Thursday, June 12, 2014

Melacak Istana Pasai

“Ketika kami sampai di bandar itu, datanglah penduduk yang berada dalam perahu kecil, membawa buah-buahan dan ikan kepada kami di kapal. Bandar itu satu kota besar di pantai laut, dinamakan sarha. Di situ banyak rumah. Antara pantai dan kota itu jaraknya 4 mil.

Setelah itu wakil laksamana yang bernama Bahruz menulis surat kepada sultan memberitahukan kedatangan saya. Sultan menyuruh Amir Daulasah dan Kadi Syarif, Amir Sayid Shirazi, Tajuddin Isfahani dan para ulama lain menjemput saya. Mereka datang dengan membawa beberapa kuda dan kami pun menuju istana, yaitu Kota Sumutrah, satu kota besar yang indah berpagar kayu. Demikian pula rumah-rumahnya berpagar kayu.


Sultan negeri Sumatra itu bernama Malik Zahir tergolong raja yang berkelebihan dan berkebesaran daripada raja-raja lain. Raja itu bermazhab Syafiie dan cinta kepada ulama-ulama, serta mereka selalu menghadiri majelisnya untuk menyampaikan dakwah dan ceramah-ceramah agama. Baginda selalu merendah diri dan pergi bersembahyang Jum'at dengan berjalan kaki, serta semua rakyatnya bermazhab Syafii."

Begitulah Ibnu Batutah menukilkan kesaksiannya ketika singgah di negeri yang disebutnya “Kota Sumutrah”, kota yang kemudian diyakini para sejarawan sebagai Samudera Pasai. Batutah singgah di kota itu dalam perjalanan menuju Laut China tahun 1345. Catatan itu dimuat dalam buku berjudul Tuhfat al-Nuzzhar fi Ghara’ib al-Amshar wa ‘Aja’ib al-Asfar (Persembahan Seorang Pengamat tentang Kota-Kota Asing dan Perjalanan yang Mengagumkan). Buku ini biasa disebut Rihlal Ibnu Batutah.  Catatan ulama pengembara asal Maroko itu hingga kini menjadi salah satu rujukan para sejarawan ketika meneliti riwayat Samudera Pasai yang kini berada di wilayah Aceh Utara.

Dalam kesaksiannya, terlihat jelas decak kagum Ibnu Batutah terhadap raja dan negeri yang dipimpinnya. “Negeri yang hijau dengan kota pelabuhannya yang besar dan indah,” tulis Ibnu pada bagian lain catatannya.

Ia pun memasukkan Raja Pasai yang memerintah saat itu, Malik Al-Zahir, sebagai salah satu dari tujuh raja yang dikagumi selama 30 tahun pengembaraannya. Raja Irak dinilainya berbudi bahasa, Raja Hindutani sangat ramah, Raja Yaman berakhlak mulia, Raja Turki gagah perkasa, Raja Romawi sangat pemaaf, Raja Turkistan, dan Raja Melayu Malik Al-Zahir yang disebutnya berilmu pengetahuan luas dan mendalam.

***

Berselang 668 tahun setelah kedatangan Ibnu Batutah, jejak sejarah Samudera Pasai banyak yang raib. Tak banyak bukti sejarah yang ditemukan. Untunglah masih ada makam para Raja Samudera Pasai dan temuan mata uang koin emas sebagai bukti kebesaran masa lalu Samudera Pasai. Salah satu yang hingga kini masih menjadi pertanyaan besar: di mana letak Istana Pasai yang disebut Ibnu Batutah berjarak 4 mil dari pantai?

Pertanyaan itu sesungguhnya telah lama muncul di benak peneliti asing yang terkagum-kagum dengan catatan sejarah Samudera Pasai. Salah satunya adalah J.P. Moquetta, peneliti Belanda yang pada 1914 meneliti jalur masuknya Islam ke nusantara. Ia menduga Istana Pasai terletak di Cot Istana, sebuah kawasan berbukit, tapi rendah yang letaknya menghadap ke laut.

Sayangnya, hingga seratus tahun sesudahnya, belum ada penggalian arkeologi untuk membuktikan benar tidaknya dugaan Moquetta. Padahal, peneliti datang silih berganti, lalu menerbitkan bermacam rekomendasi.

Sumber naskah Melayu tertua tentang Pasai yang kerap menjadi rujukan setiap membahas Samudera Pasai adalah Hikayat Raja-Raja Pasai. Meski kebenaran sebagian isi ceritanya masih menjadi kontroversi, Hikayat Raja-Raja Pasai adalah rujukan tertua dari sumber Melayu.

Diperkirakan ditulis pada abad ke-14, karya sastra Melayu tersebut pertama kali diterbitkan pada 1849. Naskah yang ditulis dalam aksara Arab Jawi ini dibawa oleh Sir Thomas Stanford Raffles ke London dan dilaporkan tersimpan di perpustakaan Royal Asiatic Society hingga kini. Pada1874, Aristide Marre menerjemahkannya ke dalam bahasa Prancis dengan judul Histoire des Rois de Pasey (Traduite du Malay Et Annotee).

Hikayat Raja-Raja Pasai bercerita tentang peristiwa yang terjadi antara tahun 1250 – 1350. Mulai dari pemerintahan Raja Meurah Silu yang mengganti namanya menjadi Malikul Saleh, kisruh perebutan kekuasaan di lingkar kerajaan, hingga penaklukan Pasai oleh Majapahit.

Tentang posisi istana juga tak disinggung dengan jelas dalam Hikayat Raja-Raja Pasai.

“Sekali persetua pada suatu hari Merah Silu pergi berburu. Maka ada seekor anjing dibawanya akan perburuan Merah Silu itu bernama Si Pasai. Maka dilepaskannya anjing itu lalu ia menyalak di atas tanah tinggi itu. Maka dilihatnya ada seekor semut besarnya seperti kucing. Maka ditangkapnya oleh Merah Silu semut itu, maka lalu dimakannya, maka tanah tinggi itu pun disuruh Merah Silu tebas pada segala orang yang sertanya itu. Maka setelah itu diperbuatnya akan istananya, setelah makan Merah Silu pun duduklah ia di sana, segala hulubalangnya dan segala rakyatnya diam ia di sana. Maka dinamai oleh merah Silu negeri itu Samudera artinya semut yang amat besar; di sanalah ia diam raja itu.”

Penggalan kisah itu hanya memberi petunjuk bahwa istana Pasai terletak “di atas tanah tinggi”. Temuan-temuan arkeologi, baik pada era kolonial Belanda maupun sesudahnya memperkuat dugaan bahwa Cot Istana, seperti dugaan Moquetta, adalah lokasi bekas Istana Pasai.

***

Terletak di ketinggian tiga meter di atas badan jalan, lahan berbentuk bukit kecil itu luasnya sekitar dua hektare. Di sebelah utara terhampar tambak ikan yang membentang hingga ke tepi pantai. Antara tambak dan bukit kecil itu hanya dipisahkan badan jalan. Inilah Cot Istana. Di selatan, ada rawa dan rumah-rumah penduduk. Arah timur kebun, dan di sisi barat ada sebuah tambak yang berjarak sekitar 50 meter, terpisah oleh lahan kosong yang sempit.

Di atas lahan itu tumbuh subur beragam tanaman aneka ukuran. Dua di antaranya yang paling besar adalah pohon ketapang dan bak leupee. “Dulu ada satu lagi bak pu’uk, tapi sudah tumbang,” kata Ramlan Yunus yang menemani kami berkunjung ke Cot Istana.

Di sela-sela tumbuh-tumbuhan tampak ratusan kuburan yang nisannya berupa batu-batu seperti di lokasi pemakaman umum. Salah satu makam pada nisannya tertulis nama Hj. Aisyah binti Sufi, meninggal 9 Maret 2003, usia 73 tahun.

Di sini juga ada batu-batu besar berbentuk bulat. Ramlan Yunus memperkirakan batu besar tersebut peninggalan zaman Samudera Pasai. “Salah satunya seperti batu tempat cuci kaki, karena na abeuk,” kata warga Kuta Krueng ini.

Cot Istana berada di Desa Kuta Krueng. Sejak lama warga setempat menyebut dataran tinggi ini sebagai Cot Istana karena diyakini sebagai bekas Istana Raja Samudera Pasai. “Ka cukôp trép, ka meuketurunan ureung gampông nyoe, cot nyan geu peunan Cot Istana (sudah cukup lama, turun-temurun orang kampung di sini menamakan bukit itu Cot Istana),” kata Apa Lan, 45 tahun, seorang warga yang kami temui di tepi tambak depan Cot Istana.

Setelah lahan itu dijadikan lokasi kuburan umum, warga mulai menyebutnya dengan Cot Astana. Di lahan ini terdapat sisa bekas karang. Pernah seorang warga menemukan batu bata bersusun saat menggali tanah untuk kuburan warga gampông di lokasi ini. Temuan tersebut membuat warga semakin yakin bahwa ada bekas bangunan terkubur di Cot Istana.

Direktur Lembaga Penelitian Universitas Syiah Kuala, Husaini Ibrahim, tak begitu saja percaya bahwa Cot Istana adalah bekas lokasi Istana Pasai. “Untuk dugaan Cot Istana merupakan pusat kerajaan, itu bisa jadi, tetapi harus ada penggalian dan penelitian lebih lanjut untuk membuktikan dugaan itu,” katanya.

Menurut Husaini, bekas istana sebuah kerajaan tidak hanya berdasarkan dugaan perbedaan topografi tanah yang tinggi dari daerah sekitarnya. Bahkan ada beberapa situs sejarah yang ditemukan terkubur dalam persawahan penduduk seperti Candi Borobudur.

“Jadi memang harus dijajaki terlebih dahulu, dibuktikan dengan literatur-literatur yang ada dan kemudian dilakukan penggalian,” katanya.

Pada Juli 2013, Tim Pusat Arkeolog Nasional Kementerian Pendidikan Kebudayaan pernah menggali bukit ini untuk membuktikan dugaan adanya bangunan yang terkubur di Cot Istana. Tim ini terdiri dari arkeolog, geograf, sejarawan, ahli biologi, serta didukung tenaga ahli teknis ukur tanah, ekskavasi, dan ahli teknologi informasi.

Penelitian dilakukan untuk mengetahui adanya keterkaitan tsunami dengan kehancuran seluruh bangunan atau infrastruktur kota Kerajaan Samudera Pasai.

“Sebelum berangkat, tim telah melakukan kajian pustaka, dokumen, serta analisis citra satelit sebagai bekal dasar pemahaman kajian daerah penelitian,” kata Dr. Mohammad Gamal Rindarjono, ahli geografi Universitas Sebelas Maret (USN) Surakarta yang merupakan anggota tim peneliti.

Hasil penelitian lewat citra satelit menemukan beberapa wilayah yang memiliki kekhususan. Di antaranya, kenampakan fisikal seperti sungai mati, jalur sungai purba, indikasi garis pantai lama, lake (danau tapal kuda), dan back swam (rawa belakang). Selain itu, daerah Cot Istana seluas dua hektare memiliki anomali seperti bentuknya segi empat dan daerah ini lebih tinggi dari daerah sekitarnya.

“Di ujung utara bagian kanan (timur) terdapat bentukan memanjang seperti sebuah dermaga, dan di ujung barat ada bentukan setengah lingkaran seperti bekas bastion atau benteng pertahanan,” kata Gamal.

Apabila direkonstruksi, daerah ini dimungkinkan menghadap ke utara, langsung berhubungan dengan laut yang sekarang bersalin rupa menjadi tambak warga. Kemudian ditambah dengan topo name daerah ini adalah Cot Istana, maka ada indikasi daerah ini cukup penting bagi Kerajaan Samudera Pasai. Bahkan di sebelah utara yang berbatasan dengan Selat Malaka, ditemukan bentukan seperti bekas dermaga di ujung kanan depan. Sementara di sebelah kiri depan terdapat bentukan seperti sebuah bastion pada posisi lebih tinggi 2 meter dibanding daerah sekitarnya.

“Analisis citra satelit dapat merekonstruksi daerah yang terkena abrasi, daerah yang mengalami akresi (penambahan ke arah laut), sungai-sungai mati, oxbow lake, serta perubahan garis pantai, dan juga anomali daerah yang berbeda dengan daerah sekitarnya yang cukup mencurigakan,” katanya.

Pada tempat–tempat yang memiliki anomali inilah titik-titik ekskavasi ditentukan. Di atas permukaan, tim juga menemukan pecahan tembikar, keramik, logam, serta struktur batu bata yang diindikasikan adalah sisa bangunan. Di lokasi ini juga terindikasi adanya bangunan masjid yang telah runtuh.

Temuan-temuan itu membuat Gamal dan timnya tambah yakin Cot Istana atau Cot Astana adalah daerah penting bagi Pasai. Namun, kata dia, tetap saja dibutuhkan penelitian lanjutan secara komprehensif dari berbagai disiplin ilmu. Itu sebabnya, ia berharap pengambil kebijakan bersedia mendukung penelitian lanjutan. “Dari berbagai catatan yang saya baca, ada benang merah bahwa Istana Samudera Pasai secara tersamar mulai ada titik terang,” katanya.

Catatan sejarah yang dinukilkan oleh H. Mohammad Said dalam bukunya Aceh Sepanjang Abad juga menjelaskan lokasi pusat Kerajaan Samudera Pasai. Dalam catatannya disebutkan bahwa Kerajaan Samudera  Pasai yang dulu, letaknya antara Sungai Jambu Air (Krueng Jambu Aye) dengan Sungai Pasai (Krueng Pase di Aceh Utara).

 “Dari Pantai Lhokseumawe wilayah Pasai itu dapat dilihat. Jika ke sana, dapat diambil kereta api ke Geudong. Dari situ baru ditempuh jalan kaki ke sana. Tapi kepastian tentang kotanya sudah sukar ditetapkan sebab bekasnya hanya dapat diagak-agak (berdasarkan dugaan),” tulisnya.

Lain halnya dengan Samudera. Mohammad Said mengatakan pusat kerajaan ini berada di sebuah kampung kecil yang bernama Samudera dan masih ada hingga saat ini. Menuju ke lokasi ini dapat dilakukan melalui Geudong ke Samudera. “Di situlah didapati makam Malikussaleh di dekat istananya. Dengan demikian, jelaslah bahwa Kota Samudera yang disebutkan di dalamnya telah dibangun dimana istana itu berada,” tulis Mohammad Said.

Selain merujuk pada catatan perjalanan Ibnu Batutah, Muhammad Said juga mengacu pada keterangan Marcopolo, penjelajah dari Venesia, Italia, yang berkunjung ke Samudera Pasai sebelum kedatangan Ibnu Batutah.  “Kerajaan ini besar dan kaya,” tulis Marcopolo. Dia juga mencatat adanya perdagangan timah, gading gajah, kulit penyu, kapur barus, cengkeh, pala, dan hasil alam lainnya di Samudera Pasai.

***

Temuan penting Gamal dan timnya dari Tim Pusat Arkeolog Nasional Kementerian Pendidikan Kebudayaan adalah langkah maju untuk menjawab awal mula munculnya peradaban Islam di Aceh, juga nusantara. Selama ini, para ahli hanya bersandar pada naskah kuno dan tulisan kaligrafi yang ditemukan pada makam para Raja Pasai di Geudong, Kecamatan Samudera, Aceh Utara.

Langkah ke arah itu sebenarnya sudah dimulai jauh sebelum Gamal dan timnya turun ke Cot Astana. Pada akhir September 1992, Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menggelar diskusi nasional membahas Samudera Pasai. Diskusi itu menghadirkan para sejarawan dan arkeolog kondang pada masanya. Salah satunya adalah Profesor Teuku Ibrahim Alfian, sejarawan Universitas Gajah Mada Yogyakarta asal Aceh.

Salah satu kesimpulannya: Pasai adalah kota pelabuhan jalan sutra. Istilah ini merujuk pada jalur perdagangan lewat darat dan laut yang menghubungkan timur dan barat. Disebutkan, Pasai memainkan peran penting dalam kegiatan niaga antara Asia Timur dan Asia Barat, Afrika, dan Eropa selama sekitar dua abad. Kondisi ini menyebabkan Pasai tumbuh menjadi sebuah bandar niaga yang bercorak kosmopolit. Seiring dengan itu, kekuatan politik dan agama Islam membawa Pasai menjadi salah satu negara bercorak Islam paling awal di Indonesia.

Pertemuan itu juga merekomendasikan perlunya penelitian terpadu untuk mengungkap aspek kehidupan dan budaya Pasai masa lampau. “Seperti kekuasaan Pasai, peranannya sebagai salah satu pusat persebaran agama, sebagai bandar internasional, dan perannya dalam perjalanan sejarah bangsa.”

Jika mengacu pada naskah kuno, anggapan Samudera Pasai sebagai sebuah bandar penting di jalur sutra tidaklah berlebihan. Dokumen Kerajaan China sejak 1403 Masehi telah merekam Samudera Pasai dengan sebutan Su-mun-tha-la.

Perkenalan antara Pasai dan China dicatat dengan baik dalam dokumen kerajaan “Naga Merah” yang dimulai saat seorang raja dari Samudera Pasai yang disebut bernama Tsai-nu-lia-pi-ting-ki mengirim utusan ke Tiongkok. Menurut buku Groeneveldt, peristiwa ini terjadi masa pemerintahan Kaisar Ch’eng Tsu antara 1403 hingga 1424 M. Sementara China mengirim utusannya Yin Ch’ing ke Su-mun-tha-la untuk menguatkan kerja sama perdagangan dan hubungan diplomatik.

Ensiklopedia Tionghoa "San-Tsai-ikuan-thue" yang dicetak pada 1723 M juga telah memiliki daftar "Su-mun-tha-la" dalam literaturnya. Namun di kemudian hari nama itu tidak lagi mencerminkan nama "Samudera" (yang letaknya berhampiran dengan Pasai), tetapi sudah meliputi seluruh Pulau Sumatera. Hal ini disebabkan telah dikenalnya nama "Aceh" dalam catatan Tionghoa sejak 1618 M yang salah satunya ditulis dalam buku: IV "Tung Hsi Yang K'au."

Sumber Cina lain tentang Samudera Pasai adalah catatan perjalanan Laksamana Cheng Ho dari tahun 1405 sampai 1407. Singgah di Pasai dalam ekspedisi ke 19 negara yang membentang dari Asia hingga Afrika, kisah perjalanan itu ditulis oleh Ma Huan, seorang Islam dan ahli bahasa asing yang ikut dalam rombongan itu. Catatan yang diterbitkan pada 1416 itu diberi judul Ying Yai Sheng-Lang.

Dikisahkan, rombongan Cheng Ho singgah di Pasai pada 1405. Dibanding catatan lain, Ma Huan lebih rinci memotret kehidupan di Pasai, termasuk ramainya kapal yang berlabuh di pelabuhannya. Lihat saja penggalan deskripsinya:

Negeri ini terletak di perlintasan yang lebar dari perdagangan menuju ke Barat. Jika kapal bertolak dari Malaka mengambil arah ke Barat dan berlayar dengan angin Timur yang sedap, sesudah lima hari lima malam akan tiba di suatu kampung di tepi pantai-pantai, namanya Ta-luman. Berlabuh di sini dan pergi lagi ke Tenggara kira-kira tiga mil maka sampailah ke tempat tersebut.

Negeri ini bukan satu kota bertembok. Ada lapangan luas menuju laut, dimana ada air surut dan naiknya setiap hari. Ombak-ombak di muara amat tinggi dan kapal terus-terusan ditemui di sini.

Arah ke Selatan dari tempat ini, kira-kira sejak 100 li (kira-kira 30 mil), dijumpai bukit tinggi yang berhutan. Ke Utara adalah laut, ke timur juga bukit-bukit tinggi dan jika terus dijalani akan ditemui negeri Aru. Ke barat sebelah pantai terdapat dua negeri, yaitu negeri Nakur dan yang kedua adalah negeri Litai.

Hawa udara di negeri ini, tulis Ma Huan, tidak sama sepanjang tahun. Jika siang panasnya terik, jika malam sejuk seperti musim rontok. Bulan ke-5 dan 7 adalah musim penyakit malaria.

“Rumah-rumah penduduk tinggi dari tanah dan tidak bertingkat. Atapnya diperbuat dari daun nipah dan rumbia, disusun dan disimpai dengan rotan. Kemudian ada pula diperbuat tikar rotan dan pandan.”

Negeri ini, tulis Ma Huan, banyak sekali disinggahi oleh kapal-kapal Melayu antarpulau dan perdagangan antara sesama mereka amatlah ramai dan penting.

Ketika itu, sudah dipergunakan duit emas dan timah. “Uang emas disebut dinar, takarannya 7:10 dengan emas murni. Beratnya 2 fan 3 li, kira-kira lebih sedikit 9/10 gram. Dalam pasar sehari-hari, mereka umumnya mempergunakan duit timah.”

Ia juga menuliskan tentang temuan belerang di gua-gua yang terdapat di perbukitan. “Di bukit ini tidak ada tumbuhan hidup, kering. Tanah tidak terlalu subur. Mereka menanam padi di tanah terbuka, dimana dapat dilakukan dua kali setahun. Tapi enjelai dan gandum tidak didapati. Lada tumbuh di dekat-dekat bukit, pak tani menanamnya di sekitar tempat mereka tinggal. Bunga-bunganya menguning dan memutih. Lada adalah suatu tanaman. Selagi muda warnanya menghijau, sesudah masak menjadi merah. Jika setengah masak sudah diambil, maka ia pun dikeringkan dan dijemur sebelum bisa dijual. Lada yang terdapat dimana-mana itu adalah berasal dari negeri ini. Setiap 100 kati menurut timbangan resmi telah dijual dengan harga 80 uang emas, serupa dengan nilai 1 tahil parak.”

Ma Huan juga bercerita tentang buah-buahan yang dijumpai seperti pisang, tebu, durian, manggis, dan nangka.

Tentang adat istiadat di Pasai, Ma Huan, menyamakannya dengan Malaka, termasuk tata cara mengadakan keramaian dan saat ditimpa kemalangan. Ma Huan menyebutkan, bahasa yang dipakai serupa di Malaka dengan di Pasai. Ini berarti, sejak 1405 bahasa Melayu sudah menjadi bahasa nusantara.

 ***


PARA peneliti juga telah lama menyelisik hubungan antara Pasai dan kerajaan-kerajaan lain di nusantara. Salah satunya dengan Majapahit di Pulau Jawa.

Hikayat Raja-Raja Pasai menyebut Kerajaan Samudera telah lama menjalin hubungan dengan Majapahit yang mayoritas menganut Hindu. Namun, hubungan ini retak setelah putri Kerajaan Majapahit yang hendak dinikahkan dengan Tun Abdul Jalil, putra Sultan Ahmad Permadala Permala, bunuh diri. Penyebabnya, putri dari Kerajaan Majapahit ini patah hati karena Tun Abdul Jalil—pria yang disukainya—telah dibunuh oleh ayahnya sendiri karena Sultan Ahmad ternyata juga menyimpan cinta pada sang putri. Maka murkalah Raja Majapahit. Puncaknya, Samudera Pasai diserang.

Peristiwa ini juga tercatat dalam Kitab Negarakertagama, naskah kuno era Majapahit yang baru saja diakui lembaga PBB UNESCO sebagai salah satu karya monumental Memory of The World pada 2013.  Disebutkan, peristiwa itu terjadi tak lama setelah Gajah Mada diangkat sebagai Perdana Menteri Majapahit, antara tahun 1331 dan 1364.

Namun, penulis Aceh Sepanjang Abad, Mohammad Said menyimpulkan, persoalan cinta bukan satu-satunya penyebab serangan. Said menyimpulkan ada faktor ekonomi yang melatarbelakanginya. Alasannya, kata Said, Majapahit, membutuhkan jaminan hubungan lalu lintas perdagangan dengan luar negeri di Selat Malaka.

Saat itu, Selat Malaka kian ramai dikunjungi oleh pedagang asing karena faktor perang salib. Di sisi lain, Majapahit sendiri memiliki obsesi ingin menjajah seluruh nusantara dalam satu kesatuan. Karenanya, Mohammad Said menyimpulkan, kejadian bunuh diri putri Majapahit ini merupakan satu dari sekian banyak alasan armada Gajah Mada menyerang Pasai.

Kesimpulan itu diperkuat dengan fakta bahwa saat itu pengaruh Hindu di Asia Tenggara mulai berkurang karena masuknya ajaran Islam yang berkembang dari Pasai, selain Peureulak dan Lamuri.

Hikayat Raja-Raja Pasai dan Kitab Negarakertagama mencatat dengan baik kisah penyerangan Majapahit ini. Raja Ahmad yang memerintah Pasai mencoba menghalau pasukan Gajah Mada dengan segenap kekuatannya. Namun upayanya tidak berhasil, bahkan terpaksa melarikan diri dan menyerahkan tahta kerajaan kepada Majapahit.

Berhasil menguasai Pasai, prajurit Majapahit tak menduduki Pasai. Mereka kembali ke negeri asalnya dengan memboyong harta rampasan perang yang banyak dan para tawanan. Berdasarkan catatan sejarawan, para tawanan ini pula yang kemudian harinya menyebarkan Islam di negeri Jawa.

Belakangan, Majapahit bahkan mengangkat bangsawan Pasai yang dapat dipercaya untuk memerintah Kerajaan Pasai. Raja ini tak lain adalah Ratu Nur Ilah, keturunan Sultan Malikuzzahir, yang nisannya ditatah dengan huruf Jawa kuno atas arahan pembesar-pembesar Majapahit.

Bukti Nur Ilah diangkat oleh Majapahit juga diabadikan dalam Silsilah Raja-Raja Pasai yang dipajang di kompleks makam Sultan Malikussaleh (Baca: Kisah Otonomi Pasai dan Majapahit).

Meski begitu, Ketua Jurusan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala, Mawardi Umar, meragukan adanya hubungan politik antara Pasai dan Majapahit. Pasalnya dia merujuk perbedaan tahun munculnya dua kerajaan ini.

“Masa berkembangnya Pasai sebagai Kerajaan Islam, pengaruh Majapahit sudah menurun. Harus dilihat dari segi anakronisme, pencocokan tahun antara kedua kerajaan ini,” katanya.

Bahkan, kata dia, sejarah Majapahit dan Gajah Mada sendiri hingga saat ini masih diperdebatkan. “Namun hubungan ini bisa saja terjadi karena ada daerah di Tamiang itu disebut Manyak Payet, tapi harus dilihat lagi apakah ada keterkaitannya dengan Majapahit yang ada di Jawa itu,” ujarnya.

Tapi Mawardi Umar tidak meragukan adanya Kerajaan Pasai yang pernah berkembang di Aceh. Hal tersebut, kata dia, bisa dibuktikan dengan adanya makam-makam Raja Pasai dan peninggalan mata uang emas milik kerajaan tersebut. “Bukti-bukti fisik ini membuktikan Kerajaan Pasai memang pernah ada, dan hingga saat ini dipercaya kerajaan ini berkembang di abad ke-13 sesuai catatan di makam Sultan Malikussaleh atau Meurah Silu,” katanya.

***

PERTENGAHAN November 2013, seorang perempuan paruh baya membungkuk dan mencium batu nisan Sultan Malikussaleh. Matanya lembab lantaran menangis. Rusni, nama perempuan itu, ikut dalam 20-an rombongan penziarah. Mereka mendaras doa di makam pendiri Kerajaan Samudera Pasai itu. Seusai berdoa, seperti halnya Rusni, penziarah lainnya, termasuk seorang bocah, ikut mencium makam sultan.

Seusai ritual ziarah, sebagian penziarah merogoh dompetnya dan memasukkan uang ke “kotak amal” di kompleks makam itu. Ada pula remaja yang berfoto dengan kamera poket dan telepon genggamnya.

Rombongan penziarah itu berasal dari sejumlah gampông di Kemukiman Njong, Bandar Baru, Pidie Jaya. Rusni, misalnya, warga Gampông Kayee Raya, Kemukiman Njong. Mereka tiba di kompleks makam Sultan Malikussaleh di Gampông Beuringen, Samudera, Aceh Utara, setelah menempuh perjalanan sekitar 2,5 jam dengan bus, awal November 2013.

“Kami datang kemari khusus untuk ziarah dan berdoa bersama untuk kebaikan kita semua,” ujar Rusni sambil menyeret kakinya keluar dari kompleks makam. “Selama ini kami hanya dengar dari orang-orang tentang Malikussaleh, sultan dan ulama yang mengislamkan indatu kita, sekarang sudah melihat makamnya.”

Rusni dan anggota rombongan lainnya kemudian berpamitan pada Teungku Muhammad Yakob, 71 tahun, juru kunci makam Sultan Malikussaleh. “Hampir tiap hari ada pengunjung, rata-rata berombongan. Ada yang hanya berziarah dan berdoa bersama, ada yang ingin dengar sejarah, ada yang ingin meneliti sejarah. Ada juga yang sekadar lihat-lihat,” ujar Muhammad Yakob.

Situs makam Sultan Malikussaleh berjarak lebih kurang 2 kilometer dari Jalan Banda Aceh-Medan, Simpang Keude Geudong, Samudera. Kompleks makam sultan ini dipagari beton bercat putih setinggi satu meter. Di atasnya ada pagar besi hijau setinggi lebih dari satu meter.

Sebagian halaman kompleks makam berlantai keramik warna krem. Dekat pintu masuk di halaman kompleks tampak prasasti bertuliskan nama pemilik makam dan tarikh wafatnya. Sedikitnya 10 pohon tumbuh subur dalam pekarangan kompleks tersebut. Di antaranya, pohon Seulanga, jambu delima, dan bak kupula (bunga tanjung).

Lantai sisi kanan dan kiri makam lebih tinggi sejengkal tangan orang dewasa dari lantai halaman kompleks, berkeramik putih, dan dipayungi cungkup terbuat dari genteng hijau. Konstruksi cungkup bertingkat mirip atap masjid kuno. “Cungkup itu dibangun masa Presiden Soeharto,” ujar Teungku Ahmad Yus, 60 tahun, warga Gampông Beuringen.

Teungku Ahmad Yus berada di kompleks makam Sultan Malikussaleh sebagai penutur sejarah kepada pengunjung cagar budaya tersebut. Hal itu dia lakoni sudah 30 tahun lebih. “Sumber sejarah yang saya ceritakan dari sejumlah buku zaman dulu,” katanya.

Makam Sultan Malikussaleh tertutup kelambu hijau. Bentuk nisan makamnya mirip mahkota kerajaan. Batu nisan tersebut terbuat dari batu Aceh atau dikenal dengan batu gunung. Di atas badan makam bertaburan batu-batu bulat berukuran kecil, yaitu batu sungai. Nisan makam sebelah kaki dan kepala terukir tulisan bahasa Arab.

Menurut Epigraf, Taqiyuddin Muhammad, batu hasil pahatan seperti pada nisan Sultan Malikussaleh itu lumrah dibuat di kawasan Aceh Besar dan Banda Aceh. Nisan tersebut memperlihatkan hasil karya pahatan pada era Kerajaan Aceh Darussalam dan diperkirakan sezaman dengan batu-batu nisan di Gampông Pande, Banda Aceh, awal abad ke-16 Masehi.

“Sebab hanya bunyi epitaf pada nisan makam Al-Malik Ash-Shalih (Sultan Malikussaleh) yang berbeda, sementara lainnya tidak ada perbedaan apa pun, baik model nisan, ornamen dan motif, jenis dan gaya kaligrafi, sampai petikan ayat Alquran dan syair, dengan nisan-nisan di Gampông Pande serta lainnya yang tersebar di wilayah Banda Aceh dan Aceh Besar,” ujar lulusan Al Azhar, Kairo dan sudah lama meneliti sejarah kebudayaan Islam di Aceh Utara.

Dia menduga nisan asli makam Sultan Malikussaleh sudah diganti dengan nisan masa Aceh Darussalam. Berdasarkan catatan pada nisan makamnya, Sultan Malikussaleh wafat 696 Hijriah atau 1297 Masehi. Pada batu nisan sebelah kaki atau selatan terdapat epitaf yang menyebut sifat-sifat Sultan Malikussaleh di masa hidupnya.

“Ia adalah seorang yang bertakwa, pemberi nasihat, berasal dari keturunan terhormat dan terkenal, ahli ibadah, seorang pembebas atau penakluk,” kata Taqiyuddin menerjemahkan.

Di sisi timur makam raja pertama Samudera Pasai itu terdapat makam Sultan Muhammad bergelar Al-Malik Azh-Zhahir (raja yang menang). Inilah sultan yang dipuja-puji oleh Ibnu Batutah ketika singgah di Pasai 668 tahun silam. Makam putra Sultan Malikussaleh ini tidak tertutup kelambu.

Nisan Al-Malik Azh-Zhahir biasa disebut Sultan Malikul Zhahir, terbuat dari batu granit warna gelap dan bentuknya mirip kubah masjid. Badan makam juga terbuat dari batu granit dan bentuknya bertingkat. Diperkirakan batu nisan ini didatangkan dari Delhi karena bentuknya mirip kubah-kubah masjid di India. Catatan pada nisannya, sultan ini wafat 726 H atau 1326 M.

Tulisan bersurat atau inskripsi di batu nisan sebelah kaki menjelaskan bahwa Malikul Zhahir bergelar “Syamsuddunya waddin” (matahari dunia dan agama). “Gelar itu menunjukkan ia seorang sultan dan juga pembela agama atau ulama,” katanya.

Di nisan bagian kepalanya terukir surah At-Taubah ayat 21 hingga 22. Ayat ini menerangkan tentang rahmat, keridaan, surga, serta kesenangan yang kekal bagi orang-orang yang beriman, berhijrah, dan berjihad di jalan Allah dengan jiwa dan harta.

“Ia menggantikan ayahnya sebagai Sultan Samudera Pasai setelah ayahnya meninggal. Ia dan ayahnya peletak fondasi yang kokoh bagi Kerajaan Islam Samudera Pasai. Masa pemerintahan keduanya periode terpenting dalam sejarah Islam di Asia Tenggara,” ujar Taqiyuddin.

Di sisi nisan Malikul Zhahir sebelah utara ada kotak kecil terbuat dari kayu. Di atasnya terdapat enam Alquran dan tujuh lembar sajadah. Di dalamnya, ada laci atas berisi empat mukena, laci bawah lebih 20 buku saku berisi surah Yasin. Satu meter dari kotak itu, sisi salah satu tiang sebelah timur bangunan cungkup makam Sultan Malikussaleh dan Sultan Malikul Zhahir, ada kotak amal.

Di dalamnya tampak uang pecahan 10 ribu dan 5 ribu rupiah dalam jumlah banyak. Dekat pagar sebelah timur dalam kompleks makam Sultan Malikussaleh dan Malikul Zhahir, terdapat lebih 10 batu nisan berbentuk bulat. Nisan-nisan ini tidak diketahui identitas pemiliknya karena tidak ada keterangan tertulis layaknya nisan makam sultan.

Sementara Teungku Ahmad Yus meyakini nisan-nisan itu milik orang yang syahid pada zaman Samudera Pasai.  Menurut Teungku Muhammad Yakob, selama menjadi juru kunci makam Sultan Malikussaleh, pemerintah sudah dua kali merehabilitasi bangunan utama yang dipayungi cungkup.

Terakhir lantai sisi kanan dan kiri makam dipasang keramik yang baru pada awal 2004 atau sebelum tsunami. Adapun keramik pada sebagian halaman dalam kompleks makam dipasang pada 2012. Sebelah timur luar kompleks pemakaman kesultanan Samudera Pasai periode pertama tersebut ada dua pohon besar yang rindang.

Satu bak asan yang dedaunannya memayungi sebagian kompleks makam Sultan Malikussaleh dan Sultan Malikul Zhahir. Satu lagi bak kumbang. Di bawah dua pohon itu bertaburan batu nisan, sebagian besar berbentuk bulat, sisanya batu nisan peninggalan Samudera Pasai. Sebelah utara luar kompleks makam terdapat bangunan beratap genteng dan tanpa dinding.

“Ini tempat beristirahat penziarah makam Sultan Malikussaleh,” ujar Teungku Ahmad Yus. “Dulu di sini bangunan kayu berbentuk balai, setelah ambruk akibat tsunami tahun 2004, dibangun yang baru.”

Sambil beristirahat di atas bangunan berlantai keramik putih itu, kata Teungku Ahmad Yus, biasanya penziarah menanyakan sejarah Sultan Malikussaleh dan Kerajaan Samudera Pasai. Di sinilah Teungku Ahmad Yus menuturkan sejarah kepada pengunjung. Tidak jauh dari kompleks makam Sultan Malikussaleh sebelah selatan, ada bangunan Polindes Gampông Beuringen.

Di belakang Polindes itu jalan menghubungkan lintas gampông. Sebelah barat luar kompleks makam terdapat halaman berlantai paving block. Sisi halaman tersebut ada deretan rumah penduduk. Ketika tsunami menerjang kawasan itu akhir 2004 silam, hanya kompleks makam Sultan Malikussaleh yang terlindungi. Persis seperti terlindunginya Masjid Raya Baiturahman Banda Aceh.

Sementara bangunan lainnya di sekeliling kompleks makam sultan, hancur porak-poranda. Terpaut 1,5 kilometer dari makam Sultan Malikussaleh terdapat kompleks makam Ratu Nahrisyah. Kompleks makam ini berada di wilayah administratif Gampông Kuta Krueng, Samudera. Nahrisyah adalah cucu Sultan Malikussaleh yang juga pernah memerintah Pasai.

Di sana, kami disambut Ramlan Yunus, 30 tahun. Bersama istrinya, anak muda berbadan tinggi tegap dan berkulit gelap ini sehari-hari bekerja sebagai juru kunci kompleks makam sang Ratu Samudera Pasai. Ramlan ditemani seorang remaja dan dua bocah yang rumahnya tidak jauh dari kompleks makam Ratu Nahrisyah. Ada pula seorang penziarah, Muhammad Saiful, 32 tahun, warga Gampông Meunasah Mesjid Tong Kudeng, Titue, Pidie.

Muhammad Saiful datang ke kompleks makam Ratu Nahrisyah bersama 11 warga lainnya. Saat kami tiba, 11 warga itu sedang beristirahat di atas bangunan di luar kompleks makam. Sebelumnya mereka sudah berziarah ke makam Sultan Malikussaleh di Gampông Beuringen. Kompleks makam Ratu Nahrisyah lebih luas dari kompleks makam Sultan Malikussaleh. Di kompleks Ratu Nahrisyah tampak puluhan makam.

“Data dari dinas (Bidang Kebudayaan Aceh Utara) ada 72 makam, sebagian di antaranya para sultan, pemuka kerajaan, dan pemuka agama masa Samudera Pasai,” ujar Ramlan Yunus.

Makam-makam tersebut dipayungi empat cungkup. Makam Ratu Nahrisyah berada di posisi paling timur dan tampak sangat indah. Makam terbuat dari marmer ini dipenuhi pahatan ukiran ayat-ayat Alquran. Di antaranya, ayat 1-83 surat Yasin. Pilar makam sisi kanan dan kiri yang mengapit lempeng marmer juga memuat epitaf. Ada pula ornamen kandil atau sejenis lampu gantung (bahasa Aceh: kandé) pada dinding makam Ratu Nahrisyah.

“Makam Ratu Nahrasyiyah sering disebut Nahrisyah, salah satu makam terindah di Asia Tenggara. Perkiraan kita makam ini hadiah dari kerajaan luar, sebab kesenian pada struktur dan dekorasi makam ini mirip kesenian arsitektur Islam dari Bengal,” kata Ramlan Yunus.

Catatan pada nisan makamnya, Ratu Nahrisyah wafat 831 H (1428 M). Menurut Ramlan, Ratu Nahrisyah yang bergelar sang penguasa berhati pemurah adalah putri Sultan Zainal ‘Abidin bin Ahmad bin Muhammad bin Al-Malik Ash-Shalih (Sultan Malikussaleh).

Makam Sultan Zainal ‘Abidin berada di sisi makam Ratu Nahrisyah. Makam terbuat dari marmer ini juga terpahat ayat-ayat Alquran. Di antaranya, ayat 33 surat At-Taubah dan ayat 256 surat Al-Baqarah. Di bagian atas makam Sultan Zainal ‘Abdin ada relief kandil berukuran besar.  “Ini penyimbolan atas kerja dan jasa sultan dalam menyebarkan Islam,” ujar Taqiyuddin Muhammad.

Menurut Taqiyuddin, makam tersebut bergaya arsitektural Delhi dengan empat pilar pengapit di empat sisinya menyerupai menara Masjid Quthub Minar yang dibangun oleh Quthubuddin Aibak, Sultan Delhi dari Mamalik India. Ini menunjukkan makam tersebut berasal dari sana dan diduga kuat sebagai hadiah bagi Sultan Zainal ‘Abidin di Samudera Pasai.

“Ini juga memberikan suatu petunjuk bahwa Zainal ‘Abidin dan sultan-sultan Samudera Pasai sebelumnya merupakan para penguasa keturunan Delhi yang oleh suatu sebab tertentu telah berhijrah dan berdiam di Samudera Pasai, memajukan negeri ini sampai menjadi sebuah pusat Islam yang diakui di seluruh kepulauan India atau Asia Tenggara,” kata Taqiyuddin.

Namun keindahan makam Sultan Zainal ‘Abidin sedikit terusik karena badan makam dan nisannya patah serta retak. Meski telah disemen, tetapi tidak rapi dan terkesan asal jadi. “Kerusakan itu sudah terjadi sangat lama, kita tidak tahu persis penyebabnya. Kemudian diperbaiki oleh orang suruhan dari dinas (Bidang Kebudayaan Aceh Utara),” ujar Ramlan.

Di kompleks makam ini ada lima makam lainnya yang terbuat dari marmer. Hampir semua makam marmer itu memiliki relief “kandil bergantung”.

“Makam-makam terbuat dari marmer yang ditemukan sementara ini semuanya berasal dari abad ke-15 Masehi, ini menunjukkan zaman tersebut sangat pesat penyebaran Islam,” ujar Taqiyuddin.

Taqiyuddin menyebut kompleks makam Ratu Nahrisyah adalah kompleks pemakaman kesultanan Samudera Pasai periode kedua. Sebagian halaman kompleks makam ini berlantai paving block, sisanya masih tanah. Di sudut halaman sebelah timur ada pohon pisang kipas. Di sudut lainnya beberapa tanaman bunga. Kompleks makam tersebut juga sering disebut kompleks Kuta Kareung.

“Sebelum dipugar oleh pemerintah, dulu pagar kompleks makam ini terbuat dari kareung, makanya disebut Kuta Kareung,” ujar Ramlan Yunus.

Berdiri dalam kompleks makam Ratu Nahrisyah dan menatap ke utara terlihat tambak yang sangat luas. Lokasi tambak dengan kompleks makam hanya dipisahkan jalan sempit. Di luar kompleks sebelah timur dan selatan juga tampak banyak kuburan, ada pula tempat beristirahat pengunjung, musala dan toilet. Tidak jauh dari lokasi ini ada rumah-rumah penduduk.

Di Gampông Kuta Krueng ada beberapa kompleks makam penting lainnya milik tokoh-tokoh di Samudera Pasai. Di antaranya kompleks makam Tajul Muluk, Khawwajah Tajuddin (Tengku di Hagu), dan kompleks makam Raja Khan. Di kawasan dekat tambak Kuta Krueng warga sering menemukan dirham (koin mas), tembikar, ragam cerat, dan benda-benda lainnya yang diyakini peninggalan Kerajaan Samudera Pasai. Hasil penemuan tersebut telah didokumentasikan oleh tim Center Information for Samudra Pasai Heritage (Cisah). Ada pula susunan batu bata di dalam tanah yang diduga bekas bangunan kuno di gampông pesisir tersebut.

“Sebenarnya di sini sangat lengkap bukti adanya Kerajaan Islam Samudera Pasai, sayangnya peninggalan sejarah yang ditemukan masyarakat dan peneliti independen tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah untuk mengungkap tata ruang bekas kerajaan,” kata Ramlan.

Keluhan Ramlan barangkali akan lain cerita seandainya pemerintah bergerak cepat merespons temuan Gamal dan timnya dari Pusat Arkeolog Nasional Kementerian Pendidikan Kebudayaan.

“Kalau kita fokus, dalam tiga bulan dengan pendekatan geografi, arkeologi dan sejarah, insya Allah akan berhasil. Pendekatan geografi melalui citra satelit tampak ciri-ciri tertentu yang menyatakan ada bangunan besar di lokasi itu, kemudian arkeologi melakukan penggalian dan juga pendekatan sejarah. Lalu arsitektur men-design bentuk istana seperti apa, itu luar biasa,” kata Gamal.

Ketika bekas istana sudah ditemukan, kata Gamal, dapat dibangun replikanya dengan merunut sejarah kerajaan ini. Dengan begitu, kebesaran Pasai sebagai penyebar Islam di nusantara tak hanya ditemukan dalam naskah-naskah kuno serupa dongeng sebelum tidur. Jika terwujud, Aceh Utara akan menjadi destinasi wisata yang sangat potensial, bahkan untuk negara-negara yang pernah menjalin hubungan dengan Pasai. [] Penulis Tim The Atjeh: Yuswardi A. Suud | Boy Nashruddin Agus | Irman I.P.

No comments:

Post a Comment