Wednesday, April 16, 2014

Jawaban Sultan Mahmud Syah Terkait Ultimatum Belanda

WAKIL Presiden Dewan Hindia Belanda, F.N. Nieuwenhuijzen sebagai Komisaris Pemerintah yang ditugaskan menjumpai Sultan Aceh merasa kecewa dengan tanggapan Sultan Mahmud Syah. Dalam surat menyurat mereka sebelum perang berkecamuk, keduanya tetap mempertahankan kedaulatan negara masing-masing.

Dikutip dari catatan H. Mohammad Said dalam bukunya Aceh Sepanjang Abad jilid pertama, Nieuwenhuijzen merasa kehilangan pegangan dikarenakan hasil pembicaraan melalui surat menyurat tersebut sama sekali tidak berhasil menakut-nakuti Aceh. Nieuwenhuijzen kemudian menyimpulkan, Aceh tidak akan menyerah begitu saja sebelum terjadi pertumpahan darah.


Akhirnya Nieuwenhuijzen mengirimkan surat terakhir kepada Kerajaan Aceh yang kembali menegaskan tujuan Belanda untuk menaklukkan kekuasaan Sultan Mahmud Syah. Berikut isi surat tersebut:

"Surat Sripaduka Tuanku Sultan yang tidak memakai hari bulan yang telah saya terima adalah berbunyi sebagai berikut: (isinya disalin kembali menurut bunyi surat Sultan dimaksud).

Tidak terang bagi saya apakah yang dimaksud oleh Sripaduka Tuanku Sultan dengan pemberitahuan itu.

Karenanya saya minta kembali agar Sripaduka Tuanku Sultan mengemukakan dengan tegas dan tentu apakah Sripaduka Tuanku bersedia mengakui kedaulatan Sripaduka Raja Belanda atas Kerajaan Aceh. Tergantung kepada bentuk jawaban surat ini akan dapat saya menetapkan sikap apakah penyerangan bisa dihentikan atau tidak.

Bersama ini juga saya harus memberitahukan pada Sripaduka Tuanku bahwa angkatan perang yang paling besar yang sedang saya nantikan akan tiba di sini setiap waktu. Jadi kalau Sripaduka tuanku ingin menghindari bahaya perang dalam negerinya, maka sebaliknya Sripaduka tidak melalaikan sesuatupun juga jawaban lebih lama dari seperlunya.

Termaktub di kapal perang Citadel van Antwerpen tertanggal 30 Maret 1873.


Surat ini baru dijawab oleh pihak Aceh pada 1 April 1873 yang tetap mempertahankan pendirian semula dan tidak ingin mengakui kedaulatan negeri asing. Berikut isi suratnya:

"(Lebih dulu mukaddimah lazim)....Surat yang telah dikirimkan oleh Gubernemen Hindia Belanda kepada kita, telah kita terima dengan baik dan paham sungguh isinya. Surat yang telah kita kirimkan pada hari Ahad yang baru telah tidak diberi tanggal hari bulan, hanya karena kesilapan belaka. Mengenai permakluman yang dimaksud dalam surat kita kemarin itu isinya tidak lain daripada mengemukakan bahwa dari pihak kita tidak ada tumbuh sedikitpun keinginan untuk merubah hubungan persahabatan yang sudah diikat, sebab kita hanya seorang miskin dan muda dan kita sebagai juga Gubernemen Hindia Belanda berada di bawah perlindungan Tuhan Yang Mahakuasa.

Akhirulkalam kita sampaikan salam kepada tuan-tuan sekaliannya."

Termaktub pada 1 hari bulan Safar 1290 (1 April 1873)".


Dalam rangka persiapan perang dengan Belanda tersebut, Sultan Alaiddin Mahmud Syah telah mengadakan musyawarah besar di Masjid Raya Baiturrahman dengan ulama besar, ulee balang, panglima, keuchik raja, para keujruen dan pembesar negeri Aceh. Musyawarah ini dilakukan di sela-sela surat menyurat Sultan Mahmud Syah dengan Nieuwenhuijzen.

Dikutip dari catatan Ali Hasjmy dalam bukunya berjudul Peranan Islam dalam Perang Aceh dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, Sultan Mahmud Syah menjelaskan bahwa Kerajaan Aceh telah bertekad tidak akan tunduk kepada Belanda. Karena itu dapat dipastikan Belanda akan menyerang dalam waktu dekat.

Maka Wazir Rama Setia/Wakil Panglima Besar Angkatan Perang, Letnan Jenderal Said Abdullah Teungku Di Meulek, membacakan sarakata surat pernyataan perang yang bertarikh Kamis, 20 Muharram 1290. Pernyataan perang tersebut berbunyi:

Bismillahirrahmanirrahim

Letnan Jenderal memberi perintah kepada sekalian tuan-tuan dan kepada sekalian rakyat Aceh khusussiyah dan kepada sekalian rakyat bawah angin umumiyah, maka inilah wahai tuan-tuan yang hadir dan yang tidak hadir jauh dan dekat, mulai dalam Aceh Bandar Darussalam Madinatul Asyiyah Al Kubra Aceh dan jajahan takluknya: Letnan Jenderal memberi perintah atas nama keputusan sabda mufakat Kerajaan Aceh.

Pertama, hendaklah sekalian tuan-tuan yang panglima-panglima mengatur askar pengawal pantai-pantai masing-masing tempat yang telah Letnan Jenderal aturkan, yaitu Kuala Pancu dan Lhok Berembang Ulee Lheue Pantai Cermin dan seluruh mukim Meuraksa, dan Kampung Meunasah Kandang, Kampung Pande, dan Kampung Rumoh Gedong Zawiyah Bandar, dan Peunayong, dan Lam Pulo, dan Kuala Aceh, dan Kuta Musfir, dan Kuta Tanoh, dan Kuta Reutang, dan Kuta Kadaniyah, dan Ladong, dan Kuala Giging, dan Lamnga Pasi, dan Ujung Gedong, dan Krueng Cut, dan Lam Bada, dan Kuta Mamplam, dan Pantai Perak, dan Babah Krueng Daroy, dan Tiga Mukim Kayay Adang, dan Blang Padang Cot, dan Ampos Teubay Syarif Lamtuy Jamalul Lai, dan Lamreh dan Peukan Bada Enam Mukim, dan Gunung Kesumba.

Maka sekalian tempat-tempat yang hamba sebutkan sangat penting pertahanan kita Aceh, maka sekali-kali jangan diberi kosong tempat tersebut, dan yang mengawal pantai mulai Kuala Pancu sampai Kuala Giging dan Ladong dan Lam Reh, hendaklah bersembunyi duduk; jangan menampakkan diri pada Holanda di laut karena Holanda ada "jalboot" dan "kapalperang". Dan jangan tuan-tuan melepaskan bedil dan kumurah sebelum Holanda sampai di pantai, sebab kalau kita melepaskan bedil lebih dahulu, maka Holanda sudah tahu tempat kita bersembunyi, maka kita jadi melarat dan ditembak kita di laut oleh Holanda dengan meriam dan kapal perang, melainkan kita menunggu sampai Holanda mendarat pada pasi, baru bangun terus kita hantam sebab kita tiada kapal perang dan tiada meriam besar. Maka hendaklah jaga-jaga jangan lengah dan lalai.

Syahdan sibermula, maka ketahui olehmu wahai sekalian tuan-tuan hulubalang dan sekalian rakyat bahwa semua diwajibkan berperang melawan Belanda yaitu dua perkara, tidak tiga. Pertama dapat menang, sekali menang tetap menang; kedua syahid dan tidak tidak sekali-kali menyerah kepada Belanda, yaitu musuh kita dan musuh anakcucu kita turun menurun; yang musuh tetap musuh yaitulah Belanda. Jangan sekali-kali tuan-tuan menjual negeri Aceh pada Belanda, makan ringgit dan riyat pada Belanda.

Maka itulah wahai sekalian hulubalang Aceh Pidie semuanya dan sekalian hulubalang Aceh Utara semuanya dan sekalian hulubalang Aceh Timur semuanya dan sekalian hulubalang Aceh Barat semuanya, dan sekalian hulubalang Aceh Selatan semuanya; datok dan Keujrun dan sekalian rakyat pada masing-masing tempat daerah tersebut; hendaklah pada sekalian tuan-tuan mengikut menurut melawan Belanda berganti-ganti sehingga berheti Belanda musuh kita, tidak lagi duduk di atas bumi negeri Aceh khususnya dan bumi bawah angin umumnya.


Dari persiapan yang dilakukan tersebut, terlihat bahwa Kerajaan Aceh telah bersiap menyambut serangan Belanda meskipun dengan sumber daya alutsista perang yang lebih sedikit dibanding masa-masa sebelumnya. Maka tak heran pula saat Sultan Alaiddin Mahmud Syah tidak sedikitpun goyah menjawab surat Nieuwenhuijzen di kemudian hari. (Baca juga: Perintah Perang Aceh dan Sumpah Kerajaan Aceh).[]

No comments:

Post a Comment