Sunday, October 12, 2014

27 September 1954; Hasan Tiro Ditahan Imigrasi New York

Hasan Tiro
SIKAP keras yang ditunjukkan Hasan Tiro menyikapi tindakan kabinet Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo terhadap Darul Islam di Aceh harus dibayar mahal. Ultimatum yang dikirimkan Hasan Tiro melalui sepucuk surat di berbagai surat kabar, dari New York hingga Indonesia telah mengguncang perpolitikan Indonesia. Ia pun kehilangan kewarganegaraannya.

Hasan Tiro, yang oleh Wakil Perdana Menteri Sjafruddin Prawiranegara disebut sebagai "pemuda yang pendiam tetapi memberi kesan cerdas dan cukup lincah" tiba-tiba mengguncang dunia politik Indonesia pada 1 September 1954. Penyebabnya, tak lain sepucuk surat yang disebarnya di berbagai surat kabar, dari New York hingga Indonesia. Saat itu, Hasan Tiro yang kelahiran 25 September 1925, berusia 29 tahun.

Menantu Teungku Daud Beureueh, M.Nur El Ibrahimy, dalam bukunya Tgk.M.Daud Beureueh, Peranannya dalam Pergolakan di Aceh, menulis satu bab khusus tentang peran diplomasi yang dimainkan Hasan Tiro di Amerika untuk mendukung "Republik Islam Indonesia" yang di Aceh dipelopori Daud Beureueh.

Cerita itu masuk dalam bab tentang "Usaha hendak memasukkan persoalan DI/TII ke Dalam Forum Perserikatan Bangsa-Bangsa."

Beginilah M.Nur El Ibrahimy menulis tentang Hasan Tiro dan suratnya yang mengguncang dan diistilahkan oleh Ibrahimy "seperti halilintar."

    Pada permulaan bulan September 1954, genap  setahun sesudah pecahnya peristiwa Daud  Beureueh, seperti halilintar di tengah hari masyarakat Indonesia di Ibukota RI termasuk Kabinet Ali Sastroamidjojo dikejutkan oleh munculnya seorang putera Aceh bernama Hasan Muhammad Tiro di kota New York, Amerika Serikat.

    Meskipun sudah sejak tahun 1950 Hasan Muhammad Tiro berdiam di New York, sebagai mahasiswa Fakultas Hukum pada Columbia University, dan sebagai seorang staf  Perwakilan Indonesia di New York, dia tidak pernah dikenal oleh masyarakat Indonesia  apalagi oleh masyarakat Internasional.  Ia bertempat tinggal di 454 Riverside Drive,  New York dan mempunyai kantor di jalan yang terbesar yaitu di 489 Fifth Avenue, New York 17. 

    Sejak bulan September 1954 dengan tiba-tiba nama Hasan Muhammad Tiro bukan saja dikenal oleh masyarakat Indonesia, akan tetapi dikenal juga oleh dunia internasional. Ia muncul sebagai "Duta Besar Republik Islam Indonesia" di Amerika dan di Perserikatan Bangsa-Bangsa, dengan sebuah surat terbuka kepada Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo.


Surat itu disiarkan oleh surat-surat kabar Amerika dan surat-surat kabar Indonesia yag terbit di Jakarta seperti Abadi, Indonesia Raya dan Keng Po.

Dalam surat itu Hasan Muhammad Tiro menuduh Pemerintah Ali Sastroamidjojo telah menyeret bangsa Indonesia ke dalam lembah keruntuhan ekonomi dan politik, perpecahan dan perang saudara, serta memaksa mereka bunuh-membunuh sesama saudara. Di samping itu pemerintah Ali Sastroamidjojo telah melakukan pula kejahatan-kejahatan yang dalam bahasa Inggris disebut genoside terhadap rakyat Aceh, dan hal itu bertentangan dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Dalam buku itu, Ibrahimy melampir utuh surat Hasan Tiro.

Hasan Tiro memulai suratnya dengan kata pembuka "dengan hormat." Lalu dilanjutkan,"sampai hari ini sudah lebih setahun lamanya Tuan memegang kendali pemerintahan atas tanah air dan bangsa kita. Dalam pada itu, alangkah sayangnya, kenyataan-kenyataan sudah membuktikan bahwa Tuan, bukan saja telah tidak mempergunakan kekuasaan yang telah diletakkan di tangan Tuan itu untuk membawa kemakmuran, ketertiban, keamanan, keadilan dan persatuan di kalangan bangsa Indonesia, tetapi sebaliknya Tuan telah dan sedang terus menyeret bangsa Indonesia ke lembah keruntuhan ekonomi dan politik, kemelaratan, perpecahan dan perang saudra. Belum pernah selama dunia terkembang, tidak pula di masa penjajahan, rakyat Indonesia dipaksa bunuhu membunuh antara sesama saudaranya secara begitu meluas sekali sebagaimana sekarang sedang Tuan paksakan di Aceh, di Jawa Barat, di Jawa Tengah, di Sulawesi Selatan, di Sulawesi Tengah dan Kalimantan."

Pada bagian lain Hasan Tiro menulis,"lebih rendah dari segala-galanya, Tuan sekarang sedang melakukan kejahatan politik yang sejahat-jahatnya yang bisa diperbuat dalam negara yang terdiri dari suku-suku bangsa, sebagai halnya Indonesia, yaitu mengadudombakan satu suku bangsa dengan suku bangsa yang lain, mengadudombakan suku bangsa Kristen dengan suku  bangsa Islam, dan sebagainya."

Dalam surat itu, Hasan Tiro mengajukan tiga tuntutan:

  1. Hentikan agresi terhadap rakyat Aceh, rakyat Jawa Barat, Jawa Tengah, rakyat Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan rakyat Kalimantan;
  2. Lepaskan semua tawanan-tawan politik dari Aceh, Sumatra Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawersi Selatan, Sulawesi Tengah, Kalimantan dan Maluku;
  3. Berunding dengan Teungku Muhammad Daud Beureueh, S.M.Kartosuwirjo, Abdul Kahar Muzakar dan Ibnu Hajar. Jika sampai pada tanggal 20 September 1954, anjuran-anjuran ke arah penghentian pertumpahan darah ini tidak mendapat perhatian Tuan, maka untuk menolong miliunan jiwa rakyat yang tidak berdosa yang akan menadi korban keganasan kekejaman agresi yang Tuan kobarkan, saya dan putra-putri Indonesia yang setia, akan mengambil tindakan -tindakan berikut:
  • Kami akan membuka dengan resmi perwakilan diplomatik bagi "Republik Islam Indonesia" di seluruh dunia, termasuk PBB, benua Amerika, Eropa, Asia dan seluruh negara-negara Islam.
  • Kami akan memajukan kepada General Assembly PBB yang akan datang skala kekejaman, pembunuhan, penganiayaan, dan lain-lain pelanggaran terhadap Human Rights yang telah dilakukan oleh regime Komunist Fasist Tuan terhadap rakyat Aceh. Biarlah forum Internasional mendengarkan perbuatan-perbuatan maha kejam yang pernah dilakukan di dunia sejak jamannya Hulagu dan Jengiz Khan. Kami akan meminta PBB mengirimkan komisi ke Aceh. Biar rakyat Aceh menjadi saksi.
  • Kami akan menuntut regime Tuan di muka PBB atas kejahatan genocide yang sedang Tuan lakukan terhadap suku bangsa Aceh
  • Kami akan membawa ke hadapan mata seluruh dunia Islam, kekejaman-kekejaman yang telah  dilakukan oleh regime Tuan terhadap para alim ulama di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Kalimantan.
  • Kami akan mengusahakan pengakuan dunia Internasional terhadap "Republik Islam Indonesia" yang sekarang de facto menguasai Aceh, sebagian Jawa Barat dan Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Tengah dan sebagian Kalimantan.
  • Kami akan mengusahakan pemboikotan diplomatik dan ekonomi internasional terhadap regime tuan dan penghentian bantuan teknik dan ekonomi dari PBB, Amerika Serikat dan Colombo Plan;
  • Kami akan mengusahakan bantuan moral dan material buat "Republik Islam Indonesia" dalam perjuangannya menghapus regime teror Tuan dari Indonesia.

    Dengan demikian, terserah kepada Tuanlah, apakah kita akan menyelesaikan pertikaian plitik ini secara antara kita atau sebaliknya. Tuan dapat memilih tetapi kami tidak!

    Apakah tindakan-tindakan yang saya ambil ini untuk kepentingan bangsa Indonesia atau tidak, bukanlah hak tuan untuk menentukannya. Allah Subhanahu wa Ta'ala dan 80 juta rakyat Indonesia lah yang akan menjadi Hakim, yang ke tengah-tengah mereka saya akan kembali di dunia, dan keribaan-Nya saya akan kembali di kemudian hari

    Hasan Muhammad Tiro.


Reaksi Pemerintah Indonesia.

Menanggapi surat Hasan Tiro, Kabinet Ali Sastroamidjojo murka. Paspor diplomatik Hasan Tiro dicabut. Akibatnya, sejak 27 September 1954 Hasan ditahan Departemen Imigrasi New York. Namun, Hasan Tiro kemudian dibebaskan setelah ada yang menjamin dan mendapat kewarnegaraan Amerika.
Hasan Tiro

Lantaran ultimatum hingga 20 September 1954 tidak ditanggapi pemerintah Indonesia, tulis Ibrahimy, Hasan Tiro pun menyerahkan kepada Sekjen Perserikatan-Bangsa-Bangsa dokumen tentang bukti-bukti atas tuduhannya terhadap Pemerintah Ali Sastroamidjojo.

Tindakan Hasan Tiro segera mendapat reaksi dari Delegasi Republik Indonesia untuk PBB dengan mengeluarkan sebuah pernyataan selain membantah tuduhan-tuduhan Hasan Muhammad Tiro, menyatakan pula bahwa Republik Islam Indonesia yang diwakilinya hanya merupakan suatu impian belaka. Kesimpulan daripada pernyataan delegasi Republik Indonesia untuk PBB itu adalah sebagai berikut:
  1. Bahwa apa yang dinamakan "Republik Islam Indonesia" itu sejak 1949 telah "menjalankan aksi-aksi subversif dan teror" terhadap Pemerintah Indonesia yang sah.
  2. Bahwa Partai Islam Masyumi telah menjatuhkan hukuman atas golongan Darul Islam seperti dikemukakan beberapa waktu lalu.
  3. Bahwa ujud sebenarnya gerakan Darul Islam itu adalah sukar ditentukan, karena sudah diinfiltrasi oleh anasir asing dan petualangan.
  4. Bahwa gerakan Darul Islam telah mendapatkan kekuatan baru di dalam pemberontakan di Aceh, tempat Hasan Muhammad pernah tinggal
  5. Tuduhan terhadap Republik Indonesia itu tidak beralasan dan fantastis serta didasarkan atas berita-berita pers yang tidak dibuktikan, yang merupakan desas-desus belaka. Bahwa tampaknya Hasan Muhammad mendapat sokongan dari golongan bukan Indonesia.
  6. Bahwa PBB akan menolak surat Hasan Muhammad, karena "Republik Islam Indonesia" tidak mempunya status di dalam organisasi PBB.
  7. Bahwa Pemerintah Indonesia mampu mengendalikan pemberontakan-pemberontakan di dalam wilayahnya dan berniat teguh untuk mempertahankan dan menjamin hak, termasuk juga hak-hak manusia, akan tetapi mengecualikan hak-hak internasional rakyatnya di dalam rangka Piagam PBB.
  8. Bahwa tiap campur tangan untuk membantu gerombolan Darul Islam akan ditolak dan pada hakekatnya akan merupakan perbuatan yang tidak bersahabat terhadap Republik Indonesia.
Dimulai pada September 1954, Hasan Tiro meneruskan perlawanannya. Sepucuk surat yang ditujukan kepada Sekretaris Kementerian Luar Negeri Australia pada 1967 menyebutkan Hasan Tiro sebagai pimpinan Komite Penentuan Nasib Sendiri Bagi Sumatera dan Sulawesi.

"Tindakan ini telah menyebabkan Hasan Muhammad Tiro ditahan pihak Imigrasi New York sejak 27 September 1954. Akan tetapi setelah membayar uang jaminan sebesar $ 500,00 Hasan Muhammad Tiro dibebaskan kembali," tulis M. Nur El Ibrahimy dalam bukunya Tgk M. Daud Beureueh, peranannya dalam pergolakan di Aceh.

Koran Amerika Serikat, The New York Times , pada 2 Oktober 1954, menurunkan sebuah laporan tentang Hasan Tiro. Dimuat pada halaman 3 dari total 40 halaman koran, berita itu berjudul "TOLD TO LEAVE COUNTRY: Ex-Indonesia Official Faces Deporting After Nov. 1

Isinya, tentang ultimatum agar Hasan Tiro segera meninggalkan Amerika Serikat, atau dipulangkan secara paksa. Kasus ini adalah buntut dari perseteruan Hasan Tiro dengan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Pada 1 Maret 1954, Hasan Tiro yang saat itu berusia 24 tahun menulis surat kepada Ali Sastroamidjojo yang juga dipublikasikan New York Times.

Dalam surat itu, Hasan Tiro menulis,"sudah setahun sejak Anda berada di kekuasaan untuk memimpin bangsa kita,Pak. Lalu  mengapa Anda tidak menggunakan kekuatan di tangan Anda untuk membawa bangsa kita ke arah kemakmuran, perdamaian, keadilan, dan persatuan. Tetapi sebaliknya, menyedihkan, anda telah menyeret kita melalui ekonomi dan politik kekacauan, ekonomi, dan perang sipil."

Di bawah ini adalah berita lengkap New York Times tentang ultimatum itu yang dipublikasikan pada 2 Oktober 1954:

   Hasan Mohammed Tiro, seorang bekas staf Pemerintah Indonesia di sini, diberi waktu hingga 1 November kemarin untuk meninggalkan Amerika Serikat secara suka rela atau menghadapi proses deportasi (dipulangkan paksa). Sejak 15 Agustus, ketika hubungannya memburuk dengan pemerintahnya, mandatnya sebagai orang Indonesia telah digugurkan.

Mr. Tiro telah menuduh Indonesia sebagai diktator komunis dan pemerintahnya bertalian dengan agen komunis yang beroperasi di Amerika Serikat. Dia telah dipanggil pada Sabtu lalu untuk bersaksi pada 5 Oktober sebelum The Jenner Internal Security Committee, tetapi dua hari kemudian dia ditangkap untuk dideportasi.

Mr Tiro yang memimpin bagian riset ekonomi pada Kantor Informasi Indonesia (Indonesian Information Office) sebelum membelot, menghadiri sidang tertutup kemarin di Ellis Island bersama William F. Fliegelman, petugas penyelidikan khusus dari Departemen Imigrasi.

Akibat ultimatumnya tersebut Hasan Tiro harus mendekam di penjara di Pulau Ellis, Amerika Serikat. Pulau Ellis adalah pulau harapan, sekaligus pulau bertabur airmata bagi para imigran gelap. Sejak 1892 hingga 1954, pulau ini berperan sebagai stasiun inspeksi imigran tersibuk di Amerika. Pulau yang sebagian besar termasuk wilayah New Jersey ini menjadi bagian dari Statue of Liberti National Monument pada 1965. Sejak 1990 pemerintah Amerika mendirikan museum imigrasi di pulau seluas 111 hektare ini.

Orang-orang bisa menuju ke sini melalui terminal fery di Taman Patung Liberty. Sebenarnya, ada jembatan yang dibangun menghubungkan Patung Liberty dan Pulau Ellis. Namun, jalan itu tidak dibuka untuk umum.

Wikipedia.org mencatat, sejak tahun 1952 hanya sekitar 30 orang yang ditahan di sana. Hasan Tiro termasuk salah satu orang terakhir yang mendekam di sana. Lantaran paspor diplomatiknya nya telah ditarik oleh Pemerintah Indonesia, Hasan Tiro pun dianggap sebagai imigran gelap. Wikipedia tidak menyebutkan kapan Hasan Tiro dilepaskan. Hanya ada keterangan "Hasan Tiro ditahan di sana selama beberapa bulan."

Lepas dari tahanan, Hasan Tiro kemudian mendapat status sebagai warga negara Amerika. Ia memutuskan meninggalkan negara itu tahun 1976 dan pulang ke Aceh untuk mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka. Ketika kembali keluar dari Aceh pada 1979, Hasan Tiro mendapat suaka politik di Swedia.

Ketika usianya kian senja, pada 15 Agustus 2005, saat usianya menginjak 80 tahun, Hasan Tiro merestui perdamaian dengan Pemerintah Indonesia. Aceh pun mendapat status otonomi khusus dan kucuran dana otonomi khusus hingga 2025. Sayangnya, kesepakatan bagi hasil Migas 70 persen untuk Aceh dan 30 persen untuk Pemerintah Indonesia hingga kini belum terealisasi.

Lelaki teguh hati kelahiran 25 September 1925 itu meninggal dunia pada usia 84. Malaikat maut menjemputnya di rumah sakit Zainoel Abidin, Banda Aceh, pada 3 Juni 2010. Jasadnya dimakamkan berdampingan bersama kakek buyutnya Teungku Chik di Tiro, panglima perang sabil yang menentang penjajahan Belanda. Makam mereka berada di Meureu, Indrapuri, sekitar 30 kilometer di timur Banda Aceh.[]

Sumber:
- Peranan Daud Beureueh Dalam Pergolakan Aceh
- Atjehpost.co

No comments:

Post a Comment