Monday, October 21, 2013

Hindu, Bollywood dan Atjeh



MASYARAKAT Aceh di era 90-an sangat menggemari lagu dan film-film Bolywood. Di masa itu, hanya satu televisi swasta yang melebarkan sayapnya hingga ke provinsi paling ujung Sumatera tersebut. Tak jarang tarian dan nyanyian Amithabachan atau Sahruk Khan yang menjadi unggulan acara setiap harinya menggema di seantero kampung. Tarian-tarian serta lagu-lagu India bersenandung dengan riuhnya salak senjata di Aceh masa darurat militer.

Tentu hal tersebut menjadi daya tarik saya untuk mengkaji ada hubungan kekerabatan apa antara orang-orang Aceh dengan salah satu negeri di Asia Selatan. Apalagi saat itu demam Bolywood tidak hanya menjangkiti masyarakat pedesaan, bahkan warga Kota Banda Aceh, Lhokseumawe dan Sabang sebagai tiga kota besar di Aceh.

Selain gemar menonton dan mengidolakan tokoh-tokoh India, tradisi yang kerap dilakukan oleh orang-orang tua di Aceh saat menyambut tamu, menggelar acara khitanan hingga pernikahan tak lekang dengan budaya dari negara Mahatma Gandhi. Pengaruh lainnya yaitu penamaan tempat di Aceh yang identik dengan pengaruh-pengaruh Hindu seperti Indrapatra, Indrapurwa dan Indrapuri. Begitu pula dengan beberapa bentuk bangunan yang memiliki atap bercorak limas, termasuk untuk arsitektur masjid.

Kedekatan pengaruh Hindu dengan Aceh ternyata tidak lekang dari sejarah yang pernah terjadi di daerah berjuluk Serambi Mekkah ini. Dulunya, Aceh diketahui memiliki beberapa kerajaan Hindu sama seperti daerah lain di Nusantara. 

Sebut saja di antaranya Indrapurba atau Lamuri (Lam Wu Li) di Aceh Besar, Po Li di Pidie, dan Samudera di Pasai Aceh Utara. Kerajaan-kerajaan tersebut pernah besar dan berjaya serta masuk dalam catatan beberapa penjelajah dunia. 

Snouck Hougronge, salah satu peneliti dari Belanda mengatakan bahwa budaya Hindu di Aceh sangat kental. “Langsung atau tidak langsung, Hinduisme pada suatu waktu sudah mengalir ke dalam peradaban dan bahasa Aceh. Tidaklah merupakan kesangsian lagi walaupun mengenai hal tersebut sudah sukar diteliti dalam riwayat dan adat, perhubungan dengan penghuni India tetap juga meluas lanjut ke masa Islam," tulisnya dalam buku De Atjehers.

Sementara Dr. Julius Jacobs, salah satu ahli kesehatan yang pernah bertugas di Aceh sejak 1878 hingga akhir abad ke 19 mengatakan, pengaruh Hindu terhadap Aceh dibuktikan dengan pemakaian nama-nama tempat. Selanjutnya, kata dia, pengaruh Hindu di Aceh juga kental dalam perhelatan adat istiadat warga.

“Terutama kalau diingat bahwa kerajaan Hindu telah berdiri terus hingga kira-kira pertengahan pertama abad ke 16 ketika orang-orang Islam menggantikan tempatnya dan benih-benih bulan sabit bertebar luas di atas runtuhan kerajaan Hindu itu," tulisnya.

Bekas Residen Belanda, Van Langen juga membuat studi sama masa bertugas di Aceh akhir abad ke 19. Dalam bukunya antara lain disinggungnya tentang banyaknya kata-kata sangsekerta yang dipakai dalam bahasa Aceh. Menurutnya kerajaan Hindu Aceh dahulu tidak hanya terbatas di Aceh Besar saja tapi juga meluas ke Aceh Utara termasuk Pasai.

Salah satu bukti yang ditawarkan Van Langen, tidak hanya di wilayah tersebut tapi juga di Sematang Dora dekat Kuala Batee Keureuda di bagian Pidie telah ditemukan kuburan-kuburan Hindu. Tapi benarkah kuburan itu dari jenazah Hindu dan apakah tidak ada pembakaran, justru itulah pertanyaan.

Diperkirakan, orang-orang Hindu atau Budha sudah mengenal Aceh sejak awal abad ke 1 Masehi. Menurut Mohammad Said dalam bukunya Aceh Sepanjang Abad mengatakan; bahwa mereka sudah memiliki kemampuan melakukan pelayaran di samudera luas atau bahwa mereka sebagai saudagar atau imigran telah menompang kapal-kapal Indonesia, Arab maupun Parsi. 

“Namun jika disebut suatu kepercayaan Hindu atau kerajaan Hindu sungguh-sungguh telah mengalir ke dalam tubuh orang Aceh dan mengisi kebudayaannya, penulis berpendapat masih diperlukan penelitian mendalam,” tulisnya.

Mohammad Said selanjutnya menuturkan, sedikit banyak menjadi bahan pertimbangan juga apakah kedatangan orang-orang Hindu itu dahulu dengan rombongan besar atau hanya kelompok kecil-kecil. Jika rombongan besar dapat diperkirakan mereka akan datang sekaligus membawa modal atau sesuatu yang kiranya dapat memberi pengaruh atas perkembangan setempat. 

“Sebaliknya jika dalam kelompok kecil maka lebih mungkin jika mereka melebur diri ke dalam perkembangan masyarakat yang didatanginya,” tulis H Mohammad Said.

---

SAAT ini jejak kerajaan Hindu tersebut telah terkubur rata dalam tanah di perbukitan Lamreh, Krueng Raya Aceh Besar. Sebulan lalu, Tim The Atjeh bertandang ke sana. 

Berdiri di puncak bukit, mata bebas menyorot seluruh penjuru angin. Dari ujung barat terlihat gelombang ombak menggoda teluk. Ada lidah pelabuhan Krueng Raya menjulur menjilat laut. Sementara di sepanjang pantai, bulir-bulir riak berbuih putih seakan menggumul pasir.

Berpaling ke selatan, gugusan perbukitan membujur laksana benteng tempat Gunung Seulawah gagah menampakkan puncaknya. Sebelah timur, tersembul bukit berkarang tampak berundak-undak.

Memandang ke utara terbentang hamparan luas Selat Melaka yang mengepung Pulau Weh. Diramaikan burung mengepakkan sayap menggelitik bayu yang ditingkahi lambaian nyiur. Angin mendesau, kadang menyemilir, kerap juga bertiup kencang. Terasa nyaman.

Suasana seperti itulah yang kami rasakan pada akhir September 2013. Terpesona keindahan alam membuat kaki enggan beranjak. Apalagi bukit-bukit itu tak hanya menawarkan keindahan, juga menyimpan cerita penting tentang sejarah Aceh.

Berjarak sekitar 36 kilometer dari kota Banda Aceh, areal ini terletak di sisi kiri Jalan Krueng Raya. Membutuhkan waktu sekitar 30 menit mengendarai kendaraan roda empat yang dipacu rata-rata 60 km/jam.

Hanya jalan setapak yang bisa dilewati satu mobil menuju ke kaki bukit. Berbatu. Setelah itu ada semak belukar yang harus dilalui saat mendaki.

Tiba di puncak berasa berdiri di pos penjagaan kota pinggir pantai. Semua aktivitas di bawahnya terawasi dengan mudah.

Bahkan undakan yang di sana-sini terdapat batu mirip tembok kokoh seperti menegaskan bukit ini adalah bangunan kuno yang menyimpan rahasia sejarah. Kesan itu makin kuat sebab ada bebatuan tertata rapi seperti susunan dinding. Sebagian besar tatanan tertimbun tanah ditumbuhi rumput liar di kawasan gersang yang mirip atap gedung terlantar.

Beragam tembikar berserak di sela-sela batu kapur. Di antaranya diduga terbuat dari tanah liat berwarna coklat kemerah-merahan, ada juga berbahan keramik hijau muda dan kuning agak gelap. Beberapa tembikar berhias lukisan ornamen bunga.

Pecahan beling itu tak hanya di puncak bukit, tetapi berserak di hampir seluruh area hingga ke jalan setapak. Kami juga menemukan batu nisan berukir kaligrafi Arab dipadu ornamen bunga.

Terkubur tepat di kaki kami berpijak, kepingan-kepingan inilah yang meriwayatkan Kerajaan Lamuri yang kelak menjadi cikal bakal berdirinya kerajaan Aceh. Kerajaan ini kelak dikenal dengan Aceh Lhee Sagoe yang merujuk pada bentuk segitiga sama sisi. Pada masa kerajaan Aceh, pola pemerintahan sekaligus sistem pertahanan ini kembali diadopsi dalam sistem Mukim.

Bagaimana sistem pemerintahan Lhee Sagoe ini melindungi Aceh? Apa hubungannya dengan Srilanka? Mengapa pula arsitek Kamal Arief menyebutnya sebagai jati diri orang Aceh? Temukan jawabannya di majalah The Atjeh edisi Oktober 2013.[]

No comments:

Post a Comment