Thursday, January 16, 2014

Menuntut perdagangan bebas



19 FEBRUARI, kapal perang Pegasus berlabuh di Teluk Bubun yang terlindung di bagian selatan Teunom membawa rombongan utusan Inggris William Maxwell. Dia didampingi pedagang Khoo Tiangpoh dan Said Puteh, tokoh Aceh di perantauan. 

Mereka disambut oleh Teuku Yit di Bubun sebagai utusan raja. Setelah mencapai kata sepakat, Maxwell bersama Kapten Bickford melayari Sungai Teunom menuju ke hulu pada 9 Maret untuk bertemu raja.

Kehadiran utusan Inggris ini disambut meriah oleh penduduk setempat. Teuku Yit kepada Maxwell mengatakan seharusnya Inggris datang ke Aceh dan dipastikan akan disambut baik oleh masyarakat dengan mengibarkan bendera Britania. Namun Maxwell tidak merespon pernyataan Teuku Yit dan langsung mengalihkan pembicaraan mengenai pembebasan awak kapal yang sudah disandera selama empat bulan. 


Mendengar hal itu, Teuku Yit tetap bersikukuh pembebasan dapat dilakukan bila Inggris menjamin dibukanya perdagangan bebas. Maxwell menilai Teuku Yit memiliki pengaruh besar pada Teuku Imam yang mendukung apa yang disampaikan oleh Teuku Yit. Maxwell terdesak oleh keinginan London untuk tidak memberi peluang yang dapat merusak hubungan Inggris-Belanda, hingga pertemuannya dengan Raja Teunom gagal.

Maxwell meninggalkan Teunom setelah tiga minggu menetap di sana. Secepatnya dia ke Penang bertemu dengan Frederick Weld. Dari laporan Maxwell, Weld kemudian mendesak Departemen Luar Negeri Inggris agar bertindak sebagai penengah antara Belanda dengan kesultanan Aceh di Keumala dengan menegakkan kembali pertukaran nota Perjanjian 1824 yang menjamin kemerdekaan Aceh. 

Maxwell dalam notulennya merasa yakin awak Kapal Nisero dapat dibebaskan bila Inggris mendesak Belanda membuka perdagangan bebas bagi Teunom yang punya hak atas dasar dari perjanjian.

26 Maret, Sir Frederick Weld dipecat saat ia mengambil cuti dari jabatannya dan pergi ke London. Ia diganti oleh CC Smith yang sebelumnya menjabat sebagai Sekretaris Kementerian Koloni. Pencopotan Weld ini diduga karena dia terlalu berpihak kepada Kerajaan Aceh yang tentunya tidak disenangi oleh White Hall karena memiliki kebijakan sendiri, mempertahankan Perjanjian 1871 antara Inggris dengan Belanda.

Penyanderaan awak kapal Nisero telah berlangsung hingga tujuh bulan. Rentang waktu yang lama dalam pembebasan sandera ini memicu aksi protes dari publik Inggris, terutama dari keluarga korban. Surat-surat dari keluarga yang bersimpati mempertanyakan nasib awak kapal kian mengalir deras dan menjadi isu politik di parlemen Inggris. 

Adanya tekanan politik ini menyibukkan Lord Edmond Fitzmaurice, Wakil Ketua Parlemen Inggris urusan Luar Negeri di Majelis Rendah. Keadaan menjadi gempar ketika seorang awak kapal meninggal dunia di tahanan akibat kolera dan tiga lagi menderita sakit.[] bersambung...

No comments:

Post a Comment