CATATAN tentang sejarah Aceh sangat panjang untuk dapat diceritakan secara mendetil atau ditulis secara lengkap dalam satu buku. Butuh penelitian yang serius untuk mengungkap fakta dari catatan sejarah Aceh selama ini. Meskipun demikian, sepenggal catatan sejarah Aceh itu telah berhasil didokumentasikan oleh H Mohammad Said dalam Aceh Sepanjang Abad Jilid I dan Jilid II.
Dalam catatan tersebut, tidak sepenuhnya sejarah Aceh ditulis lengkap karena diduga keterbatasan waktu dan belum canggihnya peralatan penelitian pada masa itu. Catatan sejarah tersebut perlu dilanjutkan, terutama dalam hal dokumentasi tanggal sebuah peristiwa yang kelak menjadi sejarah sebuah bangsa.
Dari hasil penelusuran singkat yang dilakukan SumateraPost.com, terdapat banyak peristiwa besar di bulan Januari dalam sejarah perjalan daerah ini. Mulai dari serangan Belanda ke Aceh hingga penyanderaan kapal Inggris oleh Raja Teunom.
Di bulan Januari juga tercantum peristiwa pembuangan alias pengasingan Cut Nyak Dhien dan juga penyerahan diri Sultan Aceh Darussalam Tuanku Muhammad Daud kepada Belanda.
Berikut sebagian peristiwa penting yang pernah terjadi di Aceh sepanjang Januari, versi H Mohammad Said dalam Aceh Sepanjang Abad yang kemudian dirangkum oleh SumateraPost.com:
1 Januari 1874
Tanggal 1 Januari 1874 menjadi hari paling sibuk bagi Belanda untuk menyelamatkan jiwa-jiwa serdadunya yang cidera oleh peluru pasukan Aceh. Pada hari itu, Kolonel Wiggers van Kerchem yang terluka akibat perang tidak dapat disembuhkan di rumah sakit darurat di Aceh. Akhirnya Kerchem bersama 100 serdadu Belanda yang terluka karena perang kembali dengan kapal Bentink ke Batavia.
Sebelumnya Belanda telah mendeklarasikan perang terhadap Kesultanan Aceh Darussalam pada 26 Maret 1873. Perang ini kemudian menjadi sejarah perang terlama Belanda di Nusantara. Pertempuran di Aceh berlangsung sejak 1873 hingga 1942.
4 Januari 1874
Kolonel L St A.M De Roy van Zuydewijn tiba dari Padang menggantikan posisi Kolonel Wiggers van Kerchem di Banda Aceh. Kolonel van Zuydewijn diperlukan hadir ke Aceh untuk memimpin serangan ke Masjid Raya.
5 Januari 1874
Belanda menggempur Masjid Raya di Banda Aceh, tetapi belum mampu merebut rumah ibadah di pusat pemerintahan Sultan Aceh tersebut. Banyak korban yang berjatuhan dalam serangan ini.
6 Januari 1874
Pertempuran Masjid Raya banyak merenggut nyawa pasukan Belanda. Kolonel De Roy van Zuydewijn yang memimpin serangan bahkan terkena tembakan. Kuda yang ditungganginya tak luput dari serangan mematikan pasukan Aceh. Belanda melaporkan beberapa komandan kompi dalam serangan tersebut ikut terluka berat, seperti Kapten Meis, Hoogeward, Tienhoven, Visser, von Mauritz, Hermer, Schneider, dan Kapten Ten Bosch.
Meskipun demikian, Belanda akhirnya berhasil merebut Masjid Raya pada tanggal tersebut setelah melalui pertempuran dahsyat melawan pasukan Aceh yang dipimpin oleh Panglima Polem.
7 Januari 1874
Belanda memusatkan perhatian untuk merebut Darud Donya usai berhasil menduduki Masjid Raya Baiturrahman. Sebanyak 12 ribu pasukan dikerahkan untuk mengepung pusat pemerintahan Sultan Aceh tersebut. Belanda juga mendatangkan beberapa pimpinan pasukan senior untuk merenggut pusat kedaulatan Aceh pada hari itu.
Darud Donya baru dapat ditaklukkan pada 24 Januari 1874 atau 18 hari setelah pengepungan besar-besaran yang dilakukan Belanda. Keberhasilan Belanda tersebut tidak terlepas dari kebijakan Sultan Aceh yang telah mengosongkan Darud Donya karena kolera. Selain itu, Sultan Aceh juga sengaja menyerahkan Darud Donya agar Belanda terkecoh dan akhirnya terkepung di dalam istana.
28 Januari 1874
Sultan Aceh Alauddin Mahmud Syah meninggal dunia karena kolera di pengungsiannya, di Pagar Air. Sultan Alauddin Mahmud Syah merupakan Sultan Aceh yang menolak pengakuan terhadap kedaulatan kerajaan Belanda setelah perjanjian Sumatra (Traktat Sumatra). Perjanjian ini ditandatangani oleh Belanda dan Inggris.
Atas penolakan pengakuan tersebut, Belanda melancarkan perang terhadap Kesultanan Aceh pada 26 Maret 1873.
29 Januari 1874
Pasukan tambahan Belanda sebanyak dua batalyon yang diantaranya termasuk pasukan dari Madura, digempur oleh pasukan Aceh saat hendak menuju ke Darud Donya dari Ulee Lheue. Jenderal van Swieten bersama dua jenderal lain yang memimpin pasukan tempur Belanda terdesak.
Serangan-serangan mematikan yang dilancarkan pasukan Aceh dari pemukiman penduduk dan dari segala jurusan termasuk dari arah sungai, membuat pasukan Belanda kembali mundur ke tempat mereka tiba. Pasukan bantuan dari Darud Donya yang dikerahkan untuk mengapit serangan pasukan Aceh juga tidak berhasil memuluskan perjalanan dua batalyon pasukan Belanda itu.
Pada tanggal yang sama, Belanda kembali menyebarkan edaran agar pasukan Aceh menyerah. Belanda juga berniat untuk mengambil alih Gampong Bithai dan Keutapang Dua, yang dinilai sangat menguntungkan dari sisi perang dan ekonomi. Akan tetapi Belanda tidak dapat menguasai dua pemukiman penduduk tersebut lantaran kembali didesak oleh pasukan Aceh.
Di hari yang sama, Belanda juga mencoba menyerang kubu pertahanan pasukan Aceh di Lueng Bata. Namun upaya tersebut juga menemui kegagalan seperti serangan terhadap Bithai dan Keutapang Dua.
31 Januari 1874
Belanda yang berhasil merebut Darud Donya sebagai pusat pemerintahan Kesultana Aceh Darussalam kemudian memproklamasikan kemenangannya.
Proklamasi tersebut disampaikan oleh van Swieten, yang bunyinya, “bahwa Belanda telah berhasil mencapai kemenangan mengalahkan Aceh karena merebut Dalam, dan oleh karena itu katanya sesuai dengan hak menang perang, seluruh Aceh sudah di bawah kedaulatan Belanda.”
Selanjutnya, “…Bahwa sejak tanggal 24 Januari sultan tidak diketahui kemana dan oleh karena itu Jenderal van Swieten berpendapat bahwa dialah yang berwenang menjalankan pemerintahan.”
“…Dinasehatkan kepada sultan dan Panglima Polem maupun siapa saja yang menjadi orang-orang besar pemerintahan supaya datang ke Dalam (Darud Donya) menemui Jenderal van Swieten, supaya kepada mereka memenuhi ketentuan oleh Belanda.”
Januari 1876
Raja Pidie Teuku Pakeh Dalam berhasil dijebak dan dipaksa mengakui kedaulatan Belanda. Teuku Pakeh masuk dalam perangkap Belanda setelah setahun memperkuat barisan pasukan di Aceh Besar.
Teuku Pakeh tidak mengetahui bahwa kapal-kapal Belanda telah mengepung Pidie. Belanda kemudian mendesak Teuku Pakeh untuk menyerah atau wilayah kekuasaannya akan kembali dibombardir oleh kapal-kapal Belanda.
Pada awalnya Teuku Pakeh Dalam menolak desakan tersebut dengan alasan rakyat kadung benci terhadap Belanda setelah membombardir Kuta Asan. Rakyat Pidie juga marah terhadap serangan Belanda di akhir Desember 1873.
Namun, Belanda meyakinkan Teuku Pakeh Dalam untuk menjadi sekutunya dengan menjanjikan ganti rugi atas penyerangan yang dilakukan.
24 Januari 1876
Belanda yang telah berhasil merebut Darud Donya kemudian mengubah nama ibukota Bandar Aceh Darussalam menjadi Kuta Raja. Namun, kekuasaan Belanda di bekas tempat tinggal Sultan Aceh sama sekali tidak dalam kondisi aman. Pasukan Belanda yang sudah dua tahun menduduki Darud Donya, masih mendapat teror dari penduduk Aceh.
Seperti halnya serangan mematikan yang dilancarkan sekelompok warga Aceh berpakaian preman pada 23 dan 24 Januari. Saat itu, sekitar 20 orang warga Aceh melompat dari tembok tinggi untuk menyerbu sebuah kampung yang sudah dikuasai Belanda.
Puluhan warga itu langsung membunuh serdadu Belanda yang ditemui di lokasi. Mereka juga berhasil menewaskan 16 serdadu “Belanda Hitam”–julukan untuk Bumiputera yang menjadi prajurit kompeni.
Serangan mendadak itu berhasil dilakukan. Hanya dua orang warga Aceh yang meninggal dalam serangan tersebut, sementara selebihnya berhasil kabur dalam keremangan malam.
Esoknya, Belanda melacak identitas para penyerang yang berhasil ditembak tersebut. Dari hasil identifikasi diketahui kedua orang yang tewas itu adalah pedagang kelapa dan pedagang gula. Hal tersebut menyiratkan bahwa perlawanan yang dilakukan oleh orang-orang Aceh tidak hanya berasal dari prajurit sultan saja.
4 Januari 1877
Teuku Nya’ Lamkota menandatangani pengangkatan sebagai Raja Simpang Ulim di bawah pengaruh Belanda. Namun pengangkatan ini mendapat penolakan dari rakyat Simpang Ulim.
Januari 1877
Belanda mulai memfokuskan serangan ke kawasan barat Aceh, Meulaboh. Belanda yang telah memblokade perairan Aceh menekan Teuku Chik Raja Meulaboh agar tunduk di bawah kendali mereka.
Saat itu, asisten residen Belanda RC Kroesen ditugaskan untuk meyakinkan Teuku Chik Raja Meulaboh agar mau bertekuk lutut. Kroesen juga memberitahukan bahwa putra mahkota, Teuku Kejuruan Muda, telah menentang kedatangan Belanda ke Meulaboh.
Namun upaya diplomasi yang ditempuh Kroesen di bawah lindungan militer Belanda itu menemui kegagalan.
Januari 1878
Pada Januari 1878, Belanda berhasil membujuk Raja Itam selaku adik bungsu Teuku Kejuruan Muda, untuk berpihak kepada Batavia. Raja Itam saat itu sepakat dengan bujukan tersebut lantaran ingin mengambil keuntungan dari Belanda. Sementara gangguan di lapangan terus terjadi sehingga Belanda kembali masuk ke pemukiman penduduk dan terlibat perang dengan pasukan Aceh.
Keberpihakan Raja Itam sama sekali tidak menguntungkan bagi Belanda. Di sisi lain, perang dengan pasukan Aceh terus terjadi di kawasan Meulaboh dari Januari hingga Februari 1878.
Januari 1891
Panglima Polem Raja Kuala dilaporkan meninggal dunia pada Januari 1891. Posisinya kemudian digantikan oleh Panglima Polem Sri Muda Perkasa Muhammad Dawot.
Januari 1896
Teuku Umar yang kemudian berpihak kepada Belanda, telah membuat sejumlah kubu pertahanan pasukan Aceh jatuh ke tangan penjajah. Wilayah-wilayah baru yang berhasil direbut setelah Umar berada di kubu Belanda, selain Kutaraja (Darud Donya) dan Ulee Lheue adalah Lampeuneurut, Lamreueng, Lambaro, Siron, Lampermai, Cot Iri, Rumpet, Buket Kareung, dan Lamnyong.
Belanda juga berhasil merebut Pekan Krueng, Kuta Pohama, Lamteh, Lamjame, Blang Keutapang Dua.
Atas dukungan Teuku Umar, Belanda pun akhirnya berhasil merebut Cot Gu, Tungkop, Cot Rang, Lambarih, Aneuk Galong, Lamsut, Krueng Glumpang, Senelop, Blang Cut, Bilui, dan Lamkunyet.
Semua daerah itu berada di bawah Mukim XXV dan XXVI serta Mukim XXII di Aceh Besar.
1 Januari 1897
Belanda hendak merayakan tahun baru dengan mengatur siasat penangkapan terhadap Teuku Umar yang disersi. Saat itu mata-mata Belanda menyebutkan Teuku Umar berada di Lhong bersama istrinya, Cut Meuligoe dan anak mereka.
Namun, serangan mendadak pada subuh 1 Januari 1897 itu menemui kegagalan lantaran Teuku Umar telah terlebih dulu keluar dari rumahnya. Belanda yang bernafsu menangkap Teuku Umar, atau sekurang-kurangnya menawan Cut Meuligoe dan anaknya, justru menderita dalam serangan tersebut. Banyak pasukan Belanda yang menjadi korban lantaran dikejutkan dengan serangan mendadak dari kubu Aceh.
Januari 1897
Sultan Mohammad Daud memimpin musyawarah besar di Garot Pidie. Musyawarah ini turut dihadiri oleh Panglima Polem, Teuku Umar, Teuku Ben Peukan dan Meureudu, ulama pengganti Teungku Chik di Tiro dan kepala-kepala daerah setempat.
Semua peserta musyawarah saat itu ikut bersumpah untuk melawan Belanda sampai titik darah penghabisan. Dalam musyawarah tersebut, Sultan Muhammad Daud juga memerintahkan Teuku Umar untuk memindahkan sebagian besar pasukannya yang ada di Daya ke Mukim VII Pidie.
7 Januari 1884
Kapal perang Belanda yang berlayar dari Ulee Lheue membombardir pemukiman penduduk di Teunom. Belanda juga mendaratkan pasukannya di Teunom pada 7 Januari 1884.
Namun, serangan tersebut sama sekali tidak memberikan hasil memuaskan bagi Belanda yang hendak membebaskan awak kapal Nisero. Saat itu, Teuku Raja Muda Teunom sengaja menahan awak kapal Nisero yang merupakan warga negara Inggris untuk memberikan tekanan terhadap Belanda.
Penyanderaan ini bertujuan untuk mempermalukan Belanda di kancah internasional, terutama di mata Kerajaan Inggris, sekaligus membuka mata dunia bahwa Batavia belum sepenuhnya berkuasa di Aceh.
Januari 1893
Kejuruan Karang dan Teuku Chik Sungai Yu menyatukan kekuatan dengan Panglima Nyak Makam pada Januari 1893. Penyatuan kekuatan ini membuat Belanda kian terancam di Seruway.
Kaki tangan Belanda, Raja Bendahara, bahkan melarikan diri ke Pulau Kampai yang telah menjadi pangkalan AL Belanda.
Gabungan kekuatan antara Kejuruan Karang, Teuku Chik Sungai Yu dan Panglima Nyak Makam tersebut kemudian membuahkan hasil dengan perebutan Rantau Pakam dari Belanda. Pasukan gabungan tiga tokoh itu juga berhasil membakar istanan Raja Bendahara dan merebut istana Sultan Muda di Sungai Kuru. Pasukan Aceh juga berhasil merebut Lubuk Batil di hulu Sungai Tamiang, yang jaraknya hanya 1,5 Km dari benteng Belanda.
6 Januari 1903
Sultan Aceh Muhammad Daud Syah mengirimkan surat akan mendatangi Belanda di Kutaraja. Surat tersebut dikirimkan oleh Sultan Aceh lantaran Belanda menahan permaisuri dan putranya.
7 Januari 1903
Kapal Perang Sibolga milik Belanda berangkat ke Sigli untuk menjemput Sultan Aceh Muhammad Daud Syah. Ikut serta di atas kapal tersebut seperti Tuanku Mahmud yang merupakan wali sultan, Tuanku Husin, Tuanku Ibrahim, Kepala Sagi XXV dan Kepala Sagi XXVI Mukim.
8 Januari 1903
Rombongan tiba di Sigli pada 8 Januari 1903. Di sana sudah menunggu Raja Pidie, Raja Samalanga, dan Raja Meureudu. Sultan Aceh Muhammad Daud Syah kemudian dijemput ke Gampong Arusan, Ie Leubeue.
10 Januari 1903
Sultan tiba di Sigli pada 10 Januari 1903. Kedatangan Sultan Aceh Muhammad Daud Syah langsung disambut oleh Mayor van der Maaten dan para perwiranya.
13 Januari 1903
Belanda mengangkut Sultan Aceh Muhammad Daud Syah bersama Pocut Murong, Tuanku Ibrahim dan anggota rombongan sebanyak 175 orang dengan kapal perang Sumbawa menuju Ulee Lheue. Dari Ulee Lheue, rombongan Sultan Aceh Muhammad Daud Syah kemudian naik kereta api menuju Kutaraja untuk bermalam di Kampung Keudah.
15 Januari 1903
Belanda mengadakan upacara penyerahan diri Tuanku Muhammad Daud Syah. Belanda turut mendesak Tuanku Muhammad Daud Syah untuk menandatangani pengakuan bahwa Aceh sudah menjadi bagian dari wilayah Hindia Belanda.
Namun, saat itu Sultan Muhammad Daud Syah justru datang tanpa menyandang gelar dan sengaja menanggalkan alas kaki yang menyiratkan bahwa dirinya hanyalah rakyat biasa. Dengan demikian, Tuanku Muhammad Daud Syah menyebutkan dirinya tidak dapat menandatangani surat pengakuan tersebut.
26 Januari 1905
Pasukan Aceh yang menyamar menjadi pedagang ayam dan buah-buahan berhasil menyerang petugas patroli Belanda di Bivak Meurande Paya, Lhoksukon.
Dalam serangan tersebut, Sersan Vollaers bersama 16 pasukannya tewas dengan perut terburai. Hanya satu orang prajurit Belanda yang berhasil lolos dalam serangan tersebut.
Januari 1907
Belanda mengasingkan Cut Nyak Dhien ke Sumedang.[]
No comments:
Post a Comment