Masjid Raya Baiturrahman 1890 | Foto: KITLV |
Beberapa Bumi Putera dari Jawa dikerahkan untuk menggali parit-parit perlindungan sepanjang 560 meter, di sekitar Peunayong. Sabtu, 27 Desember 1873, kubu pertahanan tersebut berhasil dibuat sebagai bunker perlindungan. Secepatnya Belanda menurunkan barisan artilerinya untuk membalas tembakan meriam pasukan Kerajaan Aceh. Di sisi selatan bivak Peunayong dan sebelah kanan Krueng Aceh, budak-budak Belanda masih bekerja menumpuk karung goni sebagai kubu pertahanan.
Belanda langsung membuat jembatan penghubung yang membelah Krueng Aceh. Pekerjaan tersebut berlangsung hingga Kamis, 1 Januari 1874. Di tengah memperbaiki infrastruktur jalan dan bunker perlindungan, Belanda juga disibukkan dengan semakin banyaknya korban yang berjatuhan. Kolonel Kerchem yang diharapkan bisa meneruskan kepemimpinannya menaklukkan Kerajaan Aceh, semakin sekarat dan terpaksa dievakuasi ke Padang, Sumatera Barat bersama ratusan prajurit yang terluka. Belanda kemudian mengutus Kolonel L. St. A.M. De Roy van Zuydewijn untuk menggantikan Kerchem, Minggu, 4 Januari 1874.
Semenjak kehilangan perwira lapangan, pasukan Belanda tercerai berai. Pasukannya kehilangan komando meski beberapa kali mencoba menerobos pertahanan Masjid Raya Baiturrahman. Ketangkasan, disiplin dan keberanian pasukan Aceh mempertahankan rumah ibadah tersebut membuat serdadu Belanda kewalahan. Strategi militer yang diterapkan tidak kunjung berhasil yang membuat opsir-opsir Belanda nyaris putus asa.
Kedatangan Zuydewijn menumbuhkan semangat baru bagi pasukan penjajah tersebut. Perwira satu ini langsung menerapkan serangan bunuh diri dengan mengorbankan ratusan nyawa prajuritnya.
Matahari masih terlelap di peraduannya saat Zuydewijn memutuskan menyerang Masjid Raya Baiturrahman. Dia menempatkan perwira berpangkat letnan kolonel di setiap sayap formasinya untuk mencegah prajurit kehilangan komando.
“De dag 6 Januari 1874 was de bloedigste uit onze geheelen Aceh-oorlog.” Demikian sejarawan Belanda mencatat kejadian penyerangan tersebut yang artinya, “hari tanggal 6 Januari 1874 itu adalah perang yang paling banyak menumpahkan darah dari antara perang segala perang kita di Aceh. Pasukan Belanda dibuat kewalahan oleh pasukan pimpinan Tuanku Hasyim di Masjid Raya yang dibantu pasukan Panglima Polim dari Peukan Aceh.
Di sisi lain, pasukan Kerajaan Aceh telah membuat kubu pertahanan di sekeliling Masjid Raya sepanjang 700 meter, yang membentang dari selatan hingga utara masjid. Dinding tembok masjid setinggi dua meter lebih dibuat lubang untuk memudahkan pasukan sniper Aceh menembak ke luar bangunan.
Zuydewijn yang mencoba merebut pertahanan Masjid Raya bersama empat batalyon pasukannya turut menjadi korban peluru pasukan Aceh. Dia bersama kuda tunggangannya mati tertembus pelor pasukan Aceh. Bersamanya ikut tumbang beberapa perwira Belanda lainnya seperti Kapten Meis, Hoogeward, Tienhoven, Visser, von Mauritz, Hermer, Schneider, dan Ten Bosch. Selain itu, sedikitnya 35 persen pasukan Bumiputera Belanda tewas dalam pertempuran.
Sementara 1500 langkah dari lokasi tewasnya Zuydewijn, pasukan Aceh masih saja melepaskan meriam ke arah Peunayong dan pasukan Belanda. Kecanggihan peralatan artileri Belanda yang mampu memuntahkan meriam sebanyak lima kali dalam semenit, akhirnya bisa membuka jalan bagi penjajah mendekati Masjid Raya.
Matahari tepat berada di atas kepala saat Belanda dengan susah payah mampu merebut Masjid Raya, 6 Januari 1874. Namun serangan-serangan pasukan Aceh dari tempat-tempat yang tidak diduga masih saja terjadi hingga akhirnya pasukan Aceh mundur dari Masjid Raya.
“Masjid Raya dan kubu di depannya dipertahankan oleh 3 ribu prajurit Aceh. Dalam jumlah sebanyak itu juga banyak prajurit-prajurit Aceh yang menghadapi serangan kita pada pertempuran 25 Desember 1873. Kedudukan Dalam amat kuat dipertahankan di segala sudut. Tumbuh-tumbuhan melindungi bagian depan istana, sedemikian tebalnya sehingga tidak mungkin dilihat pertahanan sebelah dalam dindingnya atau gedungnya. Kemarin dulu pertempuran yang hebat terjadi di dekat Masjid Raya, sangat hebatnya sehingga kadang-kadang tembakan mereka jauh lebih dahsyat dari kita. Kolonel De Roy van Zuydewijn terus meneriakkan kepada barisan-barisan kita supaya maju menyerang walau pun dia sudah mendapat luka,” ujar salah satu petugas Palang Merah Belanda di bivak Peunayong, menceritakan kesaksiannya di medan pertempuran seperti dicatat oleh H. Mohammad Said dalam bukunya Aceh Sepanjang Abad jilid dua yang dikutip dari Verslag der verrichtingenvan het centraal comite ini N.I. van de Ned. Vereeninging van het verleenen van hulp aan zieken en gewoonde krijgslieden in het tijd van oorlog van 1 Juni 1873 tot Februari 1874.
Petugas Palang Merah Belanda tersebut juga menceritakan bahwa mereka telah membuat kubu-kubu pertahanan di sepanjang Krueng Aceh, tidak jauh dari Dalam. Sementara bivak mereka adalah bekas sebuah kampung yang sudah ditinggal penghuninya dengan banyaknya pohon kelapa yang tumbang, dan pernah dijadikan sebagai tempat berlindung bagi pasukan Kerajaan Aceh.
“De vijand onderhoudt gedurig een min of meer levending vuur op de missigit en hoewel de meeste troepen in een gedekte positie liggen, vallen er nu en dan toch ongelukkige schoten welke hunne slachtoffers eischen. De vijand is moedig, talrijk en niet slechts gewapend. Hij is ruim voorzien van ammunitie, hetgeen duidelijk blijkt uit de hagelbuijen van kogels die hij gedurig op ons afzendt.”
Keterangan yang diberikan tersebut menyiratkan bahwa pasukan Aceh yang semula mundur dari Masjid Raya kembali menyerang dengan bedil-bedilnya. Meskipun pasukan Belanda telah berlindung, namun tembakan-tembakan tersebut seringkali tepat sasaran. Keterangan ini terbukti dengan keberlanjutan perang Belanda di Aceh hingga puluhan tahun lamanya.[]
Referensi: Aceh Sepanjang Abad jilid II karangan H. Mohammad Said
No comments:
Post a Comment