HASRAT Belanda menguasai Sumatera secara penuh dan menjadikan Aceh sebagai daerah taklukkan sama sekali tidak terbendung lagi. Mereka mengadakan sidang Dewan Hindia Belanda sesuai dengan instruksi kawat dari Menteri Jajahan van de Putte, Loudon pada 21 Februari 1873.
Hasil sidang memutuskan Belanda menyerang Aceh. Loudon kemudian mengirimkan telegram kepada Netherland yang bunyinya:
“Telah bersidang Dewan Hindia Belanda di bawah pimpinan saya sendiri. Turut hadir Jenderal dan Laksamana, semuanya menyepakati usul saya untuk mengirim secepat mungkin komisaris dengan empat batalyon serdadu ke Aceh dengan ancaman supaya menerima kedaulatan kita atau perang. Kita harus mem-fait-accompli kan Amerika. Wakil Presiden Dewan Hindia Belanda adalah orangnya dan meminta supaya ketentuan Menteri tanggal 24 Agustus 1859 dihapuskan. Diminta supaya mengirim lagi dua buah kapal di samping yang sudah hendak dikirim menurut telegram tuan, Kapal perang “Koopman” masih belum bisa dipakai. Keadaan marine menyedihkan.”
Telegram ini mendapat tanggapan positif dari Menteri Jajahan di Netherland pada 24 Februari. Dia memberikan keleluasaan kepada Gubernur Jenderal Loudon untuk menjalankan hasil sidang tersebut.
Belanda kemudian mengutus Wakil Presiden Dewan Hindia, F.N. Nieuwenhuijzen sebagai Komisaris Pemerintah untuk menjumpai Sultan Aceh dan menuntut perbuatan Kerajaan Aceh yang dianggap curang. Sebelumnya, diketahui Aceh telah menjalin kerjasama diplomatik dengan Amerika Serikat yang menimbulkan ketidaksenangan Belanda.
Nieuwenhuijzen berangkat dari Jakarta ke Aceh pada 8 Maret 1873. Sebelum ke Aceh, Nieuwenhuijzen singgah di Strait Settlement, Singapura, untuk membicarakan agar Inggris tidak mencampuri urusan penyerangan Belanda di Aceh. Saat itu, kewenangan Nieuwenhuijzen masih samar-samar untuk bertindak menyelesaikan kasus Aceh.
Dirinya baru mendapat kewenangan penuh melakukan apa saja yang diperlukan dalam menaklukkan Aceh setelah mendapat restu dari Loudon. “Ik geef u volmacht zelfs buiten instructie en dek 't geheel met mijne verantwoordelijkheid, is vreedzaam oplossing onmogelijk dan zij flink en doortastend handelen onze leus."
Perintah Loudon tersebut dapat diterjemahkan secara sederhana yaitu adanya kekuasaan yang diberikan kepada Nieuwenhuijzen bahkan di luar perintah dan merupakan tanggung jawab Loudon. Dia juga menegaskan apapun bisa dilakukan untuk menaklukkan Aceh, jika tidak bisa secara baik-baik maka bisa juga dilakukan dalam bentuk perang.
Mendapat kekuasaan penuh dari Loudon membuat Nieuwenhuijzen lebih leluasa menjalankan misinya menaklukkan Aceh. Dia kemudian mengirimkan surat ancaman kepada Sultan Aceh Mahmud Syah pada 22 Maret 1873, seperti dikutip dari Aceh Sepanjang Abad jilid pertama karangan H. Mohammad Said seperti berikut ini;
“(Didahului kata-kata mukaddimah yang lazim ditulis lebih dulu dalam surat menyurat antara raja dengan raja).
...Kemudian daripada itu saja permaklumkan kehadapan Sri Paduka Tuanku bahwa telah berulang kali ternyata bahwa Pemerintah Aceh tidak manyambut baik maksud yang sungguh-sungguh dan tujuan murni yang ditunjukkan oleh Gubernemen Belanda untuk mengakhiri saling bermusuhan antara negeri-negeri yang berada di bawah takluk Aceh, yang telah menerbitkan kerugian besar bagi kepentingan umum perniagaan dan perkapalan dan maksud untuk mengadakan suatu hubungan baik antara Kerajaan itu dengan Gubernemen, dan bahwa pemerintah Aceh telah menentang keinginan penting yang telah dipertunjukkan itu.
Bahwa belum selang lama pemerintah tersebut telah mengutus wakilnya menemui wakil negeri asing di Singapura, meminta bantuannya melawan Belanda, perbuatan mana telah diselimutinya dengan jalan mendatangkan utusan itu juga ke Riau menemui Residen, dari siapa mereka telah mendapat perlindungan, dan kepada siapa mereka telah meminta tangguh supaya kedatangan perutusan politik, yang di maksud oleh beslit Gubernemen tanggal 31 Agustus 1872 L H H rahasia, yang disampaikan ke hadapan Seripaduka Tuanku Sultan dengan surat Gubernur Sumatera Barat yang diantarkan dengan sebuah kapal perang oleh Kontrolir Jh. Kraijenhoff;
Bahwa pemerintah Aceh telah melanggar bunyi pasal 1 perjanjian perdamaian, persahahatan dan perniagaan bertanggal 30 Maret 1857 yang telah diikat dengan kerajaan tersebut dan berhuhung dengan itulah maka saya datang sebagai wakil Pemerintah Hindia Balanda untuk menuntut penjelasan tertulis. Untuk keperluan tersebut saya beri tempo kepada Pemerintah Aceh selama 24 jam, untuk menyerahkan surat penjelasan dimaksud.
Kepada saya pula tergenggam hak, sesudah menerima penjelasan tersebut untuk menentukan dan memaklumkan kepada Pemerintah Aceh mengenai bentukan perhubungan yang diingini antara Gubernemen Hindia Belanda dan Aceh, demikian pula untuk mengadakan pembicaraan yang diperlukan.
Termaktub di kapal perang Citadel van Antwerpen
22 Maret 1873.
Surat ini disikapi secara dingin oleh Sultan Aceh setelah mengadakan musyawarah dengan pejabat istana dan seluruh perangkat birokrasi. Kerajaan Aceh menganggap isi surat tersebut merupakan gertakan belaka yang ditujukan Belanda untuk melemahkan semangat.
Sultan Aceh kemudian mengirimkan surat balasan kepada kapal perang Citadel van Antwerpen yang lego jangkar di Selat Malaka.
(Lebih dulu mukaddimah yang lazim).
"..Kemudian daripada itu kita memaklumkan di hadapan Sripaduka sahabat bahwa surat Sripaduka sahabat sudah kita terima dengan paham isinya. Antara kerajaan Aceh dengan Gubernemen Hindia Belanda hingga pada masa ini tidak ada perobahan persahabatan.
Sesungguhnya telah kita kirim surat ke Riau untuk meminta undur kedatangan perutusan ke Aceh menanti kita terima dari Sultan Turki balasan atas surat kita padanya. Secepatnya kita menerima balasan itu akan kita kabarkanlah kepada Sripaduka Sahabat kita. Demikian lah juga belum selang beberapa lama telah kita kirim perutusan ke Riau untuk meminta penyelesaian soal kapal Gypsi. Hanyalah untuk keperluan itu kita menitahkan utusan datang ke sana.
Sebagai akibat dari peristiwa tersebut, pada waktu ini agak terbataslah baiknya perhuhungan kita. Kita berharap agar Gubernemen Hindia Belanda menambah kesabarannya hingga menjelang surat jawaban Sultan Turki itu.
Termaktub 23 Muharram, hari Ahad tahun 1290 (23 Maret 1873)"
Mendapatkan surat balasan ini, Nieuwenhuijzen kembali mengirimkan surat teguran melalui kaki tangannya Sidi Tahil pada 23 Maret 1873. Namun Sidi Tahil tidak bersedia langsung mengirimkan surat tersebut dengan pertimbangan banyaknya pasukan Aceh yang mulai merapatkan barisan. Dia baru menyampaikan surat balasan tersebut pada 24 Maret 1873.
Berikut isi suratnya:
(Lebih dulu mukaddimah yang lazim).
"Kemudian daripada itu saya maklumkan ke hadapan Sripaduka Tuanku Sultan bahwa surat Sripaduka bertanggal Ahad, 23 Muharram 1290 sudah saya terima dengan baik dan paham isinya. Tapi dalam surat itu tidak ada saya dapati sedikitpun keterangan penjelasan sebagai yang saya inginkan dalam surat saya bertanggal 23 Maret 1873 yang telah disampaikan ke hadapan Sripaduka Tuanku Sultan.
Sesungguhnya amatlah pentingnya penjelasan itu bagi Gubernemen Hindia Belanda sebab itu saya desak lagi bersama ini supaya dalam tempo 24 jam ini, penjelasan tersebut disampaikan kepada saya.
Walaupun antara Sultan Turki dan Gubernemen Hindia Belanda terjalin hubungan persahabatan, namun sama sekali tidaklah menjadi hak kerajaan tersebut untuk mencampuri selang sengketa antara Gubernemen Hindia Belanda dengan Kerajaan Aceh.
Yang sedemikian tidaklah saya benarkan sama sekali, lebih-lebih karena bahwa dimasa sebagai itu pulalah Sripaduka Tuanku Sultan menyiapkan perang dengan mengarahkan rakyat mengangkat senjata.
Memperhatikan itulah maka saya ulang kembali keinginan yang sudah saya tandaskan supaya dalam tempo 24 jam ini Tuanku memberi penjelasan terhadap peristiwa yang saya sebut dalam surat tanggal 22 Maret 1873.
Selanjutnya saya ulangi lagi keinginan secepatnya keterangan yang saya maksud telah saya terima untuk menetapkan suatu bentuk hubungan yang lebih tepat antara Gubernemen Hindia Belanda dengan Kerajaan Aceh.
Akhirulkalam, saya minta perhatian Sripaduka Tuanku Sultan terhadap persiapan perang yang sudah disempurnakan bahwa apabila dalam tempo 24 jam tidak diperoleh jawaban memuaskan atas surat saya yang maka terpaksalah saya pertimbangkan mengambil tindakan tepat.
Termaktub di kapal Citadel van Antwerpen tanggal 24 Maret 1873.
Menerima surat yang berisi nada perang tersebut, Sultan Aceh kemudian membalas suratnya pada 25 Maret 1873.
Isinya antara lain; "...Kemudian daripada itu kita permaklumkan ke hadapan Sripaduka sahabat bahwa surat yang dibawa oleh Sidi Tahil telah kita terima dengan hormat dan sesudah dibaca maka paham segala maksudnya. Dalam surat itu rupanya Sripaduka Sahabat menentukan waktu bagi kita 24 jam untuk menjawab. Maka kita dengan sukacita memaklumkan ke hadapan Sripadukan sahabat bahwa pegawai kita Panglima Tibang Mohammad dan hulubalang-hulubalang yang telah berkunjung kepada Residen Riau yakni Teuku Nyak Mohammad, Wakil Teuku Kali Malikul Adil, Teuku Nahkoda Mohammad Said, wakil Teuku Nanta Seutia, Teuku Nahkoda Akub, Wakil Teuku Ne' Raja Muda Setia dan Teuku Nyak Agam, wakil Panglima Masjid Raya telah membawa surat kita kepada Residen itu untuk memberitahukan supaya perkunjungannya ke Aceh ditangguhkan selama enam bulan.
Sesudah 48 hari di sana untuk menunggu jawaban maka diberitahukanlah oleh Residen kepada para utusan bahwa Gubernemen telah menerima surat kita. Seterusnya Residen mengirim kapal perang Marnix kepada kita.
Demikianlah keterangan para utusan yang lima orang itu.
Apakah lagi sebabnya maka Gubernemen datang pula sebelum habis waktu yang disetujui itu? Apakah salah kita? Semoga Gubernemen memberitahukan supaya kami ketahui.
Selanjutnya kita ingin menjelaskan kepada sahabat apa sebabnya rakyat kita mondar mandir menyandang senjata di sepanjang pantai. Sebabnya ialah karena kapal perang sahabat telah berlabuh dekat sekali ke pantai. Karena rakyat mengetahui bahwa yang sedemikian tidak biasa lalu mereka ingin mendekatinya. Pun tempat berlabuh disitu bukanlah tempat biasa. Kita harap Sripaduka sahabat jangan sampai kecewa dengan memberitahukan kepada kita pertimbangan yang lebih baik. Kita menunggu jawaban lebih jelas besok.
Akhirulkalam ingin kita mengingatkan bahwa kita telah menyambut kedatangan Gubernemen Hindia Belanda dengan 24 das tembakan, padahal kita tidak dijawab dengan tembakan balasan oleh Sripadukan sahabat.
Termaktub tanggal 25 Muharram 1290 (25 Maret 1873).
Sultan Aceh kemudian mengirimkan lagi surat kepada kapal perang Belanda yang berlabuh di perairan Ulee Lheue, yang isinya: "...Kemudian daripada itu, kita maklumkan pada Sripaduka sahabat bahwa surat yang dikirimkan kepada kita sudah diterima dan paham isi seluruhnya. Dalam surat itu Sripaduka sahabat mengatakan bahwa Sripaduka tidak senang melihat rakyat kita mondar mandir di pantai dengan bersenjata. Janganlah hendaknya Sripaduka sahabat salah paham. Hal sedemikian tentu Sripaduka sahabat sudah maklum, sudah menjadi kebiasaan orang Aceh.
Sekarang inginlah kita mendapat kabar secepatnya atas surat kita yang dikirimkan kepada Sripaduka sahabat pada hari Ahad baru lalu. Sabtu depan (lusa) kita akan menyampaikan kepastian pada Sripaduka sahabat, sebab kitapun insaf beberapa hari sudah Sripaduka sahabat menunggu-nunggu di sini dengan tiada mendapat kabar dari kita. Kita tidak mengingini perang dengan sahabat kita. Keinginan kita hanyalah persahabatan.
Termaktub pada 26 Muharram, Rabu, tahun 1290 (26 Maret 1873).
Nieuwenhuijzen menyikapi jawaban Sultan Aceh tersebut dengan berang. Keinginannya menaklukkan Aceh dengan peperangan tidak dapat dipertahankan lagi. Dia kemudian mengirimkan surat balasan yang meminta agar Sultan takluk di bawah kedaulatan Belanda.
"Kemudian daripada itu saya kabarkan ke hadapan Sripaduka Tuanku Sultan bahwa surat Sripaduka Tuanku Sultan bertanggal 20 bulan ini sudah saya terima.
Sebagai Sripaduka Tuanku Sultan demikian pulalah saya tidak ingin berperang. Tapi caranya Aceh bersikap kepada Gubernemen Hindia Belanda sebegitu jauh dan juga sepanjang yang saya perhatikan di waktu belakangan, pastilah berakibat tidak dapatnya dihindari perang itu. Kecuali jika Sripaduka Tuanku Sultan melakukan dengan jujur perbuatan yang bersifat bersahabat dengan Gubernemen Hindia Belanda yang seyogyanya merupakan jaminan cukup bagi perkembangan selanjutnya.
Satu-satunya jalan untuk itu adalah Sripaduka Tuanku mengakui saja kedaulatan Sribaginda Raja Belanda terhadap Aceh. Untuk ini saya beri waktu sampai Sabtu siang tanggal 29 Maret 1873.
Andainya Sripaduka Tuanku tidak bersedia mengakui kedaulatan Sribaginda Raja Belanda atas negeri Aceh maka dengan tidak dapat ditarik kembali lagi akan dipertimbangkan berlangsungnya penyerangan dengan mana saja, kecuali menggunakan kapal-kapal perang yang sudah berada semula di sini, juga dalam beberapa hari saja akan diperlengkapi dengan kekuatan bersenjata yang amat hebat yang didatangkan dari Betawi.
Saya peringatkan kepada Sripaduka Tuanku, bahwa penyerangan yang akan saya mulai itu hanya akan dapat saya tangguhkan jika Sripaduka Tuanku mengusahakan sedemikian rupa sehingga pantai dibersihkan dari penduduk bersenjata. Segala kegiatan yang dilakukan di benteng-benteng dihentikan dan tidak akan dilakukan pembinaan benteng baru.
Hendaklah besok pagi-pagi sekali tuntutan ini sudah dipenuhi seluruhnya.
Termaktub di kapal perang Citadel van Antwerpen pada Kamis tanggal 27 Maret 1873.
Surat bernada keras yang diharapkan bisa menakut-nakuti orang Aceh tersebut sama sekali salah. Nieuwenhuijzen benar-benar dibuat kesal oleh jawaban-jawaban yang diberikan Sultan Aceh tersebut. Salah satunya yaitu balasan yang dikirimkan Kerajaan Aceh tertanggal 28 Maret 1873.
(Didahului mukaddimah biasa).
"...Kemudian daripada itu kita iringi harapan kita yang sungguh-sungguh agar hendaknya negeri kita jangan dihancurkan. Semoga disampaikan oleh Allah Subhanahu wata'ala sesuatu yang diingini oleh sahabat kita. Sudilah kiranya sahabat kita menyerahkan jawaban surat ini kepada si pengantar, Leube Muhamad".
Dalam surat ini, Sultan Aceh sama sekali tidak menjawab keinginan Belanda yang menginginkan Aceh takluk kepada negeri kincir angin tersebut sebelum berperang. [] bersambung
No comments:
Post a Comment