PEPERANGAN Belanda di Aceh berlangsung dalam rentang waktu yang lama. Strategi peperangan hit and run yang dilakukan pasukan Aceh mengajarkan Belanda untuk membentuk unit pasukan khusus anti gerilya. Namanya Marchaussee.
Pasukan ini bertugas menyisir seluruh hutan rimba raya yang ada di Aceh. Mereka terdiri dari orang Ambon, Minahasa dan dipimpin oleh sersan Belanda. Pemilihan Bumiputera dalam unit ini sengaja dilakukan untuk melacak jejak pasukan Aceh di dalam hutan. Pasukan ini dikenal bengis dan tidak menghormati hukum perang. Bahkan, pemimpin pasukan Aceh yang dikenal lihai dalam strategi peperangan sekelas Teuku Umar berhasil dijebak oleh satuan khusus bentukan Jenderal Van Heutz ini.
Gubernur Hindia Belanda yang berkedudukan di Aceh mengutus 10 brigade marchaussee masuk ke pedalaman hutan Bukit Barisan guna mencari sisa pasukan Aceh. Belanda mendapat kabar bahwa sisa pasukan Kerajaan Aceh Darussalam mendapat bantuan dari orang Gayo. Salah satunya yaitu Teuku Tapa yang pernah menyerang Idi pada 30 Juni 1898.
Sejarawan Belanda W.H.M. Schadee menyebutkan Teuku Tapa adalah putera Gayo dari Telong. Dia merupakan salah satu sosok pejuang dari Gayo yang dikenal gigih membantu kerajaan. Teuku Tapa sangat dihormati dan dianggap sebagai legenda hidup oleh rakyatnya.
Belanda sering direpotkan dengan keterlibatan Teuku Tapa dalam peperangan di pantai timur Aceh. Berkali-kali dirinya diburu, namun tetap lolos dari sergapan Belanda. Bahkan dirinya juga kerap diberitakan tewas, namun di kemudian hari muncul dengan pasukannya menyerang tangsi-tangsi Belanda.
Ekspedisi mencari pasukan Aceh ini dipimpin oleh Letnan Kolonel Gotfried van Daalen dengan membawa 200 anggota, 12 perwira dan 450 narapidana kerja paksa, sejak 8 Februari 1904.
Kolone yang dipimpin oleh van Daalen bergerak dari Lhokseumawe di pantai utara Aceh. Bersama mereka turut serta ilmuwan seperti insinyur pertambangan, mantri Kebun Raya Buitenzorg (kini Kebun Raya Bogor), tim topografi, perwira kesehatan sekaligus sebagai fotografer HM Neeb.
Letnan van Daalen membunuh penduduk dengan kejam selama ekspedisi tersebut dilakukan di pedalaman Gayo dan Alas. Ribuan laki-laki dan perempuan serta anak-anak diberondong. Lumbung padi yang dilalui semuanya dibakar. Aksi brutal van Daalen yang paling dikenal sepanjang masa adalah pembunuhan massal terhadap 1.773 laki-laki dan 1.149 perempuan di Kuta Reh pada 14 Juni 1904.
Ribuan warga Gayo dan Alas yang tewas di Kuta Reh tersebut berhasil diabadikan oleh fotografer HM Neeb. Fotonya masih tersimpan dengan baik hingga sekarang. Dalam foto tersebut terlihat serdadu marchaussee tanpa belas kasihan berpose di atas mayat-mayat penduduk.
Aksi van Daalen di Kuta Reh ini mendapat kecaman dari beberapa petinggi Belanda di parlemen. Salah satunya adalah Victor de Struers. Dia memberikan julukan kepada van Daalen sebagai Van-daalis yang digambarkan sebagai algojo.
“Pemerintah menamakannya sebagai atraksi darmawisata, tetapi saya menamakannya sejarah pembunuhan. Peristiwa (pembantaian ekspedisi Gayo) tak ubahnya melepaskan segerombolan anjing-anjing buas kepada warga pribumi. Betul-betul pekerjaan algojo. Marilah kita membawa peradaban tetapi janganlah dengan perantaraan anjing-anjing buas,” katanya, seperti dikutip oleh Harry Kawilarang dalam bukunya Aceh dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki.
Meskipun mendapat kritikan pedas dari parlemen, namun pembantaian yang dilakukan van Daalen dibenarkan oleh Gubernur Jenderal van Heutz di Batavia (Jakarta sekarang). Bahkan van Daalen mendapatkan bintang penghargaan Militaire Willemsorde yang akan diserahkan secara pribadi oleh Ratu Wilhelmina, jika dirinya mau cuti di Belanda. Aksi sadis yang dilakoni van Daalen juga berbuah dengan pemberian jabatan sebagai Gubernur Hindia Belanda di Kutaraja (Banda Aceh sekarang).
Hingga kini, Belanda sama sekali telah melupakan aksi pembantaian yang dilakukannya di Kuta Reh. Meskipun Indonesia telah merdeka dan telah menjalin hubungan diplomatik dengan Belanda, namun tragedi pembantaian massal di dataran tinggi Gayo tersebut tidak pernah dibicarakan oleh kedua negara. Belanda hanya meminta maaf atas pembantaian yang dilakukannya di Rawa Gede, namun tidak secara khusus untuk tragedi di Kuta Reh, Aceh Tengah.[]
IJIN KOPI BNG
ReplyDelete