Tuesday, August 5, 2014

Tipu Aceh, Tipu Meulaboh

TEUKU Umar Johan Pahlawan dikenal sebagai pejuang Aceh yang memiliki kemampuan menipu Belanda. Strategi yang ditetapkan Umar, mampu membuat Belanda terkecoh hingga akhirnya bisa merampas alat-alat perang untuk membantu pejuang Kerajaan Aceh Darussalam.

Siapa menyangka, selain Teuku Umar, praktik 'tipu-tipu' tersebut juga dilakoni oleh beberapa pejuang lainnya dari pesisir Barat Aceh. Seperti halnya strategi yang dilakoni Teuku Kejuruan Muda dan bawahannya saat menghadapi agresi Belanda.

Dikutip dari catatan H. Mohammad Said dalam bukunya berjudul Aceh Sepanjang Abad jilid kedua, saat itu Teuku Kejuruan Muda tidak mau bertekuk lutut di bawah bendera Belanda. Padahal, Teuku Tjhi' Meulaboh, ayah Teuku Kejuruan Muda telah menandatangani pengakuannya kepada Belanda.

Sepenggal Sejarah Perang di Pesisir Ulee Lheue

Bivak Belanda di Peunayong pada 1874
INI adalah cerita pahlawan Aceh yang namanya tidak seharum Teuku Umar, Panglima Polem, Cut Nyak Meutia, atau Cut Nyak Dhien. Namun perjuangannya di pesisir Aceh, tepatnya di Banda Aceh, cukup merepotkan Belanda. Namanya Teuku Hasan. Dia merupakan putra Teuku Paya, pejuang Aceh lainnya yang mengambil bagian memimpin pasukan di Pidie.

Teuku Hasan yang mendapat restu ayahnya mengambil bagian di Banda Aceh. Dia dipercaya mampu melakukan sabotase terhadap tangsi atau bivak Belanda di Ulee Lheue.

Kisah kepahlawan Teuku Hasan dicatat secara ringkas oleh sastrawan Aceh, Do Karim alias Abdul Karim. Perjuangan Teuku Hasan ini kemudian disalin ulang oleh H. Mohammad Said dalam bukunya Aceh Sepanjang Abad Jilid II.

Teuku Hasan membuat pertahanan di Lambada. Dia memimpin pasukan Aceh untuk berhadapan dengan van der Heijden yang telah menguasai Darud Dunia.

Blower, Berawal Dari Tanah Yahudi

Kerkhoff dengan latar belakang Museum Tsunami.
@Heri Juanda
PENGARUH budaya asing di Aceh sejak sebelum perang melawan Belanda masih kental hingga kini seperti penamaan nama-nama gampong. Sebut saja salah satunya gampong Sukaramai di Banda Aceh.

Secara umum, warga asli Banda Aceh akan kebingungan jika mendengar nama gampong Sukaramai. Padahal gampong ini terletak tepat di belakang Museum Tsunami Aceh dan komplek perkuburan Kherkof Belanda. Gampong ini masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Baiturrahman, Banda Aceh. Gampong Sukaramai berbatasan dengan gampong Punge Blang Cut, Punge Jurong, Seutui, serta Neusu.

Bagi penduduk asli Banda Aceh atau Aceh Besar, gampong ini kerap disebut dengan Blower meski di catatan administrasi pemerintahannya sering menabalkan Desa Sukaramai. Penyebutan Blower tidak terlepas dari sejarah sebelum Belanda menyerang Aceh.

Cara Orang Aceh Tempo Dulu Menamakan Sebuah Gampong

Alue Naga. @Heri Juanda
PENAMAAN suatu daerah di Aceh identik dengan mythologi, klenik serta berdasarkan topografi wilayah sebuah gampong. Seperti misalnya gampong Alue Naga di Kecamatan Syah Kuala Kota Banda Aceh dan Tapak Tuan di Aceh Selatan.

Jika diselisik berdasarkan pengertian bahasa Indonesia, Alue merupakan penyebutan orang Aceh untuk parit, kuala atau muara. Sementara Naga adalah nama hewan mythologi yang menyerupai ular dan memiliki tanduk. Hewan ini biasanya ada dalam cerita-cerita dongeng negeri China dan Eropa. Pertanyaannya apakah di muara atau parit tersebut dulunya tempat bersemayam seekor naga?

Menurut keterangan Geucik Gampong Alue Naga, Sayuti AR, nama Alue Naga diambil dari cerita legenda yang berkembang di gampong tersebut. Kabupaten Aceh Selatan dan Gampong Alue Naga Di Banda Aceh memiliki kesamaan legenda, begitu juga dengan Kabupaten Nagan Raya.

Sejarah Unik Nama Gampong di Aceh

Ilustrasi Taman Sari
MASYARAKAT Aceh memiliki budaya penyebutan nama daerah sesuai dengan kejadian atau peristiwa-peristiwa besar dan ketokohan seseorang. Nama daerah tersebut kemudian ditabalkan untuk gampong yang baru saja didiami dan tidak jarang masih dipakai hingga sekarang.

Nama-nama daerah atau gampong di Aceh tersebut terkadang terdengar unik, baik bagi pendatang maupun warga setempat. Lantas seperti apa nama-nama gampong tersebut?

Menyibak Sejarah Kota Tua Peunayong

Atraksi Barongsai di Peunayong. @Heri Juanda
PEUNAYONG ingar-bingar. Gendang bertalu-talu meliuk di antara riuh suara keramaian pasar yang ditingkahi derai simbal. Ada hiasan berwujud singa berwarna merah jambu berjingkrak-jingkrak, meloncat ke sana kemari mengikuti ritme irama gendang.
Hari itu, Jumat, 31 Januari 2014, memang tepat perayaan Imlek 2565. Ini hari yang keramat bagi etnis Tionghoa sehingga mereka merayakannya. Perayaan berpusat di belakang Vihara Budha Sakyamuni, Jalan Aneuk Galong Peunayong. Ke sinilah saya menyimak semburat kegembiraan di wajah-wajah berkulit putih yang bermata sipit itu.

Mereka gembira menikmati “singa” merah jambu yang sedang menari-nari di halaman belakang vihara. Itulah budaya barongsai —kesenian khas dari daratan China. Kesenian ini kerap dipertunjukkan saat hari-hari besar etnis China seperti perayaan Imlek 2565 Tahun Kuda, Jumat penutup Januari lalu.

Thursday, June 12, 2014

Mencari Jejak Kitab Tertua di Aceh

KITAB Idharul Haq Fi Mamlakatil Peureulak, karangan Abu Ishak Al-Makarani Sulaiman Al-Pasy disebut-sebut sebagai kitab tertua yang pernah diterbitkan di Aceh. Di dalam kitab tersebut ada informasi yang menyebutkan bahwa Kerajaan Islam tertua di nusantara berada di Perlak. Namun banyak sejarawan dan kolektor manuskrip Aceh yang meragukan fakta adanya kitab tersebut. Kenapa?

"Kitab ini berasal dari masa Kerajaan Perlak sebelum Kerajaan Pasee berkembang. Dia terbilang sebagai salah satu kitab tertua di Aceh yang isinya membahas tentang struktur dan tata negara di Peureulak. Tapi bukti keberadaannya hingga sekarang belum ditemukan," ujar Kolektor Manuskrip Aceh, Tarmizi A. Hamid saat dijumpai oleh ATJEHPOSTcom, Selasa malam, 21 Mei 2014.

Kisah Otonomi Pasai dan Majapahit

PRAJURIT Hindu-Majapahit mengepung Samudera Pasai usai mendapat kabar putri yang hendak dinikahkan dengan Tun Abdul Jalil bunuh diri di Laut Jambo Aye. Penyerangan ini mendapatkan perlawanan dari pasukan Sultan Ahmad Permadala Permala. Pertempuran berlangsung selama tiga hari tiga malam yang berakhir dengan kekalahan Pasai.

Sultan Ahmad melarikan diri ke suatu tempat yang jarak dari Pasai menempuh 15 hari perjalanan. Demikian Hikayat Raja-Raja Pasai mengisahkan penyerangan Majapahit terhadap kerajaan Islam di Aceh. Peristiwa ini juga tercatat dalam Kitab Negarakertagama, naskah kuno dari era Majapahit. Disebutkan, peristiwa itu terjadi tak lama setelah Gajah Mada diangkat sebagai Perdana Menteri Majapahit antara 1331 dan 1364.

Melacak Istana Pasai

“Ketika kami sampai di bandar itu, datanglah penduduk yang berada dalam perahu kecil, membawa buah-buahan dan ikan kepada kami di kapal. Bandar itu satu kota besar di pantai laut, dinamakan sarha. Di situ banyak rumah. Antara pantai dan kota itu jaraknya 4 mil.

Setelah itu wakil laksamana yang bernama Bahruz menulis surat kepada sultan memberitahukan kedatangan saya. Sultan menyuruh Amir Daulasah dan Kadi Syarif, Amir Sayid Shirazi, Tajuddin Isfahani dan para ulama lain menjemput saya. Mereka datang dengan membawa beberapa kuda dan kami pun menuju istana, yaitu Kota Sumutrah, satu kota besar yang indah berpagar kayu. Demikian pula rumah-rumahnya berpagar kayu.

Mencari Jejak Aceh di Brunei Darussalam

KESULTANAN Brunei Darussalam beberapa waktu lalu mengumumkan menjadi negara Asia Tenggara pertama yang bakal menerapkan hukum Islam di semua lini. Negara didominasi muslim melayu ini bakal meng-Islamkan pengadilannya. Mendenda dan menghukum penjara atas kejahatan-kejahatan seperti hamil di luar nikah, tidak salat Jumat, dan menyebarkan agama lain untuk fase awal.

Jika merujuk sejarah, berdasarkan catatan Tiongkok dan orang Arab menunjukkan kerajaan Brunei Darussalam awalnya berada di muara Sungai Brunei pada awal abad ke-7 atau ke-8. Kerajaan itu memiliki wilayah yang cukup luas meliputi Sabah, Brunei dan Sarawak yang berpusat di Brunei.

Perjuangan Teungku Tapa Bak Cerita Malem Diwa

“Dia merupakan tahanan di Aceh yang terpandang seperti wali dan seperti anak raja (pangeran).” Demikian judul berita seseorang yang melakap namanya sebagai Pembantu Betawi, KMPB (S. Ta’iat) dalam surat kabar Pewarta Deli pada 21 Nopember 1914 silam. 

Pernyataan tersebut merujuk kepada sosok pejuang Aceh yang di kemudian hari dijuluki Teungku Tapa. Masih bersandar pada tulisan tersebut, Pembantu Betawi memulai karangannya dengan mengulas secara panjang lebar kisah kematian Teungku Tapa di Keureuto (tertulis Kerti). Saat dirinya gugur, sehelai bendera beraksara Arab menutup jasadnya. Dia memakai pakaian sutera layaknya seorang hulubalang yang gagah perkasa dan mati di medan pertempuran.

Wednesday, June 4, 2014

Aksi Pasukan Aceh di Teluk Tambora

JENDERAL Karel van der Heijden diangkat menjadi Gubernur sekaligus Panglima di Banda Aceh menggantikan Jenderal A. J. R. Diemont yang sakit, Juni 1877. Heijden merupakan blasteran Belanda yang lahir di Betawi pada 1826. Karirnya di Indonesia dimulai dari pangkat sersan.

Pergantian pucuk pimpinan perang di Banda Aceh turut mengubah kebijakan-kebijakan Belanda di daerah ini. Mereka yang semula fokus di ibu kota kini mulai melirik daerah-daerah pesisir timur yang menjadi sekutu Kerajaan Aceh. Salah satunya adalah Samalanga.

"Zeker is het dat General van der Heijden zijn sukses ook hieraan tedanken had, dat bij ieder kampong die zich onwilling toonde, zonder pardon met den grond gelijk maakte. (Jelas bahwa sukses van der Heijden ialah dari caranya menghancurkan kampung-kampung yang kelihatan tidak mau tunduk, hingga rata dengan tanah," tulis Dr. J. Jakobs dalam bukunya tentang van der Heijden.

Pocut Meuligoe; Srikandi Aceh dari Samalanga

"HAAR haat tegen de Nederlanders was zoo groot, dat zij teneinde de weerbare mannen tot den krijgsdienst te verplichten, elke veldarbeid of straffe, van de gruwzaamste en onmenschelijke wreedheden, verbood. Voortdurend werden onze vijanden op Groot Atjeh door haar met geld, oorlogmaterieel en krijgers bijgestaan, waartoe ruimschoots in staat was.

In 1876 beproefde onze Regeering langs minnelijken weg Samalanga tot de erkenning harer opperheerschappij te brengen, doch berantwoordde die voorstellen door op onze oorlogschepen te vuren, en vergreep zich dermate, dat het in de nabijheid onzer vlag de brutalste zeerooverij pleegde".

"Kebenciannya terhadap Belanda sedemikian besar, terlihat dari perintahnya bahwa semua rakyat yang sudah sanggup berperang harus masuk berjuang, bahkan untuk keperluan itu sawah ladang harus ditinggalkan, dan kalau tidak bakal dihukum berat. Demikian pula ia (Pocut Mueligo) dengan terus mengirim bantuan dana, alat perang dan sukarelawan ke Aceh Besar demi membantu perjuangan Aceh di sana.

Wednesday, April 16, 2014

Jawaban Sultan Mahmud Syah Terkait Ultimatum Belanda

WAKIL Presiden Dewan Hindia Belanda, F.N. Nieuwenhuijzen sebagai Komisaris Pemerintah yang ditugaskan menjumpai Sultan Aceh merasa kecewa dengan tanggapan Sultan Mahmud Syah. Dalam surat menyurat mereka sebelum perang berkecamuk, keduanya tetap mempertahankan kedaulatan negara masing-masing.

Dikutip dari catatan H. Mohammad Said dalam bukunya Aceh Sepanjang Abad jilid pertama, Nieuwenhuijzen merasa kehilangan pegangan dikarenakan hasil pembicaraan melalui surat menyurat tersebut sama sekali tidak berhasil menakut-nakuti Aceh. Nieuwenhuijzen kemudian menyimpulkan, Aceh tidak akan menyerah begitu saja sebelum terjadi pertumpahan darah.

Mengapa Belanda Getol Menyerang Aceh?

ACEH menjadi titik kelemahan Belanda sepanjang menyangkut Sumatera. Selama Kerajaan Aceh masih berdaulat, maka selama itu pula bayang-bayang campur tangan asing mengancam posisi Belanda di nusantara.

"Alasan sebenarnya Belanda ke Aceh adalah ingin menegakkan kekuasaannya di seluruh wilayah nusantara (pax Netherlanica) dan Aceh merupakan wilayah terakhir yang belum dikuasai," ujar Ketua Jurusan Sejarah FKIP Unsyiah, Drs. Mawardi Umar, M.Hum, MA, seperti dilansir ATJEHPOSTcom, Rabu 26 Maret 2014, menyikapi ikhwal serangan Belanda terhadap Kerajaan Aceh.

Menurutnya, tidak ada alasan lain yang menyebabkan kedua negara ini berperang selain ambisi Belanda untuk menaklukkan Sumatera sepenuhnya.

Rangkaian Surat Aceh dan Belanda Sebelum Perang

HASRAT Belanda menguasai Sumatera secara penuh dan menjadikan Aceh sebagai daerah taklukkan sama sekali tidak terbendung lagi. Mereka mengadakan sidang Dewan Hindia Belanda sesuai dengan instruksi kawat dari Menteri Jajahan van de Putte, Loudon pada 21 Februari 1873.

Hasil sidang memutuskan Belanda menyerang Aceh. Loudon kemudian mengirimkan telegram kepada Netherland yang bunyinya:

“Telah bersidang Dewan Hindia Belanda di bawah pimpinan saya sendiri. Turut hadir Jenderal dan Laksamana, semuanya menyepakati usul saya untuk mengirim secepat mungkin komisaris dengan empat batalyon serdadu ke Aceh dengan ancaman supaya menerima kedaulatan kita atau perang. Kita harus mem-fait-accompli kan Amerika. Wakil Presiden Dewan Hindia Belanda adalah orangnya dan meminta supaya ketentuan Menteri tanggal 24 Agustus 1859 dihapuskan. Diminta supaya mengirim lagi dua buah kapal di samping yang sudah hendak dikirim menurut telegram tuan, Kapal perang “Koopman” masih belum bisa dipakai. Keadaan marine menyedihkan.”

Pembantaian Kuta Reh

PEPERANGAN Belanda di Aceh berlangsung dalam rentang waktu yang lama. Strategi peperangan hit and run yang dilakukan pasukan Aceh mengajarkan Belanda untuk membentuk unit pasukan khusus anti gerilya. Namanya Marchaussee.

Pasukan ini bertugas menyisir seluruh hutan rimba raya yang ada di Aceh. Mereka terdiri dari orang Ambon, Minahasa dan dipimpin oleh sersan Belanda. Pemilihan Bumiputera dalam unit ini sengaja dilakukan untuk melacak jejak pasukan Aceh di dalam hutan. Pasukan ini dikenal bengis dan tidak menghormati hukum perang. Bahkan, pemimpin pasukan Aceh yang dikenal lihai dalam strategi peperangan sekelas Teuku Umar berhasil dijebak oleh satuan khusus bentukan Jenderal Van Heutz ini.

Saat Kemala Menjadi Ibukota

KONDISI Sultan Mahmud Syah kian memburuk akibat wabah kolera yang dibawa Belanda ke daratan Aceh. Dia mangkat dalam kekuasaan singkatnya sebagai raja. Pucuk pimpinan berganti pada Tuanku Mohammad Dawot Syah yang masih berusia tujuh tahun.

Kedudukan Tuanku Mohammad Dawot Syah sebagai Sultan Aceh dikukuhkan di Masjid Indrapuri, dan didampingi oleh Dewan Pemangku yang diketuai oleh Tuanku Hasyim. Semenjak itu, Sultan Aceh memerintahkan tiga tokoh Aceh bertanggung jawab menjalankan roda pemerintahan. Mereka adalah Teungku Syekh Saman Di Tiro yang menjadi menteri perang, Teuku Umar sebagai Laksamana (wazirulbahri), dan Panglima Nyak Makam sebagai panglima urusan Aceh bagian timur.

Perintah Perang Aceh

PERNYATAAN Perang Belanda terhadap Aceh pada 1873 disikapi secara serius oleh Kerajaan Aceh Darussalam. Setelah menerima laporan secara terperinci dari Balai Siasat Kerajaan (Kepala Intelijen Negara), Sultan Alaidin Mahmud Syah langsung menggelar rapat akbar bersama seluruh pejabat istana dan pemuka negeri Aceh. Sultan juga turut mengambil sumpah setia seluruh penduduk negeri menghadapi agresi Belanda tersebut.

Merujuk catatan Ali Hasjmy dalam bukunya Peranan Islam Dalam Perang Aceh dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, menuliskan secara panjang lebar persiapan-persiapan yang dilakukan Kerajaan Aceh menghadapi serangan Belanda. Menurut Hasjmy, menghadapi ancaman dari luar negeri tersebut Sultan Aceh turut membentuk sebuah pemerintahan yang baru, yaitu Kabinet Perang. Inti pemerintahan baru ini terdiri dari tiga orang, sementara posisi sultan tetap sebagai kepala negara.

Thursday, February 27, 2014

Pertempuran Masjid Raya

Masjid Raya Baiturrahman 1890 | Foto: KITLV
Banda Aceh, Kamis, 26 Desember 1873. Sedikitya 12 ribu marinir Belanda berhasil merebut Peunayong. Harga yang harus dibayar Belanda yaitu sekaratnya Kolonel GBT Wiggers van Kerchem, pemimpin tertinggi kedua pasukan pendaratan Belanda, terkena sasaran peluru pasukan Aceh. Perang terus berkecamuk. Desingan peluru hilir mudik disahut dentuman meriam dari Peukan Aceh dan Masjid Raya. Belanda panik.

Beberapa Bumi Putera dari Jawa dikerahkan untuk menggali parit-parit perlindungan sepanjang 560 meter, di sekitar Peunayong. Sabtu, 27 Desember 1873, kubu pertahanan tersebut berhasil dibuat sebagai bunker perlindungan. Secepatnya Belanda menurunkan barisan artilerinya untuk membalas tembakan meriam pasukan Kerajaan Aceh. Di sisi selatan bivak Peunayong dan sebelah kanan Krueng Aceh, budak-budak Belanda masih bekerja menumpuk karung goni sebagai kubu pertahanan.