Sunday, November 19, 2017

Para Cuak dalam Agresi Militer Belanda di Aceh

Ilustrasi Perang Aceh
SULTAN DELI saat itu telah berganti. Kebijakan politik pun berubah dari menolak pengaruh asing dengan mengakui Belanda. Adalah Sultan Mahmud yang "berjasa besar" memberikan Belanda kekuasaan di Deli saat itu. 

Sultan Mahmud yang menggantikan Sultan Usman bersedia menandatangani perjanjian politik dengan Belanda pada 22 Agustus 1862. Dengan demikian, maka Belanda pun mendapat kesempatan menggunakan wilayah ini menjadi batu loncatan. Hal ini pula yang membuat kekuatan pertahanan Aceh terus terdesak.


Satu-satunya harapan Kerajaan Aceh Darussalam adalah Asahan. Tetapi pengharapan ini menjadi kabur ketika kekuatan Asahan pun sudah dapat dipatahkan oleh Belanda. Demikian juga dengan kondisi di Langkat. Pertahanan Aceh terakhir berada di Pulau Kampai.
Tuanku Hasyim yang mendapat tugas dari Sultan Mansyur Syah untuk mengonsolidasi Sumatera Timur tidak berbuah hasil yang baik. Pengkhianatan pemimpin di wilayah-wilayah yang pernah menjadi bagian Aceh itu terus terjadi. Mereka berkomplot dengan Belanda untuk memblokade kekuatan militer Kesultanan Aceh.

Tuanku Hasyim kemudian mempercayakan Nyak Asan untuk memimpin pertahanan militer Aceh di Pulau Kampai. Sementara dia kembali ke Manyak Panyet untuk memimpin pertahanan Aceh dari darat. Sementara Belanda saat itu terus mencoba merangsek ke Aceh Besar, baik melalui timur Aceh maupun dari laut Selat Malaka.
Belanda menargetkan pantai Idi sebagai batu loncatan menggunting kekuatan Kesultanan Aceh Darussalam. Mereka juga merencanakan serangan terhadap wilayah utara Aceh dari pantai Idi.

Kesultanan Aceh Darussalam sebenarnya telah mengupayakan pos muka di luar negeri untuk menghalau serangan Belanda pada saat itu. Bandar Penang menjadi pilihan dengan dibentuknya Dewan Delapan. Dewan ini dipimpin Tuanku Paya. Sementara Tuanku Hasyim menjadi bagian di dalamnya.

Tuanku Hasyim yang bertugas mengonsolidasi wilayah timur Aceh telah memilih seorang wakilnya untuk memimpin pertahanan di Manyak Payed. Dia kemudian kembali ke Penang untuk mengambil bagian dalam Dewan Delapan. Sebelumnya, peranan Tuanku Hasyim dalam politik dan pemerintahan Kesultanan Aceh sama sekali tidak terdengar. Apalagi semasa Habib Abdurrahman Azzahir dan Panglima Tibang menjadi penasehat kerajaan. Peranan Tuanku Hasyim baru terdengar dalam kancah politik Aceh usai Belanda melakukan serangan pertama terhadap wilayah berdaulat ini, yang berujung dengan kematian Jenderal Kohler.

Sejak itu, Tuanku Hasyim yang bermarkas di Penang kembali ke tanah air. Dia turut mengambil bagian aktif dalam kepemimpinan politik dan kemiliteran, tepatnya saat Belanda mulai merencanakan penyerangannya yang ke 2 awal  Desember 1873.

Mengenai kegiatan di pantai timur, semenjak Belanda berhasil mematahkan kekuatan Aceh di Pulau Kampai, Belanda telah mencoba merembes ke Aceh Timur, melalui Tamiang. Tetapi Belanda tidak berhasil. Itulah sebabnya dimulainya suatu taktik dengan jalan menggunakan pelabuhan Idi sebagai pangkalan masuk.

"Kalau Idi dapat, Belanda berharap bisa menyapu ke timur dan ke barat bahkan ke pedalaman lainnya secara sekaligus, ataupun setidak-tidaknya melemahkan harapan-harapan Aceh untuk melawan," tulis H Mohammad Said dalam bukunya Aceh Sepanjang Abad Jilid Kedua.

Belanda saat itu terus membombardir pantai-pantai Aceh. Mereka juga memperketat blokade untuk mencegah pasokan logistik dan personil militer untuk Aceh.

Harapan Belanda untuk menguasai pantai Idi sesaat menemui kegagalan. Teuku Tjhik Idi yang diharapkan menjadi ujung tombak untuk menumpas perlawanan Aceh sama sekali tidak berperan aktif.


Sementara itu, Belanda juga memanfaatkan seorang Tionghoa yang berasal dari Penang. Sosok ini berhasil mendekati Sultan Mansyur Syah dan masuk ke tengah-tengah kehidupan masyarakat. Namanya Ang Pi Auw dan menyatakan diri masuk Islam saat bertemu dengan Sultan Aceh. Ang Pi Auw kemudian mendapat pangkat kepercayaan sebagai Panglima Setia Bakti dari Kesultanan Aceh Darussalam. 

Pemberian gelar terhadap Ang Pi Auw ini tercatat dalam sarakata Sultan Mansyur Sjah, 30 Muharram 1286 Hijriah.
H Mohammad Said dalam bukunya tidak merincikan sejauh mana peran Ang Pi Auw di sisi Sultan Aceh. Perannya di Idi untuk menghadapi Belanda juga belum ditemukan dalam catatan sejarah. Padahal dia jelas-jelas mendapat gelar Panglima Setia Bakti dari Sultan Aceh.

"Nama Ang Pi Auw muncul kembali sesudah dia mendapat angkatan sebagai "luitenat der Chineezen" dari Belanda. Dari Belanda pun rupanya dia memperoleh tanda jasa pula," tulis Mohammad Said dalam bab yang isinya mengupas siapa saja para pengkhianat Kesultanan Aceh di masa agresi Belanda.

Sebelum perang pecah di Bandar Aceh Darussalam, Belanda sebenarnya sudah jauh-jauh hari memblokade Idi. Tepatnya tahun 1871. Penyerangan terhadap Idi saat itu dipimpin Jenderal Kohler--seorang panglima militer Belanda yang bertugas di Padang. Dia memboyong kapal perangnya untuk memborbardir Idi dari laut.

Harapan Belanda yang dapat dengan cepat menguasai Idi ternyata tidak berhasil sempurna. Meskipun mereka telah memiliki kaki tangan seperti Ang Pi Auw dan Teuku Tjhik Idi tidak membuat masyarakat Idi langsung berbalik mematuhi Belanda. Sementara Sultan Aceh telah mengutus tiga orang kepercayaannya untuk membantu pertahanan di Idi. Mereka adalah Panglima Perang Nyak Bagam, Raja Idi Cut, Panglima Perang Hakim dari Julok, dan panglima perang Abu dari Idi.

Keberadaan tiga tokoh kepercayaan Sultan Aceh di Idi ini mampu menjepit kekuatan Teuku Tjhik Idi (Rayeuk). Meskipun demikian, sosok Teuku Tjhik Idi (Rayeuk) ini sempat mengibarkan bendera Belanda di pantai. Saat itu, Belanda menemui kegagalan untuk menguasai ibukota. Sementara kapal-kapal Belanda sudah menyinggahi pelabuhan Idi, tepatnya pada 7 Mei 1873.

Teuku Tjhik Idi saat itu mengikrarkan diri berada di bawah kepemimpinan Belanda. Dia pun mendapat sejumlah tentara dari Divisi Belanda yang ditugaskan untuk membantu Teuku Tjhik melebarkan pengaruh dan melindungi kekuasaannya di Idi.

Namun apa yang dilakukan oleh Teuku Tjhik Idi ini tidak mendapat sambutan positif dari rakyat Idi. Mereka mengadakan perlawanan dan lebih patuh kepada panglima-panglima dari Kesultanan Aceh Darussalam.

Belanda yang kesulitan menembus pertahanan Aceh kemudian kembali mendatangkan armada militer yang jumlahnya tiga kali lipat dari kekuatan awal. Mereka juga menyelundupkan mata-mata ke Aceh.

Di sisi lain, Belanda juga mengaktifkan konsul mereka yang ada di Penang. Namanya G Lavino. Tugas Lavino adalah mengacaukan organisasi Aceh yang ada di Penang.

Lavino dikenal sebagai petualang yang pandai memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Satu-satunya misi yang dia jalani adalah menarik keuntungan besar dari perang Belanda di Aceh.

"Dia tahu bahwa jika Belanda memerangi Aceh, Belanda membutuhkan banyak sekali, terutama keperluan perbekalan, alat-alat, reparasi, sogok, biaya spion, dan sebagainya, Ini semua sumber uang. Tidak heran jika dia giat sekali," tulis Mohammad Said lagi.

Tugas pertama Lavino adalah mengacaubalaukan Panitia Delapan yaitu dewan perutusan Aceh di Penang, yang juga bekerja mengaktiver kontra-aksi mematikan kegiatan Belanda. Dewan Penang bertugas mengirim perbekalan dan keperluan perang Aceh. Selain itu, nasehat Dewan Penang sering direspon positif Kesultanan Aceh Darussalam sehingga sangat membahayakan bagi Belanda. Adapun Dewan Penang ini terdiri dari Teuku Paya (ketua), Said Ahmad, Tuanku Hasyim, Teuku Ibrahim, dan beberapa orang lainnya.

Jaringan-jaringan spionase Belanda giat dan harus diakui cukup aktif. Lavino mempunyai kaki tangan yang banyak. Mereka dengan leluasa keluar masuk ke Aceh tanpa diketahui. Di antara nama-nama yang termasuk di dalam jaringan spionase, kecuali seorang Deen bernama Swensen, juga seorang Arab (India?) bernama Misor (Ab- du'r-Rahman Mysore). Misor tinggal di bagian paling belakang Gampong Jawa, Aceh.

Gampong Jawa sendiri dikenal sebagai kawasan spionase karena banyak pedagang yang terkadang keceplosan berbicara saat menjalankan aktivitasnya.

Selain itu, pegawai dinas rahasia Belanda yang diselundupkan masuk Aceh adalah sersan Santri. Dia menyamar sebagai pedagang yang masuk dari Penang ke Lhokseumawe. Dari sini dia berlayar dengan perahu ke Gigieng. Dari Gigieng dia jalan darat dua hari lamanya ke Pedir.

"Demikian bersusah payahnya orang ini mau membantu Belanda untuk meratakan jalan bagi agresi penjajahan atas satu bangsa yang sama sekali tidak berdosa kepada bangsa lain. Setelah mendapat bahan apa-apa di Pedir, sersan Santri rupanya 'tidak berani meneruskan perjalanan ke Aceh Besar. Dia balik lagi ke' Gigieng sebagai pedagang, dan dari sini sebagai pedagang pula berlayar dengan perahunya meneruskan ke Aceh Besar," tulis Mohammad Said.

Sersan Santri memilih masuk ke Aceh Besar dengan menyusup dari barat ujung Batu Putih. Dia kemudian melewati Krueng Aceh dan masuk ke Gampong Jawa. Dalam catatan Mohammad Said,  sersan Santri diduga mencuri informasi di Gampong Jawa selama dua pekan. Dia bahkan berhasil masuk ke istana menemui sultan sampai tiga kali.

Usai menjalankan misinya, Sersan Santri kembali ke Lhokseumawe untuk menyeberang ke Penang. Dia kemudian berlayar ke Jakarta untuk melapor informasi yang didapatnya kepada Belanda.

Selain nama-nama di atas, Raja Burhanuddin juga tercatat dalam sejarah sebagai pengkhianat bagi Kesultanan Aceh Darussalam. Dia sebenarnya merupakan pegawai tetap Belanda yang serupa kepala distrik, dan berkedudukan di Jakarta. Dia dikenal menguasai isu-isu militer, politik dan budaya di Sumatera bagian utara. 

Untuk itu, Belanda membutuhkan peranan Raja Burhanuddin sebagai intel menghadapi perlawanan Kesultanan Aceh Darussalam. Belanda memberikan bintang Ridder Willems orde atas jasa-jasanya tersebut.

Dalam menjalankan misinya, Raja Burhanuddin terlebih dulu datang ke Deli melalui Penang. Di Penang dia menyebarkan informasi bahwa sudah tidak bekerja lagi sebagai pegawai Belanda. Dia kemudian masuk ke kampung di Serdang dan menyamar menjadi seorang haji dan pedagang. Raja Burhanuddin kemudian masuk ke tanah Batak untuk menggali informasi hubungan Sisingamangaraja dengan Kesultanan Aceh.

"Di Jakarta terdengar kabar, bahwa Sisingamangaraja sudah bersedia membantu Aceh untuk memukul Belanda di tiga front," tulis Mohammad Said lagi.

Tiga front yang dimaksud adalah di tanah Batak sendiri, di Bilah dan dari Samosir merembes ke Sumatera Timur. Ketika di tanah Batak, Raja Burhanuddin menyimpulkan agar kawasan ini tidak perlu menjadi perhatian dari Belanda. Dia juga tidak merekomendasikan untuk menambah personil militer di Tanah Batak.

Burhanuddin kemudian memprovokasi Raja Batak bahwa Aceh ingin memaksa mereka masuk Islam. Namun provokasi itu tidak berhasil. Raja-raja Batak percaya kepada Kesultanan Aceh Darussalam dan tidak mungkin memusuhi mereka.

Berdasarkan pengakuan Raja Burhanuddin dalam laporannya kepada Belanda, diketahui bahwa raja-raja Batak baru akan melawan pihak-pihak yang menyerang mereka. Upaya Burhanuddin menemui jalan buntu. Di kemudian meneruskan perjalanannya dari tanah Batak ke Barus, kemudian ke Singkil, lalu ke Tapak Tuan, dan berakhir di Aceh Besar.

Dari ekspedisinya tersebut diketahui bahwa wilayah-wilayah ini tidak memiliki kekuatan militer yang besar. Semua kekuatan hanya diberdayakan untuk penjagaan lokal saja. Raja Burhanuddin juga menyimpulkan tidak ada satupun penguasa di Barus, Singkil, dan Tapak Tuan yang berencana menghimpit serangan Belanda ke Aceh Besar.

Burhanuddin berada 25 hari di Aceh Besar. Dia mendapat informasi yang banyak tentang strategi militer Aceh dan langsung kembali ke Jakarta. Dia mengambil rute pulang dari Tapak Tuan langsung menuju Batavia.

Sementara Abdul Rahman Mysore yang bertugas mengumpulkan informasi di Gampong Jawa, berhasil kabur sebelum pihak Kesultanan Aceh Darussalam mengetahui statusnya sebagai mata-mata Belanda. Mysore banyak mendapat uang dari Belanda. Dengan uang itu dia mendapat modal untuk hidup mewah dan berniaga di Singapura.

Di Aceh sendiri tidak banyak lagi yang disiapkan kecuali menyambut tambahan-tambahan alat-alat perang yang didatangkan dari Penang, Sementara itu kabar-kabar yang ditunggu oleh pihak Aceh mengenai hasil missi Habib Abdul'r- Rahman Al-Zahir di luar negeri, terutama dalam usaha untuk menghubungi Sultan Turki, tak kunjung diterima. Masa itu Habib adalah satu-satunya orang yang bisa diharap menjadi perutusan ke Eropa. 

"Dia satu-satunya orang yang berkaliber internasional pada masa itu. Lagi pula dia telah mendapat bintang dari sultan Turki sendiri," tulis Mohammad Said.[]

Referensi:
* H Mohammad Said dalam buku Aceh Sepanjang Abad Jilid Kedua


Catatan:
* Tulisan ini sudah dimuat dalam website portalsatu.com, Minggu, 19 November 2017.

No comments:

Post a Comment