PRAJURIT Hindu-Majapahit mengepung Samudera Pasai usai mendapat kabar putri yang hendak dinikahkan dengan Tun Abdul Jalil bunuh diri di Laut Jambo Aye. Penyerangan ini mendapatkan perlawanan dari pasukan Sultan Ahmad Permadala Permala. Pertempuran berlangsung selama tiga hari tiga malam yang berakhir dengan kekalahan Pasai.
Sultan Ahmad melarikan diri ke suatu tempat yang jarak dari Pasai menempuh 15 hari perjalanan. Demikian Hikayat Raja-Raja Pasai mengisahkan penyerangan Majapahit terhadap kerajaan Islam di Aceh. Peristiwa ini juga tercatat dalam Kitab Negarakertagama, naskah kuno dari era Majapahit. Disebutkan, peristiwa itu terjadi tak lama setelah Gajah Mada diangkat sebagai Perdana Menteri Majapahit antara 1331 dan 1364.
Setelah berhasil menduduki Pasai, laskar Majapahit masuk ke dalam kota dan berhasil mengumpulkan rampasan perang dan tawanan untuk diboyong ke tanah Jawa. Sesampai di sana, Raja Majapahit bertitah,
“Akan segala tawanan orang Pasai itu, suruhlah ia duduk di tanah Jawa ini, maka kesukaan hatinya.”
Pemberian hak khusus kepada tawanan Pasai ini di tanah Jawa, diduga menjadi salah satu pemicu berkembangnya Islam di daerah tersebut. Ibrahim Alfian dalam bukunya Wanita-Wanita Perkasa di Nusantara menuliskan adanya penunjukan salah satu pengganti Sultan Ahmad Permadala Permala oleh Majapahit usai penyerangan.
Laskar Gajah Mada tersebut menunjuk salah satu bangsawan Pasai, yaitu Ratu Nur Ilah, keturunan Sultan Malikuzzahir sebagai penguasa pengganti Sultan Ahmad. Ratu Nur Ilah merupakan salah satu penguasa perempuan yang terkenal dalam sejarah Kerajaan Pasai. Ia mangkat pada 1380 Masehi. Mengenai sejarah perempuan perkasa ini sudah banyak ditulis oleh para ahli sejarah, di antaranya Dr. Hoesein Djajaninggrat yang meneliti pahatan tulisan beraksara Arab di makamnya.
Semenjak Pasai dipimpin oleh Ratu Nur Ilah, kerajaan ini diberikan hak otonomi khusus oleh Majapahit untuk mengelola negeri dan mengatur hubungan dagang dengan pedagang-pedagang asing. Berkembangnya Pasai di bawah pengaruh Kerajaan Hindu-Majapahit diakui oleh Malaka yang menjadi bandar dagang besar sekitar 1400 Masehi. Hal tersebut dicatat dengan baik oleh Tome Pires dalam tulisannya berjudul Suma Oriental.
Tulisan dalam bahasa Portugis ini menceritakan kondisi Malaka dan India pada 1512 – 1515 Masehi. Tome Pires mencatat tentang utusan Malaka yang hendak merayu Raja Jawa agar pedagang-pedagang dari Jawa mau berdagang di Bandar Malaka. Raja Jawa mengemukakan kepada utusan Malaka itu, bahwa jung-jungnya (perahu atau kapal) telah lama sekali berlayar ke Pasai untuk berniaga dan ia mempunyai hubungan persahabatan yang erat dengan kerajaan tersebut.
Mendengar itu, Raja Majapahit mengatakan di pelabuhan Pasai pedagang-pedagang Jawa memperoleh kedudukan istimewa dalam bentuk pembebasan dari keharusan membayar cukai impor serta ekspor dan perolehan barang dagangan yang baik dan menguntungkan. Raja Majapahit menambahkan, meskipun Raja Pasai menjadi vasal Majapahit, penentuan kebijaksanaannya dalam bidang perdagangan diserahkan kepada Sultan Pasai sendiri. Ia tidak menghapuskan kebiasaan yang telah lama ada dan telah disepakati sejak lama antara kedua kerajaan itu.
Kabar ini kemudian diteruskan kepada Sultan Pasai oleh Raja Malaka melalui utusannya. Dia berharap adanya kebaikan Sultan Pasai untuk menyetujui dan tidak berkecil hati jika Jawa berhubungan dagang dengan Malaka. Raja Malaka juga memohon kebaikan Raja Pasai untuk mengirimkan pedagang-pedagangnya beserta barang-barang dagangannya ke Malaka.
Raja Malaka juga mengutip jawaban dari Raja Majapahit tentang hak otonomi yang diberikan kepada Pasai. Jika Pasai setuju, Raja Majapahit akan berbesar hati. Raja Pasai kemudian mengirimkan utusannya ke Malaka untuk menyampaikan pesan bahwa Pasai tidak keberatan memenuhi permintaan Raja Malaka apabila raja tersebut bersedia memeluk agama Islam. Akhirnya, Raja Malaka beserta segenap rakyatnya beriman akan Allah dan rasul-Nya dan sesudah itu banyak sekali pedagang Islam dari Pasai pindah berdagang ke Malaka, terutama bangsa Arab, Parsi, dan Bengal.
Hubungan antara Pasai dan Majapahit juga diungkapkan oleh Dr. J.J. Ras dalam disertasinya tahun 1968 di Rijksuniversiteit Leiden, yaitu Hikajat Bandjar: A Study in Malay Historiography. Hikayat Banjar yang dibedah J.J. Ras berkisah tentang Raja Majapahit yang belum Islam berkehendak hati ingin meminang putri Pasai, yang terkenal cantik hingga ke tanah Jawa. Kehendak Raja Majapahit Prabu Brawijaya V mempersunting Anarawati atau Dwarawati (Darawati) dalam Babad Tanah Jawi, tidak bisa ditolak oleh Raja Pasai yang muslim.
Di Majapahit putri Pasai itu diberi tempat tinggal yang terpisah, tiada bercampur dengan gundik-gundiknya yang lain agar tidak memakan makanan yang haram. Tak lama berselang, Raja Bungsu—saudara Darawati menjenguk Putri Pasai ini yang ada di tanah Jawa. Setelah beberapa lama berada di sana, Raja Bungsu hendak kembali ke Pasai.
Namun keinginannya ini dicegah oleh Darawati yang merasa kesepian di Majapahit. Bahkan dirinya hendak ikut serta dengan Raja Bungsu ke negeri asalnya. Karena Raja Majapahit sangat sayang kepada Putri Pasai itu, dimintanya kepada Raja Bungsu untuk tinggal saja di Majapahit agar Darawati itu tidak sampai jatuh sakit. Raja Majapahit bertitah, jika Raja Bungsu bersedia tinggal di Majapahit, ia boleh mendirikan rumah di tempat mana saja yang disukainya.
Akhirnya Raja Bungsu memilih Ampel sebagai tempat kediamannya dan Raja Majapahit berkenan meluluskan permohonan Raja Bungsu itu. Dia berhasrat mengembangkan ajaran Islam kepada penduduk setempat dan meminta restu dari Prabu Brawijaya V melalui Darawati. Mendengar hal ini, Prabu Brawijaya V mengeluarkan titah:
“Katakan arah Bungsu, barang siapa handak masuk Islam itu terima masukkan Islam itu. Jangankan desa itu, maski orang dalam nageri Majapahit ini, namun ia hendak masuk Islam itu, masukkan.” Mendapat titah ini, Raja Bungsu akhirnya berhasil mengislamkan rakyat Ampel. [] Sumber: Majalah The Atjeh, Penulis: Boy Nashruddin Agus
No comments:
Post a Comment