ACEH menjadi titik kelemahan Belanda sepanjang menyangkut Sumatera. Selama Kerajaan Aceh masih berdaulat, maka selama itu pula bayang-bayang campur tangan asing mengancam posisi Belanda di nusantara.
"Alasan sebenarnya Belanda ke Aceh adalah ingin menegakkan kekuasaannya di seluruh wilayah nusantara (pax Netherlanica) dan Aceh merupakan wilayah terakhir yang belum dikuasai," ujar Ketua Jurusan Sejarah FKIP Unsyiah, Drs. Mawardi Umar, M.Hum, MA, seperti dilansir ATJEHPOSTcom, Rabu 26 Maret 2014, menyikapi ikhwal serangan Belanda terhadap Kerajaan Aceh.
Menurutnya, tidak ada alasan lain yang menyebabkan kedua negara ini berperang selain ambisi Belanda untuk menaklukkan Sumatera sepenuhnya.
"Aceh merupakan wilayah terakhir yang belum dikuasai makanya dicari-cari cara yang logis untuk dapat menyerang Aceh," katanya.
Fakta yang disampaikan Mawardi Umar juga diperjelas dalam keterangan Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia, James Loudon. Dikutip dari catatan Harry Kawilarang dalam bukunya Aceh dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki menyebutkan saat itu, Loudon berpesan kepada van de Putte Nieuwenhuijsen pada 25 Februari 1873.
"Selama ini, kebijakan Belanda terhadap Aceh sangat membingungkan dan ini harus diakhiri. Aceh tetap merupakan titik kelemahan kita sepanjang menyangkut Sumatera. Selama Aceh tidak mengakui kedaulatan Belanda akan memungkinkan campur tangan asing dan selalu mengancam posisi Belanda ibarat pedang Damoeles...Tanpa pamer kekuatan militer, sudah dapat dipastikan bahwa Aceh akan terus membiarkan persoalan ini menjadi terkatung-katung, dengan harapan akan terjadi campur tangan asing," katanya.
"...Belanda tidak membiarkan untuk memiliki Sumatera secara damai dipermainkan. ...Semua ini bergantung pada negeri yang memusuhi kita. Aceh sudah benar-benar keterlaluan..." ujar Loudon.
Hal inilah yang melatarbelakangi penyerangan Belanda ke Aceh. Apalagi saat itu Belanda mengetahui Aceh telah menjalin hubungan dengan Amerika Serikat dan Italia di Singapura. Bahkan untuk mengetahui isi pembicaraan Sultan dengan para diplomat tersebut, Belanda mengultimatum Sultan Mahmud Syah untuk memberikan salinan pembicaraan dalam waktu 24 jam pada 22 Maret 1873.
Permintaan ini sama sekali tidak digubris oleh Sultan Mahmud Syah. Sultan mempermainkan ancaman-ancaman Belanda tersebut dengan bahasa halus melalui surat menyuratnya. (Baca: Surat Menyurat Belanda dengan Kerajaan Aceh sebelum perang).
Atas dasar inilah, Belanda dibikin kesal dan mencari alasan-alasan untuk menyerang Aceh. Salah satunya yaitu Aceh dituding melanggar perjanjian perniagaan, perdamaian dan persahabatan yang disepakati pada 30 Maret 1857 antara Kesultanan Aceh dengan Hindia Belanda.[] bersambung
No comments:
Post a Comment