gerilya. Sejak meninggalnya Syekh Muhammad Saman di Tiro pada 1891, jabatan Wali Nanggroe dipikul oleh anak-anak dan cucunya.
Semasa perang melawan Belanda, jabatan Wali Nanggroe terakhir dijabat oleh Tengku Chik di Tiro Muaz bin Muhammad Amin. Ia merupakan salah satu pemuda yang baru berusia 16 tahun. Teungku Ma'at merupakan nama lain Syeh Ma'at bin Muhammad Amin alias Teungku Chik di Tiro Muaz bin Muhammad Amin merupakan Wali Nanggroe ke tujuh di Aceh yang diangkat pada 1911 setelah meninggalnya Teungku Mahyeddin di Tiro.
Kepemimpinannya dalam perang Aceh tidak lama. Setidaknya dalam catatan Perang Kolonial Belanda di Aceh yang ditulis Zentgraaf menyebutkan, Teungku Ma'at tewas di Alue Bhot dalam pertempuran melawan Belanda pada 3 Maret 1911. Dua peluru dari karaben Belanda mengantarkan ulama muda Tiro ini syahid. "Satu peluru menembus sebelah mata dan satu peluru lagi pada dadanya," tulis Musanna Tiro dalam laman blogspotnya mengutip tulisan Zentgraaf.
Belanda lantas memeriksa jenazah Syeh Ma'at bin Muhammad Amin ditemukanlah surat dengan cap yang dibubuhkan stempel Sultan Aceh dan Panglima Polim. Dalam surat tersebut tertulis Sahèh Syeh Ma'at bin Muhammad Amin Tiro yang menandakan dirinya sebagai penerus Wali Nanggroe Aceh setelah meninggalnya Syekh Mahyeddin di Tiro. Belanda girang.
Kematian ulama ini dianggap sebagai akhir dari perlawanan keluarga Tiro secara khusus dan rakyat Aceh secara umum. Namun, di kemudian hari, Hasan Tiro yang merupakan keponakan Syeh Ma'at bin Muhammad Amin Tiro membantahnya. Hasan Tiro membenarkan pada 3 Desember 1911, Wali Nanggroe ke tujuh tersebut tewas dalam peperangan di Alue Bhot.
Namun perjuangan rakyat Aceh melawan Belanda belum berakhir. Dia mengatakan, perjuangan Maat di Tiro diteruskan kembali oleh orang-orang yang selamat dalam pertempuran di Alue Bhot. Hal tersebut menjadi landasan historis dan simbolis Hasan Tiro di kemudian hari menegakkan kembali kedaulatan Aceh sebagai daerah merdeka.
“Saya sudah lama memutuskan bahwa Deklarasi Kemerdekaan Aceh Sumatera harus dilakukan pada tanggal 4 Desember dengan alasan simbolis dan historis. Itu adalah hari dimana Belanda menembak dan membunuh Kepala Negara Aceh Sumatera, Tengku Cik Ma'at di Tiro dalam pertempuran di Alue Bhot, tanggal 3 Desember 1911. Belanda karenanya mencatat bahwa 4 Desember 1911 adalah hari akhir Aceh sebagai entitas yang berdaulat, dan hari kemenangan Belanda atas Kerajaan Aceh Sumatera,” tulisnya dalam buku The Price of Freedom: The Unifinished of Diary.
Sayangnya, meskipun peranan ulama-ulama Tiro sangat besar dalam sejarah Aceh melawan Belanda, tapi referensi detil tentang keluarga Tiro sangat sedikit. Berdasarkan penelitian singkat penulis, dari sekian ulama Tiro yang berjuang hanya nama Teungku Syeh Muhammad Saman alias Teungku Chik di Tiro dan Hasan Muhammad di Tiro yang banyak tercatat dalam referensi sejarah Aceh.[]
No comments:
Post a Comment