RUMPUT setinggi lutut orang dewasa tumbuh subur di sekeliling Kompleks Makam Pang Nanggroe dan Pang Lateh yang terletak di Desa Pante, Kecamatan Lhoksukon, Aceh Utara. Jika musim penghujan, lantai makam biasanya tergenang air karena bumbung kanan makam yang terlalu kecil.
Pemerintah Kabupaten Aceh Utara telah memugar kompleks makam ini pada 1992 lalu. Sebelumnya, cungkup makam hanya terbuat dari papan dan seng. Kini cungkup makam dua pahlawan Aceh tersebut telah disulap dengan bangunan permanen dan dilengkapi pagar besi berwarna biru. Pagar juga diberi jaring oleh juru kunci agar tidak masuk hewan ternak yang banyak berseliweran di areal makam. Di depan dan belakang kedua makam itu juga terdapat beberapa kuburan lainnya. Di belakang kompleks makam tersebut ada pabrik padi.
Makam ini diapit lokasi bongkar muat SPSI Lhoksukon Express serta rumah warga di sisi kanan dan kirinya. Lokasi makam mudah dijangkau. Jaraknya tak jauh dari pusat pertokoan Kota Lhoksukon. Jalan masuknya melewati kantor pos setempat. Sedikit belokan ke arah kiri tanggul sekitar 50 meter dari kantor pos. Kompleks makam Pang Nanggroe dan Pang Lateh tidak banyak berubah dari tahun ke tahun. Hanya saja, kini di sekitar jalan masuk makam telah dipagar bambu oleh warga setempat untuk ditanami pohon cabai. Sedangkan di depan kompleks juga terlihat berjejer kandang ayam milik warga.
+++
PANG Nanggroe adalah salah satu pejuang Aceh yang pernah merepotkan Belanda. Ia merupakan suami ketiga Cut Nyak Meutia sekaligus pimpinan perang daerah Keureuto usai Teuku Chik Di Tunong meninggal dunia. Pang Nanggroe juga rekan seperjuangan Chik Di Tunong yang dikenal setia, gigih, dan lihai mengatur siasat peperangan gerilya. Pang Nanggroe hanya warga biasa dan bukan keturunan uleebalang atau ulama. Ia menikah dengan Cut Meutia karena menjalankan wasiat Teuku Chik Di Tunong.
Mengutip buku Cut Nyak Meutia yang dicetak Depdikbud, 1993, menyebutkan ada dua pesan yang disampaikan Teuku Chik Di Tunong kepada Pang Nanggroe. Pertama, mendidik Teuku Raja Sabi yang saat itu berusia lima tahun untuk tetap bermusuhan dengan Belanda. Kedua, menikah dengan Pang Nanggroe untuk melanjutkan perjuangan. Pesan kedua itu disampaikan Cut Meutia kepada Pang Nanggroe melalui seorang ulama yang selama ini berada dalam kelompok Teuku Chik Di Tunong, yaitu Teungku Di Mata Ie.
Semula Pang Nanggroe menolak karena ia merasa tidak sepadan dengan Cut Meutia, baik dari segi rupa maupun keturunan. Ia menganggap dirinya tidak layak mempersunting Cut Meutia yang sangat dihormati. Namun Teungku Di Mata Ie mengatakan masalahnya bukan rupa dan keturunan tapi yang penting adalah amanah almarhum Teuku Chik Di Tunong dan kelanjutan perjuangan untuk mengusir Belanda. Mendengar hal ini, akhirnya Pang Nanggroe menerima wasiat tersebut. Bekas para pengikut Teuku Chik Di Tunong kemudian bergabung bersama pemimpin mereka yang baru, Cut Meutia dan Pang Nanggroe.
Tak lama kemudian Pang Nanggroe dan Cut Meutia bersama pejuang lainnya meninggalkan daerah Keureutoe, satu daerah dalam wilayah Kesultanan Aceh yang mempunyai uleebalang sendiri. Daerah ini berada di Kabupaten Aceh Utara sekarang yang mencakup kawasan dari Krueng Pase sampai ke Pantonlabu (Krueng Jambo Aye). Pasukan Pang Nanggroe dan Cut Meutia kemudian menuju kubu pertahanan Teuku Ben Daud Pirak, ayah Cut Meutia, di hulu Krueng Jambo Aye dengan bersenjatakan kelewang, rencong dan senjata tajam lainnya. Di tempat ini, mereka telah dinanti-nantikan laskar Aceh.
Para ulama besar mendukung gerakan Pang Nanggroe dan Cut Meutia meneruskan perjuangan Teuku Chik Di Tunong. Di antara ulama-ulama tersebut adalah Teungku Chiek Di Paya Bakoeng (Teungku Seupot Mata) dan saudaranya Teungku Paya Bakoeng (Teungku Di Mata Ie), Teuku Mat Saleh (guru mengaji Teuku Raja Sabi), Pang Lateh, Teungku Di Barat, serta Pang Johan. Menghilangnya Cut Meutia dan Teuku Raja Sabi dari ibukota keulebalangan Keureuto membuat Belanda was-was.
Pemerintah kolonial takut jika Cut Meutia menghilang bersama putra mahkota maka akan membangkitkan perlawanan terhadap Belanda. Mereka lantas mencari istri dan anak mendiang Teuku Chik Di Tunong hingga ke pelosok desa. Belanda yang kewalahan melacak jejak Cut Meutia akhirnya menangkap warga yang dicurigai menyembunyikan srikandi Aceh tersebut dan membakar rumah mereka. Tindakan Belanda ini mendapat respon dari pejuang Aceh.
Teuku Ben Daud, Teuku Ben Pirak, Pang Nanggro, Pang Lateh, Cut Meutia, Teungku Paya Bakong, dan Teungku Seupot Mata akhirnya sepakat menyerang tangsi Belanda. Penyerangan ini adalah awal perlawanan Pang Nanggroe dan Cut Meutia hingga tahun 1910. Besarnya perlawanan yang diberikan askar Aceh membuat Belanda kewalahan. Mereka lantas membentuk satuan khusus yang disebut Kolone Macan untuk mengantisipasi serangan kubu Pang Nanggroe. Pasukan khusus ini terdiri dari prajurit-prajurit pilihan, perwira berpengalaman dan selalu bergerak cepat. Belanda juga menambah pos-pos militer di Keureutoe. Namun apa yang dilakukan Belanda tidak berhasil mencegah serangan-serangan pasukan Aceh.
Pang Nanggroe dan pasukannya berhasil bergerak cepat dari kepungan Belanda. Mereka juga berhasil mencegat patroli-patroli Belanda dan menewaskan marsose dengan kelewang dan senjata tajam lainnya. Dalam suatu penyergapan terhadap sebuah bivak yang mengawal pekerja-pekerja kereta api, dengan kekuatan 20 orang Pang Nanggroe berhasil menewaskan dua orang Belanda dan empat lainnya luka-luka. Pasukan Pang Nanggroe merebut 10 pucuk senapan, 750 butir peluru, dan sepucuk senapan berburu. Peristiwa ini terjadi pada 6 Mei 1909.
Kemenangan ini mempunyai arti cukup penting bagi kaum muslimin serta mempunyai akibat yang cukup buruk bagi musuh. Mengenai hal ini Zentgraaff menulis, “betapa berarti kejadian itu bagi pasukan kita. Menyerahkan sepucuk senjata api ke tangan lawan yang esoknya akan digunakan untuk menghantam kita. Banyak komandan beranggapan bahwa lebih baik kehilangan seorang prajurit daripada kehilangan sepucuk senapan. Yang terakhir ini bisa saja menghancurkan selusin prajurit.”
Peristiwa 6 Mei 1909 ini menggemparkan pucuk pimpinan Belanda baik yang berada di Lhok Seumawe, Lhok Sukon sampai ke Kutaraja. Banyak di antara komandan marsose yang telah berpengalaman menganggapnya sebagai kekalahan besar.
Ada pula di antara komandan yang memarahi serdadu atau anak buahnya bahwa mereka dengan mudah ditipu oleh muslimin. Pada 15 Juni, Pang Nanggroe membuat debut baru yang lebih menggemparkan Belanda. Dengan 25 pasukannya ia menggempur sebuah bivak marsose di Keude Idi. Pasukan marsose ini baru saja tiba dari Kutaraja untuk memperkuat pasukan di daerah tersebut. Dalam penyerbuan ini pasukan muslimin menewaskan satu musuh, delapan lainnya luka-luka serta merampas satu pucuk senjata.
Pang Nanggroe bergerak sangat mobil, dari satu penyerangan ke penyerangan, memberikan kesan betapa cepat ia dapat melakukan gerakannya. Dua kemenangan besar yang telah diperoleh menyebabkan namanya tersiar dengan cepat. Namanya mendapat tempat dalam deretan penentang-penentang besar, setaraf dengan ulama-ulama besar lainnya seperti keluarga ulama-ulama Tiro yang telah berjuang dengan gagah perkasa mempertahankan tanah airnya. Hampir seluruh daerah Keureutoe, Pirak, Pase, Lhok Sukon dan daerah sekitarnya berada dalam kekuasaan Pang Nanggroe. Hampir setiap pertempuran Belanda mengalami kekalahan, lebih-lebih dalam menghadapi kekuatan Pang Nanggroe-Cut Muetia.
Van Daalen selaku Gubernur Sipil dan militer Aceh (1905-1908) kemudian menggantikan Van Heutz. Terkenal sebagai gubernur yang kejam dan disiplin dalam menjalankan tugas-tugasnya di Aceh, tidak mampu menghadapi pasukan Pang Nanggroe. Kebengisan dan kekejaman Van Daalen sangat terkenal, pembunuhan dan penembakan terhadap rakyat, baginya hal biasa. Pemerintah di Kutaraja dan Betawi kemudian membentuk “Kolone Macan” dipimpin Christoffel. Pasukan gerak cepat ini terdiri atas 12 brigade. Pada leher baju mereka terdapat “jari-jari darah” sebagai tanda pangkat untuk semua marsose.
“Sapu tangan merah” yang dililit pada leher sebagai pertanda mereka dalam bertindak lebih berani serta keras dari serdadu biasa. Penambahan kekuatan dengan pembentukan kolone khusus itu kemudian diketahui pejuang-pejuang muslimin Aceh terutama Pang Nanggroe, Cut Meutia, Teuku Ben Daud, Teungku Paya Bokong, dan lainnya. Penambahan kekuatan musuh tidak menyebabkan merosotnya perjuangan Pang Nanggroe-Cut Meutia. Keberanian Pang Nanggroe membuat Belanda memberi sebutan sebagai watergeus.
Hal ini terjadi sewaktu ia mempergunakan perahu-perahu menyerbu dari laut ke Idi untuk merampas senjata api Belanda. Sementara dalam kemerosotan popularitas Christoffe, terjadi pula perubahan politik di pusat pemerintahan di Kutaraja. Van Daalen pada tahun 1908 diganti oleh Swart. Kewalahan menghadapi serangan Pang Nanggroe dan Cut Meutia, Belanda akhirnya mencoba mendekati masyarakat dan melancarkan propaganda.
Pasukan Pang Nanggroe diklaim sebagai pembuat onar yang tidak menginginkan daerahnya aman. Strategi ini membuahkan hasil dan menyebabkan warga mulai enggan mengirimkan logistik kepada pasukan Aceh. Pang Nanggroe akhirnya terdesak meski sempat melancarkan serangan dan sabotase ke fasilitas-fasilitas milik Belanda. Geram dengan hal tersebut akhirnya Bivak Comandan Lhoksukon, Kapten LS Pisscher memerintahkan bawahannya Sersan van Sloten untuk mencari Pang Nanggroe dan pasukannya di rawa Paya Tjitjem pada 24 September 1910. Jejak pasukan Pang Nanggroe bisa dilacak van Sloten pada 26 September 1910.
Tepat tengah hari, mereka berhasil mengepung Pang Nanggroe. Namun kecerobohan salah satu marsose yang terjerembab ke rawa-rawa menarik perhatian pasukan Pang Nanggroe. Tembak menembak tidak terelakkan di antara kedua belah pihak. Dalam peperangan tersebut, salah satu peluru Belanda mengenai dada Pang Nanggroe.
Ia terjatuh berlumuran darah. Pang Nanggroe kemudian memanggil Teuku Raja Sabi, putera Cik Tunong, dan berkata, "ambillah rencong dan ikat kepalaku. Larilah lekas kepada ibumu. Sampaikanlah salamku dan teruskanlah perjuangan. Plung laju jak seutot ma, ilon ka mate (lari cepat meninggalkan tempat ini untuk ikut bersama ibumu, saya sebentar lagi akan meninggal dunia).”
Pang Nanggroe akhirnya tewas. Jasadnya kemudian dimakamkan di samping Masjid Lhoksukon, Aceh Utara. Tongkat komando beralih ke tangan Cut Meutia dan Teuku Raja Sabi, sang Putra Rajawali.[]
No comments:
Post a Comment