Tuesday, April 4, 2023

Kejahatan Perang Belanda dalam Ekspedisi Gayotocht van Daalen

Korban pembantaian Belanda di perkampungan Aceh selama ekspedisi militer di bawah kepemimpinan van Daalen di sepanjang Dataran Tinggi Gayo, Tanah Alas, dan Batak. Foto: KITLV/Tropen Museum

Belanda yang baru beberapa tahun membentuk Korps Marechaussee te Voet alias Marsose--unit anti-gerilya yang terdiri dari para relawan KNIL untuk memburu Sultan Aceh, turut melancarkan ekspedisi ke dataran tinggi Gayo. Dalam rangka eskpedisi militer tersebut, Belanda di bawah komando van Daalen menyisir dan menyapu perkampungan yang ada di sepanjang jalur ekspedisi sepanjang Tanah Gayo, Alas, hingga mencapai Tanah Batak dan wilayah Sisingamangaraja.

Pada 4 April 1904, ekspedisi militer Belanda mencapai Kampung Badak dan terlibat pertempuran dengan masyarakat setempat. Sebanyak 93 orang laki-laki dari kampung tersebut tewas dalam pertempuran tak seimbang tersebut. Selain itu, sebanyak 29 orang perempuan dan anak-anak juga ikut dibunuh dalam ekspedisi yang belakangan dikenal dengan istilah Gayotocht tersebut.

Rangkaian ekspedisi militer Belanda di pedalaman Aceh tersebut berujung pada pembantaian penduduk setempat. Selain di Kampung Badak, Surat Kabar Deli Courant menyebutkan, dalam peristiwa ekspedisi di salah satu desa di Gayo, ratusan warga dibantai dan menyebabkan korban tewas terdiri 313 pria, 189 wanita, dan 59 anak-anak. Aksi pembantaian berlanjut ke wilayah Suku Alas di Aceh Tenggara (berdasarkan peta administrasi wilayah Aceh saat ini). 

Pembantaian yang dilakukan Belanda dan paling diingat hingga sekarang adalah peristiwa di Benteng Kuta Reh. Pembantaian massal yang dilakukan Belanda di desa ini disebutkan menjadi salah satu catatan buruk ekspedisi militer negeri Kincir Angin itu di Aceh. Aksi pembantaian ini bahkan disebut merupakan salah satu kejahatan perang Belanda selain kasus Rawa Gede. Namun, sayangnya hingga saat ini, Belanda tidak menyampaikan permintaan maaf atas kasus pembunuhan besar-besaran di Kuta Reh tersebut.

Serangan Belanda ke Kuta Reh berlangsung pada 14 Juni 1904 dan telah merenggut 313 orang pria dari penduduk setempat. Selain itu, sebanyak 248 wanita dan akan-anak juga dibunuh secara sadis. Jenazah para penduduk kemudian ditumpuk dan diabadikan dalam sebuah foto yang kelak menjadi pengingat tentang kekejaman Belanda selama berperang di Aceh. Selain membunuh penduduk Kuta Reh, Belanda juga menawan 20 orang perempuan dan 61 anak-anak. Sementara kaum pria tidak ada yang selamat dalam serangan tersebut. Penyerangan ke Kuta Reh juga turut membuat Belanda kehilangan lima personil prajuritnya yang tewas dan sebanyak 14 lainnya luka-luka.

Selain Kampung Badak dan Kuta Reh, aksi militer paling kejam dilakukan Belanda selama ekspedisi militer tersebut juga dilakukan di Gemuyang, Rerobo Toa, Paser, Papereq, Duren-Rojo Silo, Kuta Lintang, dan Kuta Blang. Belanda juga menyerang Rikit Gaib, Tampeng, Penosan, Inem-inem, Likat, dan Kuta Lengah Baru. Sebuah sumber mengatakan terdapat 2.922 orang penduduk tewas dalam ekspedisi militer itu, yang terdiri atas 1.773 laki-laki dan 1.149 perempuan, termasuk anak-anak dan orang tua. Selain itu, tidak sedikit anak-anak yang ditangkap Belanda untuk dijadikan budak.

Ekspedisi militer Belanda ke dataran tinggi Gayo, Tanah Alas, dan Tanah Batak itu dimulai pada 8 Februari 1904. Pimpinan ekspedisi adalah Gotfried Coenraad Ernst (G.C.E) van Daalen. Selain pasukan yang dipimpin van Daalen, Belanda juga mengirimkan Kolone Pendeng di bawah kepemimpinan K.H.J. Creutz yang dibantu Leichleiner dan Ramert untuk memback-up pergerakan pasukan van Daalen. Pasukan pimpinan Creutz ini bergerak dari Medan dengan kekuatan pasukan mencapai 148 bayonet. Sementara pasukan van Daalen bergerak dari Bireuen untuk menyerang dataran tinggi Gayo. 

Namun, pergerakan pasukan Creutz sedikit terhambat dalam ekspedisi tersebut lantaran mendapat serangan dari pasukan Aceh di utara Ureng. Pasukan Creutz harus rela menghabiskan 3.000 butir peluru untuk mempertahankan diri dari serangan para gerilyawan Aceh tersebut. Selan itu, pasukan Creutz juga dicegat pasukan Aceh, tiga hari setelah penyerangan di Ureng. Serangan yang dipimpin oleh Teungku Muda Pendeng ini membuat pasukan Creutz kucar kacir. Pemimpin pasukan, Creutz, juga disebut terluka akibat serangan yang tak diduga tersebut sehingga tongkat komando pasukan diambil alih oleh Kapten H.R.T A de Graaff. Selain membuat Creutz terluka, pasukan Teungku Muda Pendeng juga menewaskan Letnan Watrin, Letnan Ebbink, dan 35 serdadu KNIL.

Meski mendapat serangan beberapa kali dari gerilyawan Aceh, pasukan Kolone Pendeng akhirnya berhasil berkumpul kembali dengan pasukan van Daalen di Blang Kejeren yang telah mempertontonkan aksi biadabnya dengan membunuh ribuan penduduk di sepanjang jalur ekspedisi. Serangan-serangan Belanda di Tanah Gayo dan Alas tersebut tentunya mendapt perlawanan dari penduduk dengan bersenjata seadanya. Pasukan van Daalen bahkan turut kehilangan beberapa perwira dan serdadu mereka dalam ekspedisi tersebut.

Serangan ke Gemuyong, misalnya. Dalam serangan itu, Belanda kehilangan empat prajuritnya yang tewas kena tatakan parang. Selain itu, sebanyak 13 personil Belanda juga luka-luka. Sementara penduduk yang dibantai oleh Belanda di kampung ini mencapai 168 orang pria, sebanyak 92 wanita, dan 48 anak-anak Gemuyong. Tak hanya itu, dalam serangan ke Gampong Rerobo Toa, Paser, Paseq, Duren Rojo Silo, Kuta Lintang, dan Kuta Blang yang berlangsung rentang 22 dan 23 Maret 1904 tersebut, Belanda juga kehilangan dua personil karena tewas. Sementara pasukan yang terluka mencapai 24 orang. Korban di pihak penduduk mencapai lebih dari 166 jiwa yang 15 diantaranya termasuk anak-anak dan wanita.

Pasukan van Daalen yang menyerang Kampung Rikit Gaib dan Tampeng. Dalam serangan di dua perkampungan ini, sebanyak 143 orang penduduk pria syahid bersama 41 orang wanita dan anak-anak. Serangan ke Kampung Badak dan Rikit Gaib mendapat perlawanan sengit dari penduduk setempat sehingga mengakibatkan Belanda turut kehilangan 12 personilnya karena tewas dan 37 lainnya luka-luka.

Di Penosan, serangan dilakukan pada 11 Mei 1904. Dalam serangan itu, Belanda membunuh 191 orang pria serta 95 orang perempuan dan juga anak-anak. Serangan ke Penosan juga membuat Belanda kehilangan delapan personilnya serta 26 prajurit luka-luka. Kemudian aksi brutal Belanda juga dilakukan di Kampung Tampeng, di Gayo, pada 18 Mei 1904. Serangan di Kampung Tampeng ini mengakibatakn sebanyak 125 orang pria yang merupakan penduduk setempat syahid bersama 51 orang perempuan dan anak-anak. Di Tampeng, Belanda kehilangan empat pasukan dan sebanyak 30 personil luka-luka. 

Berbeda dengan pasukan Creutz, aksi pasukan Belanda di bawah kepemimpinan van Daalen juga telah membuat Aceh kehilangan ratusan jiwa di Kampung Likat pada 20 Juni 1904. Sebanyak 220 orang pria, 124 orang perempuan serta 88 orang anak kehilangan nyawa mereka saat mempertahankan kampung Likat. Di pihak Belanda, sebanyak tiga personil mati dan 16 lainnya menderita luka-luka.

Penyerangan pasukan van Daalen juga berlanjut ke Kuta Lengah Baru pada 24 Juni 1904. Dalam serbuan tersebut, sebanyak 338 pria termasuk penghulu Kampung Baten dan Uen Atan, Kejuruan Bambel dibunuh. Belanda juga membunuh 130 anak-anak dalam penyerangan itu, dan menangkap 28 orang untuk dijadikan budak.

Ajudan van Daalen, J.C.J. Kempees dalam laporan berjudul De tocht van Overste van Daalen door de Gajo, Alas-en Bataklanden menyebut ekspedisi militer Belanda di tanah Gayo, Alas, dan Batak itu setidaknya menelan korban nyawa hingga 4.000 orang.

Dalam laporannya, Kempees menyertakan foto-foto bukti pembantaian massal rakyat Gayo maupun Alas. Seusai penyerbuan, Van Daalen memerintahkan Kempees mengambil foto tumpukan mayat mereka.[]

No comments:

Post a Comment