Tengku Daud Beureueh bersama pasukan. @Repro |
Apalagi Aceh yang sedianya menjadi daerah modal kemerdekaan bagi Indonesia malah dileburkan ke dalam Provinsi Sumatera Utara, tahun 1950.
Sejarawan berkebangsaan Belanda, Cornelis Van Dijk, menyebutkan kekecewaan Daud Beureueh terhadap Jakarta semakin berat dengan beredarnya rumor tentang sebuah dokumen rahasia dari Jakarta. Dokumen itu disebut-sebut dikirim oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo yang isinya berupa perintah pembunuhan terhadap 300 tokoh masyarakat Aceh.
Rumor ini disebut sebagai les hitam. Perintah ini dikabarkan diambil oleh Jakarta berdasarkan kecurigaan dan laporan bahwa Aceh sedang bersiap buat sebuah pemberontakan guna memisahkan diri dari negara Indonesia. Namun tidak ada yang bisa membuktikan keberadaan dokumen tersebut.
Meskipun secara tersirat, Van Dijk menduga dokumen itu ada. “Daftar nama itu barangkali sengaja dibocorkan dengan tujuan tertentu. Orang Aceh terkemuka merasa mereka mungkin akan ditangkap dan, karena itu, memutuskan lari ke gunung,” kata Van Dijk.
Sementara sejarawan Belanda lainnya, B.J. Boland, dalam bukunya The Struggle of Islam in Modern Indonesia, menyebutkan sebetulnya surat itu tak pernah ada. “Desas-desus itu diembuskan oleh politikus sayap kiri di Jakarta untuk menghantam gerakan Islam di Aceh,” katanya.
Menyikapi meletusnya pemberontakan tersebut, Pemerintah Republik Indonesia melalui Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo memberikan penjelasan secara runut di depan DPR terkait pemberontakan di Aceh, pada 28 Oktober 1953. Selanjutnya Ali Sastroamidjojo juga menyangkal telah menyusun daftar hitam tersebut, dalam rapat paripurna DPR pada 2 November 1953.
“Les hitam adalah bukti yang menimbulkan kecurigaan kita bahwa pencetus peristiwa berdarah itu adalah permainan lawan-lawan politik Teungku Daud Beureueh untuk menghancurkan beliau dan kawan-kawan,” kata Nur el-Ibrahimy, menantu Beureueh sekaligus saksi sejarah Aceh dalam bukunya Teungku Muhammad Daud Beureueh: Peranannya Dalam Pergolakan di Aceh.
Faktor lain yang menyebabkan meletusnya pemberontaka DI TII adalah tidak adanya perhatian penuh yang diberikan Indonesia. Pendidikan Aceh yang semakin tertinggal usai kemerdekaan dan status otonomi khusus memberlakukan syariat Islam yang tak kunjung dipenuhi Bung Karno, menjadi alasan lainnya Daud Beureueh memproklamirkan perang terhadap Jakarta.
Pemerintahan Ali Sastroamidjojo menyikapi genderang perang Daud Beureueh dengan mengirimkan tentara ke Aceh. Hal ini menyebabkan Daud Beureuh dan PUSA hijrah ke gunung dan pedalaman Aceh.
Delapan tahun mengangkat senjata melawan Indonesia, banyak pengikut DI TII kelelahan. Jiwa perjuangan mereka runtuh bersama usia pucuk pimpinan yang kian renta. Bahkan di antara pimpinan DI/TII mengkhianati perjuangan Daud Beureuh dan menjalin kontak dengan Jakarta. Mereka kemudian turun gunung secara diam-diam tanpa sepengetahuan Daud Beureueh.
Meskipun banyak yang menyerah, Pemerintah Indonesia sama sekali tidak bisa meredam perjuangan DI TII. Bahkan penyelesaian konflik antara Aceh dengan Jakarta harus diselesaikan melalui Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh atau MKRA.
Kolonel M. Jassin, selaku Panglima Kodam I Iskandar Muda kemudian diutus untuk membujuk Beureueh agar turun gunung dengan lebih dulu diberi kesempatan bermusyawarah dengan kalangan ulama. Pemberontakan Aceh padam meskipun pengaruh Daud Beureueh masih diperhitungkan.
Orde Baru yang berkuasa saat itu kemudian mengasingkan Daud Beureueh ke Jakarta pada Mei 1978. Hal ini dilakukan untuk mencegah karismanya menggelorakan perlawanan rakyat Aceh melawan Indonesia.
Meskipun mendapat santunan dan segala kebutuhannya ditanggung pemerintah di Jakarta, namun Daud Beureueh sebenarnya terisolasi di pengasingannya. “Tak ada penyakit yang serius yang diidap Teungku Daud kecuali penyakit rindu kampung halaman,” kata El-Ibrahimy.
Daud Beureueh kemudian dipulangkan ke Aceh. Di sana, pemberontakan Aceh babak baru sedang bergelora di bawah komando Hasan Tiro. Akibat kharismanya yang masih dihormati masyarakat Aceh, Daud Beureueh terus berada di bawah pengawasan militer. Hingga akhirnya kesehatan mantan Gubernur Militer Aceh ini merosot tajam.
Sosok yang pernah memimpin Aceh ini kemudian meninggal di tanah Aceh pada 1987. Napasnya berhenti hanya dua tahun sebelum pemerintah menetapkan Aceh sebagai daerah operasi militer (DOM)-masa yang membuat luka di Tanah Rencong kembali terbuka.[] Dari berbagai sumber
No comments:
Post a Comment