"PERPUSTAKAAN (kutubkhanah) ini
milik pribadi keturunan Teungku Chiek Tanoh Abee Al Fairusy Al Bagdady. Di
dalam perpustakaan ini banyak tersimpan manuskrip-manuskrip tentang Islam,
sejarah dan kebudayaan Aceh dari abad 16 hingga abad 19 M."
Demikian isi pamplet Pustaka
Tanoh Abee yang dipancang di depan gerbang kompleks perpustakaan tertua di Asia
Tenggara tersebut. Pustaka ini terletak di Blang Krieng atau Gampong Seuneubok,
Kecamatan Seulimum Kabupaten Aceh Besar.
Di dalam kompleks ini terdapat
dua gedung permanen bantuan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) yang
dibangun medio 2009 lalu. Salah satu bangunan permanen ini langsung menyambut
tamu yang datang dari pintu gerbang utama. Kondisinya kurang terurus lantaran
pembangunan yang disebut-sebut asal jadi.
Bangunan yang semula direncanakan
untuk perpustakaan tersebut ditelantarkan begitu saja karena atap bocor dan air
kerap merembes serta menggenangi lantai jika musim penghujan. Beberapa keramik
lantai bangunan juga hancur dan retak, bahkan di lantai dua bangunan berukuran
10x10 meter ini sudah berlumut.
Di depan bangunan yang memiliki
empat kubah di keempat sisi atap ini terdapat kolam. Saat wartawan bertandang
ke perpustakaan tersebut, salah satu pria sedang mandi di kolam ini. Airnya
sedikit keruh, namun salah satu staf pengajar di Dayah Tanoh Abee menyebutkan
air tersebut bersih.
"Ada mata air di sana (di
dasar kolam). Nyoe droen keuneuk manoe,
na ija basah di sideh untuk salen (Kalau Anda mau mandi, di sana ada kain
penutup tubuh)," ujar Tengku Syarifuddin, salah satu pengajar di Dayah
Tanoh Abee, Selasa, 13 Januari 2015.
Tak jauh dari kolam tersebut juga
terdapat satu bangunan permanen lainnya yang berasal dari dana BRR Aceh Nias.
Sama halnya dengan bangunan dua lantai tadi, bangunan ini juga tak kalah
amburadul.
"Banyak lantai keramik yang
copot dan jendelanya rusak. Sering bocor juga kalau hujan karena kontruksi
bangunan saat dikerjakan terkesan asal jadi," kata Syarifuddin.
Sekitar 20 meter dari kolam
kompleks ke arah selatan, terdapat satu bangunan berkonstruksi kayu. Bangunan
ini memiliki luas sekitar 6x4 meter. Di salah satu pintu masuk bangunan ini
tertulis: Wanita dilarang masuk.
Bangunan tersebut sering
dipergunakan para santri untuk shalat dan berzikir. Karpet panjang bergambarkan
kubah masjid warna hijau terbentang di lantai bangunan ini. "Inilah yang
disebut Pustaka Tanoh Abee," ujar Fauzi, salah satu santri.
Di pustaka ini terdapat empat
lemari berwarna coklat muda di dalam bangunan tersebut. Masing-masing lemari
ini memiliki dua daun pintu. Di dalam keempat lemari ini tersusun ratusan kitab
tulisan tangan karya pendiri Dayah Tanoh Abee.
"Semuanya tulisan tangan.
Namun gak bisa dilihat lebih jelas (dipegang) karena kalau mau membuka lembaran
kitab ini harus seizin bang Fit atau Ummi," kata Fauzi.
Fauzi mengaku tidak begitu paham
kitab apa saja yang ada di perpustakaan tersebut. Ia juga tidak tahu
judul-judul kitab dan isinya. "Saya gak pernah baca kitab ini. Ibarat jih yang baca kitab nyan teungku
profesor jadi kon mandum aneuk beut yang jeut baca (Jika diibaratkan yang
membaca kitab tersebut adalah ulama besar jadi tidak semua santri bisa membaca
kitab ini)," katanya.
Ia juga mengaku tidak bisa
membaca tulisan yang tertera di kulit kitab saat ATJEHPOST menunjuk beberapa
kitab yang ada di lemari tersebut. Hal serupa juga diamini Teungku Syarifuddin.
"Lebih bagus jumpai langsung
Ummi atau bang Fit. Tapi bang Fit ka geu
ek u glee, Senin yang na geumeu ubat, sementara Ummi ka geu jak u Banda untuk
cuci darah. Setiap Selasa dan Jumat, gob nyan sering u Banda (Tapi bang Fit
sudah ke bukit, Senin dia sering mengobati orang, sementara Ummi sudah
berangkat ke Banda Aceh untuk cuci darah. Setiap Selasa dan Jumat, beliau
sering ke Banda)," kata Teungku Syarifuddin.
Bang Fit yang dimaksud oleh
Syarifuddin adalah anak kandung almarhum Abu Tanoh Abee Tengku H Muhammad
Dahlan Al Fairusy Al Baghdady, atau keturunan ke 10 Teungku Chik Tanoh Abee.
Nama aslinya adalah Abdul Hafidh Al Fairusy Al Baghdady. Sementara Umi Tanoh
Abee yang dimakasud adalah Hj Romani Binti Mahmud yang adalah istri mendiang Abu
Tanoh Abee.
Teungku Syarifuddin lantas
mengajak wartawan ke luar pustaka. Ia mengaku segan berlama-lama di dalam
lantaran di ruang pustaka tersebut juga terdapat makam milik Teungku Chiek
Tanoh Abee Al Fairusy Al Bagdady. Selain itu, di pustaka ini juga terdapat dua
makam putra Teungku Chik Tanoh Abee yang juga ulama besar di dayah tersebut.
"Na kubu Teungku Chik Tanoh Abee, kubu Teungku Muhammad Said ngon kubu
Muhammad Husin," kata Tengku Syarifuddin.
Makam ketiga ulama ini disekat
dengan papan tebal dari kayu asan hingga bumbungan atap. Jika tidak ada yang
memberitahu, tamu atau pendatang tidak akan menyangka ada tiga makam ulama
besar di sana.
Ia melarang wartawan untuk
mengambil gambar isi ruangan pustaka dan kitab-kitab yang ada di sana. "Han jeut, han geubi (tidak boleh,
dilarang)," katanya. Di pustaka ini juga diharamkan bagi siapa saja
menghisap rokok. Hal tersebut terpampang jelas di pemberitahuan yang ditempel
di salah satu tiang bangunan pustaka.
"Leubeh get neu hubungi Umi mantong (lebih baik hubungi Umi
saja)," kata Teungku Syarifuddin. Ia tidak memberitahukan siapa nama asli
Umi Tanoh Abee yang dimaksud.
Saya yang ingin mendapat
konfirmasi mengenai kitab apa saja yang ada di Pustaka Tanoh Abee, mencoba
mengontak Umi Dayah Tanoh Abee. Namun Umi mengaku masih di Banda Aceh. "Lon mantong di Banda, baro bak jalan
keumeung wo. Han jeut lon peugah hai uroe nyoe karna ban leuh cuci darah.
Singoh mantong hubungi lom untuk meurumpok beuh (Saya masih di Banda baru
mau pulang. Saya tidak bisa berkomentar banyak hari ini karna kondisi masih
lemas baru cuci darah. Besok saja hubungi lagi untuk bertemu ya)," kata
Umi.
+++
“DALAM Perpustakaan (Kutubkhanah) Dayah Tanoh Abee banyak tersimpan
Quran tulisan tangan yang telah ratusan tahun usianya. Sekitar seribu kitab
yang masih sisa dari Kutubkhanah
Dayah Tanoh Abee di Kabupaten Aceh Besar, yang bertulisan tangan huruf Arab,
selama lima belas tahun akhir ini menjadi sasaran studi dan penelitian para
sarjana dalam negeri dan yang datang dari luar negeri: Amerika, Inggris,
Prancis, Belanda, India, Pakistan, Australia, Singapura, Malaysia, dan
lain-lainnya. Kutubkhanah ini telah
dibina sejak pusat pendidikan Islam Dayah Tanoh Abee didirikan dalam zaman
pemerintahan Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam, pada awal abad ke-17,” tulis salah
satu sejarawan Aceh, Ali Hasjmy, dalam bukunya Ulama Aceh; Mujahid Pejuang
Kemerdekaan dan Pembangun Tamaddun Bangsa.
Ali Hasjmy yang telah berkunjung
ke perpustakaan dayah tersebut mengatakan terdapat lebih dari seribu buah naskah
kitab tulisan tangan, baik dalam bahasa Melayu maupun dalam bahasa Arab; baik
karangan para ulama Aceh/Melayu maupun karangan para ulama Arab, Turki, Parsi
dan sebagainya. Kesaksian ini dituliskan Ali Hasjmy pada 1997 lalu.
Saat itu, Ali Hasjmy juga
menyaksikan beberapa naskah Alquranul Karim yang ditulis tangan dengan nilai
kaligrafi yang amat tinggi. “Salah satu di antaranya tulisan tangan Teungku
Chik Tanoh Abee Abdul Wahab sendiri,” tulis Ali Hasjmy.
Di dalam perpustakaan ini juga
terdapat sarakata-sarakata (dokumen)
penting, baik yang berupa surat keputusan, surat perjanjian maupun surat-surat
kepada Teungku Chik Tanoh Abee. “Di antaranya saya lihat surat dari Turki, dari
Mekkah dan sebagainya. Hal ini pun memberi isyarat kepada kita untuk mengakui
bahwa para Teungku Chik Tanoh Abee adalah ulama-ulama yang juga ahli-ahli
administrasi yang cermat,” tulis Ali Hasjmy lagi.
Menurut Ali Hasjmy, pendiri
Perpustakaan Dayah Tanoh Abee adalah ulama Ahlussunah yang menganut paham Isnainiyatul Wujud. Namun yang menarik
perhatian adalah banyaknya kitab-kitab karangan ulama Muktazilah, ulama Syi’ah,
bahkan kitab-kitab para ulama yang menganut aliran Wahdatul Wujud, seperti Ibnul Araby, Hamzah Fansury dan Syamsuddin Sumatrany
di perpustakaan tersebut.
“Kenyataan ini membuktikan bahwa dalam Dayah Tanoh
Abee ada kebebasan ilmu,” tulis Ali Hasjmy.
Sementara berdasarkan penelitian
Ali Hasjmy, di dalam perpustakaan ini terdapat beberapa kitab karangan empat
ulama besar di Kerajaan Aceh. Keempat ulama tersebut adalah Syekh Hamzah
Fansury dan Syekh Syamsuddin Sumatrany yang menganut paham aliran Wahdatul Wujud, serta Syekh Nuruddin Ar
Raniry dan Syekh Abdurrauf Fansury Al Singkily yang menganut aliran Isnainiyatul Wujud.
Sarjana ahli kertas dari Inggris,
Dr Russel Jones, dari School of Oriental and African Studies pernah meneliti
jenis kertas yang dipergunakan untuk menulis kitab di Pustaka Tanoh Abee
sekitar tahun 1980 lalu atau 35 tahun lalu. Ia mengatakan setidaknya terdapat
47 macam kertas yang berusia ratusan tahun di Pustaka Dayah Tanoh Abee. Salah
satu kertas kitab tersebut bahkan berusia 386 tahun, yang di dalamnya terbayang
seorang manusia lagi memayungi singa yang bermahkota; kaki kiri depan memegang
seikat anak panah dan kaki kanan depan memegang sebilah pedang. Di tengah
kertas ini terdapat tulisan Propatria.
Masih menurut Dr Russel Jones,
ada juga kitab yang memakai kertas berbayang merpati dalam lingkaran dengan
tulisan Nicolo Polleri Fici Mosso.
Menurutnya kertas ini diproduksi di Italia, yang khusus dibuat untuk keperluan Dunia
Islam.
Dayah Tanoh Abee di awal
pembangunannya didirikan oleh tujuh ulama asal Baghdad, Irak. Mereka datang ke
Aceh saat Sultan Iskandar Muda memerintah sekitar 1016-1045 Hijriyah atau tahun
1607-1636 Masehi. Firus Al Baghdady merupakan anak tertua dari tujuh bersaudara
tersebut.
Empat di antara tujuh bersaudara
ini kemudian menetap di Wilayah Sagoe XXII Mukim yang diperintah oleh
uleebalang terkenal bergelar Teuku Panglima Polem Sri Muda Perkasa. Sementara
tiga bersaudara lainnya bermukim di Tiro, Pidie, dan Pasai.
Ketujuh ulama asal Baghdad ini
sama sekali tidak memusatkan perhatian kepada pemerintahan. Mereka lebih
menyorot bidang pendidikan dengan membangun pusat-pusat pendidikan Islam yang
disebut zawiyah. Penyebutan nama zawiyah ini kemudian hari berubah menjadi
dayah atau deah dalam lidah Aceh.
Firus Al Baghdady bersama tiga
saudaranya kemudian membangun pusat pendidikan di Gampong Tanoh Abee dalam
wilayah Sagoe XXII Mukim. Dayah ini kemudian dikenal sebagai Dayah Tanoh Abee
yang menjadi salah satu pembina dalam Kerajaan Aceh Darussalam.
Firus Al Baghdady sebagai anak
tertua menjadi pemimpin di Dayah Tanoh Abee. Ia menikah dengan salah satu putri
ulama dari Aceh dan dikaruniai delapan orang anak. Tiga diantara anaknya
seperti Nayan, Molek dan Hana Purba mengikuti jejaknya menjadi ulama di Aceh.
Merekalah yang kemudian hari melanjutkan pembinaan Dayah Tanoh Abee.
Setelah Firus Al Baghdady
meninggal, Dayah Tanoh Abee kemudian dipimpin oleh Syekh Nayan Firusi Al
Baghdady. Sebelum pucuk pimpinan diberikan kepadanya, Nayan terlebih dahulu
dikirim untuk melanjutkan pendidikan ke Dayah Leupue di Peunayong. Dayah ini
merupakan salah satu dayah tertua dalam Kerajaan Aceh Darussalam yang masa itu
dipimpin Syekh Daud (Baba Daud) ar Rumy. Dia merupakan salah satu ulama yang
berasal dari Kerajaan Turki Utsmaniyah.
Selain belajar dari Syekh Daud Ar
Rumi, Nayan juga belajar dari Syekh Burhanuddin Ulakan di Dayah Leupue. Setelah
mendapatkan ijazah dari Dayah Leupue, Nayan kembali ke wilayah Sagoe XXII Mukim
dan menggantikan orang tuanya untuk memimpin Dayah Tanoh Abee.
Nayan juga mendapatkan
kepercayaan dari Panglima Polem Sri Muda Perkasa untuk menjadi Kadi Rabbul
Jalil (Hakim Tinggi) di Sagoe XXII Mukim. Di masa kepemimpinannya, Nayan juga
membuka lokasi baru di Tuwi Ketapang dekat dengan Krueng Aceh. Lokasi baru ini
kemudian menjadi tempat pendidikan bagi santri pria sementara di lokasi lama
Dayah Tanoh Abee dikhususkan untuk putri.
Pengganti Syekh Nayan adalah
putranya, Syekh Abdul Hafidh Al Baghdady. Saat itu Dayah Tanoh Abee sudah
menjelma menjadi pusat pendidikan Islam yang menghasilkan ulama-ulama terkenal.
Di antara lulusan dayah ini kemudian ada yang bekerja di bidang pemerintahan
ataupun di bidang pendidikan.
Di dayah ini juga sudah diajarkan
berbagai ilmu pengetahuan seperti fikih/hukum Islam, termasuk fikih dusturi
(hukum tata negara), fikih dualy (hukum internasional), sejarah (termasuk
sejarah Islam), akhlak/tasawuf, hisab dan ilmu falak, filsafat/ilmu kalam,
mantik/logika, tafsir dan hadis.
Kepemimpinan Dayah Tanoh Abee
kemudian berganti ke tangan putra Syekh Abdul Hafidh, yaitu Syekh Abdurrahim
Hafidh Al Baghdady. Masa kepemimpinannya lebih memfokuskan pada pembinaan dan
pengembangan perpustakaan Dayah Tanoh Abee.
Kutubkhanah
yang telah dibangun oleh leluhurnya Syekh Firusi Al Baghdady dikembangkan dan
diperbesar dengan mengumpulkan kitab-kitab dari seluruh negara. Untuk
memperkaya perpustakaannya, Syekh Abdurrahim turut memesan kitab hingga ke
Timur Tengah dan Turki.
Dia lantas menganjurkan semua
pelajar di Dayah Tanoh Abee untuk menyalin kitab-kitab yang telah ada, sehingga
karenanya pelajaran tulisan Arab (kaligrafi Arab) lebih ditingkatkan. Atas
kebijakan tersebut lah diketahui jasa Syekh Abdurrahim dalam pengembangan
perpustakaan ini besar sekali.
Dayah Tanoh Abee kemudian
dipimpin Syekh Muhammad Saleh, putra tunggal Syekh Abdurrahim. Di masanya tidak
banyak perubahan yang dilakukan. Dia lebih cenderung menjaga dan merawat Dayah
Tanoh Abee seperti yang telah ditinggalkan oleh leluhurnya. Kepemimpinan
Muhammad Saleh tidak begitu lama. Ia kemudian digantikan putranya, Syekh Abdul
Wahab al Baghdady.
Syekh Abdul Wahab yang dikirim ke
Mekkah dan Madinah untuk memperdalam berbagai ilmu termasuk kaligrafi. Selama
di Mekkah ia menyibukkan diri menyalin kitab-kitab dengan tangannya sendiri.
Hasil salinannya kemudian dibawa ke Aceh dan menjadi koleksi tambahan di
Perpustakaan Dayah Tanoh Abee.
Di masa kepemimpinan Syekh Abdul
Wahab koleksi kitab di Dayah Tanoh Abee sudah mencapai sepuluh ribu judul, yang
satu judul terdiri dari beberapa jilid.
“Abdul Wahab sebagai Teungku Chik
Tanoh Abee betul-betul telah membina pusat pendidikan Islam itu menjadi salah
satu pusat pendidikan yang terkenal di Asia Tenggara, sementara kutubkhanah
(perpustakaan) yang dibinanya telah menjadi sasaran penelitian dan pengajian
para sarjana internasional,” tulis Ali Hasjmy.
Di masa Syekh Abdul Wahab
memimpin dayah, seperti pendahulunya ia juga diangkat menjadi Kadi Rabbul
Jalil. Namun saat itu pula terjadi penyerangan oleh Belanda terhadap Kerajaan
Aceh Darussalam yang menyebabkan ulama-ulama, termasuk Syekh Abdul Wahab ikut
serta dalam Komando Perang Jihad XXII Mukim di bawah kepemimpinan Teungku Cik
Muhammad Saman Tiro.
Ia syahid dalam peperangan
tersebut dengan meninggalkan 33 anak dari empat orang istrinya. Dari 33 anaknya
tersebut hanya satu orang yang kemudian muncul sebagai ulama besar penerus kepemimpinan
Dayah Tanoh Abee. Dia adalah Syekh Muhammad Said al Baghdady. Sementara
anak-anak Syekh Abdul Wahab yang lainnya terus menggelorakn perang sabil
melawan Belanda.
Semasa kepemimpinan Syekh Muhammad
Said al Baghdady, Dayah Tanoh Abee turut menjadi pusat penempaan semangat
perang jihad. Meskipun begitu Teungku Cik Tanoh Abee Muhammad Said masih sempat
mengajar para pelajar ilmu-ilmu Islam, baik agama ataupun umum. Muhammad Said
juga masih sempat menulis Alquranul Karim dan kitab-kitab agama lainnya dengan
tangannya yang cekatan dan sekarang masih tersimpan di dalam Perpustakaan Tanoh
Abee.
Dayah Tanoh Abee, sama dengan
dayah-dayah lainnya di Aceh, yang telah berubah menjadi Markas Perang Sabil kemudian
menjadi sasaran penyerangan oleh Belanda. Saat itu, Belanda berhasil menangkap
Syekh Muhammad Said dan membawanya ke Banda Aceh untuk ditahan di penjara
Keudah.
Namun usai serangan tersebut,
prajurit-prajurit Belanda tidak ada yang berani menduduki Dayah Tanoh Abee.
Mereka sepakat meninggalkan dayah tersebut kosong. Syekh Muhammad Said
meninggal setelah berada dalam tahanan selama 26 bulan. Jenazahnya kemudian
digotong oleh rakyat secara estafet untuk dikembalikan ke Dayah Tanoh Abee.
Kepemimpinan Dayah Tanoh Abee
kemudian diteruskan anak Syekh Muhammad Said, yaitu Teungku Muhammad Ali al
Baghdady. Sebagai putra yang dilahirkan dalam dentuman perang, Teungku Muhammad
Ali sama sekali tidak menerima pendidikan Islam seperti pendahulunya. Ia juga
tidak mampu membaca huruf Arab meskipun cekatan dalam membaca kitab-kitab
berbahasa Melayu.
Setelah banyaknya dayah-dayah di
Aceh seperti Dayah Lambirah, Dayah Indrapuri, Dayah Rumpet, dan Dayah Lam Diran
dihancurkan Belanda, Teungku Muhammad Ali berinisiatif mengungsikan sepuluh
ribu kitab di Perpustakaan Dayah Tanoh Abee. Sebagian kitab-kitab tersebut
diberikan kepada orang-orang kampung sekitar untuk disimpan agar tidak direbut
Belanda, sementara ribuan lainnya diboyong ke pedalaman Tangse.
Evakuasi ribuan kitab tersebut
menggunakan tujuh ekor kuda. Namun saat Teungku Muhammad Ali hendak menuju
Keumala, ia terpaksa menyembunyikan kitab-kitab tersebut di dalam sebuah gua
yang jauhnya dari Tanoh Abee hanya sekitar 30 kilometer. Tidak jauh dari gua
tersebut terdapat sebuah kampung kecil, Teurebeh. Kepada penduduk kampung
tersebutlah ribuan kitab itu diamanahkan.
Sepekan setelah Teungku Muhammad
Ali hijrah, Belanda lantas membumihanguskan Dayah Tanoh Abee termasuk
Kutubkhanah yang terkenal itu. Teungku Muhammad Ali yang kemudian menggabungkan
diri bersama pasukan mujahidin akhirnya berhasil ditangkap Belanda. Ia kemudian
diasingkan ke Manado, Sulawesi Utara.
Setelah lima tahun menjadi
tahanan politik, Teungku Muhammad Ali dikembalikan ke Aceh. Usaha pertamanya
sekembali ke Aceh adalah membangun kembali Dayah Tanoh Abee termasuk membina
semula perpustakaan. Kitab-kitab yang disimpan di gua dan dititipkan pada orang
kampung diambil kembali. Namun sebagian besar kitab-kitab tersebut telah lapuk
dan dimakan rayap.
Teungku Muhammad Ali yang
berhasil membangun kembali Dayah Tanoh Abee beserta perpustakaannya kemudian
meninggal pada 1969.
+++
SETELAH kemerdekaan, banyak
kitab-kitab yang ada di Perpustakaan Dayah Tanoh Abee dihibahkan ke Dayah Bitai.
Ada juga sebagian kitab yang dititipkan di Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh
(PDIA). Namun saat tsunami menghancurkan Aceh, kitab-kitab yang ada di sana
ikut hilang disapu gelombang.
Selain itu, ada pula kitab-kitab
yang dikuburkan oleh pemimpin Dayah Tanoh Abee karena takut akan membuat
masyarakat awam menjadi murtad. Pasalnya, isi-isi ilmu kitab ini sangat tinggi
dan tidak bisa dipahami oleh manusia biasa.
Saat ini Dayah Tanoh Abee dan
perpustakaannya masih berdiri tegak di lembah Krueng Aceh. Di sana masih banyak
terdapat manuskrip-manuskrip kuno yang sekadar menjadi koleksi Perpustakaan
Dayah Tanoh Abee. Hanya beberapa kitab saja yang diperbolehkan dilihat dan
dibaca oleh masyarakat umum di bawah pengawasan Ummi Tanoh Abee atau Bang Fit,
penerus keluarga Al Fairusi. Selebihnya tersimpan rapat di dalam perpustakaan
yang juga digunakan sebagai tempat pengajian.
Ummi Tanoh Abee menjelaskan ada
beberapa kitab yang memang sama sekali tidak bisa disentuh oleh orang umum,
bahkan keluarga Al Fairusi sendiri. Menurut Ummi, hal ini sudah menjadi wasiat
dari mendiang Abu Tanoh Abee. “Ini wasiat Abu, tapi ada juga yang memang sudah
lapuk dimakan usia,” katanya kepada ATJEHPOST, Kamis, 15 Januari 2015.
Ummi mengatakan saat ini sudah
ada penambahan dua ribu hingga tiga ribu kitab baru yang berhasil ditulis ulang
dan menjadi koleksi di Perpustakaan Dayah Tanoh Abee.
“Na dua ribee, lhee ribee atra baroe. Sementara katalog yang ka leuh ta
suson na 300. Nyoe ta atoe bacut-bacut sesuai operasional (ada dua ribu, tiga ribu kitab baru. Sementara
katalog yang sudah disusun sebanyak 300. Ini kita atur sedikit demi sedikit
sesuai operasional),” katanya.
Ummi juga mengatakan koleksi
manuskrip kuno di Tanoh Abee masih banyak jika dibandingkan di dayah-dayah
lainnya. Namun banyak di antara manuskrip tersebut belum dibersihkan sehingga
diasingkan ke suatu tempat dan tidak dipajang di perpustakaan.
“Na chit yang saboh lemari nyan hana lon mat
sama sekali lom. Pajan ta jak keuno mangat sama-sama ta peu gleh? (Ada juga
yang di salah satu lemari dalam perpustakaan yang belum saya pegang sama
sekali. Kapan kesini biar sama-sama kita bersihkan?),” katanya lagi.
Melalui sambungan telepon, Ummi
Tanoh Abee mengeluhkan kurangnya kepedulian pemerintah untuk operasional
perpustakaan tertua di Asia Tenggara tersebut. Ia menuturkan pemerintah sering
datang hanya membawa tamu tapi enggan memberikan bantuan.
“Watee na peureulee dijak, tapi hana manfaat sapeu keu tanyoe. Watee
peureulee keu lon baroe dimeurumpok. Kadang-kadang lon ka palak chit sebab ka
di peuget lon lagee raket bak pisang lam ie raya. Meu peng makan minum hana
dijok meubacut untuk perawatan kitab-kitab nyoe. Kadang-kadang na chit teupikee
untuk lon tot kitab-kitab nyoe, kon hana soe jeut larang karena kitab nyoe atra
kamoe (Waktu diperlukan datang kemari, tapi tidak ada manfaat sama sekali
untuk kita. Waktu memerlukan saya baru dijumpai. Terkadang saya kesal sebab
sudah dibuat seperti rakit pisang dalam banjir bandang. Uang makan minum saja
tidak diberikan untuk perawatan kitab-kitab ini. Kadang-kadang saya berpikir
untuk membakar saja kitab-kitab ini, kan tidak ada yang bisa melarangnya karena
kitab ini milik pribadi),” ujarnya.
Namun Ummi mengaku ada juga
perwakilan pemerintah yang datang menawarkan dana operasional untuk
pemeliharaan kitab. “Na chit pemerintah
di jak. Di jok bantuan dengon syarat jeut difotocopy atau didigitalisasi
kitab-kitab nyoe. Beujut dipeuget kiban galak-galak droe jih. Nyan yang han lon
tem (Ada juga datang pemerintah. Mau memberikan bantuan dengan syarat bisa
memfotocopy atau mendigitalisasi kitab-kitab di perpustakaan. Bisa dibuat
sesuka hati mereka. Itu yang saya tidak mau),” katanya.
Ummi mengatakan lebih senang
kepada orang asing yang datang ke Perpustakaan Tanoh Abee. Pasalnya, kata dia,
setiap mereka datang paling tidak memberikan sedikit dana operasional perawatan
kitab. “Lon senang chit nyoe dijak
mahasiswa karena ditem bantu dipeugleh kitab. Cuma lagee uroe nyan yang sanggup
dipeugleh selama seteungoh bulen et 200 boh (Saya senang juga kalau ada
mahasiswa yang datang karena mau membantu membersihkan kitab. Cuma mereka hanya
sanggup membersihkan selama setengah bulan itu sebanyak 200 buah),” katanya.
Di sisi lain, Umi Tanoh Abe juga
kesal dengan beberapa orang yang datang dan mengambil manuskrip di Perpustakaan
Tanoh Abee tapi tidak mau mengembalikan kitab tersebut. “Lagee kitab kaligrafi leu yang dicok tapi hana dijok manfaat bacut keu
tanyoe (Seperti kitab kaligrafi banyak yang diambil tapi tidak memberikan
manfaat sedikit untuk dayah),” ungkapnya.
Informasi yang dikumpulkan
ATJEHPOST, perawatan manuskrip kuno memang membutuhkan biaya besar. Selain
perlu lem khusus yang tidak mengandung asam, kertas yang digunakan sebagai pelapis
naskah harganya mahal. Rata-rata kertas ini didatangkan dari Jepang yang harga
satu gulungnya mencapai puluhan juta rupiah. Harga tersebut belum termasuk
biaya masuk ke Indonesia.
Sudah sepantasnya Pemerintah Aceh
memerhatikan Pustaka Dayah Tanoh Abee yang menyimpan banyak koleksi manuskrip
kuno tersebut. Apalagi perpustakaan ini sudah dilakap sebagai perpustakaan
tertua di Asia Tenggara. Atau pemerintah menunggu kesabaran Ummi Tanoh Abee
habis dan membakar semua manuskrip kuno peninggalan Teungku Chiek Tanoh Abee Al
Fairusy Al Bagdady?[]
Betul saya menyokong agar permerintah memberi tumpuan kpd dayah ini,agar generasi akan dtg tidak melupakn asal usil mereka
ReplyDelete