Sunday, October 12, 2014

Sejarah Aceh 26 September; Dari Medali Kehormatan Hingga Gugurnya Pahlawan

@atjehgalery/facebook
ACEH memiliki sejarah panjang yang hampir setiap harinya terjadi peristiwa-peristiwa penting terutama di masa-masa peperangan. Setiap kejadian tersebut akhirnya menjadi tolak ukur bagi kemakmuran dan kemajuan Aceh di masa depan.

Berdasarkan penelusuran ATJEHPOST.co, ada beberapa peristiwa yang terjadi bertepatan pada 26 September sejak era kerajaan hingga saat ini. Dari sekian banyak rentetan peristiwa tersebut, ada tiga peristiwa sejarah yang berhasil dirangkum redaksi seperti di bawah ini: 1. Van der Heijden menjadi Mayor Jenderal pada 26 September 1878

Van der Heijden menjadi Mayor Jenderal pada 26 September 1878

Van der Heijden merupakan Gubernur Militer Belanda di Aceh yang bertugas menumpas perlawanan Kerajaan Aceh Darussalam. Salah satu catatan sejarah tulisan H Mohammad Said berjudul Aceh Sepanjang Abad menuliskan Belanda memberikan kehormatan kepada van der Heijden dengan menaikkan pangkat menjadi Mayor Jenderal, pada 26 September 1878.


Hadiah ini diberikan Belanda karena peranan van der Heijden di Aceh telah membuat Habib Abdurrahman Al-Zahir, salah satu tokoh yang berpengaruh di Aceh menyerah. Saat itu, mantan Duta Besar Kerajaan Aceh Darussalam untuk Turki ini berhasil dibujuk meninggalkan perang Aceh dan pergi ke Tanah Suci di Mekkah. Habib juga diberikan uang pensiun sebesar 10 ribu dollar setahun dan tinggal di villa yang disewa Belanda di Mekkah.

Jumlah uang tersebut sebanding dengan pengaruh Habib dalam perang Aceh melawan penjajahan Belanda masa itu. Berkat kepiawaian Heijden, sosok yang dikagumi orang-orang Aceh tersebut akhirnya luluh dan meninggalkan perang di belakangnya.

Meninggalnya Pang Nanggroe pada 26 September 1910

Pang Nanggroe adalah salah satu pejuang Aceh yang dikenal gagah berani di wilayah Uleebalang Keureutoe, Aceh Utara. Pang Nanggroe bukanlah pria tampan, ia gemuk dan pendek serta bukan dari kalangan bangsawan. Namun ia dikenal sebagai pejuang yang tangkas dan energik, yang dalam tubuhnya mengalir darah yang mutlak pembenci kafir.

Ia mempunyai banyak pengikut, terutama setelah menikah dengan janda Chik Tunong, Cut Meuthia. Mereka bernafsu sekali berperang, juga demi menuntut hak keuleebalangan Keureutoe. Meuthia adalah pewarisnya yang syah.

Aksi gerilya Pang Nanggroe bersama Cut Meutia mendapat perhatian Belanda yang ingin Aceh takluk sepenuhnya di bawah kolonialis. Bivak Comandan Lhoksukon, Kapten LS Pisscher kemudian memerintahkan bawahannya Sersan van Sloten untuk mencari Pang Nanggroe dan pasukannya di rawa Paya Tjitjem pada 24 September 1910.

Jejak Pang Nanggroe akhirnya bisa dilacak van Sloten pada 26 September 1910. Tepat tengah hari, mereka telah berhasil mengepung Pang Nanggroe yang tidak sadar akan bahaya di Rawa Paya Tjitjem.

Belanda lantas melepas tembakan dari arah dekat tepat di dada Pang Nanggroe. Sambil berlumuran darah ia memanggil Teuku Raja Sabi, putera Cik Tunong, dan berkata, "Ambillah rencong dan ikat kepalaku. Larilah lekas kepada ibumu. Sampaikanlah salamku dan teruskanlah perjuangan."

Tembakan dari jarak dekat ini menewaskan Pang Nanggroe. Jasadnya kemudian diketahui dimakamkan di samping Masjid Lhoksukon, Aceh Utara.

Pembakaran Pabrik Damar terbesar di Asia Tenggara pada 26 September 1955

Setelah Indonesia merdeka, Aceh masih saja bergolak. Peperangan saudara antar sesama Aceh hingga melawan penyatuan di bawah Republik Indonesia masih terus terjadi akibat ketidakadilan Jakarta. Salah satunya adalah gerakan Darul Islam di bawah pimpinan Tengku Muhammad Daud Beureueh.

Sebagai Gubernur Militer Aceh, Daud Beureueh memiliki banyak pengikut hingga seluruh Aceh termasuk di dataran tinggi Gayo. Merujuk catatan AH Gani, dalam buku berjudul Rahasia Pemberontakan Atjeh dan Kegagalan Politik Mr SM Amin diketahui bahwa pasukan Darul Islam pernah menyabotase salah satu pabrik damar terbesar di Asia Tenggara.

Pabrik ini terletak di Takengon yang didirikan oleh Belanda dan masih beroperasi setelah Indonesia merdeka.

Gempuran terhadap pabrik damar ini menyebabkan empat orang tewas menjadi abu dan kerugian sebesar Rp70 juta. Padahal dalam kesehariannya pabrik ini mampu menghasilkan rata-rata 350 ton damar dan 90 ton terpentin setiap bulannya.[]

No comments:

Post a Comment