"Bahwa adalah bagi baginda itu beberapa sifat kepujian dan perangai yang kebajikan lagi takut akan Allah dan senantiasa sembahyang lima waktu dan membaca kitabullah dan menyuruh orang berbuat kebajikan dan melarang orang berbuat kejahatan seperti yang diturunkan Allah kepada nabi kita Muhammad s.a.w. Dan terlalu sangat adil perihal memeriksai dan menghukumkan segala hamba Allah. Maka daripada berkat daulat dan sa'adat duli yang maha mulia itu jadi banyaklah segala hamba Allah yang salah dan sembahyang menuntut ilmu. Syahdan ialah yang sangat tawadhu'nya akan Allah subhanahu Wata'ala. Maka dianugerahi Allah akan dia lama menjunjung Khalifahnya dan pada masanyalah orang mendapat beberapa galian emas itu dan ialah yang mangeraskan syariat Nabi kita Muhammad s.a.w.”
Demikian Bustanussalatin menukilkan kisah Sultan pertama Aceh Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin yang menggantikan posisi Iskandar Tsani pada 1641. Bustanussalatin merupakan salah satu karya besar yang ditulis Nuruddin Ar Raniri, salah satu ulama besar Kerajaan Aceh Darussalam.
Ratu Tajul Alam Safiatuddin adalah putri kandung tertua Sultan Iskandar Muda yang lahir pada tahun 1612. Ia dinikahkan dengan Sultan Mughal, salah satu anak angkat Sultan Iskandar Muda yang kemudian bergelar Sultan Iskandar Tsani.
Berdasarkan catatan Bustanussalatin, diketahui Ratu Tajul Alam memerintah Kerajaan Aceh Darussalam hingga 34 tahun lamanya. Masa pemerintahannya diwarnai dengan berbagai masalah, salah satunya adalah gesekan perdagangan di Selat Malaka dengan Belanda yang telah menguasai Mataram dan Betawi. Di masanya memerintah juga banyak wilayah Aceh yang jatuh ke tangan Belanda seperti Minangkabau.
Namun di balik hal itu, masa kepemimpinan Tajul Alam yang terbilang lama bagi seorang perempuan tersebut juga banyak diwarnai dengan kemajuan demokrasi pemerintahan Kerajaan Aceh Darussalam. Berdasarkan catatan H. Mohammad Said dalam bukunya Aceh Sepanjang Abad, diketahui pengaruh perempuan di kalangan eksekutif dan legislatif kian besar di masa Tajul Alam menjadi sultanah.
Seperti diketahui, Kerajaan Aceh telah memiliki suatu badan mahkamah atau badan resmi yang merupakan badan musyawarah seperti DPR jauh sebelum Sultanah Tajul Alam Safiatuddin memerintah. Namun di masanya memerintah, Tajul Alam memperbesar keterlibatan wanita dan menambah jumlah anggota di Balai Majelis Mahkamah Rakyat.
Di masa Tajul Alam Safiatuddin juga ditemukan hasil bumi berupa emas di wilayah Kerajaan Aceh Darussalam. Temuan ini memperbesar pengaruh Aceh di perdagangan Selat Malaka dan semakin membuat Belanda ingin menancapkan kukunya.
Banyak yang ingin mengkudeta kedudukan Sultanah Tajul Alam Safiatuddin dari tahta kerajaannya. Namun hal tersebut tidak berhasil dilakukan karena adanya dukungan dari dua ulama besar yang berpengaruh seperti Nuruddin Ar Raniri dan Syekh Abdurrauf As Singkili. Satu-satunya bahaya yang mengganggu kedaulatan Kerajaan Aceh Darussalam saat itu datang dari Belanda yang telah berhasil memonopoli perdagangan perak Kerajaan Kedah.
Kendati mendapat tekanan dari bangsa perenggi (sebutan untuk orang-orang bule di masa Kerajaan Aceh Darussalam), namun kekuasaan Sultanah Tajul Alam Safiatuddin tetap berdiri hingga akhir hayatnya. Bahkan propaganda Belanda menciptakan kekisruhan politik dalam negeri Aceh juga berhasil ditepis Sultanah Tajul Alam dengan semakin mempererat persatuan dan kesatuan pembesar kerajaan.
Belanda di bawah kompeni dagang Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) akhirnya mengirimkan puluhan kapal perang untuk memblokade laut Kerajaan Aceh Darussalam. Tujuan utamanya adalah memonopoli perdagangan di Selat Malaka.
Apa yang dilakukan Belanda sama sekali tidak berhasil melemahkan Kerajaan Aceh Darussalam. Hingga akhirnya Ratu Tajul Alam Safiatuddin mangkat pada 23 Oktober 1675 dan digantikan Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah.[]
No comments:
Post a Comment