Wednesday, June 4, 2014

Aksi Pasukan Aceh di Teluk Tambora

JENDERAL Karel van der Heijden diangkat menjadi Gubernur sekaligus Panglima di Banda Aceh menggantikan Jenderal A. J. R. Diemont yang sakit, Juni 1877. Heijden merupakan blasteran Belanda yang lahir di Betawi pada 1826. Karirnya di Indonesia dimulai dari pangkat sersan.

Pergantian pucuk pimpinan perang di Banda Aceh turut mengubah kebijakan-kebijakan Belanda di daerah ini. Mereka yang semula fokus di ibu kota kini mulai melirik daerah-daerah pesisir timur yang menjadi sekutu Kerajaan Aceh. Salah satunya adalah Samalanga.

"Zeker is het dat General van der Heijden zijn sukses ook hieraan tedanken had, dat bij ieder kampong die zich onwilling toonde, zonder pardon met den grond gelijk maakte. (Jelas bahwa sukses van der Heijden ialah dari caranya menghancurkan kampung-kampung yang kelihatan tidak mau tunduk, hingga rata dengan tanah," tulis Dr. J. Jakobs dalam bukunya tentang van der Heijden.


Perangainya inilah yang kemudian membawa serdadu Belanda ke tanah Samalanga. Semasa kepemimpinannya, blokade seluruh pantai Aceh dijalankannya dengan ketat. Heijden memulai serangan pertamanya dengan mengirim tiga batalyon ke Samalanga pada 1876. Batalyon tersebut terdiri dari tiga kompi yang masing-masing berjumlah 150.

Heijden juga mengutus kapal-kapal perang ke utara Aceh, seperti Metalen Kuis, Citadel van Antwerpen, Sambas, Banda, Amboina, Palembang, Watergeus, Semarang, Borneo dan Sumatera. Nyaris seluruh kekuatan dari Aceh Besar diberangkatkan untuk merebut Samalanga.

Pasukan infantri Belanda dipimpin oleh Kapten Letnan ter zee van der Hegge-Spies. Heijden memberikan kewenangan untuk letnan terzee Unlenbeck sebagai komandan divisi pendaratan AL yang berjumlah 300 orang.

Sebelum penyerangan dilakukan, Heijden mengutus agen mata-mata ke Samalanga. Namanya Soetan Maharaja.

Dari laporan mata-mata tersebut diketahui bahwa pasukan Aceh telah mempersiapkan segala kemungkinan penyerangan yang akan dilakukan Belanda. Namun dalam penugasannya Soetan Maharaja berhasil ditangkap dan dihukum mati oleh pasukan Aceh.

Sayangnya, saat Soetan Maharaja dibunuh, informasi detail mengenai pertahanan Aceh telah sampai ke Belanda kecuali pertahanan muka di suatu tempat bernama Kiran. Belanda kemudian menyiapkan strategi melancarkan serangan dari daerah tersebut setelah mendapat informasi tambahan dari informannya.

Meski pun begitu, pasukan Aceh telah mengetahui bahwa Belanda akan menyerang dari daerah tersebut. Solusi yang dilakukan yaitu menyergap pasukan Belanda di dekat Kuala Tambora yang dipenuhi semak belukar.

Pasukan Aceh berjumlah 40 orang membuat ranjau-ranjau perintang. Mereka berhasil menyergap satu batalyon pasukan Belanda dengan bersenjata kelewang. Terjadilah pertempuran sengit.

Berdasarkan catatan Belanda, dalam dua hingga tiga menit saja penyergapan yang dilakukan pasukan Aceh tersebut memakan korban di pihak mereka. Tiga tewas dan 9 luka-luka termasuk seorang letnan, B.M. Leussen.

Keseluruhan batalyon ini nyaris tewas ditikam kelewang jika saja tidak mendapat bantuan dari Batalyon 8. Saat itu, 40 orang pasukan Aceh sudah kelelahan dan mundur secara teratur ke Pengilit Tunong atau 500 meter dari Kuala Tambora. Di Pengilit Tunong, pasukan Aceh kembali menunjukkan kelihaiannya mengayunkan kelewang dan berhasil mendesak serdadu Belanda.

Belanda tidak berhasil menerobos Pengilit Tunong meski sudah beberapa hari melancarkan serangan. Mereka lantas membangun bivak di pantai-pantai pendaratan yang letaknya jauh dari pertahanan pasukan Aceh.

Untuk melemahkan perjuangan pasukan Aceh, Belanda mengirimkan utusan yang terdiri dari mayor Inggris Palmer. Dia berasal dari India Division yang ditugaskan untuk membujuk pasukan Aceh menyerah dan berunding dengan Belanda. Namun, ke empat puluh pahlawan Samalanga ini langsung menolak perundingan tersebut.

Perang berlanjut. Pasukan Aceh melancarkan serangannya ke bivak-bivak Belanda dengan merayap. Serangan yang dilancarkan tiba-tiba dari dalam garis pertahanan Belanda membuat serdadu negara Kincir Angin ini terkejut. Banyak di antara pasukan pribumi Belanda yang menyerah.

"Een der Atjehsche hoofden, den hoogpriester Oelama een reusachtige gebouwde kerel, was met den bloeddorst eens tijgers op den luitenant-ajudant Richells toegesprongen en gap hem een geweidingen how op het hoofd (Seorang pemimpin pejuang Aceh, seorang ulama besar yang tegap badannya, dengan nafsu yang tak terkendalikan lagi melompat menyerang letnan aj.Richello serta memancung kepalanya," tulis Belanda dalam catatan resmi arsip militernya.

Ulama yang disebut dalam catatan tersebut adalah Haji Ahmad. Dia merupakan tokoh ulama di Samalanga yang dengan gagah berani menyerang Belanda bersama 39 orang pasukannya. Belanda kalah besar dalam serangan pertamanya. Namun dikemudian hari, nama Haji Ahmad telah menjadi target utama Belanda dalam ekspedisi militer lanjutan. Mereka akhirnya berhasil membunuh ulama tersebut dalam peperangan.[]

Sumber: H. Mohammad Said dalam buku Aceh Sepanjang Abad Jilid II

No comments:

Post a Comment