Wednesday, June 4, 2014

Pocut Meuligoe; Srikandi Aceh dari Samalanga

"HAAR haat tegen de Nederlanders was zoo groot, dat zij teneinde de weerbare mannen tot den krijgsdienst te verplichten, elke veldarbeid of straffe, van de gruwzaamste en onmenschelijke wreedheden, verbood. Voortdurend werden onze vijanden op Groot Atjeh door haar met geld, oorlogmaterieel en krijgers bijgestaan, waartoe ruimschoots in staat was.

In 1876 beproefde onze Regeering langs minnelijken weg Samalanga tot de erkenning harer opperheerschappij te brengen, doch berantwoordde die voorstellen door op onze oorlogschepen te vuren, en vergreep zich dermate, dat het in de nabijheid onzer vlag de brutalste zeerooverij pleegde".

"Kebenciannya terhadap Belanda sedemikian besar, terlihat dari perintahnya bahwa semua rakyat yang sudah sanggup berperang harus masuk berjuang, bahkan untuk keperluan itu sawah ladang harus ditinggalkan, dan kalau tidak bakal dihukum berat. Demikian pula ia (Pocut Mueligo) dengan terus mengirim bantuan dana, alat perang dan sukarelawan ke Aceh Besar demi membantu perjuangan Aceh di sana.


Samalanga dapat melakukan begitu karena perdagangan ekspornya ke luar berkembang bagus dan letaknya pun untuk keperluan tersebut cukup menguntungkan. Di tahun 1876 kita (Belanda) telah mencoba usaha supaya Samalanga mengakui pertuanan kita, tapi jawabnya ialah mereka menembaki kapal-kapal perang kita bahkan di dekat bendera kita sendiri mereka melakukan pembajakan paling kurang ajar."

Demikian kesan kapten Belanda Schoemaker mengenai Pocut Mueligo. Pertanyaannya siapakah Pocut Mueligoe ini?

Berdasarkan catatan H. Mohammad Said dalam bukunya Aceh Sepanjang Abad, Jilid II, menjelaskan Pocut Mueligoe merupakan sosok wanita yang memimpin pemerintahan Samalanga. Ia mewakili saudaranya Teuku Chi' Bugis yang sejak tahun 1857, menggantikan Kejuruan Tjhi'.

Pocut sebenarnya sekedar menguasai sebelah barat Samalanga dan Teuku Muda menguasai sebelah timur. Lama kelamaan de fakto atas bagian timur dikuasai oleh Kejuruan Tjhi' sampai masa ia diganti oleh saudaranya Teuku Tjhi' Bugis.

Pada saat Belanda hendak memasuki Samalanga, Pocut Meuligoe yang masih belia telah berhasil mempertahankan wilayah kerajaannya. Ia mewajibkan setiap pria untuk turun ke medan perang dan bertindak tegas kepada setiap pria yang mangkir dari kewajibannya tersebut.

Belanda pernah mengadu domba masyarakat Samalanga saat mereka berhasil masuk ke Aceh Besar, sekitar tahun 1874. Belanda memanfaatkan tokoh Teuku Muda sebagai ahli waris wilayah Samalanga. Namun strategi ini tidak berhasil disebabkan wibawa Pocut Mueligo di kalangan rakyat sangat populer di masa itu.

Harapan Belanda untuk menguasai Kerajaan Samalanga dengan mudah menjadi pupus. Akhirnya Belanda mencoba jalan kedua untuk menjajah wilayah tersebut dengan mengirimkan tiga kolonenya ke Samalanga. Pasukan ini dipimpin van der Heijden yang dulunya berkedudukan di Banda Aceh dan Aceh Besar.

Sebelum menyerang Samalanga, Belanda juga mengutus tim perunding untuk menjumpai raja T. Chik Bugis dan penasehatnya Pocut Meuligoe. Utusan tersebut sama sekali tidak bisa mempengaruhi pendirian Samalanga untuk takluk di bawah kekuasaan Belanda.

Pocut Meuligoe termasuk dalam para wanita pejuang Aceh, seperti Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, dan Tengku Fakinah. Wanita yang juga dipanggil dengan Pocut Maligai ini telah mempertahankan Samalanga dari serangan Belanda selama beberapa tahun, bahkan Jend. Karel van der Heijden kehilangan satu matanya dalam peperangan berusaha merebut wilayah Samalanga. Mata kiri Jenderal Van der Heijden tertembak pejuang Samalanga yang dipimpin seorang remaja putri, Pocut Meuligoe.

Pada tahun yang sama, Gubernur Belanda Kol. Karel van der Heijden merancang serangan ke Samalanga dengan menyiapkan batalion dan semua kapal perang Belanda termasuk Matelan Kuis, Amboina, Citadel van Antwerpen, Sambas dan Watergeus. Pasukan darat dipimpin oleh JDJ. van der Hegge Spies.

Ketika pasukan Belanda mendarat, pasukan Aceh telah siap menanti kedatangan mereka di Kiran dan Kuala Tambora. Di sebuah hutan yang telah dipasangi ranjau, 1 batalyon tentara Belanda dibantai dengan mudah hanya oleh 40 pejuang Aceh.

Tak lama kemudian bala bantuan Belanda datang, dan pasukan Aceh mundur sambil mengumpulkan tenaga ke Pengiit Tunong. Di kawasan ini perang sengit terjadi, pasukan Belanda amat tertekan dan banyak yang lari lintang pukang sambil membuang senjata begitu saja. Kejadian ini tidak terlepas dari peran seorang ulama setempat yang bernama Haji Ahmad. Dalam peperangan ini, Haji Ahmad sempat memancung kepala Letnan Ajudan Richello.

Haji Ahmad tertangkap dan ditawan Belanda, Pocut Meuligoe berusaha berunding untuk membebaskannya, namun perundingan gagal dan Haji Ahmad menjadi salah satu orang yang meninggal dalam serangan pertama Belanda ke Samalanga itu.

Belanda mencoba menguasai Blang Temulit, Samalanga, dengan mengerahkan tiga batalyon, plus pasukan marine, artileri dan 900 budak di bawah kepemimpinan Kapten (Dracula) Kauffman, Direktur penjara Belanda. Dengan keunggulan senjata, Belanda tidak serta merta berhasil menguasai Blang Temulit disebabkan pertahanan Samalanga sangat kuat. Untuk sampai di daerah tersebut, Belanda harus menghadapi ranjau-ranjau pasukan Samalanga, kawat duri, serta bambu duri.

Perebutan Blang Temulit harus dibayar mahal karena van der Heijden tertembak mata kirinya oleh sniper Aceh. Luka yang diperoleh oleh Heijden di serangan ini menyebabkan dirinya dijuluki Jenderal Mata Satu oleh orang Aceh. Selain itu, ratusan perwira dan serdadu Belanda menderita luka-luka bahkan tewas dalam peperangan tersebut.

Serangan yang memakan waktu dalam sebulan ini menyebabkan kerugian besar bagi Belanda. Akhirnya militer Belanda mengakhiri serangannya ke Batee Iliek guna menguasai Samalanga secara penuh. Belanda telah merasa puas dengan berkibarnya bendera “Prinsenvlag” atau “Bendera Sang Pangeran” di Blang Temeulit.

Belanda beberapa kali menyerang Samalanga, dan kegagalan demi kegagalan terus dituai pihak Belanda. Pada 17 September 1877 terjadi perundingan antara Belanda dan Kerajaan Samalanga yang diwakili oleh kakak Pocut Meuligo, Teuku Cik Bugis, yang pada saat itu baru kembali dari misinya ke luar negeri membeli senjata. Hasil dari perundingan tersebut menyebutkan bahwa Belanda diperbolehkan mengibarkan bendera di wilayah Samalanga tetapi tidak berkuasa atas wilayah tersebut, sementara kegiatan perdagangan ekspor-impor tetap berjalan tanpa ada gangguan dan Benteng Batee Iliek tidak boleh diganggu gugat.

Belanda belum puas atas hasil perjanjian tersebut dan berusaha merebut Samalanga, pada tanggal 30 Juni 1880, sebanyak 65 prajurit belanda di bawah pimpinan Let. Van Woortman secara diam-diam memasuki kampung dan sesampainya di Cot Merak, mereka dikepung penduduk setempat dan pertempuran sengit pun terjadi. Prajurit Belanda itu terdesak dan lari menyelamatkan diri kembali ke markas.

Pihak Belanda sangat tersinggung dengan peristiwa di Cot Merak. Akhirnya, Van der Heijden melanggar perjanjian yang telah disepakati bersama. Ia mengirim satu ekspedisi yang terdiri dari 32 pegai dan 1200 prajurit dengan alat tempur lengkap di bawah pimpinan Mayor Schmilau dan Mayor Van Steenvelt. Turut bersama pasukan Belanda itu adalah Panglima Tibang, bekas orang kepercayaan Sultan dan Teuku Nyak Lehman sebagai juru bahasa dan penunjuk jalan.

Pada tanggal 14 Juli 1880 kapal yang membawa pasukan Belanda itu merapat di Kuala Samalanga. Belanda mengundang Teuku Cik Bugis, Pocut Meuligoe, Teuku Bantara Cut (keponakan Pocut Meuligoe) dan beberapa tokoh Samalanga. Namun mereka tidak sudi datang dan malah bersiap-siap menghadapi kedangan Belanda di Batee Iliek.

Pada tanggal 15 Juli, Belanda mulai menyerang Benteng Batee Iliek, Pertempuran sengit terjadi, korban berjatuhan di kedua belah pihak. Schumacher mencatat kegagalan Belanda menembus pertahanan Benteng Batee Iliek. Tidak hanya itu, pasukan induk Belanda juga diserang dengan kelewang dari belakang bukit.

Schumacher juga menuliskan usaha pasukan Belanda untuk menaklukkan Samalanga, mereka terus maju dan menyerang tapi setiap kali terpaksa mundur meskipun bersenjata lengkap.

Akhirnya setelah 30 tahun gagal menaklukkan wilayah Samalanga, pada tahun 1904, dikerahkan 900 prajurit bersenjata lengkap ditambah dengan pasukan meriam. Usahanya kali ini mengakhiri perlawanan pejuang Samalanga setelah puluhan tahun melawan Belanda.

Namun dari berbagai referensi yang dibaca penulis belum menjelaskan bagaimana akhir perjuangan Pocut Meuligoe. Meskipun begitu, salah satu srikandi Aceh tersebut telah berhasil mempertahankan Samalanga dari pengaruh Belanda selama 30 tahun lamanya.[]

No comments:

Post a Comment