Tuesday, August 5, 2014

Menyibak Sejarah Kota Tua Peunayong

Atraksi Barongsai di Peunayong. @Heri Juanda
PEUNAYONG ingar-bingar. Gendang bertalu-talu meliuk di antara riuh suara keramaian pasar yang ditingkahi derai simbal. Ada hiasan berwujud singa berwarna merah jambu berjingkrak-jingkrak, meloncat ke sana kemari mengikuti ritme irama gendang.
Hari itu, Jumat, 31 Januari 2014, memang tepat perayaan Imlek 2565. Ini hari yang keramat bagi etnis Tionghoa sehingga mereka merayakannya. Perayaan berpusat di belakang Vihara Budha Sakyamuni, Jalan Aneuk Galong Peunayong. Ke sinilah saya menyimak semburat kegembiraan di wajah-wajah berkulit putih yang bermata sipit itu.

Mereka gembira menikmati “singa” merah jambu yang sedang menari-nari di halaman belakang vihara. Itulah budaya barongsai —kesenian khas dari daratan China. Kesenian ini kerap dipertunjukkan saat hari-hari besar etnis China seperti perayaan Imlek 2565 Tahun Kuda, Jumat penutup Januari lalu.

Ada tiga barongsai menunjukkan atraksinya hari itu, yaitu barongsai berwarna merah jambu, lantas biru, dan terakhir kuning emas. Ketiganya memukau penonton dadakan yang tertarik melihat keramaian di sisi Jalan Pocut Baren Peunayong kala itu.

Dalam atraksi itu terlihat aksi barongsai kuning melompati empat kursi sepanjang 3 meter dan disusun bertingkat setinggi satu lelaki dewasa. Selain itu ada dua meja hitam turut menjadi pelengkap atraksi barongsai tersebut.

Barongsai yang di dalamnya terdapat dua remaja Tionghoa ini bergerak lincah dari satu susunan kursi ke kursi lainnya. Sesekali memberi hormat pada penonton, kemudian memakan sawi yang diletakkan di dekat meja atraksi sebagai hadiah untuk dimakan.

Habisin,” teriak salah satu pelatih sebagai instruksi. Barongsai menjawab dengan meliuk-liuk di atas meja sembari mengedipkan matanya ke arah perempuan China.

Barongsai kuning itu kemudian ditugaskan membuka poster yang digantung di ujung tiang bambu setinggi empat lelaki dewasa. Barongsai berdiri dengan dua kakinya. Kepalanya menggapai ujung tali yang menggantung di tiang bambu. Dapat. Barongsai kemudian menariknya dan poster yang tergulung itu terbuka. “Selamat Tahun Baru Imlek 2565,” demikian  isi poster tersebut.

Aksi barongsai kuning ini mendapat tepuk tangan dari penonton yang sebagiannya merupakan warga pribumi dan sisanya adalah etnis Tionghoa. Semua sepakat untuk tertawa lebar dan bahkan bersorak terhadap keberhasilan barongsai kuning tersebut. Atraksi kemudian dilanjutkan oleh barongsai biru yang turut memperlihatkan kelincahannya di panggung kecil, pagi Jumat itu.

Setelah semuanya tampil, atraksi ditutup dengan pemberian angpau oleh penonton kepada tim barongsai. Barong-barong yang sejak tadi berjingkrak-jingkrak mendatangi penonton yang memegang amplop merah. Beberapa barongsai juga ikut melahap sejumlah angpau yang tergantung di pintu-pintu vihara dan rumah warga Tionghoa, di sekitar lokasi pertunjukkan.

+++

Kesenian barongsai pertama kali populer di zaman dinasti Selatan-Utara (Nan Bei) sekitar tahun 420 hingga 589 Masehi. Saat itu serangan pasukan gajah Raja Fan Yang dari negeri Lin Yi membuat kewalahan pasukan Raja Song Wen Di.

Akhirnya, seorang panglima perang bernama Zhong Que memiliki gagasan untuk membuat tiruan boneka singa yang dipergunakan untuk menghalau pasukan gajah Raja Fan. Rencana tersebut berhasil dan membuat boneka tiruan singa barongsai melegenda di negeri China hingga sekarang.

Tiruan singa terdiri dari dua jenis utama, yakni Singa Utara dan Singa Selatan. Singa Utara memiliki surai ikal dan berkaki empat. Penampilan Singa Utara kelihatan lebih natural dan mirip singa dibandingkan Singa Selatan yang memiliki sisik serta jumlah kaki yang bervariasi antara dua atau empat. Kepala Singa Selatan dilengkapi dengan tanduk sehingga lebih mirip dengan binatang ‘Kilin’ atau serigala.

Gerakan Singa Utara dan Singa Selatan juga berbeda. Bila Singa Selatan terkenal dengan gerakan kepalanya yang keras dan melonjak-lonjak seiring dengan tabuhan gong dan tambur, gerakan Singa Utara cenderung lebih lincah dan penuh dinamika karena memiliki empat kaki.

Satu gerakan utama dari tarian Barongsai adalah gerakan singa memakan amplop berisi uang yang disebut dengan istilah ‘lay see’. Di atas amplop tersebut biasanya ditempeli sayuran selada air yang melambangkan hadiah bagi sang singa. Proses memakan ‘lay see’ ini berlangsung sekitar separuh bagian dari seluruh tarian Singa.

Kesenian barongsai diperkirakan masuk ke Indonesia pada abad ke-17 ketika terjadi migrasi besar dari China Selatan.

Barongsai di Indonesia mengalami masa maraknya ketika zaman masih adanya perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan. Setiap perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan di berbagai daerah di Indonesia hampir dipastikan memiliki sebuah perkumpulan barongsai.

Perkembangan barongsai sempat berhenti pada 1965 setelah meletusnya Gerakan 30 S/PKI. Situasi politik saat itu membuat segala macam bentuk kebudayaan Tionghoa di Indonesia dibungkam. Barongsai dimusnahkan dan tidak boleh dimainkan lagi. Perubahan situasi politik yang terjadi di Indonesia setelah 1998 membangkitkan kembali kesenian barongsai dan kebudayaan Tionghoa lainnya. Banyak perkumpulan barongsai kembali bermunculan.

Di Aceh penampilan barongsai baru dilakukan beberapa tahun terakhir dan mulai marak sekitar 2011. Atraksi kesenian tradisional yang dibungkus dengan keahlian wushu tersebut turut memikat turis asing berkunjung ke Aceh. Apalagi penampilan barongsai kerap dipadukan dengan kesenian tradisional Aceh seperti rapa-i geleng dan seudati.

“Hal ini dilakukan untuk menunjukkan bukti toleransi dan keberagaman budaya di Aceh,” ujar Ketua Umum Perkumpulan Hakka Banda Aceh, Kho Khie Siong.

Hal senada disampaikan Eddy Aminata, Kepala Vihara Budha Sakyamuni, Banda Aceh. Dia merupakan warga Tionghoa dari suku Hakka generasi keempat.

Menurutnya, kesenian barongsai yang ada di Banda Aceh bukan lagi milik warga Tionghoa karena beberapa pemainnya juga sudah bercampur. “Bahkan barongsai ini sudah dipertandingkan dan diminati sebagai olahraga,” katanya.

+++

@Heri Juanda
PETANG kian merembang saat saya memasuki gerbang Museum Aceh di Banda Aceh akhir Januari 2014 lalu. Dua pria terlihat asyik bercengkerama di pintu gerbang dan berdekatan dengan lonceng Cakra Donya. Letaknya tepat di depan Pustaka Museum Aceh.

Lonceng Cakra Donya atau Lontjeng Tjakra Dunia—seperti yang tertera di salah satu sisi gapura pelindung genta—merupakan salah satu peninggalan kebudayaan China yang diboyong oleh Cheng Ho ke Aceh pada 1415 Masehi. Lonceng ini berbentuk stupa yang tingginya sekitar 125 sentimeter dan lebar 25 sentimeter. Di bagian atas dinding luar lonceng terdapat tulisan beraksara Arab dan China. Sayangnya, aksara Arab sudah agak susah dibaca karena telah dimakan usia. Namun tulisan China masih dapat dibaca yang kira-kira isinya: Sing Fang Niat Tong Juut Kat Yat Tjo. Jika diartikan ke bahasa Indonesia: Sultan Sing Fa yang telah dituang dalam bulan 12 dari tahun ke lima.

Laksamana dari Dinasti Ming tersebut memberikan genta raksasa ini kepada Kerajaan Samudera Pasai saat berkunjung ke Aceh. Hadiah ini berasal dari Kaisar Yongle sebagai tanda persahabatan antara dua kerajaan.
Genta ini kemudian diboyong ke Kutaradja setelah Pasai menyatakan tunduk pada Kerajaan Aceh Darussalam. Genta, yang oleh sejarawan China menyebutnya sebagai Chenghua 5, ini pernah digantung di atas Kapal Cakra Donya milik Iskandar Muda saat menyerang Portugis di Selat Malaka pada Juli 1629.

Menurut keterangan Faria y Sousa, kapal itu bernama Espanto del Mundo atau Cakra Donya yang berarti Teror Dunia. Faria y Sousa merupakan seorang penyair berkebangsaan Portugis. Dia juga bekerja sebagai anggota kedutaan Portugis di Roma selama tiga tahun sejak 1631 Masehi. Sebagian besar hidupnya dihabiskan di Madrid.

Faria berhasil melihat kapal terbesar dari Aceh yang disita oleh armada laut Portugis. Dia menggambarkan Cakra Donya mempunyai mesin yang panjangnya 400 jengkal (sekitar 100 meter).

Kapal itu mempunyai tiga tiang pada jarak yang layak (se levantavan approporcionadas distancias tres arboles), memiliki 100 unit lebih meriam. Salah satu meriam tersebut beratnya mencapai dua arroba (mas de arrobas).

“Tidak sia-sialah kapal itu diberi nama Cakra Donya. Betapa mulianya, betapa kuatnya! Betapa indahnya, betapa kayanya! Meskipun mata kita sudah capai karena sering heran melihat benda-benda indah, kami semua terbelalak melihat yang ini,” ujar Faria y Sousa yang menjuluki kapal ini dengan Espanto del Munto: Teror Dunia.

Armada Portugis yang menyita kapal Cakra Donya tidak turut serta memboyong lonceng yang digantung di kepala kapal tersebut. Lonceng ini diserahkan kembali ke pihak Kerajaan Aceh Darussalam yang kemudian memberi nama pada genta ini: Lonceng Cakra Donya.

Merujuk catatan sejarah yang ditulis Veltman, berjudul Land en Volk van Atjeh, berdasarkan kesaksian J. Jongeans, genta raksasa ini sudah berada di depan istana Aceh sejak 1919. Peperangan antara Belanda dan Kerajaan Aceh tidak memusnahkan genta yang dicor sedemikian rupa tersebut.

“Genta itu digantungkan di bawah tempat perlindungan bergaya Aceh, di depan istana,” ujar J. Jongeans kepada Veltman.

Lonceng Cakra Donya merupakan bukti adanya hubungan antara kerajaan-kerajaan di Aceh dengan kekaisaran China.

Denys Lombard dalam bukunya Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda menyebutkan, lonceng Cakra Donya sengaja ditinggalkan oleh armada Portugis karena menghormati Kerajaan China.

Buku yang ditulis oleh Denys Lombard ini menjadi salah satu rujukan sejarawan untuk mengungkap sejarah Kerajaan Aceh Darussalam. Salah satu keutamaan Lombard dalam penelitiannya kerap merujuk pada penggunaan sumber-sumber Melayu setempat seperti Bustanussalatin, Hikayat Aceh, dan Adat Aceh. Di samping itu, Lombard juga mengkaji beberapa sumber sejarah dari Eropa dan Tionghoa sebagai pembanding. Dia turut memanfaatkan kesaksian para musafir Eropa yang pernah singgah di Aceh, seperti Frederick de Houtman, John Davis, dan Augustin de Beaulieu.

Dalam bukunya Lombard menuliskan, pada masa Kerajaan Aceh Darussalam berjaya, pihak kesultanan memiliki hubungan dagang yang erat dengan pedagang China. “There are in Achem many Chineses that use trade...and can well inform your Lordship of that worthy kingdom of China... (I meet) a very sensible merchant of China that spake Spanish... Our Baase disliking that I so much frequented the Chinaes company commended me aboard,” ujar John Davis, juru kemudi Inggris yang bekerja di kapal Belanda.

Mereka merupakan pedagang-pedagang andal yang tinggal di Banda Aceh sepanjang tahun. Namun sebagian di antaranya ada juga yang datang sekali dalam setahun. “Yang belakangan ini kadang-kadang datang pada bulan Juni dengan 10 atau 12 kapal layar (jung) yang mengangkut beras banyak sekali dan beberapa bahan lain..” kutip Lombard berdasarkan kesaksian penjelajah asal Inggris, Guillaume Dampier.

Masih menurut Dampier, para pedagang China ini membangun rumah-rumahnya saling berdekatan di salah satu ujung kota, dekat dengan laut. Daerah para pedagang Tionghoa ini kemudian disebut Kampung China. Di sini, mereka juga sering menurunkan barang-barang dagangan untuk dijual.

Selain itu, beberapa pengrajin Tionghoa juga sering datang dengan kapal-kapal yang berlabuh di Kampung China, di antaranya tukang kayu, tukang mebel, dan tukang cat. Saat sampai di Banda Aceh mereka langsung bekerja membuat koper, peti uang, lemari, dan segala macam karya kecil dari China. Setelah selesai, barang-barang tersebut dipamerkan di toko atau di depan rumah untuk dijual di Kampung China tersebut.

Jika barang dagangan mereka banyak yang laku, para pedagang China ini akan mengadakan pesta dengan bermain judi mahyong. “Makin banyak barang yang terjual makin sedikit tempat yang mereka tempati dan makin sedikit rumah yang mereka sewa...; makin sedikit penjualan mereka, makin gencar permainan judi mereka,” tulis Lombard.

Akhirnya, para pedagang China ini sering meninggalkan Kampung China pada penghujung September. Kini, kampung China tersebut dikenal dengan Peunayong.

Dekan Fakultas Dakwah Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh, A. Rani Usman mengatakan masyarakat Tionghoa telah datang ke Aceh sejak mereka mengenal pelayaran. Hal tersebut berdasarkan penelitian disertasinya tentang pola komunikasi serta budaya yang ditinggalkan oleh pedagang China di Aceh sejak berinteraksinya dua etnis tersebut, berjudul “Etnis China Perantauan di Aceh.” Hasil disertasinya telah dipertahankan di Universitas Padjajaran Bandung pada 26 Agustus 2004 dan kemudian dicetak pada 2009 lalu dengan judul serupa.

“Pedagang China sebenarnya sudah mengenal nusantara sejak adanya transportasi laut pada awal peradaban manusia saat itu,” ujar A. Rani Usman saat dijumpai The Atjeh, medio Januari 2014 lalu.

Pedagang China berlayar ke nusantara, termasuk ke Aceh, melalui jalur sutera dan singgah di beberapa kerajaan seperti Po-li, Lamuri, Sumunthala atau Samudera, dan Pasai. Umumnya pedagang ini berasal dari suku Hok Kian, Hai Nan, Kong Hu, Hakka, dan Khek.

Bangsa China dikenal suka merantau hingga ke seluruh dunia, terutama ke wilayah Nanyan dan Asia lainnya. Letak geografis wilayah Aceh sangat strategis dengan jalur perdagangan internasional pada waktu itu sehingga daerah ini menjadi salah satu pilihan perantauan bagi pedagang Tionghoa.

“Jadi bisa dikatakan hubungan pertama Aceh dengan luar negeri yaitu dengan bangsa China,” katanya. Dia merujuk adanya beberapa kerajaan di Aceh sebelum berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam, seperti Lamuri dan Pasai yang memiliki simpul kedekatan dengan China.

Mengutip A. Rani Usman seperti yang ditulis dalam bukunya Etnis China di Perantauan Aceh, kehidupan masyarakat yang berperadaban telah ada di Aceh sejak awal tahun Masehi. Demikian pula dengan struktur pemerintahan yang telah ada dan rapi sehingga mampu menjalin hubungan dengan para saudagar dari dunia Barat dan Timur.

“Pada awal perkembangan peradabannya, Aceh telah memiliki suatu kerajaan yang sempurna sekaligus peralatan militer lengkap menurut ukuran waktu itu,” katanya.

Letak geografis kerajaan di Aceh juga sangat menguntungkan karena berada di Selat Malaka atau Lautan Hindia. Hal ini mendorong masyarakat internasional yang melewati Selat Malaka untuk singgah di wilayah tersebut, termasuk pedagang-pedagang dari China.

Kerajaan Aceh Darussalam yang muncul setelah memudarnya pengaruh Samudera Pasai di Selat Malaka, turut menjadi tujuan para pedagang China ke nusantara. Selain China, turut serta pedagang-pedagang asing yang singgah dan menetap di ibu kota kerajaan dari Arab, Persia, Pegu, Gujarat, Jawa, Turki, Bengali, Tionghoa, Siam, Eropa, dan dari negara lain. Ibu kota kerajaan ketika itu berada di Kota Banda Aceh sekarang yang tumbuh menjadi sebuah kota kosmopolitan berkarakter multietnis. Pedagang-pedagang asing yang datang, awalnya dipusatkan di kawasan Ulee Lheue Banda Aceh. Kemudian mereka diizinkan mendirikan tangsi-tangsi dagang di kawasan utara Ibu Kota Banda Aceh, yaitu di Peunayong.

Setelah Belanda masuk dan berhasil menguasai pusat Kota Banda Aceh, pedagang-pedagang China yang telah mendirikan tangsi dagang di sepanjang jalur Krueng Aceh turut diberdayakan. Mereka dianggap mampu menggerakkan perekonomian kota usai peperangan. Belanda juga menempatkan warga Tionghoa sebagai warga kelas dua di dalam struktur masyarakat pemerintahan Hindia Belanda. Mereka wajib melaporkan identitasnya kepada pemerintah dan dimasukkan dalam warga Aceh.

Belanda yang menaruh simpati kepada Tionghoa kemudian mengambil langkah memfungsikan kembali Peunayong sebagai Chinezen Kamp alias PeChinan. Demikian catatan Ismuha yang ditulis dalam Jurnal Ilmiah Teknorona No. 03 Volume I berjudul “Perkembangan Kota Banda Aceh Abad ke-16 Hingga Pertengahan Abad ke-20”.

Pemerintah kolonialis juga melaksanakan rekonstruksi dan rehabilitasi struktur fisik serta tata ruang kota.
Langkah pertama yang dilakukan adalah membangun Ulee Lheue sebagai pintu gerbang kota. Mereka juga membangun fasilitas-fasilitas militer, seperti benteng, rumah sakit, bank, gereja dan pertahanan militer lainnya yang ditempatkan secara strategis di sepanjang Krueng Aceh. Belanda juga membangun sarana transportasi dan komunikasi yang menunjang kegiatan administrasi kolonial serta perdagangan.

Perusahaan dagang Belanda atau Verenigdee Oost Indiesche Compagnie yang diberi mandat sebagai pemerintah sipil di Aceh juga membangun pusat-pusat aktivitas umum terpenting, seperti masjid dan pasar.
Banda Aceh di masa itu memiliki dua pasar utama, yaitu di pusat kota dekat Masjid Raya Baiturrahman dan di ujung utara kota atau di Peunayong. Belanda kemudian membangun dua pusat perdagangan ini setelah hancur akibat perang. Kolonialis membangun rumah toko di sepanjang kawasan Peunayong dengan ciri khas bangunan menyerupai kawasan PeChinan di Asia Tenggara, terutama di Singapura dan Malaysia.

+++

PEUNAYONG nyoe daerah China di Banda Aceh, pedagang China jimeuteumpat di wilayah Peunayong nyoe bak binèh Krueng Aceh nyang ka jeuet ke rӧt teubiet tamӧng ureueng meuniaga lam kuta watee jameuen keurajeuen dilee. Peta-peta abad XVII jeuet keu tanda bahwa watee nyan peudagang China ka jimeuteumpat di daerah nyoe.”
Demikian isi plakat yang dirancang oleh Tim Bustanussalatin atas bantuan Recovery Aceh Nias Trus Fund-BRR, lembaga yang fokus dengan rekonstruksi dan rehabilitasi pembangunan Aceh usai tsunami 2004 lalu. Plakat ini dibuat sedemikian rupa dari plat berwarna tembaga yang diukir dan ditempel di sebelah utara ruko khas bangunan China, di Jalan A. Yani, Peunayong Banda Aceh. Isi plakat disesuaikan dengan catatan sejarah Peunayong sebagai bandar di Kerajaan Aceh sejak dulu.

Ruko tersebut merupakan bangunan hunian dua lantai. Lantai bawah digunakan untuk berdagang, sedangkan lantai atas sebagai tempat tinggal. Atapnya dibuat melengkung dan bertipe pelana (gable roof). Lantai dibuat dari tegel dengan berbagai ukuran dan dinding tersusun dari bata warna merah yang diplester dengan adukan semen, kapur, dan pasir.

Ruko ini memiliki sembilan pintu, tujuh di antaranya masih “utuh” meski dinding-dinding kayu di lantai dua telah rusak. Begitu pula dengan beberapa daun jendela yang terlepas dan telah diganti nako oleh pemiliknya. Sementara dua ruko yang berada di selatan kompleks sudah tidak memiliki lantai dua akibat rusak diterjang tsunami 2004 lalu.

Tampak depan ruko berisi dekorasi dari pecahan keramik, antara lain bermotif awan menggulung dan naga. Beberapa di antaranya sudah menggunakan pintu yang berbentuk lengkung semu-circulair yang bagian atasnya terbuat dari bata yang disusun secara vertikal mengikuti bentuk lengkungan dan diakhiri bentuk pelipit. Pintu dan jendela terbuat dari susunan bilah papan yang dihubungkan dengan dua engsel (folding shutter).

Di depan ruko, ditandai dengan arcade, yaitu deretan tiang beton yang menopang lantai atas menjorok ke emperan. Lebar emperan sempit atau sekitar 2 meter karena sebagian digunakan untuk menaruh barang-barang dagangan. Adapun tinggi tiang emperan sekitar 3 meter. Bagian atas tiang dihias dengan susunan pelipit rata. Tiang yang berada di ujung (utara) bagian atasnya melengkung bergaya Romawi.

Deretan tiang emperan menerus ke bangunan lantai dua sebagai pilaster. Di bagian sudut atas pilaster konstruksi diperkuat lagi dengan penyiku dari beton. Pilaster berfungsi sebagai penguat dinding tembok bangunan, di samping itu juga menandai batas ruas ruangan bangunan lantai dua.

Pintu ruko terbuat dari papan yang disusun vertikal dengan sistem buka tutup secara digeser. Di bagian atas pintu ruko terdapat lubang ventilasi berbentuk persegi panjang dengan hiasan kerawang di keempat sudutnya. Untuk keperluan pencahayaan dan sirkulasi udara, dinding bangunan lantai dua dilengkapi jendela. Jendela berdaun dua terbuat dari bilah-bilah papan yang disusun vertikal. Gerak buka tutup jendela dihubungkan dengan dua engsel (folding shutter).

Jumlah jendela setiap ruko bervariasi dua atau tiga buah jendela. Di bagian dinding ruko yang terletak paling ujung (utara) dijumpai lagi tiga buah jendela dan sebuah pintu. Di bagian atas jendela dan pintu terdapat kanopi dari seng. Di bagian atas kanopi dijumpai hiasan berbentuk susunan pelipit rata. Hiasan lainnya berbentuk huruf S dari besi dijumpai di bagian kiri dan kanan jendela.

Atap ruko berbentuk pelana dari seng dengan kemiringan tajam. Kemiringan atap dibuat tajam agar air hujan cepat turun ke permukaan jalan raya di bawahnya. Kemiringan atap diakhiri dengan tritisan berhiaskan deretan awan beriring. Di bagian puncak atap terdapat tonjolan atap dari semen. Konstruksi tonjolan atap itu menyatu dengan dinding bangunan lantai dua.

Arsitektur perpaduan Eropa dan China ini juga dilakukan di beberapa kompleks bangunan lainnya di kawasan Peunayong. Seperti halnya kompleks ruko yang ada di Jalan R.A. Kartini saat ini. Corak bangunannya sama persis seperti di kompleks pertama yang ada di Jalan A. Yani.

Pada 22 Januari 2014, emperan ruko ini disesaki pedagang sayur, kelontong, dan baju obral. Beberapa becak mesin dan becak kayuh turut memarkir kendaraan mereka di sela-sela sepeda motor dan kendaraan roda empat. Untuk menyusuri selasar ruko, saya harus melalui para pedagang dan sederet kendaraan bermotor.

Saya memasuki salah satu toko kelontong yang ada di ruko tersebut. Toko ini disewa oleh Hery, 26 tahun, selama setahun terakhir. Hery merupakan etnis Tionghoa dari suku Hakka yang baru saja kembali dari Pulau Jawa setelah 20 tahun menetap di sana.

Hakka merupakan salah satu suku Tionghoa yang tinggal di Peunayong. Berdasarkan data administrasi Gampông Peunayong, Kecamatan Kuta Alam, di kawasan ini juga terdapat suku Khe, Hokkian, Tio Chiu, Kong Hu, dan sub-etnis lainnya yang datang usai tsunami.

“Saya telah 20 tahun menetap di Jawa dan sekolah di sana. Baru setahun terakhir saya kembali ke Aceh,” ujarnya.

Hery merupakan warga keturunan yang dilahirkan di Banda Aceh. Ibunya juga lahir di Banda Aceh, 70 tahun lalu. “Dia lahir di masa kemerdekaan. Tapi sekarang sudah lansia dan susah berkomunikasi,” katanya.

Hery mengatakan keluarganya belum diakui sebagai warga negara Indonesia meski sudah berbilang puluhan tahun hidup di Aceh. Hal itu diungkapkan pemuda Tionghoa tersebut saat saya menanyakan marga dan nama aslinya. 

“Kami tidak mendapat pengakuan sebagai warga negara. Sedari kecil dan sejak mengurus akte kelahiran, saya diberi nama Hery. Meski ibu memberikan nama Tionghoa kepada saya, tapi jarang memakai nama tersebut. Untuk apa, kan kami tidak diakui sebagai warga negara? Bahkan untuk mendaftar sebagai pegawai negeri saja tidak bisa,” ujarnya.

Hery mengaku merasa asing dengan budaya China meski leluhurnya berasal dari negeri tirai bambu itu. Hal senada disampaikan Baby, 25 tahun--saudara perempuan Hery. Dia mengaku sudah merasa asing dengan budaya Tiongkok.

Salah satu gedung tua peninggalan kolonial di Peunayong. @Heri Juanda
“Kami tidak lagi diajarkan budaya tersebut. Sejarah hidup sebagai Tionghoa juga tidak tahu menahu. Kami lebih hafal budaya Jawa karena sudah lama tinggal di sana. Sementara bahasa mandarin, kami juga jarang menggunakannya. Untuk berkomunikasi dengan kerabat, kami memakai bahasa Indonesia,” katanya.

Menurutnya, saat ini banyak warga Tionghoa di Peunayong yang ada saat ini berasal dari luar Aceh. Mereka hijrah ke Aceh usai tsunami melanda Banda Aceh 2004 lalu. Kebanyakan dari luar, ada yang dari Pontianak, Medan, dan Jawa.

Berbeda dengan Hery, Eddy Aminata mengaku telah mendapatkan kewarganegaraan Indonesia sejak dirinya lahir. Dirinya memakai nama Indonesia untuk menunjukkan identitasnya yang bukan lagi warga keturunan.

“Kakek saya dulu masuk ke Aceh sejak zaman Belanda sekitar tahun 1900-an lebih lah. Itu kan sudah beberapa pergantian orde; Belanda, Jepang, Orde Lama, Orde Baru. Hahaha.. Kakek saya dulu berpetualang ke Indonesia,” katanya.

Setelah Indonesia merdeka, leluhur Eddy kemudian mendapatkan kesempatan menjadi warga negara karena kebijakan yang diputuskan oleh Pemerintah Indonesia. “Namun di perjalanannya kita baru generasi kedua mendapatkan status WNI (Warga Negara Indonesia). Dan saya sendiri langsung mendapat status WNI sejak saya lahir,” ujarnya.

Hal senada disampaikan Amin, warga Kampung Laksana, Banda Aceh. Amin merupakan warga Tionghoa-Aceh yang memiliki nama China, Long Fu Min. Keseharian Amin bekerja membawa becak mesin. Dia mengaku dirinya berasal dari suku Hainan. “Tapi saya tidak tahu di mana tepatnya daerah asal leluhur saya itu,” katanya saat dijumpai di sela-sela perayaan Imlek, Jumat, 31 Agustus 2014 lalu.

Orang tua Long Fu Min masuk ke Aceh di masa Hindia Belanda menjajah nusantara. Mereka datang langsung dari daratan Tiongkok ke Banda Aceh. “Tapi tahunnya saya tidak ingat karena sudah lama diceritakan orang tua saya. Dulunya kampung China ada di Ulee Lheue, kemudian dipindahkan ke Peunayong. Itu berdasarkan cerita orang-orang tua dulu kepada saya,” ujarnya.

Berdasarkan penelusuran The Atjeh melalui foto-foto koleksi milik Tropen Museum—museum militer Belanda—yang dimaksud Loh Fuh Min adalah sekitar 1880 hingga 1881. Banyak pedagang China di masa tersebut membuka tokonya di sepanjang jalan menuju pelabuhan Ulee Lheue, Banda Aceh.

Meski mengaku sebagai keturunan Tionghoa asli, Loh Fuh Min tidak pernah mengenal negeri leluhurnya. Sejak lahir orang tuanya tidak pernah mengajaknya ke China. Apalagi keluarganya tidak memiliki uang untuk pulang ke kampung halaman. “Ongkosnya kan mahal itu kalau kita ke Tiongkok,” katanya.

Hampir empat puluh tahun dirinya hidup di Banda Aceh dan merasa nyaman di sini. Keberagaman etnis di Banda Aceh membuat Loh Fu Min mengaku nyaman mencari sesuap nasi untuk enam buah hatinya. Apalagi antara dirinya dengan warga Aceh lainnya tidak ada persaingan saat mengais rezeki. “Kita ada sepuluh itu yang narik becak. Semuanya Tionghoa,” ujarnya.

Secara umum warga Tionghoa mulai membuka diri dan mampu bergaul dengan etnis pribumi di Aceh. Konflik sosial yang pernah melanda Indonesia kini tidak lagi menghantui penduduk PeChinan meski mereka enggan dikait-kaitkan dengan politik praktis dalam negeri. Sebagai warga Indonesia, etnis Tionghoa juga dirasakan berhak mendapatkan tempat dalam struktur masyarakat dan mengembangkan budayanya seperti kesenian barongsai dan olahraga wu-shu. Apalagi, tokoh-tokoh Tionghoa pernah muncul bahkan juga mendapat predikat sebagai pahlawan nasional seperti Laksamana Muda John Lie.

John Lie merupakan putra keluarga pengusaha Tionghoa asal Manado yang mendapat anugerah gelar pahlawan nasional dan bintang Mahaputra Adipradana. Penghargaan tersebut diserahkan oleh Presiden Soesilo Bambang Yoedhoyono pada peringatan hari pahlawan 10 November 2009 lalu.

Peran John Lie sangat besar bagi perjuangan kemerdekaan. Satu di antaranya adalah mampu menerobos blokade laut militer Belanda. Pada 21 Juli 1947, John Lie harus menyelundupkan peralatan radio dari Malaysia untuk kepentingan Komando Tentara RI Divisi Gajah-I melalui Selat Malaka.

John Lie berhasil menembus blokade Belanda dengan menggunakan dua kapal kecil. Salah satunya diberi nama The Outlaw. Keberhasilan John Lie di perairan Aceh ini menghentak dunia, dan kemudian mampu mematahkan propaganda Belanda bahwa perjuangan Indonesia hanya dilakukan oleh sekumpulan gerombolan dan kaum ekstremis Indonesia.

Selain John Lie, warga Tionghoa yang pernah mengukir sejarah di Aceh adalah Yap Thiam Hiem yang menjadi tokoh internasional sekaligus aktivis kemanusiaan. Lahir di Kutaradja 1913, Yap menjelma menjadi aparat hukum di bawah payung Himpunan Advokat Indonesia atau Peradin di masa Orde Lama. Yap Thiam Hiem juga berhasil menjadi salah satu komisioner Komisi Internasional ahli hukum.

+++

MENTARI kian beranjak di atas kepala saat suara simbal dan tabuhan beduk menghilang di sudut Kota Peunayong, Banda Aceh. Senyum mengambang di bibir-bibir tipis pemain barongsai yang sejak tadi meloncat-loncat di atas susunan kursi dan meja.

Enam puluh menit berlalu. Lantunan ayat suci Alquran dari salah satu masjid yang tak jauh dari vihara menggantikan kemeriahan Imlek 2565 Tahun Kuda. Pria-pria muslim beramai-ramai memasuki halaman masjid yang juga terletak di Jalan Panglima Polem, Peunayong, Banda Aceh. Dalam benak saya tersirat: Indahnya toleransi agama di kota tua ini.[]

No comments:

Post a Comment