Thursday, February 27, 2014

Sumpah Kerajaan Aceh

Ilustrasi | Foto: KITLV
“…kita hanya seorang miskin dan muda, dan kita sebagai juga Gubernemen Hindia Belanda, berada di bawah perlindungan Tuhan yang maha kuasa…”

Pernyataan ini merupakan jawaban Sultan Alaiddin Mahmud Syah terhadap ultimatum Belanda yang bersikukuh menyerang kedaulatan Aceh. Surat pernyataan perang oleh Belanda itu ditulis pada 26 Maret 1873, dan disampaikan kepada Sultan Aceh pada 1 April 1873. Pernyataan perang itu antara lain berbunyi. “Dengan ini, atas dasar wewenang dan kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh Pemerintah Hindia Belanda, ia atas nama Pemerintah, menyatakan perang kepada Sulthan Aceh..”


Beberapa kali imperialis tersebut menyurati Sultan Aceh dan sekian kalinya pula mendapatkan jawaban yang mengecewakan. Hingga akhirnya, Komisaris Pemerintah Belanda, Niewehhuijzen memerintahkan kapal perang Citadel van Antwerpen untuk memborbardir dan mendaratkan pasukannya di Ulee Lheue sejak 26 Maret 1873.

Belanda mengerahkan enam kapal perang, yakni Djambi, Citaden van Antwerpen, Marnix, Coehoorm, Soerabaya, dan kapal perang Sumatera untuk menyerang Aceh. Ditambah Siak dan Bronbeek, dua kapal angkatan laut Pemerintah Belanda.

Armada laut Belanda turut dilengkapi lima barkas, delapan kapal ronda, satu kapal komando, enam kapal pengangkut, serta lima kapal layar yang masing-masing ditarik oleh kapal pengangkut. Tiga di antaranya untuk mengangkut pasukan altileri, kavaleri, dan para pekerja. Satu untuk amunisi dan perlengkapan perang, serta lainnya untuk mengangkut orang-orang sakit.

Armada laut dipimpin oleh Kapten laut J.F Koopman dengan kekuatan 168 perwira yang terdiri dari 140 orang Eropa serta 28 bumi putra. Sementara 3.198 pasukannya terdiri dari 1.098 di antaranya orang-orang Eropa, sisanya 2.100 tentara dari bumi putra yakni tentara bayaran Belanda dari Jawa. Pasukan itu juga diperkuat dengan 31 ekor kuda perwira, 149 kuda pasukan, 1.000 pekerja dengan 50 mandor, 220 wanita dari Jawa yang masing-masing ditempatkan 8 orang untuk satu kompi tentara Belanda, serta 300 pria dari Jawa untuk pelayan para perwira Belanda.

Sementara Mayor Jenderal  Johan Rudolf Kohler diperintahkan memimpin pasukan untuk merebut Ulee Lheue. Dia dibantu oleh Kolonel E.C van Daalen, Wakil Panglima merangkap Komandan Infantri.

Jauh sebelum Belanda mengultimatum Kerajaan Aceh, sebenarnya Sultan Alaiddin Mahmud Syah telah menggelar musyawarah kerajaan pada 10 Zulkaidah 1288 Hijriah (1872 Masehi) di dalam Mesjid Baiturrahim Daruddunia. Dalam musyawarah itu hadir para ulama besar, menteri dan uleebalang seluruh Aceh.

Musyawarah melahirkan kesepakatan dan keputusan akan melakukan perang total kalau Belanda menyerang Aceh. Kesepakatan tersebut kemudian dibungkus dalam sumpah yang dipimpin oleh Kadli Mu’adhdham Mufti Besar Aceh, Syekh Marhaban bin Haji Muhammad Saleh Lambhuk dengan disaksikan oleh para alim ulama Aceh.

Sumpah tersebut berbunyi, “demi Allah, kami sekalian hulubalang khadam Negeri Aceh dan sekalian kami yang ada jabatan masing-masing kadar mertabat, besar kecil, timur barat, tunong baroh, sekalian kami ini semuanya, kami taat setia kepada Allah dan Rasul, dan kami semua ini taat setia kepada Agama Islam, mengikuti Syariat Nabi Muhammad Saw, dan kami semua ini taat setia kepada raja kami dengan mengikuti perintahnya atas yang hak, dan kami semuanya cinta pada Negeri Aceh, mempertahankan dari pada serangan musuh kecuali ada masyakkah, dan kami semua ini cinta kasih pada sekalian rakyat dengan memegang amanah harta orang yang telah dipercayakan oleh empunya milik. Maka jika semua kami yang telah bersumpah ini berkhianat dengan mengubah janji seperti yang telah kami ikrar dalam sumpah kami semua ini, demi Allah kami semua dapat kutuk Allah dan Rasul, mulai dari kami semua sampai pada anak cucu kami dan cicit kami turun temurun, dapat cerai berai berkelahi, bantah dakwa-dakwi dan dicari oleh senjata mana-mana berupa apa-apa sekalipun. Wassalam.”

Sumpah ini kemudian dimasukkan dalam sarakata Baiat Kerajaan, bertulis tangan dengan huruf Arab. Naskahnya ditemukan kembali dalam dokumen peninggalan Wazir Rama Setia Kerajaan Aceh Said Abdullah Di Meulek. Naskah asli kini disimpan Said Zainal Abidin salah seorang keturunan Di Meulek, sementara foto kopinya ada di Pustaka Ali Hasjmy di Banda Aceh.

Serangan yang dilakukan oleh Belanda tersebut telah diprediksi oleh Kerajaan Aceh dengan menyiagakan pasukan di pesisir pantai Ulee Lheue. Namun dalam perang terbuka pertama kalinya tersebut mampu menyudutkan pejuang Aceh yang mundur hingga ke Masjid Raya Baiturrahman. Mereka berhasil merebut Ulee Lheue dan kemudian Masjid Raya Baiturrahman, pada 10 April 1873. Kohler menyangka bahwa masjid tersebut merupakan istana Sultan Aceh yang menjadi sentral perlawanan.

Setelah merasa aman, sebagian besar prajurit Belanda kembali ke kapal perangnya dan meninggalkan sisa pasukannya di Masjid Raya Baiturrahman. Keteledoran Belanda ini dimanfaatkan dengan baik oleh Imuem Lueng Bata yang memimpin pasukannya dan berhasil menghalau serdadu negeri Kincir Angin tersebut keluar dari tanah Aceh. Dia dibantu pasukan dari Peukan Aceh, Lambhuk, Lampu’uk, Peukan Bada, sampai Lambada, Krueng Raya. Beberapa ribu orang juga berdatangan dari Teunom, Pidie, Peusangan, dan beberapa wilayah lain.

Tiga hari setelah Kohler tewas, Belanda mengundurkan diri ke pantai, setelah mendapat izin dari Pemerintah Hindia Belanda di Batavia (Jakarta-red) pada 23 April 1873. Kapal-kapal angkatan perang Belanda itu pun meninggalkan Aceh pada 29 April 1873, kembali ke Batavia.

Dalam pertempuran itu, Mayor Jenderal Johan Rudolf Kohler tewas di tangan penembak jitu pasukan Aceh pada 14 April 1873. Pasukan Kerajaan Aceh di bawah pimpinan Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah berhasil memenangkan peperangan selama satu tahun yang dimulai dari 1873 hingga 1874.[] dari berbagai sumber

No comments:

Post a Comment