DIA merupakan salah satu pejuang yang berjasa dalam perang di benteng Aceh, Kuta Batee Iliek melawan Belanda. Namanya terkenal pada masa perang kolonial, tapi terlupakan dalam catatan sejarah kepahlawanan Indonesia.
“Jenderal K. Van der Heijden, panglima agresor, yang dipaksa atasannya memimpin penyerbuan terhadap benteng Aceh, Kuta Batee Iliek, harus menyerahkan matanya kepada pelor pahlawan-pahlawan Aceh hatta buta, namun Kuta Batee Iliek, salah satu benteng Aceh yang hebat tidak dapat direbutnya. Sehingga dia dicopot dari jabatannya dan diserahkan kepada Jenderal Mayor YB van Heutsz. Salah seorang di antara pahlawan Kuta Batee Iliek yang terkenal adalah Tengku Haji Ismail bin Yakub,” tulis Ali Hasjmy dalam bukunya: Ulama Aceh, Mujahid Pejuang Kemerdekaan dan Pembangun Tamaddun Bangsa.
Haji Ismail bin Yakub merupakan anak Teungku Cik Pante Geulima Yakub. Garis keturunannya yang panjang bermuara kepada Sultan Aceh Saiyiddil Mukamil.
Ali Hasjmy merunut silsilah Haji Teungku Haji Ismail bin Teungku Cik Pante Geulima Yakub bin Teungku di Bale Abdurrahman bin Teungku Muhammad Said bin Teungku Darah Puteh bin Teungku Tok Setia bin Teungku Yakub bin Meurah Puteh bin Meurah Abdullah bin Saiyiddil Mukammil. Leluhur Haji Ismail, yang memiliki nama sama dengan ayahnya, Yakub, memilih jalan berbeda seperti ayah dan kakeknya yang bergelar Meurah. Ia lebih mencintai pendidikan daripada kekuasaan yang kemudian mendirikan Dayah Pante Geulima. Sejak itu semua leluhur Ismail yang memimpin dayah dikenal sebagai Teungku Cik Pante Geulima. Ismail lahir di Pante Geulima, Meureudu, sekitar tahun 1838 atau 1253/1254 Hijriah.
Di masa kanak-kanak, Ismail mendapatkan pendidikan agama di Dayah Pante Geulima. Ia menguasai bahasa Arab dan pengetahuan-pengetahuan Islam lainnya, seperti fikih, tauhid/ilmu kalam, tafsir, hadis, mantik/filsafat, tasawuf, dan sejarah. Setelah remaja, Ismail berhasil menjadi teungku dirangkang di Dayah Pante Geulima. Ia kemudian berangkat ke negeri Arab untuk melanjutkan studi di Mekkah dan Madinah selama tujuh tahun. Ismail sempat mengajar di Masjidil Haram, Mekkah, dan menjadi salah seorang syekh di sana.
Setelah mendapatkan titel Syekh, Ismail bin Yakub kembali ke Aceh pada 1863. Saat itu, Kerajaan Aceh Darussalam berada di bawah kepemimpinan Sultan Alaiddin Mansyur Syah. Belanda yang telah menguasai Jawa dan sebagian Indonesia lainnya, saat itu juga mulai mengganggu daerah kedaulatan Aceh. Semenjak Syekh Ismail bin Yakub kembali ke Dayah Pante Cik Geulima, banyak santri-santri dari seluruh Kerajaan Aceh Darussalam belajar di sana. Mereka ada yang berasal dari Minangkabau, Deli/Serdang, Siak Sri Indrapura, semenanjung Tanah Melayu, Pattani dan daerah pendudukan Aceh lainnya.
Dayah Pante Geulima pun berubah menjadi salah satu pusat pendidikan Islam terpenting dalam Kerajaan Aceh Darussalam dengan jumlah santri mendekati seribu orang. Belanda yang semakin bernafsu menguasai hasil Bumi Aceh terus merongrong perairan Selat Malaka. Syekh Ismail bin Yakub mengetahui hal ini dan yakin perang tidak lama lagi akan berlangsung. Setelah Sultan Alaidin Mansur Syah mangkat dan Kerajaan Aceh Darussalam dipimpin Sultan Alaidin Mahmud Syah, tindakan Belanda semakin berani. Kapal-kapal perang Belanda sering melanggar kedaulatan Aceh. Belanda juga mengirimkan mata-mata ke Aceh untuk mendapatkan informasi persiapan pertahanan keamanan yang akan dilakukan pihak kerajaan.
Syekh Ismail bin Yakub mengetahui hal ini dan kemudian mengubah Dayah Pante Geulima menjadi tempat pendidikan militer di samping tetap menjalankan peranannya sebagai pusat pendidikan. Tepat pada 26 Maret 1873, Belanda akhirnya mengultimatum Kerajaan Aceh Darussalam agar takluk di bawah benderanya. Hal ini jelas mendapat perlawanan dari Sultan Alaiddin Mahmud Syah yang telah mengadakan rapat semesta bersama bentara, alim ulama dan rakyat Aceh Darussalam. Syekh Ismail kemudian dilantik menjadi Panglima Perang di pertengahan tahun 1873.
Ia lantas mempersiapkan satu pasukan yang akan dibawa ke Aceh Besar untuk mempertahankan ibu kota negara dari agresi Belanda kedua. Seperti diketahui, Belanda mengalami kekalahan pada serangan pertama di bawah pimpinan JHR Kohler, yang tewas terkena bedil di halaman Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh.
Posisi Syekh Ismail berada di bawah komando Laksamana Teuku Raja Muda Cut Latif selaku Panglima Wilayah Pidie hingga Kampai atau Pulau Sampeu. Selama berangkat ke medan perang, Syekh Ismail bin Yakub menyerahkan kepemimpinan dayah di bawah kendali dewan ulama. Di antara para dewan tersebut adalah Teungku Haji Muhammad Ali di Bukit, Teungku Cik di Bayi Pasei, Teungku Hasballah Meunasah Kumbang, Teungku Lhok Euncin dan Teungki Cik Payabakong.
Setiba di Aceh Besar, Panglima Besar Angkatan Perang Aceh menempatkan Panglima Teungki Cik Pante Geulima Syekh Ismail bin Yakub dan pasukannya di daerah Krueng Daroy, sebelah selatan Banda Aceh. Di sana, Syekh Ismail membangun kuta reuntang dengan tujuh buah kubu yang memiliki satu kubu pertahanan induk: Kuta Bu. Pada agresi kedua, Belanda mendarat di Ujong Batee dan Ladong di bawah pimpinan Jenderal van Swieten pada Desember 1873.
Di daerah ini, pasukan Belanda mendapat perlawanan sengit dari pasukan Teungku Ibrahim di Lamnga yang membuat pergerakannya ke pusat kerajaan menjadi terhalang. Meskipun begitu, Belanda akhirnya berhasil mememcahkan pertahanan pasukan Lamnga dan masuk ke ibukota.
Di sana, Belanda tertawan di lini konsentrasi selama 10 tahun. Setelah sekian lama berada di ibukota, Belanda akhirnya merangsek hingga ke daerah Lambare atau sekitar 9 kilometer dari Banda Aceh. Belanda yang berhasil menguasai pusat kerajaan ini kerap mendapat ancaman dari pasukan Syekh Ismail di kuta reuntang. Setelah berhasil mempertahankan kuta reuntang selama kurang lebih 3,5 tahun, Syekh Ismail bin Yakub kemudian kembali ke Dayah Pante Geulima. Komando kuta reuntang lantas diberikan kepada wakilnya di Kuta Bu.
Setelah sekian lama berperang, pihak Kerajaan Aceh Darussalam telah mewaspadai Belanda akan terus bergerak ke Pidie. Maka Teungku Cik Pante Geulima Syekh Ismail bin Yakub ditugaskan mengkonsolidasi pertahanan dan membangun benteng-benteng di pelabuhan timur Aceh. Teungku Cik Pante Geulima kemudian berangkat dengan 80 orang pasukannya jelang akhir 1876. Dia meninggalkan markas besarnya menuju timur dengan menyinggahi Ulee Gle, Samalanga, Bireuen, Peusangan, Cunda dan Mulieng Lhoksukon.
Di lokasi terakhir, Teungku Cik Pante Geulima turut meresmikan beberapa dayah yang akan menjadi tempat militer bagi pasukan Mujahiddin. Di antaranya adalah Dayah Teungku Hasballah Meunasah Kumbang, Dayah Teungku Cik Lhok Euncin, Dayah Teungku Cik di Bayu dan Dayah Teungku Cik Payabakong.[]
No comments:
Post a Comment