Sunday, March 8, 2015

Napak Tilas Cut Meutia

Ilustrasi
PULUHAN karyawan PT Pupuk Iskandar Muda pernah menyusuri jalan menuju makam Cut Nyak Meutia di kawasan Gunong Lipeh, pedalaman hutan belantara Hulu Krueng Peuto, Pirak Timu, Aceh Utara, medio April 2013 lalu. Perjalanan itu sempat tertahan di Buket Pineung Rhuek selama satu jam. Mesin mobil Hartop atau Jeep rombongan meraung keras menjajal medan jalan yang terjal dan licin.

Menuju makam pahlawan nasional tersebut membutuhkan perjuang ekstra. Selain Buket Pineung Rhuek, tantangan lainnya juga menanti  di Gunung Alue Capli, Gunong Angkop, Bukit Cinta dan Gunong Tutue Peut sebelum mencapai Gunong Lipeh.

Informasi yang ditelusuri ATJEHPOST diketahui jarak makam istri Pang Nanggroe ini sekitar 32 kilometer dari pusat kota. Bahkan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh Utara memasukkan makam Cut Nyak Meutia sebagai salah satu objek kategori wisata minat khusus.

Perjalanan menuju ke daerah tersebut terbilang sulit. Selain jauh, kondisi jalan juga rusak parah dan belum mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah. Hanya wisatawan yang memiliki jiwa petualangan mampu menuju lokasi peristirahatan terakhir ibu Putra Rajawali tersebut.


+++

MERUJUK catatan Zentgraaf dalam bukunya "The Atjehers", Cut Meutia merupakan putri Teuku Ben Daud yang lahir di tahun 1880. Tepat setelah tiga tahun pecah perang antara Kerajaan Aceh melawan Belanda. Dia merupakan keturunan Tok Bineh Blang, seorang bangsawan yang juga ulama dan mempunyai hubungan erat dengan Istana Darud Dunia.

Sebagai seorang perempuan, Cut Meutia setelah bercerai dengan Teuku Syamsyarif kemudian menikah dengan Teuku Cut Muhammad. Sebagai suami istri, pasangan ini hidup romantis terlebih di awal-awal pernikahannya yang dilukis Zentgraaf sebagai masa ‘bulan madu’.

Bulan madu Cut Meutia bersama suami keduanya dimeriahkan genderang perang dan dentuman meriam yang memuntahkan peluru. Bersama suaminya, Cut Meutia berperang di berbagai medan di kawasan Aceh Utara. Ada dua tahapan perang yang dialami Cut Meutia, yaitu perang frontal dan perang gerilya di hutan-hutan Pasai.

“…Dengan gelora berahi seorang wanita yang hangat dan penuh gairah, ia melangkah ke atas ranjang peraduan pengantin, kehangatan dan kegairahan yang lebih berkobar dibandingkan dengan wanita-wanita di mana pun. Dan dengan gelora nafsu seperti itu pulalah ia melangkah ke medan pertempuran untuk bertarung. Ia tidak merasa takut mendampingi suaminya dan mengiringi pasukan-pasukan melakukan pertempuran di mana-mana. Ia keluar-masuk hutan belantara dengan menelan serba aneka kesulitan, kepahitan dan penderitaan. Sementara itu, pasukan-pasukan marsose mengintainya ke mana ia pergi…” tulis Zentgraaf dalam bukunya The Atjehers, "melukis" sosok Cut Meutia.

Perjalanan bulan madu Cut Meutia dengan Teuku Cut Muhammad berakhir setelah suami yang dicintainya itu tertawan. Teuku Cut Muhammad juga dijatuhi hukuman mati dengan ditembak selusin peluru oleh marsose. Sesuai wasiat mendiang suami, Cut Meutia kemudian dinikahi Pang Nanggroe. Pria ini merupakan seorang pahlawan yang selama ini menjadi wakil panglima Teuku Cut Muhammad.

Perkawinan antara Cut Meutia dengan Pang Naggroe mendatangkan malapetaka bagi Belanda. Pasalnya pasangan ini begitu ahli dan cakap memimpin peperangan. (Baca: Riwayat Pang Nanggroe Melawan Kaphe Belanda)

“…siasat peperangan Pang Nanggroe dan Cut Meutia merupakan seni yang luar biasa tingginya, hanya dapat tumbuh pada seseorang yang dilahirkan untuk menjadi pemimpin perang seperti itu. Dengan bantuan istrinya yang fanatik dan pendendam serta didampingi Putra Rajawali (putra Cut Meutia), Pang Nanggroe merupakan lawan Belanda yang perkasa. Kemahirannya luar biasa…” tulis Zentgraaf seperti dikutip Ali Hasjmy, penulis sejarah Aceh.

26 September 1910 sebuah pertempuran seru terjadi antara Belanda dengan pejuang Aceh. Dalam pertempuran itu, Pang Nanggroe syahid dan Cut Meutia bertindak sebagai Panglima Sukey (resimen). Paska kematian Pang Nanggroe, gerakan perlawanan Cut Meutia dan pejuang Aceh semakin parah. Setiap malam tangsi-tangsi Belanda diserbu dan menjelang pagi pasukan ini mundur ke dalam hutan. Markasnya selalu berpindah-pindah tempat.

Perang gerilya yang dilancarkan Cut Meutia berakhir pada 22 Oktober 1910 akibat adanya mata-mata yang memberitahukan lokasi markas kepada Belanda. Pasukan marsose dengan jumlah besar dan persenjataan lengkap menyerbu benteng pertahanan Cut Meutia. Pertempuran ini berlangsung selama tiga hari.

Pasukan marsose yang dipimpin W.J. Mosselman terus mendesak pasukan Cut Meutia. Mereka memuntahkan peluru ke arah pasukan perlawanan Aceh dan berhasil mengenai kepala Cut Meutia. Srikandi Aceh ini menghela nafas terakhir menjelang matahari terbit, 25 Oktober 1910. Tepat sebulan setelah syahid Pang Nanggroe.

+++

PENYANYI Cut Nyak Niken Febrianti yang dikenal dengan Cut Niken mengatakan Cut Meutia merupakan sosok perempuan Aceh yang harus ditiru oleh seluruh generasi muda Aceh. Bagi alumni FISIP Universitas Indonesia (UI) ini, sosok Cut Meutia berjiwa ksatria dan pemberani. Ia juga mencerminkan sifat perempuan Aceh yang benar-benar memiliki sifat dan karakteristik terpuji serta bijaksana sebagai salah satu srikandi Aceh.

"Sosok Cut Meutia benar-benar menginspirasi hidup Niken sendiri, sebab dengan sifatnya yang keras dan tidak mudah goyah imannya menjadi ciri khas srikandi Aceh dalam mempertaruhkan segala marwah dan agamanya sehingga masih terlihat sebagai wanita tegas," katanya kepada ATJEHPOST, pada Minggu 26 Oktober 2014 lalu.

Setelah Indonesia merdeka, Cut Meutia diangkat sebagai salah satu pahlawan dari Aceh. Mengenang jasa-jasanya terhadap perjuangan Belanda, banyak jalan-jalan di Indonesia memakai nama Cut Meutia. Selain itu, salah satu rumah sakit di Aceh Utara ikut memakai nama srikandi Aceh ini.

Pemerintah menyadari peranan Cut Meutia dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda di Aceh sangat besar. Namun setelah setengah abad lebih Indonesia merdeka, hanya sedikit yang pernah merasakan kesejukan dan indahnya panorama alam di kawasan makam srikandi Aceh tersebut.

"Sampai sekarang, jalan menuju makam pahlawan tersebut belum dibangun," lapor Irmansyah, salah satu wartawan ATJEHPOST di Lhokseumawe. Tragis![]

No comments:

Post a Comment