19 FEBRUARI, kapal perang Pegasus
berlabuh di Teluk Bubun yang terlindung di bagian selatan Teunom membawa
rombongan utusan Inggris William Maxwell. Dia didampingi pedagang Khoo Tiangpoh
dan Said Puteh, tokoh Aceh di perantauan.
Mereka disambut oleh Teuku Yit di
Bubun sebagai utusan raja. Setelah mencapai kata sepakat, Maxwell bersama
Kapten Bickford melayari Sungai Teunom menuju ke hulu pada 9 Maret untuk
bertemu raja.
Kehadiran utusan Inggris ini
disambut meriah oleh penduduk setempat. Teuku Yit kepada Maxwell mengatakan
seharusnya Inggris datang ke Aceh dan dipastikan akan disambut baik oleh
masyarakat dengan mengibarkan bendera Britania. Namun Maxwell tidak merespon
pernyataan Teuku Yit dan langsung mengalihkan pembicaraan mengenai pembebasan
awak kapal yang sudah disandera selama empat bulan.
Mendengar hal itu, Teuku
Yit tetap bersikukuh pembebasan dapat dilakukan bila Inggris menjamin dibukanya
perdagangan bebas. Maxwell menilai Teuku Yit memiliki pengaruh besar pada Teuku
Imam yang mendukung apa yang disampaikan oleh Teuku Yit. Maxwell terdesak oleh
keinginan London untuk tidak memberi peluang yang dapat merusak hubungan
Inggris-Belanda, hingga pertemuannya dengan Raja Teunom gagal.
Maxwell meninggalkan Teunom
setelah tiga minggu menetap di sana. Secepatnya dia ke Penang bertemu dengan
Frederick Weld. Dari laporan Maxwell, Weld kemudian mendesak Departemen Luar
Negeri Inggris agar bertindak sebagai penengah antara Belanda dengan kesultanan
Aceh di Keumala dengan menegakkan kembali pertukaran nota Perjanjian 1824 yang
menjamin kemerdekaan Aceh.
Maxwell dalam notulennya merasa yakin awak Kapal
Nisero dapat dibebaskan bila Inggris mendesak Belanda membuka perdagangan bebas
bagi Teunom yang punya hak atas dasar dari perjanjian.
26 Maret, Sir Frederick Weld
dipecat saat ia mengambil cuti dari jabatannya dan pergi ke London. Ia diganti
oleh CC Smith yang sebelumnya menjabat sebagai Sekretaris Kementerian Koloni.
Pencopotan Weld ini diduga karena dia terlalu berpihak kepada Kerajaan Aceh
yang tentunya tidak disenangi oleh White Hall karena memiliki kebijakan
sendiri, mempertahankan Perjanjian 1871 antara Inggris dengan Belanda.
Penyanderaan awak kapal Nisero
telah berlangsung hingga tujuh bulan. Rentang waktu yang lama dalam pembebasan
sandera ini memicu aksi protes dari publik Inggris, terutama dari keluarga
korban. Surat-surat dari keluarga yang bersimpati mempertanyakan nasib awak
kapal kian mengalir deras dan menjadi isu politik di parlemen Inggris.
Adanya
tekanan politik ini menyibukkan Lord Edmond Fitzmaurice, Wakil Ketua Parlemen
Inggris urusan Luar Negeri di Majelis Rendah. Keadaan menjadi gempar ketika seorang
awak kapal meninggal dunia di tahanan akibat kolera dan tiga lagi menderita
sakit.[] bersambung...
No comments:
Post a Comment