Saturday, January 11, 2014

Melindungi Raja Teunom

Ilustrasi
OPERASI militer yang dilakukan Belanda sama sekali tidak berhasil membebaskan awak kapal SS Nisero dari Teuku Imam (Baca: Diplomasi Inggris untuk SS Nisero). Padahal Belanda telah membakar semua desa dan kebun lada termasuk kampung utama tempat awak-kapal ditahan yang sudah dipindahkan ke pedalaman hulu sungai.

Sementara Teuku Imam telah menyingkir ke Keumala yang menjadi markas perlawanan Aceh pimpinan Chik di Tiro yang telah mengirimkan 300 pasukan bersenjata lengkap untuk membantu pertahanan Teunom. Setelah Belanda melancarkan operasi militer, Teuku Imam mengirim surat kepada Tuanku Hasyim yang mengingatkan jangan menyerahkan awak kapal Nisero kepada musuh. Sebaliknya, rawat sandera ini dengan baik untuk kepentingan perang.

Berbagai cara telah dilakukan Residen van Langen untuk melepaskan para awak kapal. Tetapi penguasa Teunom ini justru semakin galak. Van Langen menggunakan musuh Teuku Imam, yakni Raja Itam dari Meulaboh yang dibekali senjata dari Belanda untuk menaklukan Teunom. Tetapi gagal.


Peristiwa penyanderaan awak kapal Nisero berbuntut panjang dan memaksa Inggris terlibat karena opini publik warganya mengecam pemerintahan konservatif Perdana Menteri Gladstone yang menilai Inggris terlalu memberi angin kepada Belanda—yang mengundang Inggris sebagai payung pelindung tetapi Belanda yang meraup keuntungan yang lebih besar dalam perjanjian Sumatera 1871.

Publik Inggris mengecam Menteri Kolonial George Granville atas pengaruh Den Haag yang menarik kapal perang Pegasus pada 15 Januari 1883 dan berlayar kembali ke Straits Settlements setelah tujuh minggu di perairan Aceh. Padahal simpati terhadap Teuku Imam meluas di Straits Settlements dan banyak pula yang merasa yakin Inggris harus turun tangan mengatasi keadaan. Belanda sama sekali tidak mampu menyelamatkan awak kapal Nisero yang ditawan. Bahkan Gubernur Straits Settlements Sir Frederick Weld menginginkan Inggris berpihak kepada Teuku Imam Muda melawan Belanda untuk membebaskan awak-kapal. Dia menuduh Belanda melalui aturan Schee-vaartregeling telah mempermainkan Inggris bagi kepentingannya secara sepihak dengan sasaran untuk menghancurkan perdagangan di Straits Settlements Penang ketimbang mengakhiri perang Aceh.

Menurut Weld, aturan Scheepvaartregeling tidak menyalahi Perjanjian 1824 atau Perjanjian 1871. Tetapi semangat dari perjanjian itu merupakan pukulan keras bagi Inggris. Weld mengimbau agar Inggris memaksa Belanda mengembalikan sistem perdagangan bebas sesuai dengan semangat dari kedua perjanjian itu dengan mengeluarkan ancaman menarik fasilitas logistik militer dan menerapkan larangan ekspor senjata kepada Hindia Belanda.

Weld turut mengecam rencana van Langen membunuh Teuku Imam. Dia menilai tindakan tersebut memperlihatkan betapa rendahnya moralitas Belanda di Aceh dalam memperlakukan suku-suku bangsa. Dalam suratnya kepada pemerintah Inggris di London, Weld meyakinkan London bahwa dengan mengandalkan kekuatan militer dan uang tidak akan dapat membebaskan para awak kapal. Menurutnya pihak penyandera menuntut keadilan dari Belanda yang dinilai telah berlaku tidak adil kepada pihak Teuku Imam. Mereka menghendaki jaminan dari Inggris bahwa kesejahteraan dan kenyamanan Teunom dilindungi oleh Inggris sekarang dan masa datang. Dia mengusulkan Inggris mengirimkan utusan ke Teunom untuk memperoleh kesepakatan dengan raja Teunom atas dasar saling mempercayai.

“Memang kita harus akui bahwa Inggris dilarang campur tangan berdasarkan Perjanjian Sumatera 1871-yang patut disesalkan karena Inggris harus bayar mahal dengan hilangnya salah satu di antara pulau-pulau yang sangat indah di dunia,” ujar Weld.

Weld mengingatkan jangan menjadikan perjanjian ini sebagai hambatan permanen bagi Inggris: “Ketika perjanjian (1871) dibuat sama sekali tidak diperhitungkan bahwa di bawah perjanjian itu pelabuhan-pelabuhan dapat ditutup hingga menimbulkan kerugian besar di sektor perdagangan dan menghancurkan kedudukan kepala-kepala adat setempat. Ditutup akibat blokade dengan peperangan hingga seolah-olah negeri ini sudah ditaklukkan dan secara de facto sudah menjadi wilayah kekuasaan Belanda. Tetapi kenyataannya, tidak satu pun dari pejabat Belanda berani memasuki wilayah itu.”

Pandangan-pandangan Weld mendapat sambutan positif dari Menteri Koloni di London yang selama ini mengikuti aturan dan usulan Den Haag untuk membebaskan awak kapal. London sadar selama ini didikte mengikuti kehendak Belanda. Setelah mendapat restu dari Menteri Koloni di London, Weld menunjuk William Edward Maxwell yang dipersiapkan sebagai utusan karena paham budaya, bahasa dan perilaku Melayu. Sejak kecil hingga besar William tinggal di Semenanjung Malaya karena ayahnya Peter B Maxwell adalah Hakim Agung di Straits Settlement.[] bersambung...

No comments:

Post a Comment