MASYARAKAT Aceh di era 90-an
sangat menggemari lagu dan film-film Bolywood. Di masa itu, hanya satu
televisi swasta yang melebarkan sayapnya hingga ke provinsi paling ujung
Sumatera tersebut. Tak jarang tarian dan nyanyian Amithabachan atau Sahruk Khan
yang menjadi unggulan acara setiap harinya menggema di seantero kampung. Tarian-tarian serta lagu-lagu India bersenandung dengan riuhnya salak senjata di Aceh masa darurat militer.
Tentu hal tersebut menjadi daya
tarik saya untuk mengkaji ada hubungan kekerabatan apa antara orang-orang Aceh
dengan salah satu negeri di Asia Selatan. Apalagi saat itu demam
Bolywood tidak hanya menjangkiti masyarakat pedesaan, bahkan warga Kota Banda
Aceh, Lhokseumawe dan Sabang sebagai tiga kota besar di Aceh.
Selain gemar menonton dan mengidolakan tokoh-tokoh India, tradisi yang kerap
dilakukan oleh orang-orang tua di Aceh saat menyambut tamu, menggelar acara
khitanan hingga pernikahan tak lekang dengan budaya dari negara Mahatma Gandhi. Pengaruh lainnya yaitu penamaan tempat di Aceh yang identik dengan pengaruh-pengaruh
Hindu seperti Indrapatra, Indrapurwa dan Indrapuri. Begitu pula dengan beberapa
bentuk bangunan yang memiliki atap bercorak limas, termasuk untuk arsitektur
masjid.
Kedekatan pengaruh Hindu dengan
Aceh ternyata tidak lekang dari sejarah yang pernah terjadi di daerah berjuluk Serambi
Mekkah ini. Dulunya, Aceh diketahui memiliki beberapa kerajaan Hindu sama
seperti daerah lain di Nusantara.
Sebut saja di antaranya Indrapurba atau Lamuri
(Lam Wu Li) di Aceh Besar, Po Li di Pidie, dan Samudera di Pasai Aceh Utara.
Kerajaan-kerajaan tersebut pernah besar dan berjaya serta masuk dalam catatan
beberapa penjelajah dunia.
Snouck Hougronge, salah satu
peneliti dari Belanda mengatakan bahwa budaya Hindu di Aceh sangat kental. “Langsung
atau tidak langsung, Hinduisme pada suatu waktu sudah mengalir ke dalam
peradaban dan bahasa Aceh. Tidaklah merupakan kesangsian lagi walaupun mengenai
hal tersebut sudah sukar diteliti dalam riwayat dan adat, perhubungan dengan
penghuni India tetap juga meluas lanjut ke masa Islam," tulisnya dalam
buku De Atjehers.
Sementara Dr. Julius Jacobs,
salah satu ahli kesehatan yang pernah bertugas di Aceh sejak 1878 hingga akhir
abad ke 19 mengatakan, pengaruh Hindu terhadap Aceh dibuktikan dengan pemakaian
nama-nama tempat. Selanjutnya, kata dia, pengaruh Hindu di Aceh juga kental
dalam perhelatan adat istiadat warga.
“Terutama
kalau diingat bahwa kerajaan Hindu telah berdiri terus hingga kira-kira
pertengahan pertama abad ke 16 ketika orang-orang Islam menggantikan tempatnya
dan benih-benih bulan sabit bertebar luas di atas runtuhan kerajaan Hindu itu,"
tulisnya.
Bekas Residen Belanda, Van Langen juga membuat
studi sama masa bertugas di Aceh akhir abad ke 19. Dalam bukunya antara lain
disinggungnya tentang banyaknya kata-kata sangsekerta yang dipakai dalam bahasa
Aceh. Menurutnya kerajaan Hindu Aceh dahulu tidak hanya terbatas di Aceh Besar
saja tapi juga meluas ke Aceh Utara termasuk Pasai.
Salah satu bukti yang ditawarkan Van Langen, tidak
hanya di wilayah tersebut tapi juga di Sematang Dora dekat Kuala Batee Keureuda
di bagian Pidie telah ditemukan kuburan-kuburan Hindu. Tapi benarkah kuburan
itu dari jenazah Hindu dan apakah tidak ada pembakaran, justru itulah
pertanyaan.
Diperkirakan, orang-orang Hindu atau Budha
sudah mengenal Aceh sejak awal abad ke 1 Masehi. Menurut Mohammad Said dalam
bukunya Aceh Sepanjang Abad mengatakan; bahwa mereka sudah memiliki kemampuan
melakukan pelayaran di samudera luas atau bahwa mereka sebagai saudagar atau
imigran telah menompang kapal-kapal Indonesia, Arab maupun Parsi.
“Namun jika disebut suatu kepercayaan Hindu
atau kerajaan Hindu sungguh-sungguh telah mengalir ke dalam tubuh orang Aceh
dan mengisi kebudayaannya, penulis berpendapat masih diperlukan penelitian
mendalam,” tulisnya.
Mohammad Said selanjutnya menuturkan, sedikit
banyak menjadi bahan pertimbangan juga apakah kedatangan orang-orang Hindu itu
dahulu dengan rombongan besar atau hanya kelompok kecil-kecil. Jika rombongan
besar dapat diperkirakan mereka akan datang sekaligus membawa modal atau
sesuatu yang kiranya dapat memberi pengaruh atas perkembangan setempat.
“Sebaliknya jika dalam kelompok kecil maka
lebih mungkin jika mereka melebur diri ke dalam perkembangan masyarakat yang
didatanginya,” tulis H Mohammad Said.
---
SAAT ini jejak kerajaan Hindu tersebut telah
terkubur rata dalam tanah di perbukitan Lamreh, Krueng Raya Aceh Besar. Sebulan
lalu, Tim The Atjeh bertandang ke sana.
Berdiri di puncak bukit, mata bebas menyorot
seluruh penjuru angin. Dari ujung barat terlihat gelombang ombak menggoda
teluk. Ada lidah pelabuhan Krueng Raya menjulur menjilat laut. Sementara di
sepanjang pantai, bulir-bulir riak berbuih putih seakan menggumul pasir.
Berpaling ke selatan, gugusan perbukitan
membujur laksana benteng tempat Gunung Seulawah gagah menampakkan puncaknya.
Sebelah timur, tersembul bukit berkarang tampak berundak-undak.
Memandang ke utara terbentang hamparan luas
Selat Melaka yang mengepung Pulau Weh. Diramaikan burung mengepakkan sayap
menggelitik bayu yang ditingkahi lambaian nyiur. Angin mendesau, kadang
menyemilir, kerap juga bertiup kencang. Terasa nyaman.
Suasana seperti itulah yang kami rasakan pada
akhir September 2013. Terpesona keindahan alam membuat kaki enggan beranjak.
Apalagi bukit-bukit itu tak hanya menawarkan keindahan, juga menyimpan cerita
penting tentang sejarah Aceh.
Berjarak sekitar 36 kilometer dari kota Banda
Aceh, areal ini terletak di sisi kiri Jalan Krueng Raya. Membutuhkan waktu
sekitar 30 menit mengendarai kendaraan roda empat yang dipacu rata-rata 60
km/jam.
Hanya jalan setapak yang bisa dilewati satu
mobil menuju ke kaki bukit. Berbatu. Setelah itu ada semak belukar yang harus
dilalui saat mendaki.
Tiba di puncak berasa berdiri di pos
penjagaan kota pinggir pantai. Semua aktivitas di bawahnya terawasi dengan
mudah.
Bahkan undakan yang di sana-sini terdapat
batu mirip tembok kokoh seperti menegaskan bukit ini adalah bangunan kuno yang
menyimpan rahasia sejarah. Kesan itu makin kuat sebab ada bebatuan tertata rapi
seperti susunan dinding. Sebagian besar tatanan tertimbun tanah ditumbuhi
rumput liar di kawasan gersang yang mirip atap gedung terlantar.
Beragam tembikar berserak di sela-sela batu
kapur. Di antaranya diduga terbuat dari tanah liat berwarna coklat
kemerah-merahan, ada juga berbahan keramik hijau muda dan kuning agak gelap.
Beberapa tembikar berhias lukisan ornamen bunga.
Pecahan beling itu tak hanya di puncak bukit,
tetapi berserak di hampir seluruh area hingga ke jalan setapak. Kami juga
menemukan batu nisan berukir kaligrafi Arab dipadu ornamen bunga.
Terkubur tepat di kaki kami berpijak,
kepingan-kepingan inilah yang meriwayatkan Kerajaan Lamuri yang kelak menjadi
cikal bakal berdirinya kerajaan Aceh. Kerajaan ini kelak dikenal dengan Aceh
Lhee Sagoe yang merujuk pada bentuk segitiga sama sisi. Pada masa kerajaan
Aceh, pola pemerintahan sekaligus sistem pertahanan ini kembali diadopsi dalam
sistem Mukim.
Bagaimana sistem pemerintahan Lhee Sagoe ini
melindungi Aceh? Apa hubungannya dengan Srilanka? Mengapa pula arsitek Kamal
Arief menyebutnya sebagai jati diri orang Aceh? Temukan jawabannya di majalah
The Atjeh edisi Oktober 2013.[]
No comments:
Post a Comment