Tuesday, August 5, 2014

Tipu Aceh, Tipu Meulaboh

TEUKU Umar Johan Pahlawan dikenal sebagai pejuang Aceh yang memiliki kemampuan menipu Belanda. Strategi yang ditetapkan Umar, mampu membuat Belanda terkecoh hingga akhirnya bisa merampas alat-alat perang untuk membantu pejuang Kerajaan Aceh Darussalam.

Siapa menyangka, selain Teuku Umar, praktik 'tipu-tipu' tersebut juga dilakoni oleh beberapa pejuang lainnya dari pesisir Barat Aceh. Seperti halnya strategi yang dilakoni Teuku Kejuruan Muda dan bawahannya saat menghadapi agresi Belanda.

Dikutip dari catatan H. Mohammad Said dalam bukunya berjudul Aceh Sepanjang Abad jilid kedua, saat itu Teuku Kejuruan Muda tidak mau bertekuk lutut di bawah bendera Belanda. Padahal, Teuku Tjhi' Meulaboh, ayah Teuku Kejuruan Muda telah menandatangani pengakuannya kepada Belanda.


Pengakuan tersebut menimbulkan kemarahan Teuku Kejuruan Muda dan rakyat Meulaboh. Akibatnya rakyat mendesak Teuku Kejuruan Muda untuk mengambil alih kepemimpinan dari sang ayah, Teuku Tjhi' Meulaboh, sebagai penguasa di daerah tersebut.

Hal ini menjadi pukulan besar bagi Belanda yang sedang berperang di Aceh Besar tahun 1877. Meulaboh saat itu terus menjadi pemasok dana dan tenaga untuk pejuang-pejuang di sekitar ibukota. Untuk meredam bantuan tersebut, Belanda kemudian mengirimkan tentaranya ke Meulaboh.

Angkatan perang Belanda tiba di Meulaboh pada 3 Maret 1877. Saat itu, asisten residen RC Kroesen memaksa Teuku Tjhi' Meulaboh yang sudah renta untuk kembali menandatangani pengakuannya kepada kekuasaan Netherland di atas kapal perang Deli. Kroesen juga meminta bantuan Teuku Tjhi' untuk membangun benteng pertahanan di Meulaboh.

Namun hal ini tidak bisa dilaksanakan karena Teuku Kejuruan Muda dan pasukannya telah bersiap di lokasi yang dimaksud. Hingga akhir Maret, rencana Belanda tersebut tak kunjung berhasil hingga akhirnya mereka terpaksa mendatangkan pasukan pendaratan di bawah komando Kapten Siberg dengan Mayor Inggeris Palmer sebagai penasehat ahli.

Belanda mulai membuat kubu pertahanan di pantai dekat Merbau pada 10 April 1877. Setelah kubu pertahanan ini selesai menjelang akhir Maret, pasukan Belanda belum juga berani memasuki wilayah daratan yang membuat pasukan Aceh geram. Mereka sudah lama hendak membunuh Belanda yang mencoba menginjakkan kakinya di Meulaboh.

Penasaran dengan sikap Belanda tersebut, Teuku Kejuruan Muda kemudian mencoba salah satu tipuan. Dia mengirimkan tujuh prajurit terbaiknya ke pos Belanda yang berada di antara Meulaboh dan Sungai Merbau. Mereka menyamar sebagai utusan Teuku Tjhi' yang ditugaskan membantu patroli Belanda di daerah tersebut.

Pos ini merupakan bagian muka bivak yang terletak kira-kira 150 meter dari pusat komando perwira.

Ketujuh utusan yang menyamar tersebut hanya menyandang rencong di pinggangnya. Semula, Belanda ragu dan curiga dengan ketujuh pribumi tersebut. Namun akhirnya Belanda mengizinkan utusan tersebut masuk ke pos dan mengajak ronda bersama.

Saat patroli dilakukan, ketujuh utusan dijadikan sebagai tameng dan mereka ditempatkan di depan pasukan Belanda. Namun apa yang ditakutkan tak pernah terjadi pada patroli pertama tersebut. Hal ini membuat Belanda menjadi percaya dan bergaul dengan ketujuh pasukan Teuku Kejuruan Muda tersebut.

Kepercayaan Belanda tersebut dimanfaatkan dengan baik oleh ketujuh prajurit Aceh. Disaat pasukan Belanda lalai, ketujuh pejuang Aceh ini menyerang serdadu Belanda yang menyebabkan 11 di antaranya tewas dan empat lainnya melarikan diri. Serangan ini membuat pejuang Aceh berhasil menyita 11 pucuk senapan dan 250 amunisinya.

Selang sepekan, pasukan Aceh kembali menyerang langsung bivak Belanda. Serangan ini mengakibatkan seorang perwira dam puluhan serdadunya luka berat. Siberg sebagai komandan tertinggi di Meulaboh juga harus melarikan diri dari bivak menuju benteng yang sedang dibangun Belanda di pesisir pantai.

Geram dengan aksi pejuang Aceh, Belanda kemudian meneror gampong-gampong. Mereka juga membakar rumah-rumah penduduk. Sedikitnya tiga gampong berhasil dibakar seperti Gampong Merbau, Penaga, dan Ujung Tanjung.

Tindakan Belanda ini mendapat respon dari penduduk setempat yang geram. Mereka melawan serdadu Belanda dan terjadilah duel satu lawan satu. Kejadian tersebut menyebabkan Komandan Laut Letnan Vreede kritis dan banyak di antara serdadunya yang tewas.

Rakyat Meulaboh kemudian mengepung benteng Belanda yang berada di pesisir pantai. Serangan demi serangan dilancarkan setiap waktu yang membuat serdadu Belanda ketakutan. Bahkan Siberg tidak berani melawan sehingga ia digantikan oleh Kapten Von Lubtow.

Bala bantuan dari Ulee Lheue tersebut berhasil dicegat oleh pejuang Aceh. Konvoi yang datang dalam jumlah besar ini berhasil diobrak-abrik pasukan Aceh sehingga menyebabkan banyak Belanda yang tewas dan terluka. Tidak sedikit serdadu turut menyelamatkan diri dengan terjun ke laut dan akhirnya tewas di sana.

Belanda kembali mengirimkan bala bantuan di bawah pimpinan Mayor du Pon pada 10 Juni 1877. Belanda membangun satu benteng lagi di dekat Kota Meulaboh dan membakar rumah-rumah penduduk serta masjid. Aksi ini mendapat balasan dari masyarakat setempat. Mereka melancarkan serangan tiba-tiba ke pusat pertahanan Belanda.

Penyerangan yang dilakukan pejuang Aceh tersebut berhasil. Di Kuala Cangkol, pemimpin pasukan Belanda, Letnan Dijsktra terluka. Selain itu, Komandan Belanda de Wilde juga kritis di penyerangan lainnya yang dilakukan pejuang Aceh pada 4 Juli 1877. Tidak sedikit serdadu Belanda yang tewas dalam rentetan serangan tersebut meski ada juga pemimpin pejuang Aceh yang menjadi korban, seperti Teuku Abas.

Belanda kemudian mencoba memikat adik Teuku Kejuruan Muda, Teuku Raja Itam, untuk bergabung memihak kolonialis. Harapan Belanda yang hendak memecah belah persatuan warga dengan merekrut Raja Itam ternyata sama sekali tidak terwujud. Apalagi, Raja Itam hanya memanfaatkan Belanda agar mendapat keuntungan untuk kepentingan pribadinya.

Belanda semakin geram hingga akhirnya kembali membakar perkampungan penduduk di daerah-daerah tersebut. Sementara Teuku Kejuruan Muda terus memimpin pasukan Aceh di Meulaboh dan memindahkan pusat perjuangan ke pedalaman. Hal ini dilakukan untuk memudahkan serangan gerilya kepada Belanda tanpa harus mengorbankan rakyat.

Hingga permulaan 1878, Belanda tidak pernah bisa menguasai Meulaboh dengan aman. Bahkan ekspedisi-ekspedisi militer lanjutan yang dikirim dari Banda Aceh sama sekali tidak berhasil membungkam perlawanan rakyat meski Jenderal van der Heijden telah turun tangan.

"Hoe gunsting de zaken zich thans ook lieten zien, weldra zou blijken dat wij te Meulaboh niet veel verder gevorded werd waren en dat Teuku Kejuruan Muda en zijn aanhangers, steeds volslagen vijandig blijvende, voortdurend de veiligheid van het garnizoen en van de ons goedgezinde bevolking bedreigen (Biarpun peristiwanya terlihat sebagai menguntungkan kita, namun segera ketahuan bahwa kita di Meulaboh tidak mencapai kemajuan suatu apa dan bahwa Teuku Kejuruan Muda dan pengikutnya masih terus mengganggu keamanan benteng dan penduduk yang sudah memihak kita)," tulis Kielstra dalam arsip militer ekspedisi Belanda tersebut.

Apa yang disebut Kielstra sangat masuk di akal. Apalagi Teuku Kejuruan Muda selaku pemimpin perjuangan rakyat Aceh di Meulaboh sama sekali tidak bisa disentuh Belanda. Hingga akhirnya, tongkat perjuangan beralih ke tangan Teuku Umar yang meneruskan strategi Tipu Aceh kepada Belanda.[]

No comments:

Post a Comment