Thursday, December 8, 2022

9 Desember 1873: Agresi Militer Belanda Kedua di Aceh


KEMATIAN
Jenderal JHR Kohler mengundang tekad besar bagi Belanda untuk memerangi Aceh. Rasa malu yang tidak terperi dan menjadi sorotan Eropa pada masa itu, membuat Belanda tidak main-main untuk menyerbu Aceh. Agresi militer kedua Belanda di Aceh kali ini dipimpin seorang pahlawan perang, Letnan Jenderal J van Swieten. Dia merupakan seorang pensiunan pasukan Hindia Belanda yang terpaksa diaktifkan kembali untuk memerangi Sultan Aceh.

J van Swieten didatangkan dari negeri Belanda pada 9 Juni 1873. Dia turut dibantu oleh Mayor Jenderal G.M Verspijck dalam menaklukkan Aceh.

Dalam agresi tersebut, Belanda memboyong angkatan perang dari Jawa, yang terdiri dari 18 unit kapal perang uap, tujuh unit kapal uap angkatan laut, 12 buah barkas, dan dua unit kapal patroli bersenjata.

Selain itu, Belanda juga memboyong 22 unit kapal pengangkut dengan alat-alat pendaratan seperti enam unit barkas uap, dua rakit besi, dua rakit kayu, sekitar 80 sekoci ditambah beberapa unit sekoci kayu dan sekoci angkatan laut. Belanda juga mengirimkan sejumlah besar kapal tongkang ke perairan Aceh.

Agresi Belanda ke dua di Aceh dihitung sejak mereka mendarat di Gampong Leu’u, dekat Kuala Gigieng, Aceh Besar, pada 9 Desember 1873.

Di sisi lain, pasukan Aceh telah siap menyambut kedatangan pasukan Belanda di daratan. Pasukan Aceh kali ini dipimpin Tuanku Hasyim Bangtamuda, salah seorang anggota keluarga Sultan Aceh yang saat berlangsung agresi militer pertama Belanda sedang berada di daerah Sumatera Timur.

Tuanku Hasyim Bangtamuda turut dibantu oleh Teuku Imuem Lueng Bata dan Teuku Nanta Setia.

Peperangan mempertahankan wilayah pesisir Gampong Leu’u berlangsung sengit. Pihak pasukan Aceh berhasil mempertahankan pantai tersebut selama delapan hari, tetapi kemudian terpaksa mundur dan mengatur pertahanan di Masjid Raya. Pasukan Aceh pimpinan Tuanku Hasyim Bangtamuda juga turut memperkokoh kubu pertahanan di Peukan Aceh dan Lambhuk, serta menyusun pertahanan Dalam (Darud Donya).

Selain itu, pasukan pimpinan Tuanku Hasyim Bangtamuda turut mendapat bantuan 3.000 pasukan yang berasal dari Sagi XXII Mukim. Ribuan pasukan ini dikirim oleh Panglima Polem yang bertahan di Lambhuk. Sementara wilayah Dalam dipertahankan oleh 900 personel prajurit Aceh. Mereka turut dibantu 500 personel prajurit Pidie pimpinan Raja Pidie yang mempertahankan wilayah Lueng Bata. Pasukan Aceh kembali mendapat bantuan seribu pasukan dari Peusangan yang mempertahankan Kuala Cangkoy.

Sayangnya, di tengah berkecamuknya perang tersebut, Sultan Aceh Mahmud Syah justru diserang wabah kolera hingga mangkat di Pagar Aye, kemudian dimakamkan pada 29 Januari 1874 di Cot Bada, dekat Samahani.[]


* Sumber: Perang Kolonial Belanda di Aceh (The Dutch Colonial War in Aceh) terbitan PDIA

No comments:

Post a Comment