Atraksi Barongsai di Peunayong. @Heri Juanda |
Hari itu, Jumat, 31 Januari 2014, memang tepat perayaan
Imlek 2565. Ini hari yang keramat bagi etnis Tionghoa sehingga mereka
merayakannya. Perayaan berpusat di belakang Vihara Budha Sakyamuni, Jalan Aneuk
Galong Peunayong. Ke sinilah saya menyimak semburat kegembiraan di wajah-wajah
berkulit putih yang bermata sipit itu.
Mereka gembira menikmati “singa” merah jambu yang sedang
menari-nari di halaman belakang vihara. Itulah budaya barongsai —kesenian khas dari
daratan China. Kesenian ini kerap dipertunjukkan saat hari-hari besar etnis China
seperti perayaan Imlek 2565 Tahun Kuda, Jumat penutup Januari lalu.
Ada tiga barongsai menunjukkan atraksinya hari itu, yaitu barongsai
berwarna merah jambu, lantas biru, dan terakhir kuning emas. Ketiganya memukau
penonton dadakan yang tertarik melihat keramaian di sisi Jalan Pocut Baren
Peunayong kala itu.
Dalam atraksi itu terlihat aksi barongsai kuning melompati
empat kursi sepanjang 3 meter dan disusun bertingkat setinggi satu lelaki
dewasa. Selain itu ada dua meja hitam turut menjadi pelengkap atraksi barongsai
tersebut.
Barongsai yang di dalamnya terdapat dua remaja Tionghoa ini
bergerak lincah dari satu susunan kursi ke kursi lainnya. Sesekali memberi
hormat pada penonton, kemudian memakan sawi yang diletakkan di dekat meja
atraksi sebagai hadiah untuk dimakan.
“Habisin,” teriak
salah satu pelatih sebagai instruksi. Barongsai menjawab dengan meliuk-liuk di
atas meja sembari mengedipkan matanya ke arah perempuan China.
Barongsai kuning itu kemudian ditugaskan membuka poster yang
digantung di ujung tiang bambu setinggi empat lelaki dewasa. Barongsai berdiri
dengan dua kakinya. Kepalanya menggapai ujung tali yang menggantung di tiang
bambu. Dapat. Barongsai kemudian menariknya dan poster yang tergulung itu
terbuka. “Selamat Tahun Baru Imlek 2565,” demikian isi poster tersebut.
Aksi barongsai kuning ini mendapat tepuk tangan dari
penonton yang sebagiannya merupakan warga pribumi dan sisanya adalah etnis
Tionghoa. Semua sepakat untuk tertawa lebar dan bahkan bersorak terhadap
keberhasilan barongsai kuning tersebut. Atraksi kemudian dilanjutkan oleh
barongsai biru yang turut memperlihatkan kelincahannya di panggung kecil, pagi
Jumat itu.
Setelah semuanya tampil, atraksi ditutup dengan pemberian
angpau oleh penonton kepada tim barongsai. Barong-barong yang sejak tadi
berjingkrak-jingkrak mendatangi penonton yang memegang amplop merah. Beberapa
barongsai juga ikut melahap sejumlah angpau yang tergantung di pintu-pintu
vihara dan rumah warga Tionghoa, di sekitar lokasi pertunjukkan.
+++
Kesenian barongsai pertama kali populer di zaman dinasti
Selatan-Utara (Nan Bei) sekitar tahun 420 hingga 589 Masehi. Saat itu serangan
pasukan gajah Raja Fan Yang dari negeri Lin Yi membuat kewalahan pasukan Raja Song
Wen Di.
Akhirnya, seorang panglima perang bernama Zhong Que memiliki
gagasan untuk membuat tiruan boneka singa yang dipergunakan untuk menghalau
pasukan gajah Raja Fan. Rencana tersebut berhasil dan membuat boneka tiruan
singa barongsai melegenda di negeri China hingga sekarang.
Tiruan singa terdiri dari dua jenis utama, yakni Singa Utara
dan Singa Selatan. Singa Utara memiliki surai ikal dan berkaki empat.
Penampilan Singa Utara kelihatan lebih natural dan mirip singa dibandingkan
Singa Selatan yang memiliki sisik serta jumlah kaki yang bervariasi antara dua
atau empat. Kepala Singa Selatan dilengkapi dengan tanduk sehingga lebih mirip
dengan binatang ‘Kilin’ atau serigala.
Gerakan Singa Utara dan Singa Selatan juga berbeda. Bila
Singa Selatan terkenal dengan gerakan kepalanya yang keras dan melonjak-lonjak
seiring dengan tabuhan gong dan tambur, gerakan Singa Utara cenderung lebih
lincah dan penuh dinamika karena memiliki empat kaki.
Satu gerakan utama dari tarian Barongsai adalah gerakan
singa memakan amplop berisi uang yang disebut dengan istilah ‘lay see’. Di atas amplop tersebut
biasanya ditempeli sayuran selada air yang melambangkan hadiah bagi sang singa.
Proses memakan ‘lay see’ ini
berlangsung sekitar separuh bagian dari seluruh tarian Singa.
Kesenian barongsai diperkirakan masuk ke Indonesia pada abad
ke-17 ketika terjadi migrasi besar dari China Selatan.
Barongsai di Indonesia mengalami masa maraknya ketika zaman
masih adanya perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan. Setiap perkumpulan Tiong Hoa Hwe
Koan di berbagai daerah di Indonesia hampir dipastikan memiliki sebuah
perkumpulan barongsai.
Perkembangan barongsai sempat berhenti pada 1965 setelah
meletusnya Gerakan 30 S/PKI. Situasi politik saat itu membuat segala macam
bentuk kebudayaan Tionghoa di Indonesia dibungkam. Barongsai dimusnahkan dan
tidak boleh dimainkan lagi. Perubahan situasi politik yang terjadi di Indonesia
setelah 1998 membangkitkan kembali kesenian barongsai dan kebudayaan Tionghoa
lainnya. Banyak perkumpulan barongsai kembali bermunculan.
Di Aceh penampilan barongsai baru dilakukan beberapa tahun
terakhir dan mulai marak sekitar 2011. Atraksi kesenian tradisional yang
dibungkus dengan keahlian wushu
tersebut turut memikat turis asing berkunjung ke Aceh. Apalagi penampilan
barongsai kerap dipadukan dengan kesenian tradisional Aceh seperti rapa-i geleng dan seudati.
“Hal ini dilakukan untuk menunjukkan bukti toleransi dan
keberagaman budaya di Aceh,” ujar Ketua Umum Perkumpulan Hakka Banda Aceh, Kho
Khie Siong.
Hal senada disampaikan Eddy Aminata, Kepala Vihara Budha
Sakyamuni, Banda Aceh. Dia merupakan warga Tionghoa dari suku Hakka generasi keempat.
Menurutnya, kesenian barongsai yang ada di Banda Aceh bukan
lagi milik warga Tionghoa karena beberapa pemainnya juga sudah bercampur.
“Bahkan barongsai ini sudah dipertandingkan dan diminati sebagai olahraga,”
katanya.
+++
@Heri Juanda |
PETANG kian merembang saat saya memasuki gerbang Museum Aceh
di Banda Aceh akhir Januari 2014 lalu. Dua pria terlihat asyik bercengkerama di
pintu gerbang dan berdekatan dengan lonceng Cakra
Donya. Letaknya tepat di depan Pustaka Museum Aceh.
Lonceng Cakra Donya
atau Lontjeng Tjakra Dunia—seperti
yang tertera di salah satu sisi gapura pelindung genta—merupakan salah satu
peninggalan kebudayaan China yang diboyong oleh Cheng Ho ke Aceh pada 1415
Masehi. Lonceng ini berbentuk stupa yang tingginya sekitar 125 sentimeter dan
lebar 25 sentimeter. Di bagian atas dinding luar lonceng terdapat tulisan
beraksara Arab dan China. Sayangnya, aksara Arab sudah agak susah dibaca karena
telah dimakan usia. Namun tulisan China masih dapat dibaca yang kira-kira
isinya: Sing Fang Niat Tong Juut Kat Yat
Tjo. Jika diartikan ke bahasa Indonesia: Sultan Sing Fa yang telah dituang dalam bulan 12 dari tahun ke lima.
Laksamana dari Dinasti Ming tersebut memberikan genta
raksasa ini kepada Kerajaan Samudera Pasai saat berkunjung ke Aceh. Hadiah ini
berasal dari Kaisar Yongle sebagai tanda persahabatan antara dua kerajaan.
Genta ini kemudian diboyong ke Kutaradja setelah Pasai
menyatakan tunduk pada Kerajaan Aceh Darussalam. Genta, yang oleh sejarawan China
menyebutnya sebagai Chenghua 5, ini
pernah digantung di atas Kapal Cakra
Donya milik Iskandar Muda saat menyerang Portugis di Selat Malaka pada Juli
1629.
Menurut keterangan Faria y Sousa, kapal itu bernama Espanto del Mundo atau Cakra Donya yang berarti Teror Dunia. Faria y Sousa merupakan
seorang penyair berkebangsaan Portugis. Dia juga bekerja sebagai anggota
kedutaan Portugis di Roma selama tiga tahun sejak 1631 Masehi. Sebagian besar
hidupnya dihabiskan di Madrid.
Faria berhasil melihat kapal terbesar dari Aceh yang disita
oleh armada laut Portugis. Dia menggambarkan Cakra Donya mempunyai mesin yang panjangnya 400 jengkal (sekitar
100 meter).
Kapal itu mempunyai tiga tiang pada jarak yang layak (se levantavan approporcionadas distancias
tres arboles), memiliki 100 unit lebih meriam. Salah satu meriam tersebut
beratnya mencapai dua arroba (mas de arrobas).
“Tidak sia-sialah kapal itu diberi nama Cakra Donya. Betapa mulianya, betapa kuatnya! Betapa indahnya,
betapa kayanya! Meskipun mata kita sudah capai karena sering heran melihat
benda-benda indah, kami semua terbelalak melihat yang ini,” ujar Faria y Sousa
yang menjuluki kapal ini dengan Espanto
del Munto: Teror Dunia.
Armada Portugis yang menyita kapal Cakra Donya tidak turut serta memboyong lonceng yang digantung di
kepala kapal tersebut. Lonceng ini diserahkan kembali ke pihak Kerajaan Aceh
Darussalam yang kemudian memberi nama pada genta ini: Lonceng Cakra Donya.
Merujuk catatan sejarah yang ditulis Veltman, berjudul Land en Volk van Atjeh, berdasarkan
kesaksian J. Jongeans, genta raksasa ini sudah berada di depan istana Aceh
sejak 1919. Peperangan antara Belanda dan Kerajaan Aceh tidak memusnahkan genta
yang dicor sedemikian rupa tersebut.
“Genta itu digantungkan di bawah tempat perlindungan bergaya
Aceh, di depan istana,” ujar J. Jongeans kepada Veltman.
Lonceng Cakra Donya
merupakan bukti adanya hubungan antara kerajaan-kerajaan di Aceh dengan
kekaisaran China.
Denys Lombard dalam bukunya Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda menyebutkan, lonceng Cakra Donya sengaja ditinggalkan oleh
armada Portugis karena menghormati Kerajaan China.
Buku yang ditulis oleh Denys Lombard ini menjadi salah satu
rujukan sejarawan untuk mengungkap sejarah Kerajaan Aceh Darussalam. Salah satu
keutamaan Lombard dalam penelitiannya kerap merujuk pada penggunaan
sumber-sumber Melayu setempat seperti Bustanussalatin, Hikayat Aceh, dan Adat
Aceh. Di samping itu, Lombard juga mengkaji beberapa sumber sejarah dari Eropa
dan Tionghoa sebagai pembanding. Dia turut memanfaatkan kesaksian para musafir
Eropa yang pernah singgah di Aceh, seperti Frederick de Houtman, John Davis,
dan Augustin de Beaulieu.
Dalam bukunya Lombard menuliskan, pada masa Kerajaan Aceh
Darussalam berjaya, pihak kesultanan memiliki hubungan dagang yang erat dengan
pedagang China. “There are in Achem many
Chineses that use trade...and can well inform your Lordship of that worthy
kingdom of China... (I meet) a very sensible merchant of China that spake
Spanish... Our Baase disliking that I so much frequented the Chinaes company
commended me aboard,” ujar John Davis, juru kemudi Inggris yang bekerja di
kapal Belanda.
Mereka merupakan pedagang-pedagang andal yang tinggal di
Banda Aceh sepanjang tahun. Namun sebagian di antaranya ada juga yang datang
sekali dalam setahun. “Yang belakangan ini kadang-kadang datang pada bulan Juni
dengan 10 atau 12 kapal layar (jung)
yang mengangkut beras banyak sekali dan beberapa bahan lain..” kutip Lombard
berdasarkan kesaksian penjelajah asal Inggris, Guillaume Dampier.
Masih menurut Dampier, para pedagang China ini membangun
rumah-rumahnya saling berdekatan di salah satu ujung kota, dekat dengan laut.
Daerah para pedagang Tionghoa ini kemudian disebut Kampung China. Di sini,
mereka juga sering menurunkan barang-barang dagangan untuk dijual.
Selain itu, beberapa pengrajin Tionghoa juga sering datang
dengan kapal-kapal yang berlabuh di Kampung China, di antaranya tukang kayu,
tukang mebel, dan tukang cat. Saat sampai di Banda Aceh mereka langsung bekerja
membuat koper, peti uang, lemari, dan segala macam karya kecil dari China.
Setelah selesai, barang-barang tersebut dipamerkan di toko atau di depan rumah
untuk dijual di Kampung China tersebut.
Jika barang dagangan mereka banyak yang laku, para pedagang China
ini akan mengadakan pesta dengan bermain judi mahyong. “Makin banyak barang
yang terjual makin sedikit tempat yang mereka tempati dan makin sedikit rumah
yang mereka sewa...; makin sedikit penjualan mereka, makin gencar permainan
judi mereka,” tulis Lombard.
Akhirnya, para pedagang China ini sering meninggalkan
Kampung China pada penghujung September. Kini, kampung China tersebut dikenal
dengan Peunayong.
Dekan Fakultas Dakwah Universitas Islam Negeri Ar-Raniry
Banda Aceh, A. Rani Usman mengatakan masyarakat Tionghoa telah datang ke Aceh
sejak mereka mengenal pelayaran. Hal tersebut berdasarkan penelitian
disertasinya tentang pola komunikasi serta budaya yang ditinggalkan oleh
pedagang China di Aceh sejak berinteraksinya dua etnis tersebut, berjudul
“Etnis China Perantauan di Aceh.” Hasil disertasinya telah dipertahankan di
Universitas Padjajaran Bandung pada 26 Agustus 2004 dan kemudian dicetak pada
2009 lalu dengan judul serupa.
“Pedagang China sebenarnya sudah mengenal nusantara sejak
adanya transportasi laut pada awal peradaban manusia saat itu,” ujar A. Rani
Usman saat dijumpai The Atjeh, medio
Januari 2014 lalu.
Pedagang China berlayar ke nusantara, termasuk ke Aceh,
melalui jalur sutera dan singgah di beberapa kerajaan seperti Po-li, Lamuri,
Sumunthala atau Samudera, dan Pasai. Umumnya pedagang ini berasal dari suku Hok
Kian, Hai Nan, Kong Hu, Hakka, dan Khek.
Bangsa China dikenal suka merantau hingga ke seluruh dunia,
terutama ke wilayah Nanyan dan Asia lainnya. Letak geografis wilayah Aceh
sangat strategis dengan jalur perdagangan internasional pada waktu itu sehingga
daerah ini menjadi salah satu pilihan perantauan bagi pedagang Tionghoa.
“Jadi bisa dikatakan hubungan pertama Aceh dengan luar
negeri yaitu dengan bangsa China,” katanya. Dia merujuk adanya beberapa
kerajaan di Aceh sebelum berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam, seperti Lamuri
dan Pasai yang memiliki simpul kedekatan dengan China.
Mengutip A. Rani Usman seperti yang ditulis dalam bukunya Etnis China di Perantauan Aceh,
kehidupan masyarakat yang berperadaban telah ada di Aceh sejak awal tahun
Masehi. Demikian pula dengan struktur pemerintahan yang telah ada dan rapi
sehingga mampu menjalin hubungan dengan para saudagar dari dunia Barat dan
Timur.
“Pada awal perkembangan peradabannya, Aceh telah memiliki
suatu kerajaan yang sempurna sekaligus peralatan militer lengkap menurut ukuran
waktu itu,” katanya.
Letak geografis kerajaan di Aceh juga sangat menguntungkan
karena berada di Selat Malaka atau Lautan Hindia. Hal ini mendorong masyarakat
internasional yang melewati Selat Malaka untuk singgah di wilayah tersebut,
termasuk pedagang-pedagang dari China.
Kerajaan Aceh Darussalam yang muncul setelah memudarnya
pengaruh Samudera Pasai di Selat Malaka, turut menjadi tujuan para pedagang China
ke nusantara. Selain China, turut serta pedagang-pedagang asing yang singgah
dan menetap di ibu kota kerajaan dari Arab, Persia, Pegu, Gujarat, Jawa, Turki,
Bengali, Tionghoa, Siam, Eropa, dan dari negara lain. Ibu kota kerajaan ketika
itu berada di Kota Banda Aceh sekarang yang tumbuh menjadi sebuah kota
kosmopolitan berkarakter multietnis. Pedagang-pedagang asing yang datang,
awalnya dipusatkan di kawasan Ulee Lheue Banda Aceh. Kemudian mereka diizinkan
mendirikan tangsi-tangsi dagang di kawasan utara Ibu Kota Banda Aceh, yaitu di
Peunayong.
Setelah Belanda masuk dan berhasil menguasai pusat Kota
Banda Aceh, pedagang-pedagang China yang telah mendirikan tangsi dagang di
sepanjang jalur Krueng Aceh turut diberdayakan. Mereka dianggap mampu
menggerakkan perekonomian kota usai peperangan. Belanda juga menempatkan warga
Tionghoa sebagai warga kelas dua di dalam struktur masyarakat pemerintahan
Hindia Belanda. Mereka wajib melaporkan identitasnya kepada pemerintah dan
dimasukkan dalam warga Aceh.
Belanda yang menaruh simpati kepada Tionghoa kemudian
mengambil langkah memfungsikan kembali Peunayong sebagai Chinezen Kamp alias PeChinan.
Demikian catatan Ismuha yang ditulis dalam Jurnal Ilmiah Teknorona No. 03 Volume I berjudul “Perkembangan Kota Banda Aceh
Abad ke-16 Hingga Pertengahan Abad ke-20”.
Pemerintah kolonialis juga melaksanakan rekonstruksi dan
rehabilitasi struktur fisik serta tata ruang kota.
Langkah pertama yang dilakukan adalah membangun Ulee Lheue
sebagai pintu gerbang kota. Mereka juga membangun fasilitas-fasilitas militer,
seperti benteng, rumah sakit, bank, gereja dan pertahanan militer lainnya yang
ditempatkan secara strategis di sepanjang Krueng Aceh. Belanda juga membangun
sarana transportasi dan komunikasi yang menunjang kegiatan administrasi
kolonial serta perdagangan.
Perusahaan dagang Belanda atau Verenigdee Oost Indiesche Compagnie yang diberi mandat sebagai
pemerintah sipil di Aceh juga membangun pusat-pusat aktivitas umum terpenting,
seperti masjid dan pasar.
Banda Aceh di masa itu memiliki dua pasar utama, yaitu di
pusat kota dekat Masjid Raya Baiturrahman dan di ujung utara kota atau di
Peunayong. Belanda kemudian membangun dua pusat perdagangan ini setelah hancur
akibat perang. Kolonialis membangun rumah toko di sepanjang kawasan Peunayong
dengan ciri khas bangunan menyerupai kawasan PeChinan di Asia Tenggara,
terutama di Singapura dan Malaysia.
+++
“PEUNAYONG nyoe daerah China di Banda Aceh, pedagang China jimeuteumpat di wilayah Peunayong nyoe bak binèh Krueng Aceh nyang ka jeuet ke rӧt teubiet tamӧng ureueng meuniaga lam kuta watee jameuen keurajeuen dilee. Peta-peta abad XVII jeuet keu tanda bahwa watee nyan peudagang China ka jimeuteumpat di daerah nyoe.”
Demikian isi plakat yang dirancang oleh Tim Bustanussalatin
atas bantuan Recovery Aceh Nias Trus Fund-BRR, lembaga yang fokus dengan
rekonstruksi dan rehabilitasi pembangunan Aceh usai tsunami 2004 lalu. Plakat
ini dibuat sedemikian rupa dari plat berwarna tembaga yang diukir dan ditempel
di sebelah utara ruko khas bangunan China, di Jalan A. Yani, Peunayong Banda
Aceh. Isi plakat disesuaikan dengan catatan sejarah Peunayong sebagai bandar di
Kerajaan Aceh sejak dulu.
Ruko tersebut merupakan bangunan hunian dua lantai. Lantai
bawah digunakan untuk berdagang, sedangkan lantai atas sebagai tempat tinggal.
Atapnya dibuat melengkung dan bertipe pelana (gable roof). Lantai dibuat dari tegel dengan berbagai ukuran dan
dinding tersusun dari bata warna merah yang diplester dengan adukan semen,
kapur, dan pasir.
Ruko ini memiliki sembilan pintu, tujuh di antaranya masih
“utuh” meski dinding-dinding kayu di lantai dua telah rusak. Begitu pula dengan
beberapa daun jendela yang terlepas dan telah diganti nako oleh pemiliknya.
Sementara dua ruko yang berada di selatan kompleks sudah tidak memiliki lantai
dua akibat rusak diterjang tsunami 2004 lalu.
Tampak depan ruko berisi dekorasi dari pecahan keramik,
antara lain bermotif awan menggulung dan naga. Beberapa di antaranya sudah
menggunakan pintu yang berbentuk lengkung semu-circulair
yang bagian atasnya terbuat dari bata yang disusun secara vertikal mengikuti
bentuk lengkungan dan diakhiri bentuk pelipit. Pintu dan jendela terbuat dari
susunan bilah papan yang dihubungkan dengan dua engsel (folding shutter).
Di depan ruko, ditandai dengan arcade, yaitu deretan tiang beton yang menopang lantai atas
menjorok ke emperan. Lebar emperan sempit atau sekitar 2 meter karena sebagian
digunakan untuk menaruh barang-barang dagangan. Adapun tinggi tiang emperan
sekitar 3 meter. Bagian atas tiang dihias dengan susunan pelipit rata. Tiang
yang berada di ujung (utara) bagian atasnya melengkung bergaya Romawi.
Deretan tiang emperan menerus ke bangunan lantai dua sebagai
pilaster. Di bagian sudut atas pilaster konstruksi diperkuat lagi dengan
penyiku dari beton. Pilaster berfungsi sebagai penguat dinding tembok bangunan,
di samping itu juga menandai batas ruas ruangan bangunan lantai dua.
Pintu ruko terbuat dari papan yang disusun vertikal dengan
sistem buka tutup secara digeser. Di bagian atas pintu ruko terdapat lubang
ventilasi berbentuk persegi panjang dengan hiasan kerawang di keempat sudutnya.
Untuk keperluan pencahayaan dan sirkulasi udara, dinding bangunan lantai dua
dilengkapi jendela. Jendela berdaun dua terbuat dari bilah-bilah papan yang
disusun vertikal. Gerak buka tutup jendela dihubungkan dengan dua engsel (folding shutter).
Jumlah jendela setiap ruko bervariasi dua atau tiga buah
jendela. Di bagian dinding ruko yang terletak paling ujung (utara) dijumpai
lagi tiga buah jendela dan sebuah pintu. Di bagian atas jendela dan pintu
terdapat kanopi dari seng. Di bagian atas kanopi dijumpai hiasan berbentuk
susunan pelipit rata. Hiasan lainnya berbentuk huruf S dari besi dijumpai di bagian
kiri dan kanan jendela.
Atap ruko berbentuk pelana dari seng dengan kemiringan
tajam. Kemiringan atap dibuat tajam agar air hujan cepat turun ke permukaan
jalan raya di bawahnya. Kemiringan atap diakhiri dengan tritisan berhiaskan
deretan awan beriring. Di bagian puncak atap terdapat tonjolan atap dari semen.
Konstruksi tonjolan atap itu menyatu dengan dinding bangunan lantai dua.
Arsitektur perpaduan Eropa dan China ini juga dilakukan di
beberapa kompleks bangunan lainnya di kawasan Peunayong. Seperti halnya
kompleks ruko yang ada di Jalan R.A. Kartini saat ini. Corak bangunannya sama
persis seperti di kompleks pertama yang ada di Jalan A. Yani.
Pada 22 Januari 2014, emperan ruko ini disesaki pedagang
sayur, kelontong, dan baju obral. Beberapa becak mesin dan becak kayuh turut
memarkir kendaraan mereka di sela-sela sepeda motor dan kendaraan roda empat.
Untuk menyusuri selasar ruko, saya harus melalui para pedagang dan sederet
kendaraan bermotor.
Saya memasuki salah satu toko kelontong yang ada di ruko
tersebut. Toko ini disewa oleh Hery, 26 tahun, selama setahun terakhir. Hery
merupakan etnis Tionghoa dari suku Hakka yang baru saja kembali dari Pulau Jawa
setelah 20 tahun menetap di sana.
Hakka merupakan salah satu suku Tionghoa yang tinggal di
Peunayong. Berdasarkan data administrasi Gampông
Peunayong, Kecamatan Kuta Alam, di kawasan ini juga terdapat suku Khe, Hokkian,
Tio Chiu, Kong Hu, dan sub-etnis lainnya yang datang usai tsunami.
“Saya telah 20 tahun menetap di Jawa dan sekolah di sana.
Baru setahun terakhir saya kembali ke Aceh,” ujarnya.
Hery merupakan warga keturunan yang dilahirkan di Banda
Aceh. Ibunya juga lahir di Banda Aceh, 70 tahun lalu. “Dia lahir di masa
kemerdekaan. Tapi sekarang sudah lansia dan susah berkomunikasi,” katanya.
Hery mengatakan keluarganya belum diakui sebagai warga
negara Indonesia meski sudah berbilang puluhan tahun hidup di Aceh. Hal itu
diungkapkan pemuda Tionghoa tersebut saat saya menanyakan marga dan nama
aslinya.
“Kami tidak mendapat pengakuan sebagai warga negara. Sedari kecil dan
sejak mengurus akte kelahiran, saya diberi nama Hery. Meski ibu memberikan nama
Tionghoa kepada saya, tapi jarang memakai nama tersebut. Untuk apa, kan kami
tidak diakui sebagai warga negara? Bahkan untuk mendaftar sebagai pegawai
negeri saja tidak bisa,” ujarnya.
Hery mengaku merasa asing dengan budaya China meski
leluhurnya berasal dari negeri tirai bambu itu. Hal senada disampaikan Baby, 25
tahun--saudara perempuan Hery. Dia mengaku sudah merasa asing dengan budaya
Tiongkok.
Salah satu gedung tua peninggalan kolonial di Peunayong. @Heri Juanda |
“Kami tidak lagi diajarkan budaya tersebut. Sejarah hidup
sebagai Tionghoa juga tidak tahu menahu. Kami lebih hafal budaya Jawa karena
sudah lama tinggal di sana. Sementara bahasa mandarin, kami juga jarang
menggunakannya. Untuk berkomunikasi dengan kerabat, kami memakai bahasa
Indonesia,” katanya.
Menurutnya, saat ini banyak warga Tionghoa di Peunayong yang
ada saat ini berasal dari luar Aceh. Mereka hijrah ke Aceh usai tsunami melanda
Banda Aceh 2004 lalu. Kebanyakan dari luar, ada yang dari Pontianak, Medan, dan
Jawa.
Berbeda dengan Hery, Eddy Aminata mengaku telah mendapatkan
kewarganegaraan Indonesia sejak dirinya lahir. Dirinya memakai nama Indonesia
untuk menunjukkan identitasnya yang bukan lagi warga keturunan.
“Kakek saya dulu masuk ke Aceh sejak zaman Belanda sekitar
tahun 1900-an lebih lah. Itu kan sudah beberapa pergantian orde; Belanda,
Jepang, Orde Lama, Orde Baru. Hahaha.. Kakek saya dulu berpetualang ke
Indonesia,” katanya.
Setelah Indonesia merdeka, leluhur Eddy kemudian mendapatkan
kesempatan menjadi warga negara karena kebijakan yang diputuskan oleh
Pemerintah Indonesia. “Namun di perjalanannya kita baru generasi kedua
mendapatkan status WNI (Warga Negara Indonesia). Dan saya sendiri langsung
mendapat status WNI sejak saya lahir,” ujarnya.
Hal senada disampaikan Amin, warga Kampung Laksana, Banda
Aceh. Amin merupakan warga Tionghoa-Aceh yang memiliki nama China, Long Fu Min.
Keseharian Amin bekerja membawa becak mesin. Dia mengaku dirinya berasal dari
suku Hainan. “Tapi saya tidak tahu di mana tepatnya daerah asal leluhur saya
itu,” katanya saat dijumpai di sela-sela perayaan Imlek, Jumat, 31 Agustus 2014
lalu.
Orang tua Long Fu Min masuk ke Aceh di masa Hindia Belanda
menjajah nusantara. Mereka datang langsung dari daratan Tiongkok ke Banda Aceh.
“Tapi tahunnya saya tidak ingat karena sudah lama diceritakan orang tua saya.
Dulunya kampung China ada di Ulee Lheue, kemudian dipindahkan ke Peunayong. Itu
berdasarkan cerita orang-orang tua dulu kepada saya,” ujarnya.
Berdasarkan penelusuran The
Atjeh melalui foto-foto koleksi milik Tropen Museum—museum militer
Belanda—yang dimaksud Loh Fuh Min adalah sekitar 1880 hingga 1881. Banyak
pedagang China di masa tersebut membuka tokonya di sepanjang jalan menuju
pelabuhan Ulee Lheue, Banda Aceh.
Meski mengaku sebagai keturunan Tionghoa asli, Loh Fuh Min
tidak pernah mengenal negeri leluhurnya. Sejak lahir orang tuanya tidak pernah
mengajaknya ke China. Apalagi keluarganya tidak memiliki uang untuk pulang ke
kampung halaman. “Ongkosnya kan mahal itu kalau kita ke Tiongkok,” katanya.
Hampir empat puluh tahun dirinya hidup di Banda Aceh dan
merasa nyaman di sini. Keberagaman etnis di Banda Aceh membuat Loh Fu Min
mengaku nyaman mencari sesuap nasi untuk enam buah hatinya. Apalagi antara
dirinya dengan warga Aceh lainnya tidak ada persaingan saat mengais rezeki.
“Kita ada sepuluh itu yang narik
becak. Semuanya Tionghoa,” ujarnya.
Secara umum warga Tionghoa mulai membuka diri dan mampu
bergaul dengan etnis pribumi di Aceh. Konflik sosial yang pernah melanda
Indonesia kini tidak lagi menghantui penduduk PeChinan meski mereka enggan
dikait-kaitkan dengan politik praktis dalam negeri. Sebagai warga Indonesia,
etnis Tionghoa juga dirasakan berhak mendapatkan tempat dalam struktur
masyarakat dan mengembangkan budayanya seperti kesenian barongsai dan olahraga wu-shu. Apalagi, tokoh-tokoh Tionghoa
pernah muncul bahkan juga mendapat predikat sebagai pahlawan nasional seperti
Laksamana Muda John Lie.
John Lie merupakan putra keluarga pengusaha Tionghoa asal
Manado yang mendapat anugerah gelar pahlawan nasional dan bintang Mahaputra
Adipradana. Penghargaan tersebut diserahkan oleh Presiden Soesilo Bambang
Yoedhoyono pada peringatan hari pahlawan 10 November 2009 lalu.
Peran John Lie sangat besar bagi perjuangan kemerdekaan.
Satu di antaranya adalah mampu menerobos blokade laut militer Belanda. Pada 21
Juli 1947, John Lie harus menyelundupkan peralatan radio dari Malaysia untuk
kepentingan Komando Tentara RI Divisi Gajah-I melalui Selat Malaka.
John Lie berhasil menembus blokade Belanda dengan
menggunakan dua kapal kecil. Salah satunya diberi nama The Outlaw. Keberhasilan John Lie di perairan Aceh ini menghentak
dunia, dan kemudian mampu mematahkan propaganda Belanda bahwa perjuangan
Indonesia hanya dilakukan oleh sekumpulan gerombolan dan kaum ekstremis
Indonesia.
Selain John Lie, warga Tionghoa yang pernah mengukir sejarah
di Aceh adalah Yap Thiam Hiem yang menjadi tokoh internasional sekaligus
aktivis kemanusiaan. Lahir di Kutaradja 1913, Yap menjelma menjadi aparat hukum
di bawah payung Himpunan Advokat Indonesia atau Peradin di masa Orde Lama. Yap
Thiam Hiem juga berhasil menjadi salah satu komisioner Komisi Internasional
ahli hukum.
+++
MENTARI kian beranjak di atas kepala saat suara simbal dan
tabuhan beduk menghilang di sudut Kota Peunayong, Banda Aceh. Senyum mengambang
di bibir-bibir tipis pemain barongsai yang sejak tadi meloncat-loncat di atas
susunan kursi dan meja.
Enam puluh menit berlalu. Lantunan ayat suci Alquran dari
salah satu masjid yang tak jauh dari vihara menggantikan kemeriahan Imlek 2565
Tahun Kuda. Pria-pria muslim beramai-ramai memasuki halaman masjid yang juga
terletak di Jalan Panglima Polem, Peunayong, Banda Aceh. Dalam benak saya
tersirat: Indahnya toleransi agama di kota tua ini.[]
No comments:
Post a Comment