Secara resmi, negara-negara Eropa menolak untuk menyerang Aceh. Namun hal ini sama sekali tidak menyurutkan keinginan Belanda untuk menguasai wilayah berdaulat di ujung pulau Sumatera itu. Rencana jahat mereka terhadap Aceh terus berlanjut. Pihak Belanda mengepung perairan Aceh dan tidak menemui satu kapal asing pun yang ingin membantu menjaga kedaulatan Aceh. Padahal, sebelumnya mata-mata Belanda di Singapura telah mengabarkan adanya upaya pihak asing yang ingin menggagalkan penyerangan Belanda di Aceh.
Setelah memastikan tidak ada satupun pihak asing yang membantu Aceh, Belanda akhirnya mendarat. Kekhawatiran Belanda yang dijadikan sebagai isu untuk menyerang Aceh saat itu terbantahkan. Semula, Belanda hendak menaklukkan Aceh karena khawatir adanya kekuatan tandingan dari negara-negara lain yang memperluas pengaruhnya di Sumatera.
"Belanda sudah kehilangan muka pada pendaratannya yang pertama, dan kehilangan muka itulah hendak ditebusnya dengan segala ke angkaramurkaan dan cara-cara yang jauh dan peri kemanusiaan, bahkan juga melanggar hukum internasional sendiri," tulis H Mohammad Said dalam bukunya berjudul Aceh Sepanjang Abad Jilid Kedua.
Belanda yang sebelumnya telah mengirimkan mata-mata di Aceh mendapat banyak informasi penting terkait pergerakan militer kerajaan tersebut. Salah satunya adalah persiapan bala tentara Kesultanan Aceh yang tidak hanya dipusatkan di Banda Aceh dan Aceh Besar saja, tetapi juga Pedir, Pasai, Idi, Peurelak, Deli, Siak, Daya hingga Trumon dan pesisir barat selatan kerajaan.
Belanda yang telah mendapat informasi tersebut kemudian menjalankan dua strategi militer untuk menghancurkan Aceh. Pertama, menghancurkan kampung-kampung dan pelabuhan dengan tembakan meriam-meriam kapal yang mengepung pantai Aceh dengan ketat. Kedua, menjalankan siasat pecah belah, serta mengangkat orang-orang yang bisa diperalat untuk menjadi kepala-kepala mukim, uleebalang dan sebagainya.[]
No comments:
Post a Comment